• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam buku Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) Kelas Perusahaan Kayu Putih di BKPH Sukun menjelaskan bahwa sejak jaman Pemerintahan Hindia Belanda berkuasa di Indonesia, tanah-tanah gundul dan tandus banyak terdapat di Ponorogo. Tanah tersebut timbul karena terjadi pengrusakan hutan secara sembarangan, seperti penebangan pohon yang tidak teratur, penggarapan lahan yang keliru, kebakaran hutan dan pengembalaan ternak yang tidak terkendali. Usaha untuk merehabilitasi tanah-tanah tersebut telah dilaksanakan dengan menanam berbagai jenis pohon , namun hasilnya tidak memuaskan. Gambaran sejarah pengelolaan di hutan BKPH Sukun (Perum Perhutani, 2000b) sebagai berikut:

1. Periode 1924-1936

Pada tahun 1924 Pemerintah Hindia Belanda mendatangkan peneliti dari Lembaga Penelitian Hutan (LPH) Bogor untuk melakukan penelitian penanaman kayu putih yang berasal dari Pulau Buru, di daerah Sukun, Pulung dan Bondrang pada areal seluas 0,25 ha. Tujuan utama percobaan tersebut adalah untuk menemukan jenis yang cocok untuk reboisasi tanah-tanah gundul dan tandus di daerah tersebut. Ternyata hasilnya memuaskan maka penanaman jenis kayu putih di BKPH Sukun diperluas terus menerus. Pada akhir tahun 1930-an penanaman kayu putih sudah berproduksi baik maka dimulai percobaan penyulingan daun kayu putih. Selanjutnya dibangun sebuah pabrik yang sangat sederhana dan tidak permanen. Tungku hanya dibuat dari batu kali yang disemen dengan tanah liat dan ketel daun berupa drum dari besi yang berkapasitas ± 3 kwintal daun sekali masak.

2. Periode 1947-1955

Periode ini sudah masuk dalam masa kemerdekaan Republik Indonesia. Pada tahun 1947 mulai dilakukan penyempurnaan alat-alat penyulingan dengan peralatan yang lebih baik dan permanen, termasuk pengembangan pabrik minyak

kayu putih. Kapasitas ketel daun ditingkatkan yaitu mampu menampung 1.000 kg (1 ton) daun kayu putih setiap kali masak dan alat pemasaknya adalah boiler bekas ketel uap lokomotif. Pada tahun 1948 terjadi Agresi Militer Belanda II dan Pemberontakan PKI di Madiun pabrik minyak kayu putih dibakar sehingga tidak dapat beroperasi lagi. Setelah keadaan mulai aman pada tahun tahun 1950 teknisi kehutanan secara sembunyi-sembunyi mulai melakukan penyulingan lagi dengan kapasitas ketel daun ± 250 kg, sambil memperbaiki puing-puing pabrik yang telah hancur dan akhirnya dapat dioperasikan lagi sampai tahun 1955.

3. Periode 1956-1974

Setelah beroperasi kurang lebih lima tahun maka pada tahun 1956 dilakukan pembangunan pabrik yang permanen. Alat-alat baru yang dipasang meliputi 6 ketel daun yang masing-masing berkapasitas 1,7 ton daun, 3 buah boiler, kondensor dari kuningan dan separator dari bahan gelas untuk meningkatkan efisiensi kerja dan mutu minyak kayu putih. Ketel daun yang awalnya dibuat dari tembaga yang dilapisi dinding semen dan pengisian maupun pengeluaran dari ketel masih mengunakan tenaga manusia, disempurnakan menjadi ketel yang terbuat dari besi yang dilapisi plat alumunium dengan kapasitas tetap dan untuk pengisian dan pengeluaran dari ketel dipergunakan alat mekanis. Alat mekanis ini berupa keranjang daun dari besi dan alumunium serta katrol. Penggunaan alat mekanis ternyata dapat menghemat waktu pemasakan menjadi 8 jam dari 9 jam sekali masak, sehingga setiap hari mampu masak sebanyak 3 shift.

