• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan pendidikan keagamaan Islam di Indonesia (studi tentang PP RI No. 55 Tahun 2007)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan pendidikan keagamaan Islam di Indonesia (studi tentang PP RI No. 55 Tahun 2007)"

Copied!
171
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana

Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh:

Fadly Mart Gultom

NIM. 1110011000039

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

(2)
(3)
(4)
(5)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kebijakan pengelolaan pendidikan keagamaan Islam dalam PP RI No. 55 Tahun 2007 dalam perspektif kebijakan publik.

(6)

Tuhan semesta alam yang telah memberikan nikmat rohani, nikmat jasmani, dan nikmat rezeki. Sehingga peneliti dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia (Studi tentang PP RI No. 55 Tahun 2007). Selawat dan salam juga peneliti ucapkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, suri tauladan umat yang telah membawa perubahan bagi peradaban manusia.

Pada kesempatan ini juga peneliti ingin mengucapakan terima kasih kepada seluruh pihak yang berperan penting dalam penyelesaian studi peneliti di Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Mereka antara lain adalah sebagai berikut:

1. Dra. Nurlena Rifa’i, M. A, Ph. D, sebagai Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), UIN Jakarta, atas asuhan dan kepemimpinannya selama peneliti menempuh studi di FITK hingga selesai.

2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag; dan Marhamah Saleh, Lc, M. A, sebagai Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, FITK, UIN Jakarta, atas bimbingannya dan kepemimpinannya selama peneliti menempuh perkuliahan di Jurusan Pendidikan Agama Islam.

3. Prof. Dr. H. Armai Arief, M. Ag, sebagai Dosen Penasihat Akademik yang telah memberikan bimbingannya selama peneliti menempuh perkuliahan di Jurusan Pendidikan Agama Islam.

4. Muhammad Zuhdi, M. Ed, Ph. D, sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktunya dalam membimbing dan memberikan ilmunya kepada peneliti dalam penulisan skripsi.

5. Prof. Dr. H. A. Syafi’ie Noor dan Dr. Sapiudin Shidiq, M. Ag, sebagai penguji skripsi dalam sidang ujian munaqasah yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini.

(7)

bagaimana menjadi guru hingga lulus ujian PPKT; Iwan Permana Suwarna, M. Pd, sebagai Dosen Praktikum Komputer yang telah membimbing dan memberikan ilmunya dalam kegiatan praktik komputer; dan para dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam, FITK, UIN Jakarta yang telah memberikan bimbingan dan ilmunya.

8. Orang Tua peneliti, Mamak dan Bapak yang telah mengasuh, membesarkan, mendidik, mendoakan, memberikan materiil dan moril, sehingga peneliti dapat menyelesaikan serangkaian pendidikan dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi sarjana strata satu. Semoga Allah SWT, selalu memberikan kesehatan dan umur yang panjang kepada Mamak dan Bapak. Walaupun dalam kata pengantar ini Mamak dan Bapak dalam urutan kedelapan, tetapi sebenarnya Mamak dan Bapak ada diurutan ketiga setelah Allah SWT, dan Rasulullah Muhammad SAW. Mak, Pak, Ku persembahkan skripsi ini untuk Mamak dan Bapak.

9. Kepada keluarga besar peneliti yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu. Terkhusus kepada Kak Roma, Bang Doli, Kak Sane, Bang Cen, Bang Rien, dan Adikku Fauzan yang telah memberikan dukungan moril maupun materiil kepada peneliti. Skripsi ini juga Ku persembahkan untuk kalian.

(8)

Ciputat, 11 Nopember 2014 Peneliti,

(9)

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASAH ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 10

C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ... 11

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 12

E. Metode Penelitian ... 12

F. Hasil Penelitian yang Relevan... 16

BAB II KEBIJAKAN PUBLIK DALAM PENDIDIKAN KEAGAMAAN A. Kebijakan Publik ... 18

1. Definisi Kebijakan Publik ... 18

2. Ciri-ciri Kebijakan Publik yang Ideal ... 21

3. Bentuk-bentuk Kebijakan Publik ... 23

4. Tingkatan Kebijakan Publik ... 27

5. Tujuan Kebijakan Publik ... 28

B. Hubungan Politik, Kebijakan Publik, dan Pendidikan ... 30

C. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia ... 31

1. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia pada Masa Kolonial Belanda ... 32

2. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia pada Masa Kolonial Jepang ... 34

(10)

BAB III PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM DALAM PP RI NO. 55 TAHUN 2007

A. Sekilas Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia ... 48

B. Latar Belakang Diundangkan PP RI No. 55 Tahun 2007 ... 53

C. Penjelasan PP RI No. 55 Tahun 2007 mengenai Pendidikan Keagamaan Islam ... 56

D. Implementasi PP RI No. 55 Tahun 2007 ... 63

BAB IV PP RI NO. 55 TAHUN 2007 PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK A. PP RI No. 55 Tahun 2007 Ditinjau Berdasarkan Bentuk Kebijakan Publik ... 66

B. PP RI No. 55 Tahun 2007 Ditinjau Berdasarkan Tingkatan Kebijakan Publik ... 67

C. PP RI No. 55 Tahun 2007 Ditinjau Berdasarkan Tujuan Kebijakan Publik ... 70

D. PP RI No. 55 Tahun 2007 Ditinjau Berdasarkan Ciri-ciri Kebijakan Publik yang Ideal ... 74

BAB V PENUTUP A. Simpulan... 88

B. Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 90

(11)

A. Latar Belakang Masalah

Kebijakan yang ditetapkan pemerintah tentang pendidikan Islam dapat dilihat dalam sejarah perundang-undangan sistem pendidikan nasional. Pada masa pemerintahan Indonesia yang sudah berlangsung dalam tiga masa, yaitu: orde lama, orde baru, dan orde reformasi. Indonesia memiliki tiga undang-undang yang mengatur sistem pendidikan nasional, yaitu: UU RI No. 4 Tahun 1950 Jo UU RI No. 12 Tahun 1954 pada masa orde lama; UU RI No. 2 Tahun 1989 pada masa orde baru, dan UU RI No. 20 Tahun 2003 pada masa orde reformasi.

Menurut Haidar Putra Daulay, “Pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional keberadaannya terbagi atas tiga hal. Pertama, pendidikan Islam sebagai lembaga. Kedua, pendidikan Islam sebagai mata pelajaran.

Ketiga, pendidikan Islam sebagai nilai.”1

Tiga hal tersebut di atas dalam sejarah sistem pendidikan nasional tidaklah secara langsung termaktub dalam undang-undang sistem pendidikan nasional. Tiga hal tersebut mengalami perkembangan dari masa ke masa yang tidak terlepas dari permasalahan. Butuh waktu lima puluh delapan tahun (1945-2003) agar tiga hal tersebut termaktub dalam undang-undang sistem pendidikan nasional. Sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, barulah pada UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tiga hal tersebut secara utuh termaktub.

Menurut Nusa Putra dan Hendarman, “Sejumlah kebijakan pendidikan yang ditetapkan pemerintah pada kenyataannya sering mendapat kritikan dari berbagai lapisan masyarakat. Kritikan itu sangat beragam, ada yang menekankan aspek peraturan perundangan, proses implementasi dan dampak

(12)

masyarakat, dan aspek-aspek lain.”

Pendidikan Islam dalam UU RI No. 4 Tahun 1950 Jo UU RI No. 12 Tahun 1954 memiliki permasalahan dalam hal pendidikan Islam sebagai mata pelajaran. Permasalahannya adalah rumusan mengenai pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri yang tercatum dalam Bab XII Pasal 20 ayat (1) sebagaimana yang dikutip Abd. Halim Soebahar: “Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.”3 Berdasarkan ayat tersebut artinya pengajaran agama Islam di sekolah negeri hanyalah mata pelajaran yang tidak wajib padahal Indonesia adalah negara yang berketuhanan, sebagaimana pada sila pertama pancasila, ditambah lagi Indonesia sebagai bangsa yang penganut Islam terbesar di dunia.

