• Tidak ada hasil yang ditemukan

BOGOR

2011

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman hayati. Salah satu bentuk keanekaragaman hayati Indonesia adalah ekosistem karst. Ekosistem karst adalah kesatuan komunitas mahluk hidup dengan berbagai faktor lingkungan yang terdapat pada suatu kawasan dengan batuan dasar berupa batu gamping atau kapur. Ciri khas kawasan karst adalah adanya celah sinkholes (sarang air), sungai bawah tanah, dan gua (Samodra 2006). Celah sinkholes dan sungai bawah tanah pada ekosistem karst dapat menyimpan banyak air, sehingga ekosistem karst berfungsi sebagai reservoar air (Vermeulen & Whitten 1999). Selain itu, ekosistem karst juga berfungsi sebagai habitat biota khas gua karena kondisi unik gua karst yang hanya dapat dihuni oleh fauna tertentu saja (Epsinasa & Vuong 2008).

Menurut BAPPENAS (2003), terdapat sekitar 15.4 juta hektar kawasan karst di wilayah Indonesia atau sekitar 10% dari seluruh luas daratan Indonesia. Selama ini, pemerintah dan masyarakat memanfaatkan ekosistem karst tersebut sebagai sumber pendapatan, di antaranya untuk kegiatan pertambangan dan obyek wisata. Namun, pemanfaatan dua sektor ini belum didukung oleh dasar ilmu pengetahuan (technopreunership) yang kuat, sehingga pemanfaatannya sering kali menimbulkan persoalan. Menurut Ko (1999), persoalaan utama yang timbul akibat pemanfaatan ekosistem karst adalah : 1) Adanya perubahan bentang alam (landscape) dan struktur geologi karst akibat penambangan batu gamping; 2) Menurunnya debit air bawah tanah akibat berkurangnya porositas batuan karst; dan 3) Hilangnya keanekaragaman biota khas gua, akibat habitatnya rusak atau terganggu.

Persoalan yang timbul akibat pemanfaatan ekosistem karst tersebut dapat menyebabkan ekosistem karst tidak lagi memberikan manfaat ekonomi dan fungsi ekologi. Untuk menghindari hal tersebut, diperlukan upaya konservasi ekosistem karst. Hal ini hanya dapat dipenuhi jika pengetahuan yang mendasari kestabilan ekosistem karst ini dapat dipahami dengan baik.

2

Penelitian untuk mendukung pemanfaatan ekosistem karst secara lestari masih sangat sedikit. Selain itu, beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan di kawasan karst di Indonesia terutama hanya terfokus pada struktur geologi karst saja. Penelitian mengenai komunitas biologi belum banyak dilakukan, padahal komunitas biologi memegang peran penting dalam keseimbangan ekosistem karst. Atas dasar alasan tersebut, penelitian mengenai komunitas biologi pada ekosistem karst mutlak diperlukan.

Salah satu komunitas biologi yang berperan penting dalam ekosistem karst adalah fauna troglozene, yaitu fauna yang bersarang di dalam gua, tetapi mencari makan di luar gua (Epsinasa & Vuong 2008). Menurut Whitten et al. (1999), hewan troglozene utama pada gua-gua karst di Indonesia adalah kelelawar. Sebagai hewan troglozene, kelelawar mensuplai energi ke ekosistem gua denganguano (feses kelelawar) dan bangkainya. Tanpa kehadiran kelelawar, aliran energi ke dalam ekosistem gua akan terhenti dan keanekaragaman biota gua akan hilang.

Selain berperan penting dalam kestabilan ekosistem gua, kelelawar juga memegang fungsi ekologi penting bagi ekosistem luar gua. Peran kelelawar bagi ekosistem luar gua adalah sebagai pemencar biji, penyerbuk berbagai jenis tumbuhan dan pengendali/predator serangga hama tanaman. Penelitian Tan et al. (1998) membuktikan kelelawar Cynopterus brachyotis (Subordo: Megachiroptera) di Bangi Malaysia memakan buah dan menyebarkan biji 17 famili tumbuhan hutan dan tanaman perkebunan. Penelitian Razakarivony et al. (2005) di Malagasy membuktikan beberapa kelelawar subordo Microchiroptera yang bersarang di gua (Hipposideros commersoni, Miniopterus manavi dan Myotis goudoti) memakan serangga ordo Isoptera, Hymenoptera, Cooleoptera, Lepidoptera, Orthoptera, Hemiptera, dan Homoptera. Anggota ordo serangga tersebut tercatat sebagai serangga hama tanaman. Oleh sebab itu, hilangnya komunitas kelelawar di dalam gua karst tidak hanya dapat menghancurkan ekosistem dalam gua, tetapi juga dapat mempengaruhi ekosistem luar gua.

