• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tari Piring (Studi Etnografi Mengenai Komodifikasi Tari Piring di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tari Piring (Studi Etnografi Mengenai Komodifikasi Tari Piring di Kota Medan)"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

TARI PIRING

(Studi Etnografi Mengenai Komodikasi Tari Piring di Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Sosial

dalam bidang Antropologi

Oleh

Indah Fikria Aristy

090905039

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Indah Fikria Aristy

Nim : 090905039

Departemen : Antropologi Sosial

Judul : Tari Piring (Studi Etnografi Mengenai Komodifikasi Tari Piring di Kota Medan)

Pembimbing Skripsi, Ketua Departemen,

Dra. Nita Savitri, M.Hum Dr. Fikarwin Zuska NIP. 19610125 198803 2 001 NIP.19621220 198903 1 005

Dekan,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(3)

PERNYATAAN ORIGINALITAS

TARI PIRING (STUDI ETNOGRAFI MENGENAI KOMODIFIKASI TARI PIRING DI KOTA MEDAN)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, Juni 2014

(4)

ABSTRAK

Indah Fikria Aristy, 2014. Judul skripsi : Tari Piring (Studi Etnografi Mengenai Komodifikasi Tari Piring di Kota Medan). Skripsi terdiri dari 5 Bab, 111 halaman, 6 tabel, dan 17 gambar.

Tulisan ini berjudul Tari Piring (Studi Etnografi Mengenai Komodifikasi Tari Piring di Kota Medan), yang bertujuan untuk mendeskripsikan proses komodifikasi pada Tari Piring dan bagaimana pengaruh globalisasi terhadap tari piring, serta bagaimana fungsi dan penggunaan tari piring pada masyarakat Minangkabau di Kota Medan pada era globalisasi saat sekarang ini. Komodifikasi yang dimaksud ialah cara-cara yang dilakukan oleh penari dalam menciptakan gerakan-gerakan pada tari piring untuk dipasarkan, dikembangkan dan dikemas secara apik dan lebih komersial agar menarik minat para penikmatnya (konsumen). Proses komodifikasi dilihat melalui sanggar sebagai sarana pembentuknya. Penelitian ini dilakukan melalui observasi dan wawancara terhadap dua kategori informan yaitu informan yang merupakan pelaku komodifikasi tari piring di sanggar tari Tri Arga, Ikatan Kesenian Sri Antokan dan sanggar tari La Tansa, kategori kedua ialah informan yang merupakan penikmat (konsumen) yang memesan tari piring untuk pertunjukkan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komodifikasi tari piring di Kota Medan terjadi akibat dua hal, yakni komodifikasi secara internal dan komodifikasi eksternal. Komodifikasi tari piring di Kota Medan meliputi komodifikasi gerak tari piring, pakaian penari, musik pengiring pertunjukan tari piring hingga pada komodifikasi bentuk pertunjukan tari piring. Gerakan tari piring dalam pertunjukan di Kota Medan mengalami proses komodifikasi gerak yang dipengaruhi oleh beberapa alasan, diantaranya kebutuhan penari, permintaan atas pertunjukan dan penyesuaian penciptaan reka gerak tari.Komodifikasi pada pakaian penari tari piring terjadi dikarenakan adanya usaha interaksi antara tari piring dengan kondisi sosial kultural setempat, dan juga sebagai suatu bentuk usaha untuk membuat tampilan tari piring lebih menarik dari segi pakaian penari.

Komodifikasi terhadap musik pengiring pertunjukan tari piring terjadi dalam bentuk menggeser peran pemusik dengan kehadiran musik rekaman yang diputar sebagai pengiring pertunjukan. Bagi sebahagian individu dengan adanya kehadiran musik rekaman sebagai pengiring pertunjukan tari piring dianggap sebagai faktor efisiensi dan ringkas, sehingga sanggar tari yang melakukan pertunjukan tari tidak dibebani oleh kelengkapan pemusik.

(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirrahmanirrahim dengan kesungguhan hati dan segala rasa syukur penulis mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tidak lupa shalawat beriringkan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, rasul yang menjadi suri tauladan bagi umat manusia dan mampu membawa perubahan di dunia ini, insyaAllah syafa’at beliau masih kita nantikan sampai di ya’umil akhir kelak, Amin Ya Rabbal ‘alamin.

Dalam proses pembuatan skripsi penulis mengalami pasang surut semangat. Namun berkat dukungan dan doa dari kedua orang tua yaitu Ibunda tercinta Dra. Aisyah, M.Ag dan Ayahanda tercinta Drs. Irwansyah M.Ag yang selalu memberikan motivasi untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya dan tak bosan-bosan memberikan nasihat agar penulis menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa. Terima kasih yang tak terhingga atas segala kebaikan dan keikhlasan hati yang selama ini diberikan kepada penulis, semoga kelak penulis dapat memenuhi segala harapan Ibunda dan Ayahanda. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada adik-adik tersayang Ziyara Marwah, Ade Kisty, Muhammad Harsa, dan Dhara Vandini yang selalu mengisi hari-hari penulis dengan canda dan tawa. Pesan penulis kepada adik-adik untuk selalu rajin belajar, beribadah dan selalu mendoakan Ayah dan Mama.

(6)

Badaruddin M.Si sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara, kepada Bapak Fikarwin Zuska selaku Ketua Departemen Antropologi Sosial dan Bapak Agustrisno, M.SP selaku Sekretaris Departemen Antropologi yang selalu memberikan ilmu dan arahan selama masa studi penulis.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis tujukan kepada Ibu Dra. Nita Savitri, M.Hum selaku dosen pembimbing yang tidak bosan-bosannya mengingatkan penulis, memberikan ilmu, arahan, motivasi sekaligus menjadi tempat curahan hati penulis mulai dari awal penyusunan proposal hingga sekarang. Terima kasih juga penulis ucapakan kepada Kak Nur dan Kak Sofi yang telah membantu administrasi penulis dari masa perkuliahan sampai sekarang.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kak Raihan, Rini, Bang Oyok, Bg Iskandar, Kak Ola, Baim, Bang Nathan, Bang Aan, si kecil shifwa dan semua penari serta pemusik di sanggar Tari Tri Arga yang sudah penulis anggap seperti keluarga sendiri. Begitu juga teman-teman yang di sanggar tari La Tansa dan IKSA, penulis ucapkan terima kasih.

(7)

dan membimbing penulis. Kepada seluruh pihak yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu sejak penulis memulai studi hingga sekarang, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Semoga Tuhan membalas semua kebaikan dan keikhlasan hati kita semua. Amin.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terkasih Rholand Muary, yang selalu ada menemani disaat suka maupun duka, memberi motivasi, serta nasihat agar penulis menjadi lebih baik lagi kedepannya. Semoga kelak kita dapat mencapai apa yang kita cita-citakan, Amin Ya Rabbal ‘alamin.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis mengakui banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam skripsi ini. Penulis mohon maaf atas kekurangan tersebut. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, Juni 2014

(8)

Riwayat Hidup

Nama : Indah Fikria Aristy

Alamat : Jalan Selamat No 77B Simp Limun Kecamatan Medan Amplas

Ema

Pendidikan :

• SD Swasta Eria Medan lulus tahun 2003 • SMP Al-Ulum lulus tahun 2006 • SMA Al Ulum lulus tahun 2009

• Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik Universitas Sumatera Utara.

Kegiatan yang dilakukan dalam masa proses perkuliahan diantaranya :

(9)

• Peserta Pelatihan “Training of Facilitator” angkatan I oleh Departemen Antropologi Sosial USU pada tahun 2012.

• Surveyor dalam Program “Survey Publik Mengukur Efektivitas Sosialisasi Program Kependudukan dan Keluarga Berencana Tahun 2012” Oleh Cika Indonesia.

• Surveyor dalam program “Kesadaran Masyarakat terhadap Implementasi Nilai-Nilai Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dalam Kerangka Kewarganegaraan”. Oleh Prisma Resource Centre LP3ES pada tahun 2012.

• Surveyor dalam program “Kesedian dan kepuasaan masyarakat terhadap Instalasi Pembuangan Air Limbah PDAM Tirtandi”. Pada tahun 2013

• Surveyor dalam program “Analisis Dampak Lingkungan Sosial dan Ekonomi Masyarakat atas Penanaman Pipa Air Limbah dan Penempatan Manhole di Wilayah Adminidtratif Kota Medan” oleh Lateral pada tahun 2013.

• Baseline Surveyor dalam program “Proyek Pembangunan Kapasitas Pemuda, Wartawan dan Masyarakat Sipil di Kota Medan” oleh ACTED pada tahun 2013.

• Surveyor dalam program “Survey Brand and Reputasi BUMN 2013” oleh Cika Indonesia pada tahun 2013.

• Surveyor dalam program “Survey Evaluasi Mengenai Sosialisasi Program Kependudukan & Keluarga Berencana”. Oleh Cika Indonesia pada tahun 2013. • Surveyor dalam program “Studi Opini Publik tentang implementasi 4 pilar dan

(10)

• Surveyor dalam program “Survey Kepuasan Pelanggan terhadap Pelayanan PDAM”. Pada tahun 2014.