Kekhawatiran yang lebih besar adalah pengajaran agama di sekolah swasta tergantung masing-masing sekolah, karena undang-undang tersebut tidak menjelaskan pelaksanaan pengajaran agama di sekolah swasta. Sebagaimana pernyataan Abd. Halim Soebahar, “Bagi sekolah swasta yang dikelola organisasi Islam PAI cenderung diberikan, tetapi bagi yang dikelola

non Muslim besar kemungkinan PAI ditiadakan.”4

Pada tahun 1951, Menteri PP dan K dengan Menteri Agama mengeluarkan peraturan bersama yang berisi tiap-tiap sekolah rendah dan lanjutan diberikan pendidikan agama. Selanjutnya, pada tahun 1966, pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib, sebagaimana TAP MPRS No. 27 tahun 1966 yang dikutip Muhaimin, “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran pokok dan wajib diikuti murid/mahasiswa sesuai dengan agama masing-masing”.5

Permasalahan berikutnya adalah mengenai keberadaan madrasah yang tidak jelas dalam sistem pendidikan nasional saat itu (sebelumnya lahirnya

2 Nusa Putra dan Hendarman, Metodologi Penelitian Kebijakan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), Cet. I, h. 93.

3 Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU Sisdiknas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), Cet. I, h. 128.

4 Ibid.

(13)

pendidikan umum, sehingga lulusan madrasah tidak dapat pindah maupun melanjutkan ke pendidikan umum yang lebih tinggi. Keadaan yang demikian membuat madrasah dan lulusannya dipandang sepele oleh masyarakat.

Pada tahun 1975, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran mengeluarkan kebijakan berbentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 tentang Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah yang menghasilkan kesepakatan bahwa madrasah menduduki posisi yang sama dengan sekolah umum.

Lalu, permasalahan yang dihadapi pendidikan Islam dalam UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah masalah pengakuan pendidikan Islam sebagai lembaga. Permasalahannya adalah secara

nomenklatur belum tertulis nama lembaga dari jenis pendidikan Islam, karena dalam UU Sisdiknas 1989 hanya menyebutkan bahwa dalam jenis pendidikan terdapat pendidikan keagamaan. Sehingga pendidikan keagamaan Islam yang bagaimana bentuknya, belum jelas dalam undang-undang tersebut.

Status MI, MTs dan MA sama dengan sekolah umum dalam UU Sisdiknas 1989 tidak tertulis, padahal telah ditetapkan SKB 3 Menteri tahun 1975 tentang Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah. Status kesamaan tersebut baru terlihat dalam bentuk peraturan pemerintah sebagai tindak lanjut dari pasal 12, 13, dan 15 UU Sisdiknas 1989, yaitu: PP RI No. 28 Tahun 1990, PP RI No. 29 Tahun 1990.6 Selain itu, madrasah diniyah dan pesantren belum diakomodir dalam undang-undang tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat terlihat bahwa pengakuan pendidikan Islam dalam kebijakan yang ditetapkan pemerintah secara kekuatan hukum masih belum maksimal, sehingga keberadaan pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional masih belum kuat. Apalagi pendidikan Islam yang secara kurikulum lebih khusus kepada materi agama, seperti madrasah diniyah dan pesantren. Statusnya hanya sebatas peraturan menteri agama yang mana kekuatan hukumnya masih rendah jika dilihat dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.

(14)

Indonesia yang telah memberikan konstribusinya dalam mencerdaskan bangsa, namun peraturan perundang-undangan yang mengatur pendidikan Islam sejak Indonesia merdeka hingga tahun 2003 belum mendapatkan pengakuan atau pada masa lalu itu legalitas yang mengatur pendidikan Islam lemah, terutama pengakuan pendidikan diniyah dan pondok pesantren sebagai lembaga. Hal tersebut sebagaimana penjelasan Prof. Husni Rahim, sebagai berikut:

Aspek hukum atau legalitasnya pendidikan yang di bawah Kemenag pada masa lalu itu lemah. Pendidikan keagamaan baru diakui pada UU RI No. 20 Tahun 2003. Pada UU RI No. 4 Tahun 1950 sebagai UU Sisdiknas pertama, pendidikan keagamaan atau madrasah belum menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, sehingga pendidikan keagamaan bukan menjadi tanggung jawab pemerintah, maka pendanaannya tidak ada, bantuan pada gurunya juga tidak ada, kalaupun ada hanya sekadarnya. Kemudian, karena pendidikan keagamaan tidak tanggung jawab negara, tidak dapat bantuan dari negara, tidak dapat fasilitas apa pun maka lulusannya kalah bersaing. Lulusan yang kalah bersaing itu tidak dilirik atau dianggap orang sekadar pelengkap atau tidak utama.7

Kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan keagamaan Islam yang memiliki legalitas yang kuat sangat perlu ditetapkan oleh pemerintah, karena sebagaimana penjelasan Prof. Husni di atas bahwa lemahnya legalitas memberikan dampak yang tidak baik untuk lulusan pendidikan keagamaan Islam. Oleh karena itu, dengan memiliki legalitas yang kuat dapat diharapkan pemerintah bertanggung jawab sebagaimana tanggung jawabnya terhadap pendidikan umum.

Adanya tanggung jawab pemerintah diharapkan pula pendidikan keagamaan Islam memperoleh anggaran penyelenggaraan pendidikan yang sesuai kebutuhan. Anggaran penyelenggaraan pendidikan yang sesuai kebutuhan diharapakan dapat membawa perubahan yang lebih baik. Lulusannya yang sebelumnya kalah bersaing dengan pendidikan umum, diharapkan dengan adanya anggaran lulusannya dapat bersaing dengan lulusan pendidikan umum dan mendapatkan pengakuan yang baik oleh masyarakat umum. Oleh sebab itu, sangat diperlukan kebijakan pemerintah yang mengatur

(15)

pendidikan umum dalam sistem pendidikan nasional.

Empat belas tahun sejak UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, lahirlah UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang yang baru ini telah mengatur pendidikan Islam sebagai mata pelajaran, pendidikan Islam sebagai lembaga, dan pendidikan Islam sebagai nilai.

Undang-undang tersebut sebelum pengesahan mendapatkan perdebatan yang sengit sebelum diakui dalam bentuk undang-undang, terutama berkaitan dengan istilah pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, pengakuan kesetaraan pendidikan diniyah dan pesantren dengan pendidikan formal dan sebagainya.8

UU Sisdiknas 2003 memang memberikan pengakuan yang lebih terhadap pendidikan Islam daripada undang sebelumnya, karena dalam undang-undang ini pendidikan Islam sebagai lembaga, mata pelajaran, dan nilai telah dicatumkan pada undang-undang tersebut. Menurut Abdul Karim Lubis, “Saat undang-undang ini disahkan, kontra datang dari kalangan non-muslim, karena mereka menganggap undang-undang ini hanya untuk kepentingan beragama bukan kepentingan kebangsaan.”9

Menurut Azyumardi Azra terjadinya perdebatan dalam penetapan kabijakan negara disebabkan, karena:

Perbedaan orientasi dan cara pandang berkenaan posisi dan peran agama dalam kehidupan bernegara. Perbedaan pandangan tentang peran agama dalam kehidupan kenegaraan dalam konteks Indonesia bermula sejak masa prakemerdekaan. Perbedaan cara pandang itulah yang juga mewarnai perdebatan dalam melahirkan kebijakan negara tentang pendidikan, terutama berkaitan dengan pendidikan agama dan keagamaan (pendidikan Islam).10

8 Abd. Halim Soebahar, op.cit., h. 137.

9 Abdul Karim Lubis, “Kebijakan Pemerintah tentang Pendidikan Islam di Era Reformasi:

Studi UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003”, Tesis pada Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, h. 5.

(16)

dan MA lebih jelas dan begitu juga dengan statusnya sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam telah setara dengan pendidikan umum. Tentu, hal ini membawa MI, MTs, dan MA dalam kebijakan pemerintah menduduki kedudukan kuat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selain itu, kedudukan pendidikan agama menduduki posisi pertama dalam kurikulum nasional yang sebelumnya pada UU Sisdiknas 1989 menduduki posisi kedua setelah pendidikan pancasila.

Ada perkembangan yang diperoleh pendidikan Islam dalam undang-undang yang baru tersebut, yaitu adanya penjelasan pendidikan keagamaan yang lebih jelas dibandingkan penjelasan pendidikan keagamaan pada UU Sisdiknas 1989. Pasal 30 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menjelaskan sebagai berikut:

(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.

(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.

(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.

(5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.11

Penjelasan pendidikan keagamaan dalam pasal dan ayat di atas lebih jelas dibandingkan dengan Undang-Undang Sisdiknas tahun 1989, sebagaimana tertulis dalam Pasal 11 ayat (6), “Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan”.12

UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas merupakan undang-undang pertama sejak Indonesia merdeka yang menyebutkan secara khusus

(17)

disebutkan apa saja jenis pendidikan keagamaan Islam, yaitu pendidikan diniyah dan pesantren.