Potensi ekonomi ekosistem karst menyebabkan eksploitasi ekosistem karst tidak dapat dihindari. Akibat eksploitasi untuk tujuan ekonomi ini, ekosistem karst menanggung risiko yang cukup tinggi, salah satunya adalah

3

sarang kelelawar di gua yang telah dipertahankan dari generasi ke generasi tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini karena kondisi fisik gua telah berubah, menjadi tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kelelawar. Oleh karena itu, agar keberadaan kelelawar di gua dapat dipertahankan, diperlukan informasi yang akurat mengenai segala aspek yang berkaitan dengan kehidupan kelelawar gua.

Penelitian ini akan menjawab beberapa aspek yang berkaitan dengan kelelawar penghuni gua. Aspek-aspek tersebut meliputi biodiversitas dan struktur komunitas kelelawar gua, pola pemilihan sarang, relung pakan, serta adaptasi struktural dan fisiologi organ pernapasan kelelawar gua. Dari hasil penelitian tersebut dirancang strategi konservasi ekosistem gua, sehingga keberadaan kelelawar sebagai kunci penyedia energi ekosistem (key factor in cycle energy) dalam gua dan pemegang peran ekologis lainnya bagi ekosistem luar gua dapat dipertahankan.

Rumusan Masalah

Ekosistem karst berperan penting sebagai reservoar air dan habitat fauna khas gua (Samodra 2006; Epsinasa & Vuong 2008). Akibat eksploitasi dan pemanfaatan gua untuk kepentingan ekonomi yang kurang berwawasan lingkungan, keberadaan dan peran ekosistem karst menjadi terancam. Salah satu ancaman dari pemanfaatan ekosistem gua adalah rusaknya struktur gua (Ko 1999). Di samping permasalahan struktur gua, terdapat permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya akibat pemanfaatan gua. Permasalahan tersebut adalah permasalahan komunitas biologi. Eksploitasi gua dengan kegiatan pertambangan dan pengambilan guano sudah pasti merusak fisik gua dan mengancam komunitas fauna gua. Demikian pula dengan pemanfaatan gua karst sebagai objek wisata. Walaupun secara fisik tidak merusak struktur gua, kedatangan pengunjung dan fasilitas wisata yang dibangun dapat mengganggu kenyamanan dan keamanan fauna gua. Salah satu fauna gua yang terancam akibat pemanfaatan gua tersebut adalah kelelawar. Untuk meminimalisir dampak pemanfaatan gua karst pada komunitas kelelawar, diperlukan penelitian mengenai ekologi, relung pakan, strategi adaptasi dan strategi konservasinya. Luaran penelitian ini adalah 1) biodiversitas kelelawar gua, 2) pola pemilihan sarang kelelawar gua, 3) kesamaan relung pakan kelelawar gua, 4) strategi adaptasi struktural dan fisilogi pernapasan

4

kelelawar gua, dan 5) strategi konservasi ekosistem Karst Gombong. Apabila luaran di atas berhasil dicapai dengan baik, maka dapat dibuat pola pemanfaatan gua yang tepat, yang dapat mempertahankan komunitas kelelawar dan ekosistemnya.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

a. Mengkaji biodiversitas kelelawar penghuni gua berdasarkan faktor-faktor fisik gua di beberapa gua Karst Gombong.

b. Mengidentifikasi faktor mikroklimat gua yang berpengaruh pada pemilihan sarang kelelawar gua.

c. Mengidentifikasi pakan kelelawar gua dan menentukan kesamaan relung (niche overlap) pakan kelelawar yang berasosiasi dalam satu gua yang sama.

d. Mengkaji adaptasi struktural dan fisiologi pernapasan kelelawar yang bersarang di gua-gua Karst Gombong.

e. Merancang strategi konservasi ekosistem Karst Gombong.