(11)

KATA PENGANTAR

Judul skripsi adalah “TARI PIRING” (Studi Etnografi Mengenai Komodifikasi Tari Piring di Kota Medan). Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Departemen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berisi kajian berdasarkan hasil observasi dan wawancara kepada koreografer, penari, pemusik serta penikmat tari piring. Mengkaji bagaimana pengaruh globalisasi terhadap tari piring, serta bagaimana fungsi dan penggunaan tari piring pada masyarakat Minangkabau di Kota Medan pada era globalisasi saat sekarang ini. Komodifikasi yang dimaksud ialah cara-cara yang dilakukan oleh penari dalam menciptakan gerakan-gerakan pada tari piring untuk dipasarkan, dikembangkan dan dikemas secara apik dan lebih komersial agar menarik minat para penikmatnya (konsumen). Proses komodifikasi dilihat melalui sanggar sebagai sarana pembentuknya.

Penulis memahami masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, maka saran dan masukan pembaca sangat dibutuhkan guna penyempurnaan. Demikian pengantar dari saya, semoga skripsi ini bermanfaat memberikan kontribusi demi kemajuan ilmu pengetahuan.

Medan, Juni 2014

Penulis

(12)

DAFTAR ISI

1.1. Latar Belakang Masalah...1

1.2. Tinjauan Pustaka...6

1.2.1. Kebudayaan...7

1.2.2. Kesenian...9

1.2.3. Pertunjukkan dan Interpretasi Simbol Tari...10

1.2.4. Globalisasi dan Perubahan...12

1.3. Rumusan Masalah...14

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian...15

1.5. Sistematika Penulisan ...15

1.6. Metode Penelitian...16

BAB II. ETNIK MINANGKABAU DI MEDAN...23

2.1. Deskripsi Kota Medan...23.

2.1.1. Kota Medan Secara Geografis...25

2.1.2. Kota Medan Secara Demografis...27

2.1.3. Kota Medan Secara Kultural...30

(13)

2.3. Organisasi Sosial Minangkabau di Kota Medan...34

2.3.1. Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3)...35

2.3.2. Ikatan Keluarga Bayur (IKB)………...36

2.3.3. Sulit Air Sepakat (SAS)………...37

2.4. Sanggar Tari Minangkabau di Kota Medan………37

2.4.1. Sanggar Tari Tri Arga………..37

2.4.2. Ikatan Kesenian Sri Antokan (IKSA)………..39

2.4.3. Sanggar Tari La Tansa……….40

BAB III. TARI PIRING...42

3.1. Sejarah Tari Piring...42

3.1.1. Tari piring di Kota Medan...49

3.2. Makna Gerak Tari Piring...50

3.3. Fungsi dan Penggunaan Tari Piring...62

3.4. Musik pada Tari Piring...70

3.4.1. Talempong...71

3.4.2. Pupuik Batang Padi...72

3.4.3. Tansa (Tasa)...73

3.4.4. Tambur (Tambua)...74

3.4.5. Saluang...76

3.5. Pakaian dan Peralatan Tari Piring...78

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur 29

Tabel 2 Penduduk Kota Medan Menurut Junis Kelamin tahun 2000-2009

30 Tabel 3

Tabel 4 Tabel 5

Tabel 6

Gerak Dasar dalam Tari Piring

Gerakan Tari Piring Meniru Gerakan Ekologis (Hewan dan Tumbuhan).

Gerakan Tari Piring Berdasarkan Perilaku Sosial Manusia. Paket dan Harga Pertunjukkan Tari Piring di Kota Medan.

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Peta Wilayah Kota Medan dan Persebaran Perantauan Minangkabau

33 Gambar 2 Kegiatan Latihan Menari IKSA di teras Gedung BM3. 40 Gambar 3 Iqbal sedang Memainkan Alat Musik Tansa 40 Gambar 4 Raihan sedang Mengajarkan Tari Saman 41

Gambar 5 Talempong dan Alat Pemukulnya 72

Gambar 6 Pupuik Batang Padi 73

Gambar 7 Tansa dan Alat Pemukulnya 74

Gambar 8 Tambur yang Tersusun di Depan Gedung BM3 75

Gambar 9 Saluang 76

Gambar 10 Penari IKSA menggunakan pakaian berwarna hitam dan merah.

79 Gambar 11 Dua Buah Piring yang digunakan pada tari piring 80 Gambar 12 Gerakam sambah pembuka yang diperagakan oleh penari Tri

Arga

83 Gambar 13 Gerakan sambah penutup yang diperagakan oleh penari Tri

Arga

84 Gambar 14 Pecahan botol kaca yang digunakan IKSA pada

pertunjukkan tari piring

(16)

ABSTRAK

Indah Fikria Aristy, 2014. Judul skripsi : Tari Piring (Studi Etnografi Mengenai Komodifikasi Tari Piring di Kota Medan). Skripsi terdiri dari 5 Bab, 111 halaman, 6 tabel, dan 17 gambar.

Tulisan ini berjudul Tari Piring (Studi Etnografi Mengenai Komodifikasi Tari Piring di Kota Medan), yang bertujuan untuk mendeskripsikan proses komodifikasi pada Tari Piring dan bagaimana pengaruh globalisasi terhadap tari piring, serta bagaimana fungsi dan penggunaan tari piring pada masyarakat Minangkabau di Kota Medan pada era globalisasi saat sekarang ini. Komodifikasi yang dimaksud ialah cara-cara yang dilakukan oleh penari dalam menciptakan gerakan-gerakan pada tari piring untuk dipasarkan, dikembangkan dan dikemas secara apik dan lebih komersial agar menarik minat para penikmatnya (konsumen). Proses komodifikasi dilihat melalui sanggar sebagai sarana pembentuknya. Penelitian ini dilakukan melalui observasi dan wawancara terhadap dua kategori informan yaitu informan yang merupakan pelaku komodifikasi tari piring di sanggar tari Tri Arga, Ikatan Kesenian Sri Antokan dan sanggar tari La Tansa, kategori kedua ialah informan yang merupakan penikmat (konsumen) yang memesan tari piring untuk pertunjukkan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komodifikasi tari piring di Kota Medan terjadi akibat dua hal, yakni komodifikasi secara internal dan komodifikasi eksternal. Komodifikasi tari piring di Kota Medan meliputi komodifikasi gerak tari piring, pakaian penari, musik pengiring pertunjukan tari piring hingga pada komodifikasi bentuk pertunjukan tari piring. Gerakan tari piring dalam pertunjukan di Kota Medan mengalami proses komodifikasi gerak yang dipengaruhi oleh beberapa alasan, diantaranya kebutuhan penari, permintaan atas pertunjukan dan penyesuaian penciptaan reka gerak tari.Komodifikasi pada pakaian penari tari piring terjadi dikarenakan adanya usaha interaksi antara tari piring dengan kondisi sosial kultural setempat, dan juga sebagai suatu bentuk usaha untuk membuat tampilan tari piring lebih menarik dari segi pakaian penari.

Komodifikasi terhadap musik pengiring pertunjukan tari piring terjadi dalam bentuk menggeser peran pemusik dengan kehadiran musik rekaman yang diputar sebagai pengiring pertunjukan. Bagi sebahagian individu dengan adanya kehadiran musik rekaman sebagai pengiring pertunjukan tari piring dianggap sebagai faktor efisiensi dan ringkas, sehingga sanggar tari yang melakukan pertunjukan tari tidak dibebani oleh kelengkapan pemusik.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Tulisan ini mendeskripsikan mengenai Komodifikasi pada Tari Piring dan bagaimana pengaruh globalisasi terhadap tari piring, serta bagaimana fungsi dan penggunaan tari piring pada masyarakat Minangkabau di Kota Medan pada era globalisasi saat sekarang ini. Komodifikasi yang dimaksud ialah cara-cara yang dilakukan oleh penari dalam menciptakan gerakan-gerakan pada tari piring untuk dipasarkan, dikembangkan dan dikemas secara apik dan lebih komersial agar menarik minat para penikmatnya (konsumen). Proses komodifikasi dilihat melalui sanggar sebagai sarana pembentuknya.

(18)

sekaligus sebagai jati diri mereka.

Tari Piring merupakan salah satu kesenian yang menunjukkan identitas masyarakat Minangkabau. Di tengah kuatnya arus globalisasi agar bisa tetap bertahan tari piring mengalami banyak perubahan-perubahan yakni, dalam gerakan, pakaian, musik serta penggunaannya. Tari piring merupakan tarian tradisi yang berakar pada kebudayaan Minangkabau. Sekilas tari piring juga menggambarkan penggunaan material piring sebagai bagian dari gerakan dalam tarian. Dalam perkembangan saat ini, tari piring telah mengalami perubahan bentuk dan fungsi yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Perubahan dalam bentuk penyesuaian maupun perubahan secara keseluruhan yang bertujuan memberikan ruang bagi tari piring dalam kehidupan saat ini.

Untuk dapat menjelaskan tari piring secara menyeluruh, maka perlu kiranya penjelasan mengenai tari piring dalam konteks sejarah dan bentuk serta kebudayaan yang menaunginya. Dalam hal ini penjelasan akan dimulai dengan sejarah tari piring yang disertai dengan bentuk dan nilai-nilai kebudayaan Minangkabau yang terangkum dalam pertunjukan tari piring.