Berdasarkan pada Pasal 30 ayat (5) di atas, ketentuan lebih lanjut tentang pendidikan keagamaan diatur oleh peraturan pemerintah. Perintah ayat tersebut baru direalisasikan oleh pemerintah setelah empat tahun dari diundangkannya UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Peraturan Pemerintah itu adalah PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada 5 Oktober 2007.13

Peraturan Pemerintah tersebut menjadi penjelas untuk menjalankan UU Sisdiknas 2003 dalam penyelenggaraan pendidikan keagamaan Islam di tanah air. Peraturan Pemerintah tersebut selayaknya memberikan penjelasan yang lebih dibandingkan penjelasan dalam UU Sisdiknas 2003 tentang pendidikan keagamaan Islam. Walaupun demikian, masih ada saja permasalahan yang timbul, yang hingga saat ini masih dihadapi pendidikan keagamaan Islam di tanah air.

Setelah PP tersebut diberlakukan, maka status kesetaraan pendidikan keagamaan dengan pendidikan umum semakin jelas. Kesetaraan ini ternyata juga menimbulkan dampak negatif, yaitu bisa menimbulkan pergeseran pandangan masyarakat tehadap pendidikan keagamaan Islam yang pada awalnya untuk memperoleh pengetahuan agama saja, lalu lebih bergeser menjadi untuk mencari pengakuan atau ijazah. Menurut Abd. Halim Soebahar, “Semula, mereka belajar semata-mata untuk tafaqquh fiddin, setelah kebijakan diimplementasikan berubah menjadi tafaqquh fiddin wad dun ya. Orientasi belajar peserta didik yang mendua tersebut, akan menyebabkan konsentrasi belajar peserta didik juga mendua, tidak fokus, jarang yang mendalam kedua-keduanya, yang banyak terjadi justru kurang mendalam keduanya.”14

Ahmad Faris Wijdan menyimpulkan sebagaimana dikutip oleh Abd. Halim Soebahar, “Jika dikaji dari perspektif sistem pendidikan nasional, maka eksistensi kelembagaan madrasah diniyah, eksistensi kurikulum madrasah diniyah, eksistensi pendidik madrasah diniyah, maupun eksistensi penilaian

13

PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.

14

(18)

nasional yang ditetapkan dalam PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.”15

Hasil penelitian di atas, dapat menjadi gambaran bagaimana kualitas pendidikan keagamaan Islam di Indonesia hingga saat ini. Menurut Prof. Husni Rahim kualitas pendidikan keagamaan Islam di Indonesia hingga saat ini belum mampu bersaing dengan pendidikan umum. Sedangkan, kualitas pendidikan itu menurut Prof. Husni Rahim adalah menjadi tolak ukur masyarakat menilai pendidikan, dan dengan kualitaslah pendidikan itu dapat bersaing. Jika kualitas pendidikan itu lemah, maka pendidikan itu tidak akan dilirik orang atau bahkan tidak dianggap. Oleh sebab itu, menurut Prof. Husni Rahim, kualitas menjadi permasalahan yang hingga saat ini masih dihadapi pendidikan keagamaan Islam di Indonesia.16

Menteri Agama Suryadharma Ali pada tanggal 21 Februari 2012 menetapkan PMA RI No. 3 Tahun 2012 tentang Pendidikan Keagamaan Islam dan kemudian diundangkan pada tanggal 23 Februari 2012 sebagai kebijakan yang lebih operasional tentang pendidikan keagamaan Islam dari PP RI No. 55 Tahun 2007, tetapi belum ditidaklanjuti dalam bentuk

action/sosialisasi, pada tanggal 19 Juni 2012 Menteri Agama telah menetapkan PMA No. 9 Tahun 2012 tentang Pencabutan PMA No. 3 Tahun 2012.17 Apa alasan dari pencabutan PMA tersebut tidak jelas dan ini tentu sangat disayangkan.

Kemudian, setelah dua tahun dari pencabutan PMA RI No. 3 Tahun 2012, Menteri Agama yang baru dilantik Presiden SBY, yaitu Lukman Hakim Saifuddin menetapkan PMA RI No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam pada tanggal 18 Juni 2014 dan diundangkan pada tanggal itu juga.18 Dengan demikian, kebijakan yang lebih operasional dari PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan keagamaan Islam di Indonesia tidak ada selama tujuh tahun. Padahal, sebagaimana pernyataan Abd. Halim Soebahar,

15

Ibid., h. 86.

16

Wawancara Pribadi dengan Prof. Husni Rahim, Ciputat, 04 September 2014.

17

Abd. Halim Soebahar, op.cit., h. 94.

18

(19)

diterjemahkan melalui rambu-rambu lain sebagai produk hukum pendukung yang sampai ke tangan praktisi pendidikan.”19

Kemudian, permasalahan yang masih dihadapi pendidikan keagamaan Islam adalah mengenai statusnya dalam sistem desentralisasi atau otonomi daerah. Menurut Abd. Halim Soebahar, “Kementerian Agama RI, sampai saat ini belum memiliki kejelasan status madrasah dalam konteks otonomi daerah.”20 Dalam segi-segi tertentu madrasah masih mendapatkan perlakuan diskriminatif. Azyumardi Azra menyatakan:

Misalnya saja dari segi anggran, karena Kementerian Agama adalah instansi vertikal-yang tidak termasuk didesentralisasikan-pemerintah daerah dan DPRD (provinsi, kabupaten/kota) tidak dapat/tidak bersedia memberikan anggaran rutin kepada madrasah, termasuk tambahan insentif kepada guru madrasah. Padahal, madrasah adalah lembaga pendidikan di mana anak bangsa juga mendapatkan pendidikannya-sama dengan sekolah umum di bawah Kemendikbud. Perlakuan diskriminatif ini masih terus berlanjut tanpa ada usaha kongkret dari Kementerian Agama untuk menyelesaikannya.21

Ini artinya sistem desentralisasi yang telah diberlakukan sejak reformasi telah mengakibatkan status pendidikan Islam yang tidak jelas, termasuk pendidikan keagamaan Islam. Jika keadaan ini terus terjadi, maka kualitas pendidikan Islam akan semakin tertinggal dengan pendidikan umum.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka saya berkeinginan untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan kebijakan pendidikan keagamaan Islam di Indonesia, yaitu PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan yang merupakan sebagai acuan operasional UU RI No. 20 Tahun 2003 yang berkaitan tentang pendidikan keagamaan Islam, dengan judul: “KEBIJAKAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM DI INDONESIA (STUDI TENTANG PP RI NO. 55 TAHUN 2007)”.

19

Abd. Halim Soebahar, op.cit., h. 194.

20

Ibid., h. 123.

21

(20)

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Kualitas Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia masih lemah jika ditinjau dari standar nasional pendidikan, sehingga belum mampu bersaing dengan pendidikan umum. Sebagaimana hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa eksistensi madrasah diniyah sebagai bagian dari pendidikan keagamaan Islam dalam perspektif sistem pendidikan nasional belum memenuhi standar sistem pendidikan nasional yang ditetapkan dalam PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

2. Sejumlah kebijakan pendidikan yang ditetapkan pemerintah pada kenyataannya sering mendapat kritikan dari berbagai lapisan masyarakat. 3. Selama empat tahun tidak ada kebijakan operasional dari UU RI No. 20

Tahun berkaitan dengan pendidikan keagamaan Islam dan selama tujuh tahun pula tidak ada kebijakan tentang pendidikan keagamaan Islam yang lebih operasional dari PP RI No. 55 Tahun 2007 berkaitan dengan pendidikan keagamaan Islam. Padahal, dalam logika yudisial, sifat imperatif suatu produk hukum akan efektif jika diterjemahkan melalui rambu-rambu lain sebagai produk hukum pendukung yang sampai ke tangan praktisi pendidikan.

(21)

mendapatkan perlakuan diskriminatif di daerah, misalnya saja dari segi anggaran. Padahal, status pendidikan keagamaan Islam telah disamakan dengan pendidikan umum. Hal tersebut terjadi, karena pendidikan keagamaan Islam berada di bawah naungan Kementerian Agama, sedangkan Kementerian Agama adalah instansi vertikal-yang tidak termasuk didesentralisasikan-, sehingga pemerintah daerah dan DPRD (provinsi, kabupaten/kota) tidak dapat/tidak bersedia memberikan anggaran rutin kepada madrasah, termasuk tambahan insentif kepada guru madrasah.

