• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

D. Sekolah Homogen dan Heterogen

pada remaja secara umum (bandingkan Bontempo & D’Augelli, 2002; D’Augelli et al., 2006; Diaz & Kosciw, 2009; Espelage et al., 2008; Goodenow, Szalacha, & Westheimer, 2006) dan belum menyelidiki lebih lanjut kelompok remaja tertentu, seperti remaja dari etnik tertentu atau remaja yang berasal dari jenis sekolah tertentu. Berdasarkan hal tersebut, penelitian yang berfokus pada kelompok remaja tertentu menjadi penting untuk dilakukan untuk memperoleh gambaran utuh mengenai sikap terhadap homoseksualitas. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi dasar untuk melakukan langkah berikutnya dalam memastikan terciptanya iklim sekolah yang aman dan sehat.

B. Rumusan Masalah

Adakah perbedaan sikap terhadap homoseksualitas pada murid sekolah homogen dan heterogen?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perbedaan sikap terhadap homoseksualitas pada siswa sekolah homogen dan heterogen. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memeriksa perbedaan sikap terhadap homoseksualitas pada siswa sekolah homogen dan heterogen.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan tambahan informasi pada ranah studi orientasi seksual dan psikologi sosial, terutama sikap terhadap anggota orientasi seksual minoritas.

2. Manfaat Praktis

a. Pada anggota orientasi seksual minoritas

Penelitian ini dapat memberikan tambahan informasi sebagai bahan pertimbangan dalam memilih sekolah baginya atau orang lain sesama anggota orientasi seksual minoritas.

b. Pada murid sekolah homogen dan heterogen

Penelitian ini dapat menjadi sarana murid sekolah homogen dan heterogen untuk merefleksikan sikap mereka terhadap orang-orang anggota orientasi seksual minoritas.

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Sikap

1. Definisi Sikap

Sikap adalah evaluasi seseorang terhadap berbagai aspek kehidupan sosial (Baron, Byrne, & Branscombe, 2006), seperti orang-orang, obyek, ataupun ide-ide (Aronson, Wilson, & Akert, 2005). Evaluasi ini akan mempengaruhi seseorang dalam bertindak dan merasa pada cara-cara tertentu (Lahey, 2012). Sikap seseorang terhadap suatu aspek kehidupan sosial dapat positif maupun negatif. Sikap yang positif dimaksudkan sebagai evaluasi menyenangkan dari seseorang terhadap suatu aspek kehidupan sosial tertentu, sementara sikap yang negatif merujuk pada evaluasi tidak menyenangkan. Seseorang juga dapat memiliki sikap yang positif sekaligus negatif pada suatu aspek kehidupan sosial tertentu (Baron et al., 2006).

2. Komponen Sikap

Berdasarkan definisi sikap menurut Lahey (2012), sikap memiliki tiga komponen yaitu keyakinan, perasaan, dan kecenderungan untuk bertindak. Hal ini selaras dengan komponen sikap menurut Aronson, Wilkinson, dan Akert (2005) yang menyatakan bahwa sikap memiliki komponen afektif, kognitif, dan perilaku. Komponen afektif terdiri dari reaksi emosional seseorang terhadap suatu aspek kehidupan sosial.

Komponen kognitif terdiri dari pemikiran dan keyakinan mengenai suatu aspek kehidupan sosial. Sementara itu, komponen perilaku terdiri dari tindakan atau perilaku tampak terhadap suatu aspek kehidupan sosial. 3. Pembentukan Sikap

Hampir semua psikolog sosial meyakini bahwa sikap terbentuk karena proses belajar (Baron et al., 2006). Pengalaman sosial seseorang berperan penting dalam membentuk sikapnya (Aronson et al., 2005). Seseorang memiliki sikap tertentu dari interaksinya dengan orang lain atau semata-mata mengamati perilaku mereka (Baron et al., 2006). Berdasarkan teori belajar, sikap terbentuk melalui pengkondisian klasik, pengkondisian instrumental, pembelajaran melalui pengamatan, dan pengaruh dari perbandingan sosial (Baron et al., 2006; lihat juga Aronson et al., 2005; Lahey, 2012).