(19)

Menurut wikipedia secara sejarah, tari piring dipengaruhi oleh kejayaan kerajaan Pagaruyung, yang berkuasa di wilayah Minangkabau pada abad ke 14. Tari ini merupakan bentuk ritual ucapan rasa syukur masyarakat setempat kepada dewa-dewa yang dipengaruhi oleh bentuk kepercayaan lama atas hasil panen yang melimpah. Ritual dilakukan dengan membawa sesaji dalam bentuk makanan yang kemudian diletakkan di dalam piring dan melangkah membawa piring tersebut dengan gerakan-gerakan tertentu1

Setelah masuknya pengaruh agama Islam ke daerah Minangkabau, tradisi tari piring tidak lagi digunakan sebagai bentuk ritual ucapan rasa syukur kepada dewa-dewa. Akan tetapi, tari tersebut digunakan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat banyak yang ditampilkan pada bentuk acara-acara yang bersifat hiburan. Hal ini disebabkan pengaruh agama Islam yang kuat dan menghindari bentuk ritual yang dianggap tidak sesuai dengan nilai ajaran Islam

.

2

“In addition to the pre-Muslim and Muslim strata, a third musical layer is found in the Minangkabau area, especially along the coast; it incorporates the partially Westernized Malay songs called lagu Minang moderen ("modern Minangkabau songs"), set to poetic texts and generally accompanied by biola (violins), guitars, rabana, and drums. They are frequently used to accompany dances, such as the happy tari lilin, the gay tari piring ("plate" or "saucer

.

Keterkaitan antara tari piring dalam kebudayaan Minangkabau dengan masuknya pengaruh agama Islam merupakan catatan penting tersendiri. Hal ini terdapat dalam pendapat Kartomi ( 1983 :116) yang menuliskan bahwa :

(20)

dance," sometimes with candles attached to the plates), and the sad love dance tari slendang ("scarf dance").” (Selain strata pra-Muslim dan pra-Muslim, lapisan musik ketiga ditemukan di daerah Minangkabau, terutama di sepanjang pantai; menggabungkan lagu-lagu Melayu sebagian kebarat-baratan yang disebut moderen lagu-lagu Minang ("Minangkabau lagu yang modern"), set ke teks puitis dan umumnya disertai oleh Biola (biola), gitar, Rabana, dan drum. Mereka sering digunakan untuk mengiringi tarian, seperti tari lilin bahagia, gay tari Piring ("piring" atau "tari piring," kadang-kadang dengan lilin yang melekat pada piring), dan sedih tari tarian cinta slendang ("syal tari").

Gerakan tari piring secara umum adalah dengan meletakkan dua buah piring di atas dua telapak tangan yang kemudian diayun dan diikuti oleh gerakan-gerakan tangan dan kaki yang cepat, dan diselingi dentingan piring atau dentingan dua cincin di jari penari terhadap piring yang dibawanya. Pada akhir tarian, biasanya piring-piring yang dibawakan oleh para penari dilemparkan ke lantai dan kemudian para penari akan menari di atas pecahan-pecahan piring tersebut. Tarian ini diiringi oleh kelompok musik yang memainkan alat musik ritmis Talempong dan alat musik melodis Saluang. Jumlah penari biasanya berjumlah ganjil yang terdiri dari tiga sampai tujuh orang.

Tari piring juga merupakan bentuk yang merepresentasikan kebudayaan Minangkabau secara luas dan juga bentuk interkoneksi dalam tubuh manusia, setidaknya hal ini merunut pada pendapat Mason (2008:191) yang mengatakan bahwa :

(21)

budaya dan lingkungan).

Tari Piring merupakan sebuah simbol masyarakat Minangkabau. Gerak dalam tari piring didasarkan pada langkah-langkah yang terdapat pada gerakan Silat atau Silek. Silek adalah seni bela diri yang dilatih oleh masyarakat

Minangkabau. Langkah-langkah itu dikembangkan dengan menghiasi gerakan tangan menggunakan piring. Menurut masyarakat Minangkabau, berlatih keseimbangan tari piring sama dengan melatih tenaga dalam yang terdapat dalam Silat atau Silek.

Tari piring dalam lintasan sejarah perkembangannya memiliki gerakan-gerakan yang bersifat tidak terbuka dalam artian gerakan-gerakan tari piring tertutup bagi individu di luar Minangkabau. Hal ini dipengaruhi oleh gerakan tari piring yang berdasar pada gerak bela diri Silek. Sekarang ini tari piring sudah berkembang dalam beberapa jenis pertunjukan, sehingga gerakan-gerakan tari piring lebih terbuka. Gerakan-gerakan yang lebih terbuka ini juga bernilai sebagai aspek yang menarik dan hiburan bagi masyarakat. Selain itu, proses perubahan dalam tari piring juga terjadi pada musik yang mengiringinya, setidaknya hal ini semakin menambah kuat nilai hiburan yang terdapat dalam tari piring. Perubahan yang terjadi pada tari piring memberikan gambaran bahwa kedekatan secara hiburan telah membawa pengaruh yang besar dalam pertunjukan tari piring yang dipengaruhi gerak tari piring yang mengalami perubahan dan menjauh dari gerak dasar Silek3

Perubahan dalam konteks tari piring tidak hanya terjadi dalam bentuk .

3

(22)

hiburan lokal, melainkan juga bentuk perubahan yang disebabkan oleh perpindahan tempat, proses migrasi atau perpindahan masyarakat Minangkabau ke daerah lain turut serta membawa nilai adat budaya Minangkabau dan pada proses selanjutnya, migrasi tersebut juga merubah nilai adat budaya Minangkabau yang menyesuaikan bentuk dan fungsinya pada keadaan lingkungan setempat.

Proses perubahan adalah bentuk yang umum terjadi pada kehidupan. Perubahan juga dapat dianggap sebagai bentuk dinamis dalam suatu kebudayaan. Dalam hal ini tari piring juga merupakan bentuk dinamis yang menyesuaikan bentuknya dalam kehidupan masyarakat Minangkabau di Kota Medan.

Penelitian menjelaskan bagaimana proses komodifikasi yang dilakukan pada Tari Piring di Kota Medan agar tari piring yang merupakan kesenian bagi masyarakat Minangkabau dapat tetap bertahan di era globalisasi ini, serta bagaimana perubahan fungsi dan penggunaan tari piring pada masyarakat Minangkabau di Kota Medan.

1.2. Tinjauan Pustaka

(23)

1.2.1 Kebudayaan

Konsepsi mengenai kebudayaan diperlukan untuk melihat penelitian yang dilakukan merupakan bagian dari penelitian kebudayaan, dengan fokus pada bagian kebudayaan, yaitu kesenian yang secara khusus adalah seni tari.

Kesenian secara sederhana merupakan simbol ekspresi manusia yang lazim disebut kebudayaan. Gambaran umum mengenai suatu kebudayaan selalu dilekatkan terhadap proses kesenian, baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk perilaku.Untuk dapat melihat kesenian dalam lingkup yang luas, diperlukan adanya pemahaman mengenai kebudayaan sebagai akar dari kesenian tersebut. Merunut pada lintasan sejarah yang mengungkapkan mengenai kaitan antara kebudayaan dan kesenian, setidaknya dapat dilihat dari pendapat Malinowski (1944:36) yang mengatakan kebudayaan sebagai :

“It obviously is the integral whole consisting of implements and consumers good, of constitutional charters for the various social groupings, of human ideas and crafts, belief and customs.”( Ini jelas adalah seluruh integral yang terdiri dari alat-alat dan konsumen yang baik, piagam konstitusional untuk berbagai kelompok sosial, ide-ide manusia dan kerajinan, kepercayaan dan adat istiadat).

Pendapat Malinowksi ini secara sederhana memberi pandangan mengenai kebudayaan sebagai suatu kesatuan yang integral dan terdiri dari penerapan serta penggunaan yang terdiri dari kelompok sosial, ide pemikiran, materi atau hasil budaya, kepercayaan dan tradisi. Berdasarkan pendapat Malinowski tersebut dapat dikatakan bahwa kesenian dan seni tari termasuk dalam bentuk ide pemikiran, hasil budaya atau bentuk tari yang menentukan ekspresi kelompok sosial, dalam hal ini masyarakat Minangkabau.

(24)

telah dikemukakan oleh E.B Tylor (1871:1) dan diterjemahkan secara khusus sebagai :

“Culture or civilization, taken in its wide ethnographic sense, is that complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society.” (Budaya atau peradaban, diambil dalam arti etnografis yang luas, adalah bahwa keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat, dan lain kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat).

Kebudayaan menurut definisi E.B Tylor dipersepsikan sebagai bentuk peradaban kompleks yang didalamnya memuat pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum dan kemampuan lain yang dibutuhkan seorang manusia dalam kehidupannya.

Kutipan dari Hatcher (1999:1-2) mengatakan bahwa budaya lebih berpengaruh dari seni, hal ini disebutkannya sebagai :

“Culture in anthropological sense means much more than the arts; it is conceived as the sum of all the learned, shared behavior of human beings: how they make a living, produce things, organize their societies, and use languange and other symbolic forms. Culture is the distinctively human means of survival. Each and every society has a more or less consistent way of life, a culture.”(Budaya dalam arti antropologis berarti lebih dari seni; itu dipahami sebagai jumlah dari semua dipelajari, berbagi perilaku manusia: bagaimana mereka mencari nafkah, menghasilkan hal-hal, mengatur masyarakat mereka, dan menggunakan bahasa dan bentuk simbolis lainnya. Budaya adalah cara khas manusia untuk bertahan hidup. Masing-masing dan setiap masyarakat memiliki cara yang lebih atau kurang konsisten dari kehidupan, budaya).