C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka ada beberapa pembatasan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

a) Permasalahan yang akan diteliti adalah mengenai rumusan kebijakan pendidikan keagamaan Islam di Indonesia perspektif kebijakan publik. b) Perspektif kebijakan publik yang dimaksud adalah ditinjau berdasarkan

bentuk kebijakan publik, tingkatan kebijakan publik, tujuan kebijakan publik, dan ciri-ciri kebijakan publik yang ideal.

c) Kebijakan pendidikan keagamaan Islam yang akan diteliti adalah PP RI No. 55 Tahun 2007.

d) Pendidikan Keagamaan Islam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagaimana yang dimaksud pada rumusan Pasal 14 ayat (1) PP RI No. 55 Tahun 2007, “Pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren.”

2. Perumusan Masalah

(22)

1. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kebijakan pengelolaan pendidikan keagamaan Islam dalam PP RI No. 55 Tahun 2007 dalam perspektif kebijakan publik.

2. Kegunaan penelitian

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi untuk para pelaksana maupun pemerhati pendidikan Keagamaan Islam.

b. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pembelajaran dalam menetapkan kebijakan pendidikan yang lebih baik lagi.

c. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi menambah khazanah keilmuan tentang pendidikan keagamaan Islam di Indonesia.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kebijakan (policy research). Menurut Riant Nugroho,

Penelitian kebijakan adalah penelitian dengan objek suatu kebijkan tertentu. Penelitian kebijakan dapat dikelompokkan menjadi, yaitu: Pertama, penelitian untuk kebijakan, dalam arti penelitian untuk merumuskan suatu kebijakan, baik sebagai suatu kebijakan baru ataupun kebijakan revisi. Kedua, penelitian tentang kebijakan, yaitu penelitian tentang suatu kebijakan tertentu dengan dimensi penelitian berkenaan dengan rumusan kebijakan, termasuk di dalamnya proses perumusan dan dinamika di dalamnya; implementasi kebijakan, termasuk dinamika di dalamnya, termasuk di dalamnya bagaimana kebijakan dikendalikan, baik dari sisi monitoring, evaluasi, maupun pengganjarannya; kinerja kebijakan, termasuk dinamika di dalamnya, dari sejak output atau keluaran, atau hasil yang dirasakan atau dinikmati organisasi publik, hingga outcome atau impak atau hasil yang dirasakan atau dinikmati oleh publik dan umpan balik kepada organisasi publik; dan lingkungan kebijakan, baik lingkungan kebijakan pada saat perumusan, implementasi, maupun pada waktu kebijakan berkinerja.22

(23)

penelitian tentang kebijakan, yaitu penggunaan pendekatan dan strategi penelitian dalam ranah kebijakan terkait dengan perumusan kebijakan, rumusan kebijakan, desiminasi kebijakan, implementasi kebijakan, kinerja kebijakan, lingkungan kebijakan, dan dampak kebijakan.23 Penelitian kebijakan sangat beragam. Menurut Nusa Putra dan

Hendarman, “Keberagaman itu berakar pada kenyataan banyak

pendekatan dan strategi penelitian yang digunakan untuk dan dalam penelitian kebijakan.”24

Memperhatikan banyaknya fokus masalah dalam penelitian tentang kebijakan, maka dalam penelitian ini hanya fokus pada penelitian tentang rumusan kebijakan.

Penelitian tentang isi/rumusan kebijakan adalah penelitian untuk menilai suatu kebijakan dari sisi muatan atau isinya. Menurut Nusa Putra

dan Hendarman, “Rumusan kebijakan bisa dikaji dengan analisis isi, baik

yang bersifat kuantitatif, kulitatif, maupun komparatif, metaanalisis, dan studi banding yang bersifat historis antara rumusan kebijakan itu dengan kebijakan sejenis dalam rentang waktu tertentu.”25

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut, yaitu:

a. Dokumentasi

Teknik dokumentasi sebagai teknik pengumpulan data yang berbentuk tulisan. Menurut Sugiyono, “Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen

23 Nusa Putra dan Hendarman, Metodologi Penelitian Kebijakan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), Cet. I, h. 77.

24 Ibid., h. 81.

(24)

(life histories), ceritera, biografi, peraturan, kebijakan.” Dalam pengumpulannya langkah-langkah yang digunakan: 1) mengumpulkan data-data yang diperoleh dari sumber primer dan

sekunder.

2) melakukan editing terhadap data yang telah dikumpulkan.

3) menyusun seluruh data yang diperoleh sesuai dengan urutan pembahasan yang telah direncanakan.

b. Wawancara

Lexy J. Moleong menyatakan, “Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.”27 Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara.

Lexy J. Moleong menjelaskan bahwa wawancara pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara adalah sebagai berikut: Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat

kerangka dan garis besar pokok-pokok yang dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara berurutan. Demikian pula penggunaan dan pemilihan kata-kata untuk wawancara dalam hal tertentu tidak perlu dilakukan sebelumnya. Petunjuk wawancara hanyalah berisi petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi wawancara untuk menjaga agar pokok-pokok yang dirancanakan dapat seluruhnya tercakup. Tidak ada perangkat pertanyaan baku yang disiapkan terlebih dahulu. Pelaksanaan wawancara dan pengurutan pertanyaan disesuaikan dengan keadaan responden dalam konteks wawancara yang sebenarnya.28

Pada penelitian ini, peneliti akan mewawancarai narasumber yang memahami atau ahli dalam kebijakan pendidikan Islam di Indonesia, yaitu Prof. Dr. Husni Rahim yang merupakan Guru Besar

26 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: CV Alfabeta, 2011), Cet. XIII, h. 329.

27 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), Cet. XXI, h. 186.

(25)

menduduki posisi strategis di Kementerian Agama, di antaranya pernah menjabat Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama). Tugas utama yang diembannya ketika itu adalah menangani masalah kebijakan dan pengambilan keputusan bagi pengembangan pendidikan Islam.

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua sumber, yaitu: sumber primer dan sekunder.

a. Sumber primer

Sumber primer merupakan bahan utama atau rujukan utama dalam mengadakan suatu penelitian untuk mengungkapkan data dan menganalisis penelitian tersebut.

Adapun sumber primer yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2) PP RI No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan

Pendidikan Keagamaan.

3) PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. 4) PP RI No. 32 Tahun 2013 tentang Perubahan PP RI No. 19

Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

5) PMA RI No. 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam.

b. Sumber sekunder

(26)

adalah untuk memberikan informasi atau pengetahuan tambahan.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis isi (content analysis). Menurut Amirul Hadi dan Haryono:

Penelitian dengan metode analisis isi digunakan untuk memperoleh keterangan dari isi komunikasi, yang disampaikan dalam bentuk lambang yang terdokumentasi atau dapat didokumentasikan. Metode ini dapat dipakai untuk menganalisis semua bentuk komunikasi, seperti pada surat kabar, buku, puisi, film, cerita rakyat, peraturan perundang-undangan, dan sebagainya.29

Teknik analisis isi dalam penelitian ini adalah dengan membandingkan isi/rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 mengenai pendidikan keagamaan Islam dengan teori kebijakan publik. Untuk melaksanakan teknik analisis isi tersebut, maka langkah-langkah yang digunakan adalah dengan menyeleksi sumber data yang relevan, menyusun item-item yang spesifik, mengurai data atau menjelaskan data, sehingga berdasarkan data tersebut dapat ditarik pengertian-pengertian dan kesimpulan-kesimpulan.

F. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian tentang kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam di Indonesia bukankah penelitian yang baru. Ada beberapa peneliti yang telah melakukan penelitian tentang hal tersebut, di antaranya:

Fauzan, dalam tesisnya yang berjudul Kebijakan Pemerintah terhadap Pendidikan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Indonesia: Suatu Analisis

Kebijakan dalam Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Penelitiannya mengkaji kebijakan-kebijakan pemerintah pada Orde Lama dan Orde Baru tentang persoalan kurikulum, sumber daya manusia, sarana prasarana, dan persoalan anggaran yang dilihat dari sisi historis dan manajemen yang terjadi

(27)

kebijakan yang diterapkan pemerintah Orde Lama dan Orde Baru mampu menciptakan PTAIN yang lebih inklusif atau eksklusif. Hasil penelitiannya adalah ia menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Lama dan Orde Baru sangat berpengaruh terhadap proses penciptaan kondisi PTAIN yang lebih inklusif, terbuka, dan lebih memberi peluang kepada para lulusan perguruan tinggi ini.30

Kemudian, penelitian oleh Abdul Karim Lubis dalam tesisnya yang berjudul Kebijakan Pemerintah tentang Pendidikan Islam di Era Reformasi: Studi UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Penelitiannya bertujuan untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi pemerintah, apa tujuan pemerintah, dan apa implikasinya pemerintah mengakomodasi lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam UU Sisdiknas tahun 2003. Ia membatasi pendidikan Islam sebagai lembaga yaitu madrasah, madrasah diniyah, dan pondok pesantren. Hasil penelitiannya adalah ia menemukan bahwa kebijakan politik pendidikan pemerintah era reformasi mengakomodasi lembaga-lembaga pendidikan Islam cenderung murni berasal dari keputusan politik pemerintah itu sendiri, tanpa ada lobi-lobi, intervensi dan desakan dari eksternal. Lalu, implikasinya adalah diposisikannya madrasah (sekolah umum berciri khas Islam) sebagai komponen utama dalam sistem pendidikan nasional dan diintegrasikannya pendidikan diniyah dan pondok pesantren ke dalam sistem pendidikan nasional.31

Sedangkan penelitian ini fokus pada bagaimana rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007 mengenai pendidikan keagamaan Islam perspektif kebijakan publik, karena belum ada sepengetahuan peneliti, penelitian yang secara khusus mengkaji PP RI No. 55 Tahun 2007 mengenai pendidikan keagamaan Islam perspektif kebijakan publik. Oleh karena itu, hal tersebut layak untuk diteliti.

30Fauzan, “Kebijakan Pemerintah terhadap Pendidikan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Indonesia: Suatu Analisis Kebijakan dalam Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru”, Tesis

pada Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003, tidak dipublikasikan.

31 Abdul Karim Lubis, “Kebijakan Pemerintah tentang Pendidikan Islam di Era Reformasi:

(28)

A. Kebijakan Publik

Menurut Yoyon Bahtiar, “Kejalasan maknawiyah tentang kebijakan dapat ditelusuri dari literatur kebijakan tentang ketatanegaraan yang menganggap bahwa ilmu kebijakan sering dianggap lebih dekat kepada Administrasi Negara dibandingkan dengan Ilmu Politik.”1

Solochin menyatakan bahwa:

Mendefinisikan atau merumuskan apa yang dimaksud dengan kebijakan publik itu ternyata bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Kemungkinan penyebab dari kesukaran ini, karena kebijakan publik itu sendiri -sebagai bidang kajian- seumpamanya hamparan lahan garapan, bukan hanya terdiri dari satu petak dan satu lapis dengan satu penggarap melainkan terdiri dari berlapis lahan-lahan garapan dari sekian banyak penggarap.2

1. Definisi Kebijakan Publik

Banyak tokoh yang mencoba mendefinisikan apa itu kebijakan publik, di antaranya adalah sebagi berikut:

Definisi yang sering dikutip dan hampir selalu dapat kita jumpai di setiap buku teks yang ditulis oleh para ahli adalah yang dikemukakan oleh Thomas R. Dye sebagaimana dikutip oleh Riant Nugroho, “Kebijakan publik ialah whatever governments choose to do or not to do

(pilihan tindakan apa pun yang dilakukan atau tidak ingin dilakukan oleh pemerintah). Namun, meski cukup akurat, ia sebenarnya tidak cukup memadai untuk mendeskripsikan substansi atau esensi kebijakan publik yang sesungguhnya.”3

1 Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan Pembaruan Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Cet. I, h. 31.

2

Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan Model-Model Implementasi Kebijakan Publik, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), Cet. I, h. 11.

3

(29)

Eystone merumuskan dengan pendek sebagaimana dikutip oleh Riant Nugroho, “Kebijakan publik adalah antar hubungan yang berlangsung di antar unit/satuan pemerintahan dengan lingkungannya.”4

Menurut Wilson kebijakan publik sebagaimana dikutip oleh Riant Nugroho, “Tindakan-tindakan, tujuan-tujuan, dan pernyataan pemerintah mengenai masalah-masalah tertentu, langkah-langkah yang telah/sedang diambil (atau gagal diambil) untuk diimplementasikan, dan penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh mereka mengenai apa yang telah terjadi (atau tidak terjadi).”5

Pakar yang berasal dari Inggris, W. I. Jenkins merumuskan kebijakan publik sebagaimana dikutip oleh Riant Nugroho, “Serangkaian keputusan yang yang saling berkaitan yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekolompok aktor, berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi. Keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kekuasaan dari para aktor tersebut.”6

Kemudian, Chief J. O. Udoji, seorang pakar dari Nigeria mendefinisikan kebijakan publik sebagaimana dikutip oleh Riant Nugroho, “Suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang saling berkaitan dan mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat.”7

(30)

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan kebijakan, sebagaimana yang dikutip Solichin,

Kebijakan adalah pedoman untuk bertindak. Pedoman itu bisa saja amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat. Kebijakan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu, atau suatu rencana.9

Yoyon Bahtiar merumuskan, “Kebijakan merupakan segala perbuatan yang dikehendakai pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan yang dirumuskan dalam suatu kebijakan, untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai melalui program-program pemerintah.”10

M. Solly Lubis mendefinisikan public policy (kebijakan publik), “Serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah dengan tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat.”11 Ia menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan public interest, public institutions, public management, public sevice, public servant, dan public

bureaucracy. Istilah public menunjukkan sifat-sifat yang umum dan berarti bukan masalah-masalah pribadi (individu/privat).12

Kebijakan publik sebagai public interest karena kepentingan yang dilayani di sini adalah kepentingan-kepentingan publik, maka yang aktif dan bekerja dalam hal ini ada beberapa lembaga publik yang dinamakan

public institutions. Oleh karena itu, untuk keberhasilan dan penyelenggaraan pelayanan kepentingan umum ini harus ada manajemen (pengelolaan) yang dijalankan lembaga-lembaga atau jabatan resmi, secara tersistem dan terarah. Manajemen yang dilakukan oleh jabatan-jabatan resmi itu disebut public management. Manajemen itu bertujuan melakukan pelayanan (service) kepada masyarakat dalam pelayanan

M. Solly Lubis, Kebijakan Publik, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2007), Cet. I, h. 9.

12

(31)

terhadap masyarakat itu disebut public service. Para pejabat negara dan seluruh aparatur pemerintahan harus bersikap sebagai pelayan kepada masyarakat atau disebut public servant. Aparatur pemerintah yang melakukan pelayanan umum itu dikendalikan melalui biro-biro, di mana sering dinamakan kelompok birokrat dan ini disebut public bureaucracy.13

Riant Nugroho sebagai public policy specialist di tanah air menyatakan bahwa kebijakan publik, “Keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju kepada masyarakat yang dicita-citakan.”14

Riant Nugroho juga menyatakan:

Kita bisa menemukan lebih dari selusin definisi dari kebijakan publik, dan tidak ada dari satu definisi tersebut yang keliru, semuanya benar dan saling melengkapi. Hanya satu hal yang perlu dicatat, beberapa ilmuwan sosial di Indonesia menggunakan istilah

kebijaksanaan sebagai kata ganti dari policy. Perlu diketahui, kebijaksanaan bukanlah kebijakan, karena (ke)bijkasana(an) adalah salah satu dari ciri kebijakan publik yang unggul.”15

2. Ciri-ciri Kebijakan Publik yang Ideal

Kebijakan publik itu pada hakikatnya merupakan sebuah aktivitas yang unik (a unique activity), dalam arti ia mempunyai ciri-ciri tertentu yang agaknya tidak dimiliki oleh kebijakan jenis lain. Ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijakan-kebijakan publik bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan itu lazimnya dipikirkan, didesain,

13

Ibid.

14

H. A. R. Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), Cet. I, h. 184.

15

(32)

dirumuskan, dan diputuskan oleh mereka yang memiliki otoritas dalam sistem politik.16

Kebijakan publik yang dapat memberikan keadilan, maka haruslah kebijakan publik yang ideal, yaitu yang unggul, mempunyai tiga ciri utama, yang sekaligus dijadikan kriteria, yaitu:

a. Cerdas.