Teori pengkondisian klasik menyatakan bahwa sikap terbentuk melalui proses asosiasi suatu aspek kehidupan sosial dengan pengalaman tertentu. Sementara itu, teori pengkondisian instrumental menyatakan bahwa sikap terbentuk karena adanya penguatan atau hukuman yang didapat seseorang ketika merespon aspek kehidupan sosial tertentu. Teori belajar melalui pengamatan menyatakan sikap terbentuk dari pengamatan terhadap perilaku orang lain ketika orang tersebut merespon suatu aspek kehidupan sosial. Selain itu, pengaruh perbandingan sosial mempengaruhi sikap seseorang dengan membandingkan sikap yang dimiliki orang

tersebut dengan sikap orang-orang di sekitarnya untuk menentukan apakah sikapnya benar atau tidak.

B. Homoseksualitas

1. Orientasi Seksual dan Homoseksualitas

Orientasi seksual merujuk pada pola ketertarikan emosional, romantik, dan seksual yang menetap kepada anggota jenis kelamin yang sama atau berbeda dari dirinya, maupun keduanya (APA, 2008; Rathus et al., 2008). Orientasi seksual juga meliputi perasaan identitas seseorang berdasarkan ketertarikan, perilaku terkait, dan keanggotaan pada komunitas yang beranggotakan orang-orang dengan ketertarikan tersebut (APA, 2008). Orientasi seksual biasanya dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu orientasi heteroseksual, homoseksual, dan biseksual.

Orientasi heteroseksual merujuk pada ketertarikan emosi, romantik, dan erotik yang menetap serta kecenderungan untuk mengem-bangkan hubungan romantik pada anggota jenis kelamin yang berbeda dengan dirinya (APA, 2008; Rathus et al., 2008). Sebaliknya, orientasi homoseksualitas merujuk pada ketertarikan emosi, romantik, dan erotik yang menetap serta kecenderungan untuk mengembangkan hubungan romantik pada anggota jenis kelamin yang sama dengan dirinya (APA, 2008; Rathus et al., 2008). Sementara itu, orientasi biseksualitas merujuk pada ketertarikan emosi, romantik, dan erotik yang menetap serta

kecenderungan untuk mengembangkan hubungan romantik pada anggota kedua jenis kelamin.

2. Homoseksualitas dan Nonkonformitas Gender

Banyak orang mengira orang-orang homoseksual ingin menjadi anggota lawan jenis kelaminnya karena mereka tertarik dengan anggota sesama jenis kelaminnya (Rathus et al., 2008). Meskipun demikian, homoseksualitas berbeda dari transgender. Transgender merupakan sebuah istilah bagi orang-orang yang identitas dan ekspresi gendernya tidak konform dengan jenis kelamin mereka saat lahir (APA, 2011). Orang-orang transgender menjalani kehidupannya dengan mengikuti peran gender lawan jenisnya (APA, 2011). Orang-orang homoseksual belum tentu merupakan seorang transgender (lihat APA, 2011).

Beberapa orang homoseksual menunjukkan nonkonformitas gender, tetapi hal ini tidak dapat digeneralisasikan kepada semua orang homoseksual. Nonkonformitas gender adalah ekspresi perilaku yang tidak konsisten dengan peran gender terkait anatomi seksual seseorang (Rathus, et al., 2008). Beberapa laki-laki homoseksual melaporkan nonkonformitas gender yang disadari sejak kecil, demikian juga beberapa perempuan homoseksual melaporkan perilaku maskulin saat masih kanak-kanak (Rathus et al., 2008). Hal ini terkait dengan faktor biologis terjadinya homoseksualitas, dimana orang-orang homoseksual memiliki struktur neurologis yang cenderung mirip dengan orang-orang yang berjenis kelamin berbeda dari dirinya (LeVay, 2012). Meskipun demikian,

beberapa orang homoseksual lainnya tidak menunjukkan nonkonformitas gender dan memiliki ekspresi gender sesuai dengan jenis kelaminnya.

Beberapa orang homoseksual berusaha untuk menunjukkan konformitas gender untuk menyembunyikan identitasnya sebagai homoseksual. Hal ini terkait dengan anggapan masyarakat bahwa orang-orang homoseksual cenderung memiliki nonkonformitas gender (Whitley & Kite, 2010). Dengan menunjukkan konformitas gender, orang-orang homoseksual yang menyembunyikan identitasnya akan merasa lebih terlindungi dari diskriminasi, prasangka, dan stereotip sehingga mereka merasa lebih aman (bandingkan D’Augelli et al., 2006; Whitley & Kite, 2010). Sementara itu, beberapa orang homoseksual lainnya memiliki kecenderungan alami untuk menunjukkan konformitas gender. Hal ini semata-mata dikarenakan karakteristik individu bawaan yang dimiliki oleh orang tersebut (lihat LeVay, 2012).