(25)

1.2.2. Kesenian

Salah satu bentuk kesenian tradisional adalah tarian, tarian secara sederhana merupakan salah satu bentuk ekspresi manusia yang turut membawa nilai kebudayaan yang melingkupinya, tarian dapat juga dapat diartikan sebagai gerak berkesinambungan yang mewakili suatu nilai tertentu, hal ini juga terdapat dalam tarian piring yang lazim disebut dengan tari piring.

Untuk memahami kesenian, maka definisi atas seni diperlukan agar kesenian yang dimaksudkan dalam penelitian ini sesuai dengan konsepsi kesenian itu sendiri. Pendapat Hatcher (1999:1) mendeskripsikan seni sebagai :

“Art is something that human beings do in a great many ways, for a great many reasons, and if one is curious about art or about people it is natural to ask questions about the whole process and the whole background or context of an art style.” (Seni adalah sesuatu yang manusia lakukan dalam banyak cara yang besar, untuk banyak alasan yang besar, dan jika ada yang ingin tahu tentang seni atau tentang orang-orang adalah wajar untuk bertanya tentang seluruh proses dan seluruh latarbelakang atau konteks gaya seni).

Sebagai proses memahami seni dalam kehidupan masa kini yang melebarkan definisi seni dari seni tradisi hingga seni modern, hal ini didesksripsikan oleh Hatcher (1999:8) sebagai :

(26)

1.2.3. Pertunjukan dan Interpretasi Simbol Tari

Tari piring sering ditampilkan diberbagai pertunjukan yaitu pada acara pernikahan, acara adat Minangkabau, khitanan, serta untuk menyambut tamu-tamu penting. Pertunjukan dalam pembahasan ini mengutip pendapat Erving Goffman, dimana pendapatnya mengenai pertunjukan menjadi rujukan bagi definisi pertunjukan dalam ranah antropologi oleh Victor W. Tuner. Pendapat Goffman (1956:13) mengenai pertunjukan dalam bentuk kehidupan sehari-hari adalah :

“the term 'performance' to refer to all the activity of an individual which occurs during a period marked by his continuous presence before a particular set of observers and which has some influence on the observers.”( pertunjukkan, istilah untuk mengacu pada semua aktivitas individu yang terjadi selama periode yang ditandai oleh kehadirannya terus menerus sebelum set tertentu dari pengamat dan yang memiliki beberapa pengaruh pada pengamat).

Selain bentuk kegiatan pertunjukan dalam kehidupan sehari-hari, pertunjukan secara spesifik dalam bentuk pertunjukan seni tari diartikan oleh Mazzola (2011:14) sebagai :

'”Performance is viewed as an exact expression of a work’s content, as a whole and in parts. Here appears for the first time the idea of an individual and “autonomous” work character, which requires a specific treatment in order to achieve adequate expression of contents.” (Pertunjukkan dipandang sebagai ekspresi yang tepat dari konten pekerjaan ini, secara keseluruhan dan di bagian. Berikut muncul untuk pertama kalinya gagasan individu dan "otonom" karakter kerja, yang membutuhkan perawatan khusus untuk mencapai ekspresi memadai isinya).

Secara khusus, kaitan antara pertunjukan seni dan usaha interpretasi juga diungkapkan oleh Royce (2004:8) sebagai berikut :

(27)

with style and with artistry. Here, we must shift from a codified to a metaphorical vocaboluary. Style implies individual choices about interpretation. We may speak of style in two ways. First, we can identify style in the sense of those choices that make an individual performer immediately recognizable. Second, we can speak of style that tries to carry out the intention of the creator so that the performer become simply the medium, although by no means a passive one.” (Pertunjukan menunjukkan tingkat kompetensi tertentu. Apa yang terjadi antara kompetensi teknis dan interpretasi harus dilakukan dengan gaya dan dengan kesenian. Di sini, kita harus beralih dari kodifikasi ke kosakata penggambaran. gaya menunjukkan pilihan individu tentang interpretasi. Kita mungkin berbicara tentang gaya dalam dua cara. Pertama, kita dapat mengidentifikasi gaya dalam arti dari pilihan-pilihan yang membuat seorang pemain individu segera dikenali. Kedua, kita dapat berbicara tentang gaya yang mencoba untuk melaksanakan niat pencipta sehingga pelaku menjadi hanya media, meskipun tidak berarti pasif).

Selanjutnya, selain bentuk usaha interpretasi dari pertunjukan seni juga terdapat fungsi dari usaha interpretasi pertunjukan seni yang dikemukakan Royce (2004:9) bahwa :

“All performing arts share this interpretive function. Dances interpret choreographers, musicians interpret composer, actors interpret dramatists, or, in the case of the commedia dell'arte, actors interpret commonly understood plots and stories adding the spice of political satire.” (Semua seni pertunjukan membagi fungsi penafsiran ini. Tarian menginterpretasikan koreografer, musisi menginterpretasikan komposer, aktor menginterpretasikan dramawan, atau, dalam kasus komedi dell'arte, aktor menginterpretasikan plot umum dipahami dan cerita menambahkan bumbu sindiran politik).

(28)

lagi lainnya. Dalam hal ini penulis akan melihat simbol-simbol melalui gerakan-gerakan pada tari piring, pakaian yang digunakan, serta musik yang dilantunkan pada tari piring.

Brunner (1986:23) mengatakan bahwa kegiatan seni memerlukan pertunjukan sebagai suatu bentuk usaha evaluasi terhadap kegiatan tersebut dan juga sebagai bentuk penyampaian atau komunikasi kepada masyarakat lainnya.

1.2.4. Globalisasi dan Perubahan

Globalisasi adalah suatu kata yang lazim dipergunakan saat ini untuk mengatakan bentuk perubahan yang terjadi dalam hal menjadikan suatu budaya menjadi mendunia, atau dengan kata lain globalisasi adalah bentuk budaya yang dapat diterima secara umum didunia.

Proses menuju global atau mendunia, setidaknya harus memenuhi beberapa unsur yang disebutkan oleh Appadurai (1996:33), yaitu :1. ethnoscapes, 2. mediascapes, 3. technoscapes, 4. financescapes dan 5. ideoscapes. Sehingga dalam hal ini suatu hal menjadi bentuk global ketika telah mencapai cakupan etno, media, teknik, keuangan dan ideologi.

Dalam skala yang kecil, proses globalisasi setidaknya dapat ditandai dengan adanya usaha perpindahan masyarakat atau migrasi dari suatu wilayah menuju wilayah lain dan turut membawa serta nilai adat budayanya, proses perpindahan tersebut juga melakukan usaha penyesuaian nilai adat budaya pada daerah setempat.

Rodriguez (2007:4) menyatakan bahwa :

(29)

human displacement and the construction of a new political space where transcultural interaction as a result of global movements operates as a critical tool in regard to both migratory and identitary politics.” (ada hubungan erat antara dimensi simbolik dari perpindahan manusia dan pembangunan ruang politik baru di mana interaksi lintas budaya sebagai akibat dari gerakan global yang beroperasi sebagai alat yang penting dalam hal politik baik bermigrasi dan identitas politik).

Dalam konteks penelitian ini, tari piring merupakan bagian dari usaha global yang membawa dimensi simbolik masyarakat pendukungnya berupa nilai tradisi dan budaya Minangkabau pada daerah perantauannya dan membangun ruang identitas politis atas nilai tradisi budaya Minangkabau sebagai suatu usaha mempertahankan identitas dalam kompleksitas budaya.

Secara lebih mendalam Mosquera (1994) mengatakan bahwa saat ini seluruh indvidu manusia hidup dalam dunia komunikasi dan pertukaran, dimana globalisasi merupakan bentuk imajiner yang menghubungkan antara satu hal dengan hal lain dalam satu kesatuan jaringan.

Berbicara mengenai perubahan juga turut memperbincangkan mengenai otentikasi yang merujuk pada usaha menghadirkan suatu bentuk “keaslian” namun tidak dalam konteks waktu, tempat dan keadaan sesungguhnya, yang pada awalnya bertujuan menghindari benturan antara kegiatan ritual dan seni dengan kondisi sosial, kultural dan agama. Dalam perjalanan waktu, proses otentikasi terhadap nilai budaya tidak dapat menjadi suatu ukuran dalam melihat suatu bentuk kebudayaan yang berada diluar wilayah kebudayaannya, sehingga untuk melihat hal tersebut diperlukan pemahaman mengenai komodifikasi.

(30)

seperangkat kepercayaan dan bersifat secara organik serta memiliki keterbatasan. Hal ini membuka ruang kebebasan dalam merefleksikan identitas yang disesuaikan dengan kondisi tertentu.

