• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. ETNIK MINANGKABAU DI MEDAN

3.1. Sejarah Tari Piring

Secara sederhana, istilah tari piring ini berasal dari bahasa Minangkabau. Dalam bahasa Minangkabau ini, tari piring juga disebut dengan Tari Piriang. Tari piring ini merupakan salah satu tarian tradisional yang bernilai seni. Tari piring7

• Zaman Kerajaan Minangkabau berpusat di Pagaruyung (sekitar tahun 1350 -1800 M);

ini berasal dari provinsi Sumatera Barat.

Nama tari piring ini identik dengan adanya piring yang dibawa oleh para penarinya. Tentulah dapat disimpulkan bahwa pemberian nama tari piring ini adalah penggabungan dari unsur tari dan piring sebagai material yang menjadi pembentuk dasar gerak tari tersebut.

Daerah penyebaran tari piring di Minangkabau meliputi hampir semua unit wilayah budaya dan proses penyebaran ini dilakukan seiring dengan pembentukan wilayah-wilayah baru dan pengangkatan penghulu-penghulu baru pada masing-masing wilayah tersebut. Sedangkan pertumbuhan dan penyebarannya sudah berlangsung sejak lama, mengutip Jamal (1992:24) yang menyatakan bahwa hal ini tidak terlepas dari zaman masa dan perjalanan sejarah Minangkabau itu sendiri seperti :

• Masa gerakan/perang Paderi (tahun 1803-1837 M);

7 Pada kenyataannya terdapat beragam jenis tari piring dengan varian gerak dasar yang sama, pada umumnya perbedaan gerak dalam tari piring dipengaruhi oleh kondisi geografis dimana tari piring berkembang (seperti Padang Panjang, Solok, Pariaman dan lain sebagainya).

• Masa penjajahan Belanda (tahun 1837-1942) dan Jepang (tahun 1942-1945 M); dan

• Masa kemerdekaan (tanggal 17 Agustus 1945) sampai sekarang.

Masa pertumbuhan dan persebaran tari piring ternyata telah mengalami empat periodesasi dan perubahan sehingga sulit ditelusuri secara rinci, namun berdasarkan wawancara, waktu atau zaman yang dilalui atau aspek kesejarahan tari piring hanya dikenal pada dua bahagian besar, yaitu masa “dulu” dan masa “sekarang”. Hal ini dipengaruhi oleh ingatan dari atau orang-orang tua sebagai cerita yang disampaikan secara lisan dan turun temurun.

J.L.Moens (Jamal, 1992:25) mengatakan bahwa orang-orang Melayu amat mahir menari dan tidak mengenal kata lelah dalam hal itu. Orang Melayu dalam konteks ini termasuk orang Minangkabau, karena orang Minangkabau termasuk dalam golongan ras Melayu.

Mengutip hasil penelitian mengenai penyajian tari piring tradisional Minangkabau (Jamal, 1992:38) yang mengatakan bahwa asal-usul tari piring merupakan perwujudan kepercayaan masyarakat pada masa itu terhadap ritus kesuburan8

Tari piring sebagai bentuk tari ritual terhadap kesuburan, dalam gerakannya menggunakan properti berbentuk piring yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai wadah untuk pangan. Dalam catatan Jamal (1992:38) juga diceritakan bahwa tari piring secara historis berawal dari ajaran

(agraris) yang dimanifestasikan dalam bentuk tari.

8 J.L.Moens (Jamal, 1992:25) menuliskan bahwa “raja dalam bentuk sebagai perayu yang sedang melaksanakan ‘tari kesuburan’ sebagaimana yang ditulis dalam prasasti punggung patung Amogapasya pada tahun 1269 syaka, atau tahun 1347 M”. Selanjutnya J.L.Moens juga memberikan penafsiran terhadap prasasti Kubu Raja (kubur raja) tahun 1300 syaka, atau tahun 1378 M, “Adityawarman dijadikan ‘prapatih’ (orang yang dihormati) suku-suku alam nagari…” .

syiwabudhis yang dalam ajarannya banyak memuat mengenai tari kesuburan agraris sebagai bentuk perlambang ajaran keselamatan buddhis dan syiwais.