C. Sikap terhadap Homoseksualitas

1. Definisi Sikap terhadap Homoseksualitas

Sikap adalah evaluasi seseorang terhadap aspek-aspek kehidupan sosial (Baron et al., 2006). Evaluasi tersebut diantaranya adalah evaluasi terhadap orang-orang (Aronson et al., 2005). Berdasarkan definisi tersebut, sikap terhadap homoseksualitas adalah evaluasi seseorang terhadap homo-seksualitas.

Sikap seseorang terhadap homoseksualitas dapat positif maupun negatif. Sikap yang positif terhadap homoseksualitas merujuk pada reaksi

menyenangkan atau menerima terhadap orang-orang homoseksual maupun homoseksualitas secara umum. Sebaliknya, sikap yang negatif terhadap homoseksualitas merujuk pada reaksi tidak menyenangkan atau menolak terhadap orang-orang homoseksual maupun homoseksualitas secara umum.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap terhadap Homoseksualitas

Sikap terhadap homoseksualitas dipengaruhi oleh ajaran agama (lihat Moon, 2002: Olson et al., 2006) dan keyakinan terhadap peran gender tradisional (Herek, 1988; Horn, 2012; Whitley & Kite, 2010). Masing-masing faktor yang mempengaruhi sikap terhadap homoseksualitas tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Pengaruh agama pada sikap terhadap homoseksualitas

Beberapa agama tertentu memiliki sikap yang negatif terhadap homoseksualitas. Agama-agama tersebut diantaranya Kristianitas, Islam, dan Yahudi (Moon, 2002; lihat juga Olson et al., 2006). Meskipun sama-sama memiliki sikap yang negatif terhadap homoseksualitas, beberapa pemeluk agama tertentu memiliki sikap yang lebih negatif terhadap homoseksualitas dibandingkan pemeluk agama lainnya. Orang-orang yang memeluk agama Islam memiliki sikap yang lebih negatif dan tidak menerima homoseksualitas dibandingkan dengan orang-orang beragama lain atau tidak menganut kepercayaan tertentu (Adamczyk & Pitt, 2009). Orang-orang yang memeluk agama Katolik, Yahudi, Kristen Ortodoks, Buddha, Hindu,

dan orang-orang yang tidak menganut sistem kepercayaan tertentu memiliki sikap yang lebih positif terhadap homoseksualitas dibandingkan orang-orang yang memeluk agama Islam (Adamczyk & Pitt, 2009). Di sisi lain, Adamczyk dan Pitt (2009) juga menemukan bahwa sikap pemeluk agama Kristen Protestan terhadap homoseksualitas juga tidak lebih positif daripada pemeluk agama Islam. Dengan demikian, dalam konteks sosial Indonesia, orang-orang yang memeluk agama Islam dan Kristen Protestan akan memiliki sikap yang lebih negatif terhadap homoseksualitas dibandingkan dengan orang-orang yang memeluk agama Katolik, Hindu, maupun Buddha. b. Pengaruh keyakinan terhadap peran gender tradisional pada sikap

terhadap homoseksualitas

Orang-orang yang memiliki keyakinan terhadap peran gender tradisional yang kuat memiliki sikap yang negatif terhadap homoseksualitas (Herek, 1988; Horn, 2012; Whitley & Kite, 2010). Peran gender tradisional adalah stereotip mengenai sekelompok karakteristik yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan, yang membedakan kedua gender tersebut (lihat Baron et al., 2006). Dengan kata lain, peran gender tradisional adalah pandangan masyarakat mengenai bagaimana laki-laki dan perempuan harus berperilaku dan karakteristik kepribadian apa saja yang harus mereka miliki sesuai jenis kelamin mereka.

Penyimpangan dari peran gender tradisional dapat memicu sikap yang negatif dan penolakan dari orang lain (bandingkan Whitley & Kite, 2010). Masyarakat secara umum menganggap bahwa orang-orang homoseksual menyimpang dari peran gender tradisional (Rathus et al., 2008; Whitley & Kite, 2010). Masyarakat cenderung meyakini bahwa laki-laki yang feminin dan perempuan yang maskulin adalah homoseksual (Whitley & Kite, 2010). Dengan demikian, masyarakat akan cenderung memiliki sikap yang negatif dan menolak orang-orang homoseksual karena orang-orang homoseksual menyimpang dari peran gender tradisional.

