• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sekilas Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia

BAB II KEBIJAKAN PUBLIK DALAM PENDIDIKAN KEAGAMAAN

A. Sekilas Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia

Pendidikan keagamaan Islam merupakan bagian dari pendidikan Islam. Menurut Haidar Putra Daulay, “Pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional keberadaannya terbagi atas tiga hal. Pertama, pendidikan Islam sebagai lembaga. Kedua, pendidikan Islam sebagai mata pelajaran. Ketiga, pendidikan Islam sebagai nilai.”1

Pada pembahasan ini yang dijelaskan adalah mengenai pendidikan Islam sebagai lembaga. Karena, dalam hal ini lah pendidikan keagamaan Islam itu terlihat. Jika dilihat dari mata pelajaran, maka itu hanya sekadar mata pelajaran pendidikan agama Islam yang diajarkan pada tingkat dasar hingga perguruan tinggi dengan frekuensi pembelajaran satu kali seminggu, sehingga jika dilihat dari pengertian ini sangat tidak mungkin untuk menjadikan siswa atau mahasiswa menjadi ahli agamanya.

Pendidikan Islam termasuk masalah sosial, sehingga dalam kelembagaannya tidak terlepas dari lembaga-lembaga sosial yang ada. Lembaga disebut juga institusi atau pranata, sedangkan lembaga sosial adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola tingkah laku, peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah dalam mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum, guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.2

Jika mengacu pada Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan acuan normatif dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia termasuk pendidikan keagamaan Islam. Dalam undang-undang tersebut yang termasuk pendidikan keagamaan Islam adalah pendidikan diniyah dan pesantren, sebagaimana tertulis dalam

1

Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. I, h. 108.

2

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), Cet. II, h. 127.

pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis”. Maka, dalam pembahasan ini lembaga pendidikan keagamaan Islam di Indonesia yang dijelaskan adalah pondok pesantren dan pendidikan diniyah.

1. Pondok Pesantren

Pondok pesantren yang pertama kali dirintis oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M untuk menyebarkan Islam di Jawa. Hal ini berdasarkan hasil studi Ronald Alan Lukens Bull (1977), doktor yang menekuni studi pondok pesantren asal Amerika. Selanjutnya, dia menelusuri bahwa tokoh yang berhasil mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel).3

Raden Rahmat (Sunan Ampel) mendirikan pesantren di Kembang Kuning, yang pada waktu didirikan hanya memiliki tiga orang santri, yaitu: Wiryo Suroyo, Abu Hurairoh, dan Kiyai Bangkuning. Kemudian ia pindah ke Ampel Denta, Surabaya, dan mendirikan pondok pesantren di sana. Akhirnya, beliau dikenal dengan sebutan Sunan Ampel. Misi keagamaan dan pendidikan Sunan Ampel mencapai sukses, sehingga beliau dikenal oleh masyarakat Majapahit. Kemudian bermunculan pesantren-pesantren baru yang didirikan oleh para santri dan putra beliau. Misalnya: pesantren Giri oleh Sunan Giri, pesantren Demak oleh Raden Patah, dan pesantren Tuban oleh Sunan Bonang.4

Pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang mempunyai kekhasan tersendiri dan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Pendidikan di Pesantren meliputi pendidikan Islam, dakwah, pengembangan kemasyarakatan, dan pendidikan lainnya yang sejenis. Para peserta didik pada Pesantren disebut santri yang umumnya menetap, di lingkungan Pesantren disebut dengan istilah Pondok. Dari sinilah timbul istilah Pondok Pesantren.5

3

Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU Sisdiknas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), Cet. I, h. 33.

4

Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), Cet. I, h. 70-71.

5

persyaratan lembaga tersebut disebut pondok pesantren. Menurut Dhofier sebagaimana dikutip oleh Daulay bahwa unsur-unsur pokok pesantren itu adalah pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik dan kyai. Ada juga yang menyebutkan unsur-unsur pokok pesantren itu hanya tiga, yaitu kyai yang mendidik dan mengajar, santri yang belajar, dan masjid tempat mengaji. Namun, menurut Haidar Putra Daulay jika melihat kenyataan yang sesungguhnya bahwa unsur-unsur yang disebut Dhofier itulah lebih mengena unsur-unsur pokok dari suatu pesantren.6

Perkembangan pondok pesantren sangat variatif. Dhofier sebagaimana dikutip oleh Soebahar membagi pondok pesantren menjadi dua macam, yaitu: salafi dan khalafi. Abdullah Syukri Zarkasyi membagi varian pondok pesantren menjadi tiga, yaitu: pondok pesantren tradisional, pondok pesantren modern, dan pondok pesantren perpaduan antara tradisional dan modern. Sedangkan Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1979 mengklasifikasikan pondok pesantren menjadi empat tipe. Namun, keempat tipe dalam peraturan tersebut bukan keharusan untuk dimiliki pondok pesantren, karena varian pondok pesantren memang sangat beragam. Dalam PMA tersebut pondok pesantren dipetakan sebagai berikut:

1) Pondok pesantren tipe A, yaitu di mana para santri belajar dan bertempat tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren dengan pengajaran yang berlangsung secara tradisional (sistem wetonan

dan sorogan).