Sebagai seorang raja yang mempunyai permaisuri warga masyarakat Minangkabau dan diangkat sebagai ‘prapatih’ di Minangkabau, Adityawarman merupakan orang yang telah dianggap menjadi warga Minangkabau dan mendukung adat-istiadat Minangkabau serta mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan warga masyarakat lainnya, seperti yang terungkap dalam ungkapan Minangkabau hinggok mancakam (hinggap mencekam).

Hal ini dibuktikan seperti yang diungkapkan oleh Moens (Jamal, 1992:24-25) meskipun Adityawarman menjadi raja dan sebagai Bhairawa, akan tetapi sebagai titisan Kama, ia selalu menghormati ayah atau mamak istrinya.

Tari-tari kesuburan dalam hal ini tari piring dipersembahkan kepada ayah atau mamak istrinya sebagai pendukung/pemangku asas-asas adat-istiadat Minangkabau, berarti tari piring telah menjadi milik kaum istrinya. Dalam hal ini berarti Adityawarman telah mematuhi adat yang berlaku di Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan matrilineal, walaupun pada mulanya ia menilai dirinya lebih tinggi dari permaisurinya.

Pada perkembangan sejarah tari piring, tari piring juga merupakan suatu bentuk sumbangan oleh Adityawarman kepada ayah atau mamak permaisurinya yang pada masa itu menjadi pemangku asas-asas adat-istiadat Melayu ketika itu, sehingga tari piring menjadi milik kaum isterinya. Perkembangan sejarah tari piring ini juga tidak lepas dari sistem kekerabatan Minangkabau secara matrilineal.

Lebih lanjut Jamal (1992:38) mengatakan bahwa pada sekitar abad ke 14 barulah tari piring menjadi dikenal dan menjadi bagian dari pertunjukan seni di istana Pagaruyung, dan sesudah istana Pagaruyung mendapatkan pengaruh Islam yang besar dengan dipimpin oleh seorang raja Minangkabau yang bernama Sultan Alif (sekitar tahun 1580), maka adat-istiadat dalam kehidupan istana Pagaruyung dirubah dan disesuaikan dengan nilai ajaran Islam, salah satunya tampak pada pertunjukan tari piring yang tidak lagi sebagai bentuk tari ritual melainkan menjadi bentuk gerak tari yang bernilai hiburan serta disebarluaskan di luar istana Pagaruyung dengan tujuan untuk memeriahkan pesta panen sebagai simbol kemakmuran penduduk.

Agama Islam masuk ke Minangkabau tidak dapat dipisahkan dari Islam yang masuk ke Pulau Sumatera. Berdasarkan bukti-bukti sejarah seperti yang dikemukakan Azyumardi Azra yang menyatakan bahwa Islam di Pulau Sumatera dapat dilacak sejalan dengan munculnya kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1292, menyatakan bahwa kerajaan Perlak sudah memeluk agama Islam. Dari tempat-tempat inilah diperkirakan Islam menyebar ke seluruh Nusantara termasuk ke Minangkabau (Azra, 1989: xi).

Masyarakat Minangkabau telah mengadopsi sebagian ajaran Islam itu ke dalam bentuk budaya mereka. Hal ini telah dikukuhkan dalam landasan adatnya yaitu adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah (adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah). Oleh karena itu, maka amatlah tidak diterima oleh orang Minangkabau apabila ia dikatakan tidak beragama apalagi disebut tidak beragama Islam meskipun terkadang ia tidak melaksanakan ajara Islam secara

konsisten. Dengan mencairnya ajaran Islam dalam kebudayaan orang Minangkabau, maka dinamika kehidupan beragama itu sendiri bervariasi adanya. Terjadinya hal yang seperti demikian tidak terlepas dari sentra-sentra pendidikan agama Islam di Minangkabau dengan berbagai aliran yang dalam pelaksanaannya tidak jarang menimbulkan konflik-konflik antara agama dan adat.

Pada masa gerakan Paderi di Minangkabau (Jamal, 1992:28) berkisar diantara tahun 1803 – 1821 Masehi, seluruh jenis dan bentuk kesenian dilarang oleh kaum ulama yang berpaham wahabi, termasuk dalam kesenian tersebut adalah tari piring. Keluarnya larangan tersebut disebabkan jenis dan bentuk tari piring pada masa itu disalahgunakan oleh sebahagian masyarakat menjadi bentuk kemaksiatan yang bertentangan dengan paham wahabi.