Proses komodikasi terhadap keberadaan tari piring di Kota Medan juga sebagai bentuk usaha yang disebut Auge (1995:45) bahwa bahasa identitas (ekspresi seni) harus dipertahankan dari ancaman dari dalam maupun luar lingkaran etnik untuk menjadikannya tetap berarti dan memiliki nilai bagi masyarakat (etnik) tersebut. Dalam hal ini, penari atau pencipta tari di Kota Medan melakukan komodifikasi dalam bentuk gerakan, pakaian yang digunakan, serta musik yang dilantunkan agar tari piring tetap bertahan dan mengikuti pasar sehingga dapat menarik bagi penikmatnya (konsumen) yang merupakan etnis Minangkabau di Kota Medan sehingga budaya Minangkabau senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan globalisasi. Oleh karena itu saat ini keberadaan kesenian sebagai bagian dari kebudayaan masih tetap bertahan sebagai identitas budaya masyarakat atau suku bangsa Minangkabau di daerah rantau yaitu Kota Medan.

1.3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana eksistensi tari piring dalam globalisasi di Kota Medan. Rumusan tersebut diuraikan dalam pertanyaan penelitian berikut :

(31)

2. Bagaimana perubahan bentuk dan penggunaan tari piring saat ini ? 3. Bagaimana proses komodifikasi pada tari piring di kota Medan ?

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana pengaruh globalisasi terhadap tari piring serta bagaimana proses komodifikasi pada Tari Piring di Kota Medan. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah terbentuknya perhatian yang lebih besar terhadap seni tradisi yang semakin lama semakin di era globalisasi ini.

Secara akademis penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan dalam bidang Antropologi, khususnya dalam memperkaya literatur mengenai Komodifikasi pada Tari Piring di Kota Medan

1.5. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan skripsi secara keseluruhan menjadi sitematis, penulis menyusun sedemikian rupa ke dalam sistematika penulisan. Masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematika penyusunannya sebagai berikut:

• BAB I berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian sistematika penilisan dan pengalaman penelitian.

(32)

• BAB III berisi jawaban dari rumusan masalah peneliti yakni tentang sejarah tari piring, makna gerak tari piring, fungsi dan penggunaan pada tari piring serta musik, pakaian dan peralatan pada tari piring.

• BAB IV berisi jawaban dari rumusan masalah peneliti yakni tentang komodifikasi gerak, pakaian, musik dan pertunjukkan pada tari piring. • BAB V berisi kesimpulan dari hasil semua BAB yang berisi keseluruhan

hasil penelitian dan saran penelitian.

1.6. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Peneliti mengungkapkan native’s point of view4

Dalam kegiatan observasi partisipasi penulis juga ikut serta dalam bagaimana komodifikasi pada tari

piring di Kota Medan, bagaimana pengaruh globalisasi terhadap tari piring di Kota Medan, serta bagaimana fungsi dan penggunaan tari piring pada masyarakat Minangkabau di Kota Medan pada era globalisasi saat sekarang ini. Penelitian ini menggunakan teknik observasi dan wawancara.

1.6.1. Teknik Observasi

Observasi yang penulis lakukan ialah obeservasi partisipasi yakni penulis ikut terlibat langsung dilapangan. Proses pengamatan dilakukan dengan cara mengamati ruang dan tempat, siapa pelaku yang terlibat, gerakan-gerakan dalam tari, pakaian dan instrumen yang digunakan dalam tarian, waktu, peristiwa serta aktivitas yang dilakukan oleh penari tari piring di Kota Medan.

4

(33)

melakukan aktivitas yaitu ikut mempelajari gerakan tari pada tari piring, . Tujuan penulis melakukan observasi partisipasi ini adalah untuk dapat mendekatkan diri lebih dalam pada objek penelitian sehingga data yang didapat menjadi lebih detail. Penulis mengamati bagaimana cara koreografer menciptakan gerak tari pada Tari Piring, penulis juga mengamati bagaimana proses belajar mengajar tari di sanggar tari Tri Arga, sanggar tari BM3 dan sanggar Latansa.

1.6.2. Teknik Wawancara

(34)

Wawancara ini dilakukan dengan waktu dan tempat yang disepakati informan dan penulis, biasanya wawancara dilakukan di sanggar tari masing-masing sembari penulis belajar tari piring. Terkadang penulis juga mendatangi rumah informan kunci untuk melakukan wawancara yang lebih mendalam.

Selanjutnya informan biasa, informan biasa adalah orang-orang yang terlibat dalam tari piring yaitu penari yang menarikan tari piring dan pemusik yang memainkan musik tari piring. Penulis juga mewawancari konsumen yang memesan tari piring untuk acaranya.

Wawancara dilakukan secara langsung akan tetapi tidak menutup kemungkinan wawancara dilakukan melalui media elektronik seperti handphone dan e-mail. Untuk menjaga agar wawancara tetap pada fokus penelitian, penulis akan menggunakan interview guide sehingga pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tetap terarah dan tidak lari dari fokus penelitian.

Selain menggunakan interview guide, penulis juga menggunakan recorder untuk merekam proses wawancara dengan informan sehingga dapat mencegah kelupaan dalam memperoleh data.

1.6.3. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian merupakan suatu pandangan mengenai penulis untuk bersikap objektif terhadap data yang diperoleh dilapangan. Keseluruhan data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan tersebut akan diteliti kembali atau diedit ulang, pada akhirnya kegiatan ini bertujuan untuk memeriksa kembali kelengkapan data lapangan dan hasil wawancara.

(35)

sebagaimana ditulis oleh Emerson (1995:4-5) sebagai :

“Fieldnotes are accounts describing experiences and observations the researcher has made while participating in an intense and involved manner.”(Catatan lapangan yang menggambarkan kumpulan pengalaman dan pengamatan peneliti yang dicatat saat turut berpartisipasi secara intens dan terlibat).

Penelitian antropologis dengan metode etnografi memberikan suatu bentuk analisis data lapangan berupa “ongoing analysis” yang berarti sebagai proses analisa berjalan terhadap kerja lapangan yang berdasarkan pada observasi dan wawancara terhadap informan.

Langkah selanjutnya data-data ini dianalisa secara kualitatif melalui teknik taksonomi data, sehingga data yang diperoleh dapat dikategorikan berdasarkan jenisnya. Keseluruhan data yang diperoleh dari observasi, wawancara dan sumber kepustakaan disusun berdasarkan pemahaman akan fokus penelitian atau berdasarkan kategori-kategori yang sesuai dengan tujuan penelitian.

1.7. Lokasi Penelitian

(36)

1.8. Pengalaman Penelitian

Penelitian ini penulis mulai pada 12 September sampai Januari 2013. Pada saat seminar proposal, penguji ujian seminar peneliti menyarankan untuk pergi ke Padang dan melihat bagaimana tari piring yang masih tradisi disana. Akan tetapi penulis tidak bisa pergi ke sana dikarenakan orangtua penulis pergi ke Eropa selama 3 bulan sehingga tidak ada yang menjaga adik-adik penulis di rumah. Jika penulis menunggu orangtua penulis kembali kemudian pergi ke Padang akan memakan waktu yang sangat lama dalam menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu penulis mengambil keputusan untuk mencari tari piring yang masih tradisi di Kota Medan ini saja.

Pertama sekali penulis menjumpai Iskandar Muda yang merupakan ketua dari Sanggar Tari Tri Arga dan juga Dosen Seni Tari dan Musik di UNIMED (Universitas Negeri Medan). Penulis lalu meminta izin untuk belajar tari piring di sanggar tersebut sembari menyerahkan surat izin penelitian kepada Iskandar Muda atau yang biasa disapa dengan ‘Bang Is’. Bang Is pun merespon dengan baik tujuan penulis dan memberikan informasi mengenai sanggar tari Tri Arga.

(37)

komodifikasi dari tari piring golek yang dulu ia pelajari di ASKI Padang Panjang. Bang Is juga menyarankan penulis untuk datang ke BM3 (Badan Musyawarah Masyarakat Minang) untuk melihat bagaimana bentuk tari piring yang menurutnya masih tradisi.

Selanjutnya penulis pergi ke BM3 untuk melihat bagaimana bentuk tari piring yang diceritakan oleh bang Is. Penulis mendatangi BM3 pada siang hari, akan tetapi keadaan disana sangat sepi dan tidak ada kegiatan tari-menari, yang ada hanya petugas kebersihan yang sedang menyapu halaman BM3. Kemudian penulis bertanya “adakah kegiatan tari menari disini ?”, lalu ia menjawab bahwa ia tidak tahu apa-apa dan menyarankan penulis untuk menghubungi pengelola BM3 dan memberikan nomer handphone pengelola tersebut.

Penulis kemudian menghubungi Pak Mayunas yang merupakan pengelola kelompok tari yang ada di BM3. Melalui Pak Mayunas penulis mendapatkan informasi bahwa kelompok tari di BM3 yang masih aktif ada 2 kelompok, yaitu Tuah Sakato dan IKSA (Ikatan Kesenian Sri Antokan). IKSA latihan menari pada setiap hari Rabu jam 9 malam, sedangkan Tuah Sakato latihan menari pada setiap hari Kamis jam 9 malam.

(38)

persembahan, tari galombang, dan tari rantak. Akan tetapi penulis belum melihat mereka menarikan tari piring, penulis terus menunggu hingga waktu menunjukkan jam setengah 12 malam mereka baru menarikan tari piring diakhir latihan mereka. Setelah latihan penulis mendatangi pelatih tari di IKSA yaitu Henriri. Penulis mulai menanyakan mengenai kelompok tari mereka dan tari piring. Penulis pun menjelaskan maksud penulis datang kesana dan menanyakan izin untuk belajar tari piring disana. Hendri pun menyetujuinya dan mempersilahkan penulis untuk datang pada latihan minggu depannya.