Hipotesis penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah :

a. Keanekaragaman, kelimpahan, dan kemerataan jenis kelelawar dipengaruhi secara nyata oleh panjang lorong, lebar lorong, tinggi lorong, serta jumlah pintu, dan jumlah ventilasi gua.

b. Pola pemilihan sarang kelelawar gua dipengaruhi oleh jarak dari mulut gua, tinggi atap gua, suhu, kelembapan udara, intensitas cahaya, kecepatan angin, intensitas suara, kadar oksigen, dan kadar amonia di sekitar sarang. c. Asosiasi bersarang dalam satu gua oleh beberapa jenis kelelawar dapat

dilakukan oleh jenis-jenis kelelawar yang memiliki indeks kesamaan relung pakan yang kecil (< 50%).

d. Adaptasi kelelawar terhadap kondisi ruang gua yang dingin, lembap, rendah oksigen, dan kadar amonia tinggi menentukan struktur dan fisiologi organ pernapasan, yaitu diameter alveolus sempit (< 100µm), rasio jumlah

5

eritrosit/ bobot badan tinggi ( > 0.3 juta/ml /gr bobot badan) dan rasio kadar hemoglobin/bobot badan tinggi ( > 0.9 g/ml /gr bobot badan).

Ruang Lingkup Penelitian

Secara sistematik, ruang lingkup penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Namun, tahapan penelitian dilakukan secara bertahap mulai dari penelitian tentang biodiversitas kelelawar, hingga strategi konservasi ekosistem karst dilakukan secara rinci melalui beberapa topik penelitian sebagai berikut :

Penelitian 1 : Biodiversitas dan pola pemilihan sarang kelelawar penghuni gua: Studi kasus di gua-gua Karst Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Penelitian ini untuk mencapai tujuan a, b, dan e. Penelitian 2 : Analisis relung pakan kelelawar insectivora ( Subordo

Microchiroptera) dan kelelawar frugivora (Subordo: Megachiroptera) yang bersarang di Gua Karst Gombong.

Penelitian ini untuk mencapai tujuan c dan e.

Penelitian 3 : Adaptasi struktural dan fisiologi pernapasan kelelawar penghuni

gua di Karst Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Penelitian ini untuk mencapai tujuan d dan e.

Penelitian 4 : Strategi konservasi ekosistem gua Karst Gombong. Penelitian ini untuk mencapai tujuan e dan tertuang dalam pembahasan umum.

6

Gambar 1 Skema kerangka pemikiran

PERAN DAN FUNGSI KAWASAN KARST DI PANTAI SELATAN JAWA - Sebagai reservoar air terutama untuk wilayah Jawa bagian selatan

- Sebagai habitat biota khas gua

PERMASALAHAN STRUKTUR GUA KARST:

1. Pemanfaatan gua sebagai

tambang batu gamping dan guano PERMASALAHAN KOMUNITAS

BIOLOGI:

1. Kurangnya informasi fauna gua karst

2. Pemanfaatan gua karst yang tidak lestari

ANCAMAN BAGI KOMUNITAS FAUNA GUA

STATUS FAUNA GUA DAN SARANGNYA

- Keanekaragaman dan struktur komunitas kelelawar gua - Pola pemilihan sarang

kelelawar

1. Karakteristik gua sebagai sarang kelelawar 2. Pola pemilihan sarang kelelawar

3. Pola asosiasi dalam komunitas (Sharing resources)

4. Strategi adaptasi kelelawar gua

STRATEGI ADAPTASI FAUNA GUA

- Pemilihan relung pakan - Adaptasi struktur organ

pernapasan

- Adaptasi fisiologi pernapasan

Strategi konservasi kelelawar gua

Action plan yang ramah lingkungan : - Pemanfaatan berdasarkan persyaratan - Pemilihan gua sebagai objek

Pertambangan atau objek ekotourisme - Zonasi kawasan karst

7

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Karst

Karstifikasi

Kata karst berasal dari bahasa Yugoslavia dan diperkenalkan oleh Cvijic seorang geolog asal Jerman pada tahun 1850. Kata karst tersebut mengacu pada kawasan batu gamping di Kota Trieste, Slovenia, Yugoslavia (Wirawan 2005). Sampai saat ini, kata karst telah digunakan secara internasional dan telah diserap secara utuh sebagai kata bahasa Indonesia. Salah satu definisi karst yang dikemukakan oleh ahli geologi adalah bentang alam (landscape) pada lempeng batuan gamping yang dibentuk oleh pelarutan batuan gamping. Pelarutan batu gamping tersebut menghasilkan bentukan karst dengan ciri celah sinkhole (lubang lari air), sungai bawah tanah, dan gua (Hamilton & Smith 2006; Samodra 2006).