Perkembangan selanjutnya, tari piring turut menjadi bagian dari perjanjian antara kaum ulama dan kaum adat di Minangkabau pada tahun 1827 yang dikenal dengan sebutan “piagam bukit marapalam” (Jamal, 1992:29). Dalam perjanjian tersebut disepakati bentuk-bentuk kegiatan kesenian boleh dilakukan dengan tidak memasukkan unsur maksiat dan juga sebagai bentuk persatuan antara kaum ulama dan kaum adat.

Meskipun demikian perang Paderi yang sedang berkecamuk menjadi sebab tidak berkembang dan tersebarnya jenis dan bentuk kesenian di nagari-nagari, seniman-seniman ikut angkat senjata melawan Belanda.

Mengenai tari piring yang dikenal selama ini direproduksi sesuai dengan ingatan-ingatan para seniman yang masih hidup, tetapi tidak lagi sebagai sebuah tari yang bersifat ritual melainkan menjadi tari yang bersifat hiburan. Gerak-gerak

berkesan erotik yang melambangkan kesuburan ditinggalkan atau dimodifikasi. Wawancara terhadap salah seorang informan, Hendri (35 Tahun) seorang penari tari piring menuturkan bahwa :

“Perubahan dasar tari piring paling nampak dari masuknya gerakan silat dalam tarian sebagai pengganti gerakan awal yang sifatnya ritual ... pada perkembangannya juga penari tari piring menjadi laki-laki setelah munculnya perjanjian pada zaman dahulu yang disebabkan oleh pengaruh Islam walaupun sekarang ini perempuan dan laki-laki juga boleh ikut serta dalam tari piring.”

Iwan Tarok salah seorang informan penelitian menuturkan bahwa gerakan dalam tari piring terbentuk oleh adanya pemahaman baru terhadap pembentukan gerak tari piring yang didasarkan oleh kebiasaan masyarakat dalam konteks ruang dan waktu, secara lebih lengkap Iwan Tarok mengatakan :

“Tari piring yang tradisi ialah tari piring yang ditarikan karena kebiasaan, asal mulanya tari piring yaitu dahulu disaat orang memasak nasi sembari menunggu piring-piring dimainkan, alat-alat dapur yang lain dimainkan sambil menari, jadilah orang sekarang menari piring ... Tradisi ialah tari yang ditarikan tanpa aturan dan pola tertentu, ia hanya menggunakan perasaan dan kebiasaan yang sudah turun temurun.”

Tari piring memang memiliki kesan yang cukup istimewa dan berbeda dengan jenis tarian yang lain. Kebanyakan jenis tari yang lain hanya memadukan kesinambungan gerak tubuh para penarinya dengan musik yang mengiringi saat tari dibawakan. Sedangkan tari piring, selain mengkombinasikan dua hal tersebut, yaitu kekompakan gerak penarinya dengan musik sebagai latar belakang dari pertunjukan tari, juga membutuhkan keahlian khusus.

Tari piring dinamakan sebagai tari piring karena para penari tari ini membawa piring yang diletakkan di atas kedua telapak tangannya. Membawa piring di atas telapak tangan sambil menari, menggerak-gerakkan badan

mengikuti alunan musik inilah yang membutuhkan keahlian khusus dan konsentrasi yang tinggi.

Gerakan tari piring yang dilakukan oleh para penarinya adalah mengayun-ayunkan piring ada di telapak tangan dengan gerakan-gerakan yang cepat dan teratur. Saat mengayun- ayunkan piring di tangan, piring diusahan agar tidak jatuh dan pecah. Disinilah letak kesulitan dari membawakan tari piring. Mungkin untuk sebagian orang, tari piring termasuk salah satu jenis tari yang lumayan sulit untuk dipelajari. Hal ini karena adanya faktor keharusan dalam membawa piring di atas tangan sambil menari. Namun bagi orang yang sudah mahir melakukan tari piring ini, tentulah bukan hal yang sulit untuk menjaga piring agar tidak jatuh dan pecah.