3. Komponen Sikap terhadap Homoseksualitas

LaMar dan Kite (1998) meneliti sikap terhadap homoseksualitas pada laki-laki dan perempuan. Mereka membagi sikap terhadap homo-seksualitas dalam empat komponen. Komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut:

a. Moralitas homoseksual

Moralitas homoseksual merupakan komponen sikap terhadap homoseksualitas dengan cara melihat evaluasi seseorang mengenai keselarasan homoseksualitas dengan nilai-nilai moral.

b. Toleransi/generalisasi hukuman kepada orang-orang homoseksual Toleransi/generalisasi hukuman kepada orang-orang homoseksual merupakan komponen sikap terhadap homoseksualitas

yang berusaha melihat evaluasi seseorang mengenai harus/tidaknya seorang homoseksual dihukum/diterima.

c. Kontak dengan orang-orang homoseksual

Kontak dengan orang-orang homoseksual adalah komponen sikap terhadap homoseksualitas yang berusaha melihat evaluasi seseorang mengenai kenyamanan dirinya ketika harus menjalin kontak dengan orang-orang homoseksual.

d. Stereotip terhadap orang-orang homoseksual

Stereotip terhadap orang-orang homoseksual merupakan komponen sikap terhadap homoseksualitas yang berusaha melihat stereotip yang dimiliki seseorang terhadap orang-orang homoseksual.

Pada penelitian ini, komponen kognitif, afektif, dan konatif sikap (Aronson, Wilson, & Akert, 2005) digabungkan dengan komponen sikap terhadap homoseksualitas menurut LaMar & Kite (1998). Masing-masing komponen kognitif, afektif, dan konatif sikap mencakup komponen sikap terhadap homoseksualitas menurut LaMar & Kite (1998).

D. Sekolah Homogen dan Heterogen

1. Definisi Sekolah Homogen dan Heterogen

Sekolah homogen secara umum merujuk pada pendidikan di tingkat dasar, menengah, dan lanjut yang mana laki-laki dan perempuan mengenyam masa sekolah dengan anggota sesama jenis kelaminnya (U.S. Department of Education, 2005). Berdasarkan definisi tersebut, sekolah homogen laki-laki adalah sebuah sekolah yang terdiri dari murid yang

seluruhnya berjenis kelamin laki-laki. Sementara itu, sekolah homogen perempuan adalah sebuah sekolah yang terdiri dari murid yang seluruhnya berjenis kelamin perempuan. Sejalan dengan penjelasan sekolah homogen oleh U.S. Department of Education (2005) tersebut, sekolah heterogen merupakan sebuah sistem pendidikan dimana laki-laki dan perempuan mengenyam masa sekolah dengan anggota sesama maupun berbeda dari jenis kelaminnya. Dengan kata lain, sekolah heterogen merupakan sebuah sekolah yang terdiri dari murid laki-laki dan perempuan.

2. Promosi Peran Gender Tradisional pada Murid Sekolah Homogen

Martino dan Frank (2006) melakukan penelitian pada sebuah sekolah homogen laki-laki dan menemukan sistem pendidikan untuk mempromosikan maskulinitas. Guru-guru pada sekolah khusus laki-laki tersebut mengajarkan dan membina hubungan dengan para siswanya untuk menumbuhkan maskulinitas (Martino & Frank, 2006). Selain itu, guru-guru juga dituntut untuk menjadi contoh maskulinitas (Martino & Frank, 2006). Guru-guru di sekolah khusus laki-laki tersebut harus menunjukkan maskulinitasnya, seperti menjadi pelatih tim olahraga sepakbola (Martino & Frank, 2006). Selain itu, ketidaksetaraan gender juga dipromosikan pada sekolah khusus laki-laki (Lee et al., 1994). Hal ini tampak dari sistem pengajaran yang mensosialisasikan kontrol dan kekuasaan atas perempuan dan penempatan perempuan sebagai objek seksual (Lee et al., 1994).