Proses terbentuknya karst (karstifikasi) berlangsung selama jutaan tahun melalui peristiwa yang melibatkan faktor-faktor geologi, fisika, kimia, dan biologi. Karstifikasi diawali dengan pergerakan lempeng bumi yang bersifat dinamis. Pergerakan lempeng bumi tersebut menyebabkan lempeng saling bertabrakan dan menghasilkan gaya tektonik yang mendorong sebagian lempeng ke atas. Peristiwa ini menyebabkan sedimentasi sisa-sisa tumbuhan dan hewan yang mengandung kapur (kalsium karbonat) terangkat dari dasar laut ke permukaan (Gimes 2001). Menurut Yunqiu et al. (2006) biota laut tersebut antara lain, koral (Pontes, Neandrina, Acropora, Siderastrea, Ginoid), Briozoa, ganggang (Halimeda, Lithothamniam, Penicillus, Acialaria, Neomen), Foraminifera, dan Moluska. Peristiwa yang disebabkan oleh gaya tektonik ini menghasilkan deretan bukit kapur/gamping di permukaan laut. Gaya-gaya tektonik tersebut dapat menyebabkan terjadinya patahan dan retakan yang saling berasosiasi. Lempeng batuan yang terdeformasi oleh gaya-gaya tektonik ini merupakan area yang sangat potensial untuk masuknya aliran air dan terbentuknya perangkap-perangkap air (Eberhard 2006). Formasi awal terbentuknya karst tersaji pada Gambar 2.

8

Gambar 2 Formasi awal terbentuknya karst (Sumber: Subterra 2004) Setelah proses yang disebabkan oleh gaya tektonik, peristiwa selanjutnya adalah pelarutan batuan karbonat oleh asam lemah. Reaksi karbon dioksida (CO2) di udara dengan air hujan (H20) menghasilkan H2CO3 yang bersifat asam lemah. Larutan tersebut mengalir melalui aliran air permukaan (run off) dan akan melarutkan batu gamping sehingga terbentuk celah. Lebih rinci Samodra (2006) menjelaskan reaksi kimia pelarutan batu gamping oleh asam lemah adalah sebagai berikut :

H2O + CO2 H2CO3 H2CO3 HCO3 + H+ HCO3 + CaO CaCO3 + H2O CaCO3 + H2O + CO2 CaH2C2O6

Celah yang dihasilkan oleh pelarutan tersebut semakin besar dari waktu ke waktu sampai membentuk patahan dan rongga yang disebut karen (patahan), sinkhole (lubang lari air), collapse sink/doline (rongga), dan gua (Gimes 2001). Gaya tektonik yang terjadi pada masa berikutnya menyebabkan rongga dan gua saling berasosiasi satu sama lain membentuk sistem perguaan dengan lorong yang panjang (Samodra 2006). Persyaratan yang harus dipenuhi supaya lempeng

9

batu gamping dapat membentuk morfologi karst menurut Hamilton & Smith (2006) adalah : 1) lempeng batuan gamping mempunyai ketebalan yang cukup, 2) berada di wilayah dengan curah hujan tinggi, 3) batuan gamping banyak mengandung celah atau rongga, 4) berada pada posisi lebih tinggi dibandingkan lingkungan di sekitarnya.

Geomorfologi karst

Ahli geologi membagi geomorfologi karst menjadi karst luar atau exokarst dan karst dalam atau endokarst (gua). Exokarst/epikarst dicirikan dengan: 1) adanya bukit-bukit kapur berbentuk kerucut atau kubah, 2) permukaan kasar berlubang-lubang membentuk dolina (cekungan), dan 3) adanya endapan sedimen lempung berwarna merah hasil pelapukan batu gamping (Samodra 2006). Selain itu menurut Roemantyo & Noerdjito (2006), exokarst biasanya tertutup oleh lapisan tanah yang tipis yang umumnya berasal dari batuan kapur yang hancur dan terdekomposisi secara mekanik dan kimiawi. Lapisan tanah tipis tersebut sebagian terkumpul pada cekungan. Proses pengayaan nutrisi pada lapisan tanah exokarst dapat terjadi oleh adanya debu vulkanis, ataupun aliran air hujan yang membawa humus dari tempat lain. Akibatnya exokarst dapat ditumbuhi oleh jenis-jenis tumbuhan tertentu.