Cerdas, yaitu memecahkan masalah pada inti permasalahannya. Kebijakan yang harus cerdas (intelligent) yang secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu cara yang mampu menyelesaikan masalah sesuai dengan masalahnya sehingga sebuah kebijakan harus disusun setelah meneliti data dan menyusunnya dengan cara-cara yang ilmiah.

Kecerdasan membuat pengambil keputusan kebijakan publik fokus pada isu kebijakan yang hendak dikelola dalam kebijakan publik daripada popularitasnya sebagai pengambil keputusan kebijakan.

b. Bijaksana.

Bijaksana, yaitu tidak menghasilkan masalah baru yang lebih besar daripada masalah yang dipecahkan. Kebijaksanaan membuat pengambil keputusan kebijakan publik tidak menghindarkan diri dari kesalahan yang tidak perlu.

c. Memberikan harapan.

Memberikan harapan, yaitu memberikan harapan kepada seluruh warga bahwa mereka dapat memasuki hari esok lebih baik dari hari ini. Dengan memberikan harapan, maka kebijakan publik menjadi a seamless pipe of transfer of prosperity dalam suatu kehidupan bersama.

Kebijakan publik tidak identik dengan hukum publik, karena hukum publik berkenaan dengan larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar oleh publik, agar kehidupan bersama berjalan dengan tertib, sementara kebijakan publik utamanya berkenaan dengan kepentingan publik, bukan semata-mata kepentingan negara. Karena itu, ukuran ketiga dari kebijakan ideal adalah memberikan harapan bagi publik, baik yang menjadi pemanfaat maupun konstituan secara luas.17

(33)

Tabel Alat Ukur Kualitas Kebijakan

Kebijakan Cerdas Bijaksana Harapan Kualitas Kebijakan Kebijakan A Tidak Tidak Tidak Amat Buruk

Kebijakan B Ya Tidak Tidak Buruk

Kebijakan C Ya Ya Tidak Biasa

Kebijakan D Ya Ya Ya Unggul

Sumber: Riant Nugroho dalam bukunya Public Policy.18

Riant Nugroho menjelaskan bahwa:

Kalau tidak memenuhi semua kriteria, jelas sangat buruk, artinya tidak layak menjadi sebuah kebijakan, dan kalau perlu dihapus. Kalau hanya satu jenis, kebijakan itu pun masih buruk. Kalau dua kriteria, masuk kategori kebijakan biasa saja. Selanjutnya, kebijakan yang memenuhi tiga kriteria, adalah kebijakan yang baik dan nilai baik di sini adalah nilai unggul atau excelleence.19

3. Bentuk-bentuk Kebijakan Publik

Kebijakan publik memiliki empat wujud, yaitu: a. Kebijakan formal atau Peraturan formal

Kebijakan formal adalah “keputusan-keputusan yang dikodifikasikan secar tertulis dan disahkan atau diformalkan agar dapat berlaku. Kebijakan publik diformalkan dalam bentuk legal-legal tidak senantiasa identik dengan hukum.”20 Kebijakan publik tidak identik dengan hukum, karena kebijakan tidak selalu hukum. Jika hukum itu „menghukum‟ (to punish) dan membatasi (to limit); kebijakan itu mengarahkan (to direct) membimbing (to guide) dan mengelola (to govern). Kebijakan publik tidak mengesampingkan hukum, karena hukum adalah salah satu bentuk formal kebijakan publik.21

(34)

1) Perundang-undangan.

Perundang-undangan adalah kebijakan publik berkenaan dengan usaha-usaha pembangunan nasion, baik berkenaan dengan negara maupun masyarakat atau rakyat. Karena berkenaan dengan pembangunan, maka perundang-undangan lazimnya bersifat menggerakkan, maka wajarnya ia bersifat mendinamiskan, mengantisipasi, dan memberi ruang bagi inovasi.22

Untuk perudang-udangan, terdapat dua pemahaman: pola Anglo-Saxon, yang berupa keputusan legislatif dan keputusan eksekutif; dan pola Kontinental, yang biasanya terdiri dari pola makro, messo, dan mikro.23

UU RI No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada Pasal 7, mengatur jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan, sebagai berikut:

(a) UUD Negara RI Tahun 1945 (b) TAP MPR

(c) UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (d) Peraturan Pemerintah

(e) Peraturan Presiden

(f) Peraturan Daerah Provinsi

(g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Model susunan jenis peraturan perundang-undangan di atas membuktikan bahwa Indonesia masih menganut model Kontinentalis yang diwariskan oleh Belanda saat masa penjajahannya di Indonesia. Model Kontinentalis dikelompokkan kebijakan publik menjadi tiga, yaitu:

(a) Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar, yang lazim diterima mencakup UUD, TAP MPR, UU/Perpu.

22

Ibid., h. 137.

23

(35)

(b) Kebijakan publik yang bersifat messo atau menengah, atau penjelas pelaksanaan yang lazim diterima mencakup PP dan Perpres.

(c) Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan di atasnya yang lazim diterima mencakup Perda-Perda.24

2) Hukum.

Hukum atau law adalah:

Aturan yang bersifat membatasi dan melarang. Tujuannya adalah untuk menciptakan ketertiban publik. Khasanah hukum biasanya mencakup pidana, perdata, tata negara, dan hukum khusus, termasuk di dalamnya hukum penindakan korupsi dan hukum militer. Hal ikhwal hukum wajarnya berkenaan dengan keputusan-keputusan hukum, yang terdiri dari: keputusan mediasi atau keputusan kesepakatan di antara pihak yang bersengketa; keputusan pengadilan atau keputusan yang ditetapkan oleh hakim melalui proses keadilan, dan; keputusan judisial atau keputusan oleh lembaga yang berada di atas lembaga pembuat keputusan pengadilan, misalnya Mahkamah Agung.25

3) Regulasi.

Bentuk ketiga kebijakan formal adalah regulasi. Regulasi berkenaan dengan alokasi asset dan kekuasaan negara oleh Pemerintah -sebagai wakil lembaga negara- kepada pihak non-pemerintah, termasuk di dalamnya lembaga bisnis dan nirlaba. Regulasi yang bersifat umum adalah pemberian izin atau lisensi kepada suatu organisasi bisnis atau kemasyarakatan/nirlaba untuk menyelenggarakan misi menjadi bagian untuk membangun masyarakat.26

Namun demikian, ada kebijakan regulasi yang bersifat khusus, yaitu regulasi yang berkenaan dengan tiga isu:

(a) Ada aset negara yang dikelola lembaga bisnis,

(36)

(c) Atau karena keberadaannya memerlukan adanya monopoli (termasuk duopoli atau oligopoli) yang bersifat alami.27

b. Kebiasaan umum lembaga publik yang telah diterima bersama (konvensi)

Bentuk kedua dari kebijakan publik adalah konvensi atau kebiasaan atau kesepakatan umum. Kebijakan ini biasanya ditumbuhkan dari proses manajemen organisasi publik, contohnya upacara rutin, SOP-SOP tidak tertulis, atau tertulis tetapi tidak diformalkan. Ada konvensi yang ditumbuhkan dari aktor organisasi publik, misalnya Pidato Presiden setiap tanggal 16 Agustus. Selain itu, ada konvensi yang ditumbuhkan dari publik, contohnya selamatan 17 Agustus, selamatan atas kejadian yang berkenaan dengan kelembagaan publik.28

c. Pernyataan pejabat publik dalam forum publik

Bentuk ketiga adalah pernyataan pejabat publik di depan publik. Pernyataan pejabat publik harus dan selalu mewakili lembaga publik yang diwakili atau dipimpinnya. Dengan demikian, setiap pejabat publik harus bijaksana dalam mengemukakan pernyataan-pernyataan yang berkenaan dengan tugas dan kewenangan dari lembaga publik yang diwakilinya.29

d. Perilaku pejabat publik

Bentuk keempat adalah perilaku atau gesture atau gerik-mimik-gaya dari pejabat publik. Kebijakan publik jenis ini merupakan bentuk kebijakan yang paling jarang diangkat sebagai isu kebijakan. Padahal, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia, pada praktiknya, perilaku pejabat publik akan ditiru rakyat.30

27

Ibid.

28

Ibid., h. 18.

29

Ibid., h. 19.