Femininitas juga dipromosikan pada sekolah khusus perempuan (Charles, 2004). Lee, Marks, dan Byrd (1994) menemukan guru-guru

sekolah homogen khusus perempuan juga mendorong murid-muridnya untuk menjadi dependen dan kekanak-kanakan, suatu perilaku yang merupakan stereotip peran gender perempuan. Dengan demikian, murid-murid sekolah homogen akan memiliki keyakinan yang kuat terhadap peran gender tradisional karena sistem sekolah yang mempromosikan maskulinitas (pada sekolah homogen laki-laki) dan femininitas (pada sekolah homogen perempuan).

3. Promosi Peran Gender Tradisional pada Sekolah Heterogen

Sekolah heterogen membuka kesempatan bagi para murid-muridnya untuk saling berinteraksi dengan lawan jenisnya sehingga anggota kedua jenis kelamin dapat saling mengerti satu sama lain (Ogden, 2011). Murid-murid sekolah heterogen dapat belajar bagaimana lawan jenisnya berpikir, merasa, merespon, dan bereaksi (Ogden, 2011). Hal ini dapat membuat murid-murid sekolah heterogen cenderung memiliki persepsi peran gender tradisional yang rendah karena adanya proses saling memahami antara satu gender dengan yang lainnya. Selain itu, sekolah heterogen cenderung tidak mempromosikan pembentukan stereotip berdasarkan peran gender (Lee et al., 1994). Dengan kata lain, sekolah heterogen cenderung tidak mempromosikan peran gender tradisional. Lee, Marks, dan Byrd (1994) juga menemukan tingkat seksisme (diskriminasi berdasarkan jenis kelamin yang didasarkan pada pemahaman bahwa laki-laki lebih superior dari perempuan) yang lebih rendah dan kesetaraan antar gender yang lebih tinggi pada sekolah heterogen. Dengan demikian,

murid-murid sekolah heterogen akan cenderung menerima kehadiran orang-orang yang tidak mengikuti peran gender tradisional, sehingga murid-murid sekolah heterogen akan cenderung lebih menerima homoseksualitas.

4. Gambaran Sikap terhadap Homoseksualitas pada Murid Sekolah Homogen dan Heterogen

Sekolah homogen memiliki sistem pendidikan untuk mempromosikan maskulinitas (pada sekolah homogen laki-laki) dan femininitas (pada sekolah homogen perempuan). Hal ini disebabkan tidak hanya melalui proses di kelas (lihat Lee et al., 1994) tetapi juga melalui proses meniru dari para guru (Lee et al., 1994; Martino & Frank, 2006). Pada sekolah homogen, peran gender tradisional juga dikuatkan melalui penyampaian materi pelajaran (Lee et al., 1994). Sebagai contoh, pada sekolah khusus perempuan, rumus kimia dianalogikan dengan resep masakan (Lee et al., 1994). Sementara itu, di sekolah khusus laki-laki, kelas bahasa Inggris menggunakan literatur yang menempatkan perempuan sebagai objek seksual (Lee et al., 1994). Dengan demikian, murid-murid sekolah homogen akan memiliki keyakinan akan peran gender tradisional yang kuat. Oleh karena keyakinan terhadap peran gender tradisional yang kuat dapat membentuk sikap yang negatif terhadap homoseksualitas, murid-murid sekolah homogen akan memiliki sikap yang lebih negatif terhadap homoseksualitas.

Sekolah heterogen memiliki sistem pengajaran untuk mempromosikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (Lee et al., 1994) melalui interaksi yang terbuka antara kedua jenis kelamin (Ogden, 2011). Hal ini dapat membuat murid-murid sekolah heterogen dapat saling memahami kedua jenis kelamin (Ogden, 2011) yang berdampak pada meningkatnya pemahaman para murid akan kesetaraan gender. Selain itu, karena ketidaksetaraan gender tidak diperkuat di sekolah heterogen, murid-murid sekolah heterogen akan saling menganggap bahwa murid lainnya juga merasa pembedaan gender bukanlah suatu hal yang positif. Berdasarkan teori pembentukan sikap berdasarkan perbandingan sosial, murid-murid sekolah heterogen akan memiliki sikap yang cenderung negatif terhadap ketidaksetaraan gender. Dengan demikian, murid-murid sekolah heterogen akan memiliki keyakinan terhadap peran gender tradisional yang cenderung rendah, sehingga sikap murid-murid sekolah heterogen terhadap homoseksualitas akan cenderung lebih positif.

Dokumen terkait