Endokarst (gua) menurut Hamilton & Smith (2006) merupakan ruang dengan sirkulasi udara terbatas dan sangat sedikit atau bahkan sama sekali tidak ada cahaya. Selain itu, menurut Wirawan (2005), ruang dalam gua biasanya dilengkapi dengan ornamen-ornamen gua. Ornamen tersebut merupakan hasil pengendapan kalsium karbonat (CaCO3) yang sebelumnya terlarutkan oleh peristiwa karstifikasi. FINSPAC (1993) membagi ornamen-ornamen dalam gua menjadi: 1) stalaktit, yaitu endapan kapur yang menggelantung pada langit-langit gua, 2) stalakmit, yaitu endapan kapur yang terdapat pada lantai gua, 3) tiang (column), yaitu pertemuan antara stalaktit dan stalakmit yang membentuk tiang, 4) tirai (drip curtain/drapery), yaitu endapan yang berbentuk lembaran tipis vertikal, pada atap gua yang miring, dan 5) teras (travertin), yaitu endapan kalsium karbonat pada lantai gua yang bertingkat sehingga membentuk terrasering. Geomorfologi karst tersaji pada Gambar 3.

10

Gambar 3 Geomorfologi karst (Sumber: FINSPAC 1993)

Hamilton & Smith (2006) membagi lingkungan dalam gua berdasarkan pengaruh sinar matahari menjadi 3 mintakat, yaitu 1) mintakat I adalah mintakat di dalam gua yang sinar matahari dapat masuk dan iklim dalam gua masih dipengaruhi oleh iklim luar gua, 2) mintakat II adalah mintakat di dalam gua yang tidak ada sinar matahari yang masuk, tetapi iklim di dalam mintakat tersebut masih dipengaruhi oleh iklim di luar gua, dan 3) mintakat III adalah mintakat yang tidak ada sinar matahari dan iklim di dalam mintakat ini stabil, tidak dipengaruhi oleh fluktuasi iklim di luar gua. Contoh denah pembagian mintakat pada Gua Jatijajar dapat dilihat pada Gambar 4.

Menurut Russo et al. (2003) dinding dan atap gua merupakan penyangga efektif yang memisahkan lingkungan dalam gua dengan lingkungan luar gua. Oleh karenanya, lingkungan dalam gua memiliki mikroklimat yang berbeda dari luar gua. Menurut Samodra (2006) mikroklimat dalam gua cenderung lebih dingin dan lebih lembap. Hal ini karena 1) adanya aliran sungai di lantai gua; 2) adanya air rembesan di atap gua; 3) tidak ada sinar matahari, dan 4) sirkulasi udara terbatas. Selain itu menurut Russo et al. (2003) mikroklimat tersebut dapat berbeda antara satu zona (mintakat) dan zona lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh pengaruh sinar matahari, formasi gua, dan keberadaan mahluk hidup di dalamnya. Penelitian Baudinette et al. (1994) di Gua Kelelawar dan Gua

11

Robertson Afrika Selatan membuktikan gua yang dihuni kelelawar dengan jumlah besar dapat menaikkan suhu dalam gua hingga 3oC.

Gambar 4 Denah pembagian mintakat pada Gua Jatijajar (Sumber : DISPARBUD Kabupaten Kebumen 2004 yang telah dimodifikasi)