Keesokan harinya pada hari Kamis tepat jam 9 malam penulis datang lagi ke BM3 untuk melihat latihan tari kelompok tari Tuah Sakato. Disana penulis melihat tari-tarian yang ditarikan kelompok Tuah Sakato sama dengan IKSA, bedanya tari piring tidak ditarikan di akhir latihan. Oleh karena itu penulis memutuskan untuk melakukan penelitian pada kelompok tari IKSA saja.

Kemudian minggu depannya penulis datang lagi ke IKSA, mereka menarikan tari piring golek, menurut ketua IKSA yaitu Pak Nazar tari piring golek ia pelajari di ASKI Padang Panjang dan menurutnya tari piring golek ini masih tradisi. Pada penelitian ini, penulis mempelajari 2 jenis yaitu : tari piring Lenggok Si Anak Dagang sebagai hasil komodifikasi (sanggar Tri Arga) dan tari piring

(39)

BAB II

ETNIK MINANGKABAU DI KOTA MEDAN

2.1 Deskripsi Kota Medan

Kota Medan merupakan ibukota provinsi Sumatera Utara, hal ini didasarkan atas faktor sejarah terbentuknya Kota Medan yang memiliki cikal bakal dari wilayah kekuasaan Kesultanan Deli pada waktu itu (BPS, 2010:xxxv). Secara spesifik pada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa. Terdapat beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Babura, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera.

Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular.

(40)

Medan, cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.

Pesatnya perkembangan Kampung "Medan Putri" sebagai cikal bakal terbentuknya sebuah kota juga tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu.

Usaha perkebunan berkaitan erat dengan pembukaan lahan bagi perkebunan tembakau yang dirintis oleh Jacobus Nienhuys dan berpusat di pertemuan dua alur sungai (sungai Babura dan sungai Deli) yaitu suatu wilayah yang disebut sebagai Medan Putri.

Tujuan Nienhuys datang ke Deli adalah sebagai rangkaian perjalanan mencari lahan untuk perkebunan tembakau sebagai tugas dari perusahaan dagang Pieter van den Arend & Consortium (Pelzer, 1951).

Pada perkembangan lanjutan, cikal-bakal Kota Medan ditentukan oleh pemberian konsesi tanah oleh Sultan Mahmud kepada Nienhuys yang turut menyeret pengakuan atas hak tanah-tanah rakyat yang termasuk dalam konsesi tanah tersebut (Said, 1977:36-37). Konsesi tanah tersebut yang meliputi Kampung Baru dan Deli menjadi lahan bagi tanaman tembakau dan pala pada masa itu, menurut Said (1977:37-38) pada tahun 1870 kegiatan perkebunan atas konsesi tanah tersebut atau disebut juga perkebunan Deli Mij telah menjadi luas.

(41)

Simalungun, Angkola), Jawa, Aceh, Minangkabau, Tionghoa, India (Tamil, Sikh). Komposisi masyarakat Kota Medan yang heterogen terbagi-bagi atas beberapa lokasi, hal ini disebabkan karena pada awalnya lokasi tersebut merupakan daerah awal tumbuh dan berkembangnya suku tersebut di Kota Medan. Perbedaan lokasi tersebut bukan merupakan gambaran penduduk yang terpecah-belah melainkan sebagai wujud persatuan etnisitas yang dimiliki setiap masyarakat di Kota Medan.

2.1.1 Kota Medan Secara Geografis

Kota Medan secara geografis menurut data Badan Pusat Statisitik (2010: 3) terletak antara 3°,27' - 3°,47' Lintang Utara dan 98°,35' - 98°,44' Bujur Timur dengan ketinggian 2,5 – 37,5 Meter di atas permukaan laut. Selain itu, Kota Medan memiliki batas-batas wilayah yang dikelilingi oleh Kabupaten Deli Serdang dari batas sebelah Utara, Selatan, Timur dan Barat.

(42)

sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD, tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran Kelurahan menjadi 144 Kelurahan.

Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefitipan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21 Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan perkembangan administrative ini Kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis dan sosial ekonomis.

(43)

dengan daerah-daerah sekitarnya.

Di samping itu sebagai daerah yang pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Maka Kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun kuar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Kota Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam 2 kutub pertumbuhan secara fisik , yaitu daerah terbangun Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.

2.1.2. Kota Medan Secara Demografis

(44)

oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi.

Penurunan tingkat kematian disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan pendapatan masyarakat. Pada tahap ini pertumbuhan penduduk mulai menurun. Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi.

Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai berbagai dinamika social yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural. Menurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang alik (commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.

(45)

Tabel 1

Jumlah Penduduk Meneurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2009

Golongan Umur Laki Laki Perempuan Jumlah

(1) (2) (3) (4)

0-4 85 479 92 031 177 510

5-9 92 938 95 831 188 769

10-14 93 816 101 718 195 534

15-19 112 384 102 112 214 496

20-24 118 376 123 835 242 211

25-29 101 077 105 293 206 370

30-34 85 089 72 358 157 447

35-39 75 751 88 369 164 120

40-44 77 067 77 986 155 053

45-49 57 601 51 876 109 477

50-54 47 369 52 936 100 305

55-59 36 150 38 715 74 865

60-64 27 363 23 351 50 714

65-69 21 220 19 092 40 312

70-74 11 793 13 230 25 023

75+ 5 984 12 863 18 847

Jumlah/Total 1 049 457 1 071 596 2 121 053

(46)

Tabel 2

Penduduk Kota Medan Menurut Jenis Kelamin Tahun 2000-2009

Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah

(1) (2) (3) (4)

2000 945.847 958.426 1.904.273

2001 960.477 966.043 1.926.520

2002 979.106 984.776 1.963.882

2003 990.216 1.003.386 1.993.602

2004 995.968 1.010.174 2.006.142

2005 1.012.040 1.024.145 2.036.185

2006 1.027.607 1.039.681 2.067.288

2007 1.034.696 1.048.460 2.083.156

2008 1.039.707 1.062.398 2.102.105

2009 1.049.457 1.071.596 2.121.053

Sumber BPS Kota Medan

2.1.3. Kota Medan secara Kultural

(47)

2.2 Perantauan Minangkabau di Kota Medan

Masyarakat perantauan Minangkabau di Kota Medan telah ada sejak sekitar tahun 1840-an saat dibukanya perkebunan di wilayah Kesultanan Deli pada masa itu, masyarakat perantauan Minangkabau yang turut dalam pembukaan perkebunan tersebut memiliki mata pencaharian sebagai pengusaha ataupun usaha kecil-kecilan, diantaranya pedagang, saudagar dan pengrajin.

Mengutip Pelly (1994: 55) yang mengatakan bahwa bagi masyarakat perantauan Minangkabau yang memiliki kemampuan akademis dan pendidikan tinggi pada umumnya akan memilih pekerjaan secara profesional dengan semangat wiraswasta.

Komposisi penduduk Sumatera Timur berdasarkan etnis pada tahun 1920 seperti yang dikutip Pelly (1994:57) terdapat keberadaan etnis Minangkabau sebagai bagian dari komposisi masyarakat Sumatera Timur pada masa itu dengan jumlah penduduk 15.002 Jiwa dan pada tahun 1930 jumlah penduduk Kota Medan berjumlah 41.270 Jiwa dengan 5.590 diantaranya merupakan etnik Minangkabau.

Pelly (1994:8) mengatakan bahwa etnik Minangkabau yang melakukan perpindahan dari daerah asal menuju daerah lain merupakan bagian dari kegiatan migrasi yang secara umum disebut dengan istilah merantau.

(48)

Perkembangan perantauan etnik Minangkabau di Kota Medan semakin menunjukkan eksistensi keberadaannya dengan turut menciptakan suasana tersendiri melalui dibukanya pusat perbelanjaan di luar pusat Kota Medan, yaitu di wilayah Sukaramai pada tahun 1955. Kondisi ini juga menciptakan wilayah bagi masyarakat Minangkabau di Kota Medan dengan memiliki usaha di wilayah Sukaramai dan juga menjadikan wilayah tersebut sebagai daerah tempat tinggal, sehingga secara umum dapat dikatakan bahawa daerah Sukaramai merupakan basis masyarakat Minangkabau di Kota Medan.

(49)

Gambar 1

Peta Wilayah Kota Medan dan Persebaran Perantauan Minangkabau Sumber : Googlemaps/diakses pada 13 Maret 2014 (data diolah penulis)

Pemukiman masyarakat Minangkabau dianggap memiliki posisi mapan ketika pada wilayah pemukiman tersebut terdapat adanya pembangunan tempat ibadah (surau dan mesjid), hal ini menjadi simbol dari kemapanan perantauan Minangkabau di Kota Medan.

(50)

Perantauan Minangkabau di Kota Medan selain berprofesi dalam dunia usaha, juga turut membawa nilai budaya tradisi dalam kegiatan merantau tersebut hal ini sebagai bentuk menjaga dan memelihara nilai-nilai budaya tradisi kepada generasi selanjutnya dan juga sebagai bentuk eksistensi nilai budaya tradisi pada kompetisi kehidupan di Kota Medan yang juga diisi oleh beragam latar belakang etnik.