4. Periode 1975-1985

Pada periode ini pabrik semakin berkembang walau tidak banyak mengalami perubahan, hanya tahun 1975 pipa penyaring minyak dilapisi alumunium dan posisi ketel daun yang semula di atas lantai diubah menjadi separo bagian ketel daun dimasukan ke dalam lantai. Maksud perubahan ini adalah untuk memudahkan bongkar muat daun dengan derek.

5. Periode 1986-sekarang

Dalam periode ini diadakan modifikasi menyeluruh, dimana semua instalasi yang berhubungan dengan minyak bahannya diganti dengan bahan stainless steel. Boiler diganti dengan boiler baru yang berkapasitas 3 ton uap air per jam, sehingga proses pemasakan bisa dipercepat menjadi 5-6 jam. Kapasitas ketel daun masih sama tetapi kapasitas terpasang pabrik meningkat menjadi 4 shift dari 3 shift artinya pabrik mampu memasak daun kayu putih sebanyak 12.000 ton/tahun. Untuk lima tahun ke depan seperti yang tercantum dalam Buku Rencana Kelestarian Perusahaan Hutan tahun 2011 s/d 2015, kapasitas terpasang pabrik tetap 12.000 ton/tahun. Dalam periode ini produksi daun kayu putih mencapai  9.000 ton/tahun.

4.2. Keadaan Fisik 4.2.1. Letak dan Luas

Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Sukun termasuk Bagian Hutan Ponorogo Timur, Kesatuan Pemangkuan Hutan Madiun merupakan Kelas Perusahaan Kayu Putih terletak di sebelah Barat Daya Gunung Wilis. Secara administratif termasuk wilayah Kecamatan Pulung, Siman, Mlarak dan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Propinsi Jawa Timur.

Wilayah hutan yang dikelola BKPH Sukun dibagi ke dalam 5 Resort Polisi Hutan (RPH) dan terdiri atas 55 petak. Berdasarkan data (Perum Perhutani, 2010b) jumlah luas seluruh wilayah BKPH Sukun adalah 3.701,0 ha dan 35,1 ha berupa alur, ditinjau dari kelas hutannya dibagi dalam tiga kelompok yaitu:

1. Hutan Produktif : 2.306,8 ha (62,3 %)

2. Hutan Tak Produktif (LTJL, Tpr, Tkl, Tkpbk) : 1.155,9 ha (31,2 %) 3. Hutan Bukan Untuk Produksi (Tbp, Ldti, SA/HW) : 238,3 ha ( 6,4 %)

BKPH Sukun dan pabrik minyak kayu putih terletak pada Alur A yang merupakan jalan raya Pulung - Ponorogo, dengan jarak ± 13 km ke arah Timur dari kota Ponorogo. BKPH Sukun merupakan Hutan Kelas Perusahaan Kayu Putih dan wilayah kerjanya dikelilinggi oleh pemukiman penduduk yang banyak

berinteraksi dengan hutan. Desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan BKPH Sukun terdapat 15 desa yang secara administratif masuk ke dalam 4 kecamatan, yaitu: Kecamatan Pulung 5 desa, Kecamatan Jenangan 6 desa, Kecamatan Siman 3 desa dan Kecamatan Mlarak satu desa.

Kondisi hutan di BKPH Sukun secara umum belum baik. Produksi daun kayu putih masih jauh dari harapan antara tahun 2006 s/d 2010 tiap tahun hanya mampu berproduksi ± 6.300 ton daun kayu putih. Padahal apabila jumlah pohon per hektarnya 3.000 pohon dan setiap pohon menghasilkan 2 kg daun maka produksi daun mencapai 6.000 kg/ha/tahun. Dengan kata lain BKPH Sukun mampu memproduksi maksimal daun kayu putih ± 18.000 ton dan andaikata hanya mampu tiga perempatnya saja maka kapasitas terpasang pabrik dapat terpenuhi. Tidak tercapainya produksi daun ini antara lain disebabkan oleh: kegagalan tanaman, pemeliharaan tegakan belum intensif, kebakaran hutan pada masa lalu, pengembalaan ternak.