Tipe-tipe gua

Aliran air merupakan faktor utama dalam pembentukan gua karst. Karenanya menurut Hamilton & Smith (2006), berdasarkan penetrasi air pada dinding dan atap gua, dapat dibedakan tiga-tipe gua karst, yaitu 1) gua fosil, adalah gua karst yang pada dinding dan atapnya tidak ada lagi penetrasi air. Hal ini menyebabkan pertumbuhan ornamen-ornamen gua terhenti dan mikroklimat gua cenderung lebih kering dibandingkan tipe gua karst lainnya; 2) gua vedosa: gua karst yang berada pada sarang air (water table) yang datar. Tipe gua ini ditandai dengan sedikitnya penetrasi air pada atap gua sehingga tidak banyak ditemukan ornamen gua. Oleh karena berada pada sarang air datar, maka banyak terbentuk mata air di dinding gua. Banyaknya mata air tersebut menyebabkan mikroklimat di dalam gua cenderung dingin dan lembap; 3) gua pheartic adalah gua karst yang berada pada bidang miring, yang penetrasi air pada atap gua berlangsung sangat efektif. Tipe gua ini ditandai dengan banyaknya tetesan air

12

pada atap gua dan biasanya lantai gua dilalui sungai bawah tanah. Ornamen gua membentuk formasi yang kompleks dan masih aktif berkembang. Keberadaan sungai bawah tanah dan banyaknya tetesan air pada atap gua menyebabkan gua pheartic dingin dan lembap (Samodra 2006).

Pada gua fosil, vedosa maupun pheartic terbentuk zonasi atau mintakat-mintakat. Mintakat tersebut sangat dipengaruhi oleh besarnya mulut gua, banyaknya ventilasi gua maupun formasi gua. Gua tipe pheartic memiliki formasi gua yang lebih kompleks dibandingkan tipe gua lainnya (Samodra 2006). Hal ini disebabkan lorong gua yang berliku-liku, adanya aliran sungai, dan banyaknya ornamen-ornamen gua. Kondisi ini menghasilkan mintakat III yang lebih luas, yaitu mintakat gelap dengan suhu dan kelembapan stabil tidak dipengaruhi suhu luar gua.

Gua dapat diartikan sebagai ruang /lorong yang berada di bawah permukaan tanah. Selain tipe-tipe gua karst yang telah dijelaskan di atas, menurut Ko (2004) terdapat tiga tipe gua lain, yaitu 1) gua lava: gua yang terbentuk karena aktivitas vulkanik atau gunung berapi, 2) gua litoral /gua laut: gua yang terbentuk kerena gelombang laut yang memecah karang di pantai, dan 3) gua sandstone: gua yang terbentuk karena erosi air dan angin pada batuan pasir. Ketiga tipe gua tersebut memiliki lorong pendek, formasi gua sederhana, dan cahaya matahari dapat masuk hampir keseluruh bagian lorong gua. Karena itu tidak terdapat mintakat-mintakat seperti halnya pada gua karst dan tidak membentuk ekosistem yang kompleks.

Komunitas fauna gua karst

Dinding dan atap gua merupakan pembatas yang memisahkan lingkungan dalam gua dengan luar gua. Dinding dan atap tersebut tidak tembus sinar matahari. Akibatnya, kondisi dalam gua menjadi gelap dan tumbuhan hijau (autotrof) tidak ditemukan. Meskipun demikian, menurut Ko (2004), ruang dalam gua dapat ditempati oleh mahluk hidup. Hal ini karena sumber energi didatangkan dari luar gua melalui unsur hara yang terlarut dalam aliran air, debu zat-zat organik yang terbawa oleh udara serta bahan nutrisi yang berasal dari

13

hewan yang bersarang di dalam gua tetapi mencari makan di luar gua (hewan Troglozene).

Menurut Ko (2004), di kawasan karst penghubung utama antara ekosistem luar gua dan ekosistem dalam gua adalah burung dan Mamalia. Jenis-jenis burung di antaranya adalah walet (Aerodramus fuciphagus) dan sriti (Hirundo tahitica), sedangkan kelompok Mamalia adalah ordo Chiroptera (kelelawar). Menurut Whitten et al. (1999) dan Sinaga et al. (2006) fauna troglozene utama di gua-gua karst di Pulau Jawa adalah kelelawar. Bahkan jumlah populasi kelelawar tersebut dapat mencapai jutaan individu dalam satu gua. Secara sederhana suplai energi ke dalam gua disajikan dalam Gambar 5.