2) Pondok pesantren tipe B, yaitu yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal dan pengajaran oleh kyai bersifat aplikasi, diberikan pada waktu-waktu tertentu, santri tinggal di asrama di lingkungan pondok pesantren.

3) Pondok pesantren tipe C, yaitu pondok pesantren hanya merupakan asrama, sedangkan para santrinya balajar di luar (madrasah atau sekolah umum) kyai hanya mengawasi dan sebagai pembina para santri tersebut.

4) Pondok pesantren tipe D, yaitu yang menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah dan madrasah.7

6

Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. I, h. 62.

7

sejarahnya yang gemilang. Dalam lapangan pendidikan ia ikut menjadi pelopor dalam mencerdaskan bangsa. Menurut H. Alamsjah Ratu Perwiranegara (Menteri Agama RI Kabinet Pembangunan III) bahwa pendidikan pondok yang menggunakan sistem asrama merupakan sistem yang paling baik dalam pendidikan. Karena, dalam waktu dua puluh empat jam anak didik diasuh oleh para kyai dan pengasuh. Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa, menyatakan bahwa sistem pondok dan asrama itulah sistem nasional. Dengan demikian arti pondok tidak dapat diabaikan dalam memberikan corak pada pendidikan nasional.8 Tetapi, pernyataan kedua tokoh itu, tidak menjadikan pondok pesantren diakui dalam undang-undang sistem pendidikan nasional saat itu.

2. Pendidikan Diniyah/Madrasah Diniyah

Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantren, pendidikan Islam di Indonesia juga mengenal madrasah diniyah. Madrasah Diniyah adalah jenis pendidikan keagamaan yang memberikan pendidikan khusus ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab.

Sebagaimana sejarah berdirinya pondok pesantren, madrasah diniyah juga berkembang dari bentuknya yang sederhana, yaitu pengajian di masjid-masjid, langgar, dan surau. Berawal dari bentuknya yang sederhana ini berkembang menjadi pondok pesantren. Persinggungannya dengan sistem madrasi, model pendidikan Islam mengenal pola pendidikan madrasah. Madrasah ini pada mulanya hanya mengajarkan ilmi-ilmu agama dan bahasa Arab. Dalam perkembangan selanjutnya, sebagian di madrasah diberikan mata pelajaran umum, dan sebagian lainnya tetap mengkhususkan diri hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Madrasah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab inilah yang dikenal dengan madrasah diniyah.9

8

Alamsjah Ratu Perwiranegara, Pembinaan Pendidikan Agama, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1982), h. 71.

9

Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah: Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003), h. 21-22.

berkembang oleh dan dari masyarakat. Jumlah madrasah sebagian terbesar berstatus swasta yang kebanyakan mengandalkan sumber pembiayaan pendidikan dari masyarakat.10Madrasah diniyah yang dikenal saat ini merupakan evolusi dari sistem belajar yang dilaksanakan di pondok pesantren salafiyah. Dalam sejarahnya, madrasah lahir dari rahim pondok pesantren, dengan ciri khasnya yang berbasis pengetahuan agama.11

Madrasah yang pertama didirikan di Indonesia adalah sekolah

Adabiah.12 Madrasah ini didirikan oleh Syaikh Abdullah Ahmad pada tahun 1909 di Padang. Tetapi sangat disayangkan, usia madrasah ini tidak lama, pada tahun 1915 madrasah ini diubah menjadi HIS Adabiah.13 Empat tahun sebelum Sekolah Adabiah didirikan, yaitu tahun 1905, sebenarnya di Surakarta telah didirikan Madrasah Manba‟ul Ulum oleh Raden Hadipati Sasro Diningrat dan Raden Penghulu Tafsirul Anom, tetapi karena masih mengikuti sistem pendidikan pondok-pesantren (tanpa kelas), madrasah tersebut tidak dikategorikan sebagai madrasah yang pertama didirikan di Indonesia. Mahmud Yunus sebagaimana dikutip oleh Soebahar bahwa baru pada tahun 1916, diterapkan sistem kelas pada madrasah tersebut, yaitu kelas I s.d kelas XI.14 Adapaun pondok pesantren (surau) yang pertama kali membuka madrasah formal ialah Thawalib di Padang Panjang pada tahun 1921 M di bawah pimpinan Syaikh Abd. Karim Amrullah, ayah Buya Hamka.15

Madrasah diniyah dimaksudkan sebagai institusi yang awalnya disediakan bagi peserta didik yang pada waktu pagi belajar di sekolah umum, dan pada sore hari ingin mendapatkan pelajaran agama. Madrasah jenis ini terbagi dalam tiga jenjang, yakni: madrasah diniyah awwaliyah/ula (4 tahun); madrasah diniyah wustha (3 tahun); dan

10

Husni Rahim, Madrasah dalam Politik Pendidikan Indonesia, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu), h. 1.

11

Abd. Halim Soebahar, op.cit., h. 71.

12

Ibid.,h. 74.

13

Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), Cet. VII, h. 193.

14

Abd. Halim Soebahar, loc.cit.

15

Keputusan Menteri Agama No. 13 Tahun 1964 ini hampir tidak memiliki efek terhadap kelanjutan studi dan pengembangan profesi lulusan, sehingga hanya sedikit peserta didik yang meminta ijazah formal dari institusi pendidikan ini.16

Dokumen terkait