Kesulitan yang terdapat dalam gerakan tari piring hanya dapat diatasi oleh latihan yang dijalani oleh penari, secara lebih lanjut Hendri (30 Tahun) seorang informan menuturkan bahwa :

“piring yang digunakan dalam menari tidak menggunakan penyangga ditangan sehingga sesekali piring bisa terjatuh dari tangan penari dan pecah ... kalo pake penyangga malu lah bukan orang Minang namanya. Makanya kami sengaja nari piring kek gini biar anak-anak ini terbiasa megang piring, bahkan penari yang udah professional aja bisa pecah piringnya.”

Untuk menjadi seorang penari piring yang handal diperlukan banyak latihan, dan mungkin saja juga diperlukan banyak piring sebagai media belajar. Karena bisa jadi pada awal masa belajar banyak piring yang jatuh dan pecah tapi bisa juga piring diganti dengan piring plastik atau benda ringan lainya sebagai ganti dari piring kaca yang tentunya gampang pecah.

Selain berisikan gerakan mengayun-ayun piring yang berada di atas telapak tangan, tari piring juga diselingi dengan bunyi dari piring atau bunyi dari

dua cincin yang dipakai oleh penari. Cincin ini akan mengeluarkan bunyi ketika bersentuhan langsung dengan piring yang dibawa oleh penari.

Hal menarik lain dari tari piring ini adalah berada pada bagian akhir dari tari piring ini. Piring-piring yang dijaga agar tidak jatuh dan pecah ke lantai, pada akhir tarian akan benar-benar dijatuhkan ke lantai. Dan setelahnya, pecahan-pecahan piring yang telah ada di atas lantai akan diinjak-injak oleh penari sambil tetap menari membawakan tari piring tersebut.

Seperti halnya jenis tarian yang lain, tari piring juga diiringi oleh musik. Musik pengiring tari piring ini berasal dari alat musik Talempong dan Saluang. Musik yang dihasilkan oleh kedua alat musik ini memiliki ritme atau tempo yang cepat. Dengan musik yang cepat ini maka penari piring akan berusaha untuk mengikuti alut musik yang mengalir. Disinilah akan terlihat keindahan dari tari piring yaitu perpaduan dari kecepatan para penarinya dengan musik yang mengiringinya.

Tari piring biasa dibawakan oleh banyak orang, jumlah penarinya terkadang ganjil, dari tiga sampai tujuh. Hal menarik lainnya dari tari piring adalah keindahan dari pakaian yang dikenakan oleh para penarinya. Penari tari piring mengenakan pakaian yang cerah terutama dari warna merah dan kuning keemasan.

3.1.1 Tari Piring di Kota Medan

Keberadaan tari piring di Kota Medan dimulai ketika adanya kedatangan etnik Minangkabau di Kota Medan, yang secara umum dilakukan melalui kegiatan merantau yang dilegitimasi secara budaya

Secara historis dapat diketahui bahwa hubungan antara wilayah Minangkabau dan Sumatera Utara tepatnya Kota Medan telah berlangsung sejak waktu yang lama, hal ini didasarkan adanya kedekatan secara geografis (wilayah) antara Minangkabau dan Kota Medan.

Terdapat kesulitan untuk mengungkapkan secara pasti mengenai sejarah tari piring di Kota Medan dikarenakan tidak terdapat waktu yang pasti mengenai keberadaan tari piring di Kota Medan, namun dapat diketahui bahwa kedatangan etnik Minangkabau ke Kota Medan turut serta membawa nilai budaya Minangkabau.

Kegiatan merantau yang dilakukan secara individual maupun kelompok membuka peluang terhadap keberadaan tari piring di Kota Medan, mengutip Pelly (1994:57) yang mengatakan keberadaan etnis Minangkabau sebagai bagian dari jumlah penduduk Kota Medan telah ada pada tahun 1930 dengan jumlah 5.590 jiwa.

Berdasarkan data penduduk yang dikutip oleh Pelly (1994:57) bahwa terdapat 5.590 jiwa penduduk Minang di Kota Medan pada tahun 1930 dapat ditafsirkan bahwa pada saat itu telah masuk pula tari piring di Kota Medan melalui kelompok-kelompok sosial masyarakat berskala kecil dan ditampilkan pada kesempatan terbatas, seperti perkawinan.

Dokumen terkait