Gambar 5 Suplai energi ke dalam gua (Sumber: Subterra 2004)

Berdasarkan sumber energinya, jenis-jenis fauna yang hidup di gua menurut Ko (2004) dibedakan menjadi: 1) necrophagus, yaitu fauna pemakan bangkai 2) cocroaphagus, yaitu fauna pemakan kotoran/feses 3) parasit, yaitu fauna yang hidup pada fauna lain dan 4) predator, yaitu fauna pemakan fauna lain. Penelitian McCure (1985) di Gua Batu Malaysia mendapatkan necrophagus terdiri atas : lalat (Muscoidae:Insekta) dan semut (Formicidae: Insekta); cocroaphagus terdiri atas ekor pegas (Collembola: Insekta/Hexapoda), kumbang (Stratiomyiidae: Insekta), kecoa (Blattidae: Insekta), kumbang (Tineidae: Insekta), jangkerik (Gryllothalpidae: Insekta) dan jangkerik (Gryllidae: Insekta); parasit terdiri atas :

14

kutu (Ichneumonidae: Insekta); dan predator terdiri atas : kala jengking (Scorpionidae: Arachnida) , semut (Formicidae: Inseta) dan ular (Elaphe taeniura: Reptilia). Penelitian Wirawan (2004) di Gua Pawon Jawa Tengah mendapatkan ekor pegas (Collembola: Insekta), lalat (Diptera:Insekta), kecoa (Blatodea:Insekta), dan kumbang (Colleoptera:Insekta) sebagai pemakan guano. Fauna-fauna tersebut kemudian dimakan oleh kodok (Bufo: Amphibia) dan laba- laba (Arachnidae: Decapoda). Dunn (1978) mendapatkan rantai makanan di dalam Gua Anak Takun Malaysia seperti pada Gambar 6.

GUANO

Gambar 6 Rantai makanan di Gua Anak Takun Malaysia (Dunn, 1978)

Ruang dalam gua yang gelap dan lembap menyebabkan fauna gua harus beradaptasi pada keadaan tersebut. Adaptasi oleh fauna gua ini memerlukan waktu yang panjang. Hasil adaptasi tersebut menurut Espinasa & Vuong (2008) menghasilkan ciri-ciri sebagai berikut: 1) tubuh tidak berpigmen, 2) mempunyai alat gerak yang ramping dan panjang, 3) indera peraba atau pendengar berkembang; 4) mata tereduksi atau hilang sama sekali, 5) metabolisme lambat.

Menurut Suyanto (2001) dan Espinasa & Vuong (2008) berdasarkan tingkat adaptasinya, fauna gua dibedakan menjadi :

1) Troglobit, yaitu hewan yang telah mengalami modifikasi khusus sesuai dengan kondisi gua yang gelap, seperti tidak berpigmen dan lebih

KELELAWAR (CHIROPTERA) lalat (Muscoidae) kumbang (Lathridiidae) jangkerik (Gryllidae) kecoa (Blattidae kala jengking (Scorpionodae) laba-laba (Arachnidae) semut (Formicidae) ular (Boidae) kodok (Anura) ekor Pegas/ Collembola

15

berfungsinya indera peraba, penciuman, dan pendengaran. Troglobit merupakan penghuni tetap gua yang tidak dapat hidup di habitat lain. Oleh karena itu, hewan troglobit merupakan kelompok yang paling fragil di antara kelompok lainnya. Espinasa & Vuong (2008) mendapatkan serangga troglobit: Nicoletiid (Zygentoma: Insecta) di Gua Oaxaca, Mexico. Menurut Whitten et al. (1999) fauna troglobit yang sering ditemukan di gua-gua karst di Pulau Jawa adalah kepiting (Sesarmoides jacobsoni: Crustacea ), Udang putih (Macrobrachium poeti: Crustacea) dan ikan buta (Puntius binotatus: Osteicthyes). Penelitian Wijayanti (2001) di Gua Petruk dan Gua Jatijajar Jawa Tengah mendapatkan fauna troglobit: ikan buta (Amblyopsis spelaeus: Osteicthyes), udang gua (Macrobrachium pilimanus: Crustacea), laba-laba gua (Stigophrynus darmamani: Arachnidea), dan kumbang gua (Eustra saripaensis: Insekta). Hasil penelitian Rachmadi (2003) di gua Karst Ngerong, Tuban, Jawa Timur, mendapatkan fauna troglobit: kalajengking gua (Chaerilus sabinae: Scorpionidae), kepiting gua (Cancrocaeca xenomorpha: Cruatacea), kepiting mata kecil (Sesarmoides

Dokumen terkait