Dalam konteks ini, bentuk nilai budaya tradisi perantauan Minangkabau di Kota Medan salah satunya adalah bentuk kesenian tari piring, yang dianggap merepresentasikan kekuatan, keindahan dan ketangguhan masyarakat Minangkabau dalam menghadapi kehidupan.

2.3 Organisasi Sosial Minangkabau di Kota Medan

Keberadaan perantauan Minangkabau di Kota Medan juga tidak lepas dari adanya organisasi sosial yang dibentuk oleh individu-individu Minangkabau sebagai suatu bentuk sarana komunikasi antar perantauan Minangkabau di Kota Medan.

Organisasi sosial masyarakat Minangkabau di Kota Medan tidak hanya sebagai suatu institusi yang menawarkan romantisme melainkan berfungsi sebagai perekat diantara individu Minangkabau di perantauan, sebagai institusi yang menolong individu Minangkabau bahkan secara luas juga berkontribusi terhadap etnik lainnya, serta sebagai institusi yang menjaga nilai budaya tradisi Minangkabau terhadap generasi Minangkabau yang berada di perantauan.

(51)

persatuan masyarakat Minangkabau berdasarkan klan (marga), berdasarkan wilayah asal, berdasarkan mata pencaharian dan aspek lainnya.

2.3.1. Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3)

Penelitian terhadap tari piring di Kota Medan berkaitan dengan keberadaan organisasi sosial masyarakat Minangkabau di Kota Medan, yaitu Badan Musyawarah Masyarakat Minang atau disingkat dengan BM3.

Keberadaan organisasi masyarakat seperti BM3 bagi masyarakat Minangkabau di Kota Medan memegang peranan penting, diantaranya sebagai lembaga yang menyatukan antara individu Minangkabau di daerah perantauan; sarana komunikasi diantara individu yang meliputi sikap saling tolong-menolong.

Mengutip Dewi (2007:97) yang menuliskan bahwa :

“Lebih lanjut, munculnya berbagai organisasi sosial di daerah-daerah perantauan ini dapat dipandang sebagai sesuatu yang positif. Dengan hal tersebut, maka pengenalan antarbudaya sekaligus interaksi di antara suku bangsa segera dapat diwujudkan.”

Pendapat tersebut menegaskan akan pentingnya kehadiran organisasi masyarakat di daerah perantauan dan juga sebagai representasi etnik di daerah perantauan dalam lingkup interaksi dengan etnik lainnya di Kota Medan sebagai suatu wujud ekspresi etnik.

(52)

Pada perkembangannya, di tahun 1971 atas kesepakatan yang tercapai diantara anggota masyarakat dan beragam organisasi sosial-masyarakat Minangkabau maka terbentuk Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3), kehadiran Badan Musyawarah Masyarakat Minang kemudian disepakati sebagai lembaga yang menaungi masyarakat perantauan Minangkabau di Kota Medan.

Keberadaan Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) sebagai sarana mempersatukan masyarakat Minangkabau di daerah perantauan Kota Medan dan juga sebagai sarana pelestarian nilai budaya Minangkabau di Kota Medan.

2.3.2. Ikatan Keluarga Bayur (IKB)

Ikatan Keluarga Bayur merupakan organisasi kedaerahan Minangkabau yang ada di Medan. Bayur sendiri ialah nagari (kelurahan) yang berada di sekitar Danau Maninjau Kecamatan Tanjung Raya Propinsi Sumatra Barat. IKB ini beranggotakan sekitar 1000 orang dan IKB bukan hanya suatu himpunan untuk menghimpun IKB saja tetapi juga untuk melestarikan kebudayaan Minang di perantauan. Di Medan IKB berlokasi di Jalan Utama No.135/71.

Maksud dan tujuan organisasi ini adalah memupuk rasa cinta kampung halaman yang merupakan bagian dari cinta tanah air, mengamalkan ajaran islam dan menyatu padukan kegiatan warga bayur menuju kemaslahatan fastabiqul khairut untuk mencapai kebahagian hidup dunia dan akhirat dengan tidak

(53)

menggalakkan pembangunan bangsa dan Negara5

Salah satu perhimpunan warga Minang yang paling terkenal dan terorganisasi dengan baik adalah Sulit Air Sepakat atau SAS. Sulit Air Sepakat adalah suatu organisasi yang dibentuk oleh masyarakat perantauan Sulit Air, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Organisasi ini berpusat di Jakarta dan memiliki tidak kurang dari 80 Dewan Perwakilan Cabang (DPC) di seluruh Indonesia serta 4 DPC di luar negeri, seperti di Malaysia, Sydney dan Melbourne, Australia serta Washington DC, Amerika Serikat. SAS dianggap sebagai organisasi masyarakat perantauan Minangkabau yang tersukses di antara organisasi sejenis lainnya yang ada dalam masyarakat Minangkabau perantauan.

. 2.3.3. Sulit Air Sepakat

6

Sanggar tari Tri Arga ialah sanggar tari yang berdiri sejak tahun 1997, yang didirikan oleh Buk Herna, Pak Mus, dan Pak Khairul dan di ketuai oleh Buk 2.4. Sanggar Tari Minangkabau di Kota Medan

Tari piring sebagai salah satu kesenian khas Minangkabau yang dikembangkan melalui sanggar sebagai sarana komodifikasi. Pada penelitian ini penulis mengkaji beberapa sanggar tari minangkabau di Kota Medan yang melakukan komodifikasi pada tari piring.

Adapun sanggar-sanggar tersebut ialah sanggar tari Tri Arga, Ikatan Kesenian Sri Antokan, dan sanggar Tari La Tansa.

2.4.1. Sanggar Tari Tri Arga

5

“Ikatan Keluarga Bayur”

6

(54)

Herna sendiri. Pada awalnya sanggar tri arga berlokasi di Komplek Tasbih Blok 5, yang merupakan tempat latihan menari sekaligus latihan bermusik. Akan tetapi seiiring berjalannya waktu sanggar Tri Arga berganti kepengurusan dengan Pak Khairul sebagai ketuanya dan menunjuk Bang Is sebagai pengurus sanggar. Saat ini sanggar Tri Arga berlokasi di Jalan Dolok Sanggul No. 3 Medan yang merupakan rumah dari Pak Khairul.

Sanggar Tri Arga ialah sanggar tari berbasis minang, hal ini dapat dilihat bahwa sanggar ini mengutamakan tari-tarian minang sebagai produk utama sanggar untuk ditawarkan kepada konsumennya, seperti tari piring, tari persembahan, tari galombang, tari payung, tari rantak, tari bagurau dsb. Akan tetapi, sanggar Tri Arga juga menawarkan tari-tarian daerah lainnya seperti Melayu, Batak, Mandailing, Jawa, Sunda dsb. Selain tari-tarian, sanggar ini juga menawarkan live musik daerah Minangkabau, misalnya pada arak-arakan pengantin dan juga musik mengiringi tari.

Sanggar Tri Arga ini beranggotakan 27 orang yang aktif termasuk penari dan pemusik. Kegiatan latihan menari dan latihan bermusik dilakukan setiap Rabu dan Sabtu sore. Sanggar Tri Arga mengutamakan job oriented, yaitu mempelajari tari dan musik daerah untuk kepentingan pertunjukkan. Secara lebih lengkap Bang Is mengungkapkan :

(55)

2.4.2. IKSA (Ikatan Kesenian Sri Antokan)

Ikatan Kesenian Sri Antokan (IKSA) ialah salah satu grup kesenian di BM3. IKSA sudah berdiri sejak tahun 1966, nama IKSA sendiri berasal dari nama sungai Sri Antokan di Kecamatan Lubuk Pasung Sumatera Barat. Saat ini IKSA diketuai Mayunas Pilliang yang sudah menjabat sejak 2004 sampai sekarang, dengan Ramadian Putra sebagai sekretaris, Herison Chaniago sebagai Bendahara, Hendri sebagai Humas.

IKSA beranggotakan 30 orang yang aktif yang terdiri dari 10 orang penari dan 20 orang pemusik dari semua kelompok umur, ada anak-anak, remaja, dewasa dan juga orang tua. Seperti halnya Iqbal yang berumur 10 tahun, ia sudah belajar musik dan tari di IKSA sejak berumur 7 tahun dan saat ini ia adalah anggota termuda di IKSA. Ia sudah bisa memainkan semua alat music Minangkabau seperti tambur, tansa, talempong dan pupuik. Selain memainkan alat musik Iqbal juga sudah menguasai tari piring, silat galombang dan tari randai. Kegiatan yang dilakukan di-IKSA berupa menari, memainkan alat musik khas Minangkabau, dan basilek.

(56)

Gambar 2

Kegiatan Latihan Menari IKSA di teras Gedung BM3

Gambar 3 : Iqbal sedang memainkan alat musik tansa

2.4.3. Sanggar Tari La Tansa

(57)

merupakan tempat Raihan mengajar ektrakulikular tari. La Tansa beranggotakan 15 orang yang terdiri dari murid-murid MTS Miftahussalam. Ide mendirikan sanggar muncul ketika ada yang meminta Raihan untuk menari di salah satu acara perkawinan, lebih lengkap Raihan mengatakan :

“pertama kali buat sanggar karena dulu ada yang minta buat nari, kakak kan ngajar eskul nari disini, jadi kakak ambil anak-anak yang bagus narinya untuk nge-job. Awalnya sih cuma kecil-kecilan aja, lama-lama banyak dapat tawaran nari jadi Alhamdulillah kakak buat sanggar”.