Keadaan hutan BKPH Sukun saat ini dan dibandingkan dengan hasil risalah tahun 2006 dan risalah ulang tahun 2010 (Perum Perhutani, 2010b) pada Tabel 7, terjadi penurunan pada kelas hutan produktif dari 62,33% menjadi 58,12% dan hutan tak produktif turun dari 31,23% menjadi 24,79% , sebaliknya terjadi peningkatan pada kelas hutan bukan untuk produksi dari 6,44 % menjadi 17,09%. Seperti telah disebutkan sebelumnya, adanya penurunan potensi tersebut antara lain disebabkan oleh kebakaran hutan yang hampir dialami setiap tahun dan pemeliharaan yang kurang intensif. Penyebab lain penurunan potensi adalah digunakannya sebagian areal produktif sebagai gubuk kerja para pesanggem. Akibat lainnya adalah produksi daun kayu putih tidak memenuhi kapasitas pabrik terpasang.

4.2.2. Topografi

Secara umum keadaan topografi wilayah BKPH Sukun adalah bergelombang ringan, berjurang dengan punggung membujur ke arah Barat. Diantara punggung tersebut terdapat sungai-sungai yang mengalir dari Timur Ke Barat antara lain: Sungai Jurang Awang sampai Cimanuk, Sungai Plosorejo. Keadaan lapangan yang bergelombang dan berjurang ini rawan terhadap erosi.

Tabel 7. Keadaan kelas hutan kayu putih di BKPH Sukun pada jangka 2001-2005 dan jangka 2006-2010.

Kelas Hutan Jangka 2006-2010 Jangka 2011-2015

Luas (ha) % Luas (ha) %

I. Produktif KU I KU II KU III KU IV KU V KU VI KU VII KU VIII KU IX 407,90 682,70 525,70 257,60 0 0 162,40 202,50 68,00 11,02 18,45 14,20 6,96 0 0 4,39 5,47 1,84 836,80 343,70 505,30 354,60 42,80 0 0 88,10 0 22,40 9,20 13,52 9,49 1,15 0 0 2,36 0 Jumlah I 2306,8 62,33, 2.171.30 58,12

II. Tak Produktif LTJL TPR TKL TKP BK 0 135,50 105,30 915,10 0 3,66 2,85 24,73 0 39,50 82,40 804,30 0 1,06 2,21 21,53 Jumlah II 1155,90 31,23 926,20 24,79

III. Bukan Untuk Produksi TBP LDTI SA/HW 32,30 31,20 174,80 0,87 0,84 4,72 1,50 456.20 180,90 0,04 12,21 4,84 Jumlah III 238,30 6,44 638,60 17,09 Jumlah I+II+III 3701,0 100 3.736,10 100

Sumber: RPKH Jangka 2011 s/d 2015 KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jatim

4.2.3. Tanah

Penelitian yang mendalam tentang jenis tanah khususnya di wilayah Kelas Perusahaan Kayu Putih BKPH Sukun belum pernah ada, namun demikian keadaan tanah secara umum terdiri dari tanah Laterit agak miskin mineral tetapi mempunyai sifat fisik yang baik antara lain kesarangan dan daya tahan air (Perum Perhutani, 2010b). Pohon kayu putih yang tidak membutuhkan syarat-syarat tempat tumbuh tertentu dapat tumbuh baik di kawasan tersebut.