30

(37)

4. Tingkatan Kebijakan Publik

Tri Widodo Wahyu Utomo, S.H, menyebutkan bahwa kebijakan publik memiliki tingkatan-tingkatan, yaitu:

a. Lingkup Nasional 1. Kebijakan Nasional

Kebijakan negara yang bersifat fundamental dan strategis dalam pencapaian tujuan nasional. Wewenang dari MPR, dan Presiden bersama-sama dengan DPR. Bentuk dari kebijakan ini, yaitu: UUD,TAP MPR, UU, PERPU.

2. Kebijakan Umum

Kebijakan Presiden sebagai pelaksana UUD, TAP MPR, UU. Kebijakan ini guna mencapai tujuan nasional. Wewenang dari Presiden. Bentuk dari kebijakan ini, yaitu: PP, KEPPRES, INPRES.

3. Kebijakan Pelaksanaan

Penjabaran dari kebijakan umum sebagai strategi pelaksanaan tugas di bidang tertentu. Wewenang dari menteri / pejabat setingkat menteri dan pimpinan LPND (Lembaga Pemerintah Non Departemen). Bentuk dari kebijakan ini, yaitu: Peraturan, Keputusan, Instruksi Pejabat tertentu.31

b. Lingkup Wilayah/Daerah 1. Kebijakan Umum

Kebijakan Pemerintah Daerah sebagai pelaksanaan asas Desentralisasi dalam rangka mengatur urusan Rumah Tangga Daerah. Wewenang dari Kepala Daerah bersama DPRD. Bentuk dari kebijakan ini, yaitu: PERDA.

2. Kebijakan Pelaksanaan

Wewenang dari Kepala Daerah atau Kepala Wilayah. Bentuk dari kebijakan ini, yaitu: Keputusan Kepala Daerah dan Instruksi Kepala Daerah, atau Keputusan Kepala Wilayah dan Instruksi Kepala Wilayah.32

Tingkatan kebijakan publik di atas, menurut Riant Nugroho merupakan model Kontinentalis yang merupakan warisan Belanda saat masa penjajahannya di Indonesia. Tingkatan peraturan perundang-undangan tersebut masih dianut Indonesia hingga sekarang. Model Kontinental dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

31

Tri Widodo Wahyu Utomo, Pengantar Kebijakan Publik (Introduction to Public Policy), (Bandung: STIA LAN Bandung, 1999), h. 9.

32

(38)

a. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar, yang lazim diterima mencakup UUD, TAP MPR, UU/Perpu. b. Kebijakan publik yang bersifat messo atau menengah, atau

penjelas pelaksanaan yang lazim diterima mencakup PP dan Perpres.

c. Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan di atasnya yang lazim diterima mencakup Perda-Perda.33

Model Kontinentalis yang masih dianut Indonesia tersebut mengakibatkan kebijakan publik yang ditetapkan pemerintah berbentuk

top down. Artinya, sebuah kebijakan dapat full implemented setelah sekian banyak kebijakan pelaksanaannya siap, misalnya, UU Sisdiknas 2003. Kebijakan ini mengamanatkan perlunya dua undang-undang dan lebih kurang dua belas PP sebagai penerjemahan kebijakan di atas, di antaranya tentang standardisasi pendidikan, hak-hak anak didik, peran swasta dalam pendidikan, dan otonomi pendidikan.34

5. Tujuan Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah keputusan otoritas negara yang mempunyai tujuan untuk mengatur kehidupan bersama. Tujuan dari kebijakan publik dapat dibedakan dari sisi sumberdaya atau risorsis, yaitu antara kebijakan publik yang bertujuan men-distribusi sumberdaya negara dan yang bertujuan menyerap sumberdaya negara. Jadi, pemahaman pertama adalah absorbtif versus distributif.35

Kebijakan absorbtif adalah kebijakan yang menyerap sumberdaya, terutama sumberdaya ekonomi dalam masyarakat untuk dijadikan modal atau biaya untuk mencapai tujuan bersama. Termasuk di dalamnya adalah kebijakan perpajakan. Kebijakan distributif, yaitu kebijakan yang secara langsung atau tidak langsung alokasi sumberdaya-sumberdaya material maupun non material ke seluruh masyarakat. Kebijakan

33

Riant Nugroho, op.cit., h. 138.

34

Ibid., h. 55.

35

(39)

distributif murni, misalnya kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan dari daerah untuk menguasai dan mengelola sejumlah sumberdaya.36

Kedua dari tujuan kebijakan publik adalah regulatif versus deregulatif. Kebijakan regulatif bersifat mengatur dan membatasi, seperti kebijakan tarif, kebijakan pengadaan barang dan jasa, kebijakan HAM, kebijakan proteksi industri, dan sebagainya. Kebijakan deregulatif bersifat membebaskan, seperti kebijakan privatisasi kebijakan penghapusan tarif, dan kebijakan pencabutan daftar negatif investasi.37 Ketiga dari tujuan kebijakan publik adalah dinamisasi versus stabilisasi. Kebijakan dinamisasi adalah kebijakan yang bersifat menggerakkan sumberdaya nasion untuk mencapai kemajuan tertentu yang dikehendaki. Misalnya, kebijakan desentralisasi, kebijakan zona industri eksklusif, dan lain-lain. Kebijakan stabilisasi bersifat mengerem dinamika yang terlalu cepat agar tidak merusak sistem yang ada, baik sistem politik, keamanan, ekonomi, dan sosial.38

Keempat dari tujuan kebijakan publik adalah memperkuat negara versus memperkuat pasar. Kebijakan yang memperkuat negara adalah kebijakan-kebijakan yang mendorong lebih besar peran negara sementara kebijakan memperkuat pasar atau publik adalah kebijakan yang mendorong lebih besar peran publik atau mekanisme pasar daripada peran negara. Kebijakan memperkuat negara, misalnya kebijakan tentang pendidikan nasional yang menjadikan negara sebagai pelaku utama pendidikan nasional daripada publik. Kebijakan yang memperkuat pasar, misalnya kebijakan privatisasi BUMN, kebijakan perseroan terbatas, dan lain-lain.39

36

Ibid., h. 153-154.

37

Ibid., h. 154.

38

Ibid.

39

(40)

B. Hubungan Politik, Kebijakan Publik, dan Pendidikan

Setiap sistem politik membuat kebijakan publik. Bahkan dapat dikatakan bahwa produk utama dari sistem dan proses politik adalah kebijakan publik.40 Politik berasal dari kata Yunani, yaitu Politea dan diperkenalkan pertama kali oleh Plato (347 SM) dengan makna hal ikhwal mengenai negara dan dikembangkan oleh muridnya Aristoteles (322 SM) yang memahami politik sebagai seni mengatur dan mengurus negara. Ini merupakan makna pertama tentang politik. Di sini politik kemudian dipahami sebagai kegiatan suatu sistem politik atau negara untuk mencapai tujuan bersama. Pemahaman ini menjadi pemahaman yang paling universal, termasuk di antaranya untuk memahami kebijakan-kebijakan tertentu sebagai upaya merealisasikan tujuan tersebut.41 Selanjutnya, pemahaman politik berkembang menjadi struggle for power. Pemahaman kedua ini banyak dipergunakan untuk memahami perilaku animalis dari para elit politik, dibandingkan pemahaman pertama yang melihat politik sebagai sebuah proses menuju tujuan yang telah ditetapkan bersama.42

Negara adalah sebuah entitas politik yang bersifat formal yang mempunyai minimal lima komponen utama. Pertama, komponen lembaga-lembaga negara. Kedua, komponen rakyat sebagai warga negara. Ketiga, wilayah yang diakui kedaulatannya. Keempat, komponen kebijakan publik.43 Setiap negara modern dipastikan mempunyai konstitusi, peraturan perundangan, keputusan kebijakan sebagai aturan main hidup bersama. Negara tanpa komponen kebijakan publik ini menjadi negara gagal, karena kehidupan bersama diatur oleh seseorang atau sekelompok orang saja, yang bekerja seperti tiran dengan tujuan memuaskan kepentingan diri dan/atau kelompoknya saja. Pada dimensi kebijakan publik inilah, kita memulai pemahaman tentang arti penting kebijakan publik pada konteks makro negara.

40

Samodra Wibawa, Politik Perumusan Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), Cet. I, h. 1.

41

Tilaar, op.cit., h. 260.

42

Ibid., h. 262.