Gambar 4

(58)

BAB III TARI PIRING

3.1 Sejarah Tari Piring

Secara sederhana, istilah tari piring ini berasal dari bahasa Minangkabau. Dalam bahasa Minangkabau ini, tari piring juga disebut dengan Tari Piriang. Tari piring ini merupakan salah satu tarian tradisional yang bernilai seni. Tari piring7

• Zaman Kerajaan Minangkabau berpusat di Pagaruyung (sekitar tahun 1350 -1800 M);

ini berasal dari provinsi Sumatera Barat.

Nama tari piring ini identik dengan adanya piring yang dibawa oleh para penarinya. Tentulah dapat disimpulkan bahwa pemberian nama tari piring ini adalah penggabungan dari unsur tari dan piring sebagai material yang menjadi pembentuk dasar gerak tari tersebut.

Daerah penyebaran tari piring di Minangkabau meliputi hampir semua unit wilayah budaya dan proses penyebaran ini dilakukan seiring dengan pembentukan wilayah-wilayah baru dan pengangkatan penghulu-penghulu baru pada masing-masing wilayah tersebut. Sedangkan pertumbuhan dan penyebarannya sudah berlangsung sejak lama, mengutip Jamal (1992:24) yang menyatakan bahwa hal ini tidak terlepas dari zaman masa dan perjalanan sejarah Minangkabau itu sendiri seperti :

• Masa gerakan/perang Paderi (tahun 1803-1837 M);

(59)

• Masa penjajahan Belanda (tahun 1837-1942) dan Jepang (tahun 1942-1945 M); dan

• Masa kemerdekaan (tanggal 17 Agustus 1945) sampai sekarang.

Masa pertumbuhan dan persebaran tari piring ternyata telah mengalami empat periodesasi dan perubahan sehingga sulit ditelusuri secara rinci, namun berdasarkan wawancara, waktu atau zaman yang dilalui atau aspek kesejarahan tari piring hanya dikenal pada dua bahagian besar, yaitu masa “dulu” dan masa “sekarang”. Hal ini dipengaruhi oleh ingatan dari atau orang-orang tua sebagai cerita yang disampaikan secara lisan dan turun temurun.

J.L.Moens (Jamal, 1992:25) mengatakan bahwa orang-orang Melayu amat mahir menari dan tidak mengenal kata lelah dalam hal itu. Orang Melayu dalam konteks ini termasuk orang Minangkabau, karena orang Minangkabau termasuk dalam golongan ras Melayu.

Mengutip hasil penelitian mengenai penyajian tari piring tradisional Minangkabau (Jamal, 1992:38) yang mengatakan bahwa asal-usul tari piring merupakan perwujudan kepercayaan masyarakat pada masa itu terhadap ritus kesuburan8

Tari piring sebagai bentuk tari ritual terhadap kesuburan, dalam gerakannya menggunakan properti berbentuk piring yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai wadah untuk pangan. Dalam catatan Jamal (1992:38) juga diceritakan bahwa tari piring secara historis berawal dari ajaran

(agraris) yang dimanifestasikan dalam bentuk tari.

(60)

syiwabudhis yang dalam ajarannya banyak memuat mengenai tari kesuburan

agraris sebagai bentuk perlambang ajaran keselamatan buddhis dan syiwais.

Sebagai seorang raja yang mempunyai permaisuri warga masyarakat Minangkabau dan diangkat sebagai ‘prapatih’ di Minangkabau, Adityawarman merupakan orang yang telah dianggap menjadi warga Minangkabau dan mendukung adat-istiadat Minangkabau serta mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan warga masyarakat lainnya, seperti yang terungkap dalam ungkapan Minangkabau hinggok mancakam (hinggap mencekam).

Hal ini dibuktikan seperti yang diungkapkan oleh Moens (Jamal, 1992:24-25) meskipun Adityawarman menjadi raja dan sebagai Bhairawa, akan tetapi sebagai titisan Kama, ia selalu menghormati ayah atau mamak istrinya.

Tari-tari kesuburan dalam hal ini tari piring dipersembahkan kepada ayah atau mamak istrinya sebagai pendukung/pemangku asas-asas adat-istiadat Minangkabau, berarti tari piring telah menjadi milik kaum istrinya. Dalam hal ini berarti Adityawarman telah mematuhi adat yang berlaku di Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan matrilineal, walaupun pada mulanya ia menilai dirinya lebih tinggi dari permaisurinya.

(61)

Lebih lanjut Jamal (1992:38) mengatakan bahwa pada sekitar abad ke 14 barulah tari piring menjadi dikenal dan menjadi bagian dari pertunjukan seni di istana Pagaruyung, dan sesudah istana Pagaruyung mendapatkan pengaruh Islam yang besar dengan dipimpin oleh seorang raja Minangkabau yang bernama Sultan Alif (sekitar tahun 1580), maka adat-istiadat dalam kehidupan istana Pagaruyung dirubah dan disesuaikan dengan nilai ajaran Islam, salah satunya tampak pada pertunjukan tari piring yang tidak lagi sebagai bentuk tari ritual melainkan menjadi bentuk gerak tari yang bernilai hiburan serta disebarluaskan di luar istana Pagaruyung dengan tujuan untuk memeriahkan pesta panen sebagai simbol kemakmuran penduduk.

Agama Islam masuk ke Minangkabau tidak dapat dipisahkan dari Islam yang masuk ke Pulau Sumatera. Berdasarkan bukti-bukti sejarah seperti yang dikemukakan Azyumardi Azra yang menyatakan bahwa Islam di Pulau Sumatera dapat dilacak sejalan dengan munculnya kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1292, menyatakan bahwa kerajaan Perlak sudah memeluk agama Islam. Dari tempat-tempat inilah diperkirakan Islam menyebar ke seluruh Nusantara termasuk ke Minangkabau (Azra, 1989: xi).

(62)

konsisten. Dengan mencairnya ajaran Islam dalam kebudayaan orang Minangkabau, maka dinamika kehidupan beragama itu sendiri bervariasi adanya. Terjadinya hal yang seperti demikian tidak terlepas dari sentra-sentra pendidikan agama Islam di Minangkabau dengan berbagai aliran yang dalam pelaksanaannya tidak jarang menimbulkan konflik-konflik antara agama dan adat.

Pada masa gerakan Paderi di Minangkabau (Jamal, 1992:28) berkisar diantara tahun 1803 – 1821 Masehi, seluruh jenis dan bentuk kesenian dilarang oleh kaum ulama yang berpaham wahabi, termasuk dalam kesenian tersebut adalah tari piring. Keluarnya larangan tersebut disebabkan jenis dan bentuk tari piring pada masa itu disalahgunakan oleh sebahagian masyarakat menjadi bentuk kemaksiatan yang bertentangan dengan paham wahabi.

Perkembangan selanjutnya, tari piring turut menjadi bagian dari perjanjian antara kaum ulama dan kaum adat di Minangkabau pada tahun 1827 yang dikenal dengan sebutan “piagam bukit marapalam” (Jamal, 1992:29). Dalam perjanjian tersebut disepakati bentuk-bentuk kegiatan kesenian boleh dilakukan dengan tidak memasukkan unsur maksiat dan juga sebagai bentuk persatuan antara kaum ulama dan kaum adat.

Meskipun demikian perang Paderi yang sedang berkecamuk menjadi sebab tidak berkembang dan tersebarnya jenis dan bentuk kesenian di nagari-nagari, seniman-seniman ikut angkat senjata melawan Belanda.

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Gambar 1 Peta Wilayah Kota Medan dan Persebaran Perantauan Minangkabau
Gambar 2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimana Makna Busana yang digunakan oleh para Penari dalam Kesenian Tari Topeng Cirebon di Jawa Barat.. Bagaimana Makna Gerakan para Penari dalam Kesenian Tari

Hasil dari penelitian ini adalah upaya yang dilakukan dalam mendokumentasikan motif-motif gerak tari Jepin Cangkah Pedang yaitu pertemuan dengan narasumber yang

Ragam gerak maupun Pola lantai diatas merupakan gerakan yang terdapat dalam Pertunjukan Tari Persembahan Lembaga Adat Melayu di Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau

Masuk ke ragam tari Anak Ikan, sambil menunggu penari laki-laki masuk, penari perempuan melakukan gerakan seperti pada ragam tari Timang Banjar ketika posisi awal berdiri di

Terkait dengan teori bentuk tersebut, maka bentuk dari tari Gandrung Batan Kendal ini dibagi ke dalam beberapa sub yang terdiri atas tempat pementasan, pelaku/penari, gerak tari,

Hasil dari penelitian ini adalah upaya yang dilakukan dalam mendokumentasikan motif-motif gerak tari Jepin Cangkah Pedang yaitu pertemuan dengan narasumber yang

Denotasi Ragam Gerak Tari Pa’bitte Passapu 1 Ragam gerak Akkokkoroa Ragam ini menggambarkan gerakan penari melingkar dengan merentangkan tangan, posisi tangan kiri membuka kedalam

Tari piring pijak kaco ini memiliki gerakan – gerakan yang unik,di mana di dalam tari ini pada saat menari pola lantai yang di bentuk adalah pola lantai lingkaran dimana dua orang