4.2.4. Iklim.

Salah satu unsur iklim yang penting dan mudah diukur dalam bidang kehutanan adalah curah hujan. Oleh karena data curah hujan tahun 2008 sampai dengan 2011 tidak tersedia, maka data curah hujan selama 10 tahun terakhir yang digunakan adalah data mulai tahun 1998 sampai dengan tahun 2007. Data curah hujan yang direkam stasiun pencatat curah hujan Pulung pada periode tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tipe iklim di wilayah BKPH Sukun menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson yang ditetapkan berdasarkan perbandingan antara jumlah curah hujan pada bulan basah (BB) dan bulan kering (BK) dalam periode waktu yang cukup panjang. Schmidt dan Ferguson menyatakan dalam rumus:

Q = D / W x 100%

dimana: Q = Quation Index (besarnya dalam persen) W = Jumlah Bulan Basah (BB)

D = Jumlah Bulan Kering (BK)

Dari besarnya Q tersebut dapat diketahui tipe iklim dari suatu daerah tertentu. Adapun ketentuan-ketentuan penentuan iklim menurut Schmidt dan Ferguson adalah sebagai berikut:

1. Suatu bulan diklasifikasikan ke dalam Bulan Basah (BB) apabila curah hujan lebih besar dari 100 mm.

2. Suatu bulan diklasifikasikan ke dalam Bulan Lembab (BL) apabila curah hujan antara 60 - 100 mm.

3. Suatu bulan diklasifikasikan ke dalam Bulan Kering (BK) apabila curah hujan kurang dari 60 mm.

4. Berdasarkan nilai Q yang merupakan perbandingan jumlah bulan basah (BB) dan jumlah bulan kering (BK) dalam persen, maka Schmidt dan Ferguson mengklasifikasikan tipe iklim adalah sebagai berikut:

a. Tipe Iklim A, Sangat Basah = 0 % < Q < 14,3 % b. Tipe Iklim B, Basah = 14,3 % < Q < 33,3 % c. Tipe Iklim C, Agak Basah = 33,3 % < Q < 60,0 % d. Tipe Iklim D, Sedang = 60,0 % < Q < 100,0 % e. Tipe Iklim E, Agak Kering = 100,0 % < Q < 167,0 %

f. Tipe Iklim F, Kering = 167,0 % < Q < 300,0 % g. Tipe Iklim G, Sangat Kering = 300,0 % < Q < 700,0 % h. Tipe Iklim H, Luar Biasa kering = Q > 700,0 %

Bersadarkan data curah hujan selama 10 tahun terakhir di lokasi penelitian yang diwakili stasiun pencatat curah hujan Dinas Pengairan Pulung diketahui bahwa:

a. Jumlah Bulan Kering (BK) : 44 bulan b. Jumlah Bulan Basah (BB) : 70 bulan maka besarnya nilai Q adalah :

Q = (44 / 70) x 100 % = 62,9 %

Berdasarkan nilai Q tersebut maka menurut Schmidt dan Ferguson tipe iklim di wilayah BKPH Sukun adalah iklim D (Sedang) dengan curah hujan rata-rata 2016 mm/tahun dan jumlah hari hujan rata-rata 97 hari hujan/tahun.

Ditinjau dari tipe iklim ternyata BKPH Sukun memiliki tipe iklim umumnya daerah Jawa. Oleh karena itu dalam penyusunan perencanaan hutan perlu memperhatikan faktor iklim wilayah tersebut. Data mengenai curah hujan sangat penting antara lain untuk merencanakan waktu tanam dan pemungutan daun kayu putih. Di wilayah terdapat curah hujan yang sangat sedikit dan kering pada bulan-bulan tertentu ( Juni s/d Oktober) maka perencanaan penanaman yang matang sangat diperlukan. Di lain pihak, banyaknya curah hujan pada bulan-bulan tertentu (Nopember s/d Mei) perencanaan pemungutan daun kayu putih mutlak diperlukan karena selain transportasi dan tenaga pemungut sulit, pada musim hujan rendemen minyak kayu putih lebih rendah.

4.3. Keadaan Sosial Ekonomi

Dokumen terkait