43

(41)

Setiap negara, terutama pemerintahan, sebagai pemegang kekuasaan, berkehendak untuk dapat mengendalikan rakyat.44

Pendidikan merupakan di antara bagian dari politik dan kebijakan publik. Para pembuat kebijakan publik, yaitu pejabat publik merupakan bagian dari politik. Mereka merupakan hasil dari aktivitas politik. Maka, kebijakan publik dalam bidang pendidikan merupakan hasil dari kegiatan politik.

Hubungan antara pendidikan dan politik juga dapat dilacak dalam sejarah Islam sejak masa pertumbuhan paling subur dalam lembaga pendidikan Islam, semacam madrasah. Sepanjang sejarah, terdapat hubungan amat erat antara pendidikan dan politik. Kenyataan ini, misalnya, dapat dilihat dari pendirian banyak madrasah di Timur Tengah yang disponsori penguasa politik. Contoh paling terkenal adalah Madrasah Nizamiyah di Baghdad yang didirikan sekitar 1064 oleh Wazir Dinasti Saljuk, Nizam al-Mulk; di madrasah ini terkenal bahwa pemikir dan ulama besar, al-Ghazali, pernah menjadi guru besar.45

C. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam di Indonesia

Memperhatikan definisi kebijakan publik pada pembahasan sebelumnya, yakni keputusan negara atau pemerintah sebagai strategi untuk mencapai cita-cita negara. Cita-cita-cita Indonesia sebagaimana dalam pembukaan UUD Negara RI 1945 di antaranya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kemudian, memperhatikan definisi pendidikan keagamaan dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan keagamaan adalah berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama, maka dapat diartikan bahwa kebijakan pendidikan keagamaan Islam adalah keputusan negara atau pemerintah berkaitan untuk mempersiapkan

44

Ibid., h. 27-28.

45

(42)

peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama Islam dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam.

Kebijakan pendidikan keagamaan Islam di Indonesia mengalami dinamika yang luar biasa mengalami tantangan. Dinamika dan perubahan itu dapat dilihat dalam sejarah Indonesia, yaitu: masa penjajahan, pascakemerdekaan yang terdiri dari: masa pemerintahan orde lama, masa pemerintahan orde baru, dan masa pemerintahan orde reformasi.

1. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam pada Masa Kolonial Belanda.

Pada akhir abad ke-16 (1596) organisasi perusahaan dagang Belanda (VOC) merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten, Jawa Barat. Maksudnya semula untuk berdagang, namun kemudian haluannya berubah untuk menguasai kepulauan Indonesia.46

Ketika bangsa Belanda pertama kali menginjakkan kakinya di Nusantara yang dimulai dengan melakukan monopoli kegiatan perniagaan di bawah sebuah badan bernama VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie), tahun 1602-1799 lalu diikuti masa penjajahan pemerintahan kolonial Belanda mulai tahun 1799, tidak dapat disangkal, bahwa kegiatan dan misi keagamaan golongan Kristen telah jalan barsama, baik dilakukan oleh pejabat VOC atau pejabat pemerintahan kolonial, oleh Zendig (Kristen Protestan) dan Misionaris (Katolik).47

Pemerintahan kolonial Belanda pada masa penjajahannya dalam mengkristenkan penduduk pribumi terlihat dari kebijakan pemerintahan kolonial Belanda. Kegiatan Zendig dan Misionaris yang telah berjaya di masa VOC semakin leluasa menancapkan kukunya di beberapa kawasan Indonesia Timur. Juga di kawasan Barat.48

46

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), Cet. II, h. 192.

47

Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa, (Jakarta: Yayasan Ngali & Penamadani, 2010), Cet. I, h. 49.

48

(43)

Ketika mulai memikirkan, merencanakan, dan mencari model pendidikan bagi penduduk pribumi, pejabat dan pemerintah kolonial Belanda, lebih memilih sekolah-sekolah yang didirikan oleh Zendig dan Misionaris untuk diadopsi menjadi model pendidikan bagi penduduk pribumi. Mereka tidak menjadikan sistem pendidikan pesantren/diniyah dan madrasah sebagai model, karena mereka menilai sistem pendidikan pesantren/diniyah dan madrasah terlalu buruk. Di dalamnya hanya diajarkan agama, bahasa Arab, dan al-Qur‟an. Di pesantren dan madrasah tidak diperkenalkan huruf latin. Guru-gurunya pun tidak bisa membaca dan menulis huruf Latin. Padahal, sekolah-sekolah Zendig dan Misionaris, pendidikannya juga agama dan guru-gurunya juga tidak profesional di bidang pendidikan, melainkan pendeta dari tamatan lembaga pendidikan keagamaan Kristen.49

Berdasarkan hal tersebut, menurut Marwan Saridjo, “Terlihat bahwa alasan menolak untuk mengadopsi pesantren dan madrasah sebagai bentuk dan model pendidikan penduduk pribumi, di samping alasan teknis adalah alasan politik dan alasan keagamaan.”50

Pada tahun 1882 M, pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut Pristerraden. Atas nasihat dari badan inilah maka pada tahun 1905 M, pemerintah mengeluarkan peraturan yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran harus minta izin lebih dahulu,51 kebijakan ini disebut Ordonansi Guru tahun 1905. Selanjutnya, pada perkembangan berikutnya Ordonansi Guru tahun 1905 itu akhirnya dicabut karena dianggap tidak relevan lagi.52 Maka, pada tahun 1925 M, pemerintah mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama Islam, yaitu tidak semua orang (Kyai) boleh

49

Ibid., h. 52.

50

Ibid., h. 53.

51

Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), Cet. VII, h. 149.

52

(44)

memberikan pelajaran mengaji, kebijakan ini disebut Ordonansi Guru tahun 1925. Pada tahun 1932 M, keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah yang disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonante).53

Jika dikaitkan dengan setting sosial-politik pada masa pemerintahan kolonial Belanda, menurut Nurhayati Djamas:

Dikeluarkannya ketentuan Ordonansi Guru tampak jelas dilatarbelakangi oleh kekhawatiran pemerintah Belanda terhadap penyelenggaraan pendidikan Islam dan sepak terjang guru agama yang akan memperluas pengembangan agama Islam melalui pendidikan. Dengan perluasan itu, pemerintah Belanda juga mengkhawatirkan implikasinya, yaitu makin meluasnya “sentimen antipenjajahan” dan anti terhadap pemerintahan Belanda yang disuburkan dengan sentimen keagamaan.54

Berdasarkan penjelasan di atas, maka kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap pendidikan keagamaan Islam sangat tidak mendukung, bahkan berupaya untuk meruntuhkan pendidikan Islam, termasuk pendidikan keagamaan Islam

2. Kebijakan Pendidikan Keagamaan Islam pada Masa Kolonial Jepang

Jepang menjajah Indonesia setelah mengusir pemerintah Hindia Belanda dalam perang Dunia ke II. Mereka menguasai Indonesia pada tahun 1942, dengan membawa semboyan: Asia Timur Raya untuk Asia

dan semboyan Asia Baru.

Jepang di Indonesia juga mencari kepentingan untuk mencari kekuatan untuk menghadapi perang Pasifik, perang Asia Timur Raya. Kekuatan yang diharapkan itu adalah jumlah mayoritas umat Islam.

53

Zuhairini, loc.cit.

54

Gambar

gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen
Tabel Alat Ukur Kualitas Kebijakan
Tabel Kualitas Rumusan PP RI No. 55 Tahun 2007

Referensi

Dokumen terkait

Fokus penelitian ini yaitu deduksi nilai-nilai Pancasila dalam Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003) dan deduksi nilai-nilai Pancasila dalam kebijakan

Kesimpulan dalam tesis ini adalah: Latar belakang lehirnya UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 yang meliputi faktor Agama, faktor ideologi Negara, faktor perkembangan masyarakat, dan

Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, terutama pada pasal 3, menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

Maka, pendidikan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 angka 1 adalah usaha sadar dan terencana untuk

Langkah-langkah ini seiring dengan perubahan tatanan politik pemerintahan, hal ini ditandai dengan disyahkannya undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan

Hal ini telah ditegaskan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 35 ayat 3, bahwa untuk mencapai mutu standar pendidikan

20 Tahun 2003 Sisdiknas’, MODELING: Jurnal Program Studi PGMI, 9.1 2022, 115–30 Musfah, Jejen, Analisis Kebijakan Pendidikan: Pendidikan Di Era Revolusi Industri 4.0 Prenada Media,

20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dimaksud dengan kurikulum adalah perangkat rencana dan pengatur mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan