• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekologi, relung pakan, dan strategi adaptasi kelelawar penghuni gua di karst gombong Kebumen Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ekologi, relung pakan, dan strategi adaptasi kelelawar penghuni gua di karst gombong Kebumen Jawa Tengah"

Copied!
329
0
0

Teks penuh

(1)

EKOLOGI, RELUNG PAKAN, DAN STRATEGI ADAPTASI

KELELAWAR PENGHUNI GUA DI KARST GOMBONG

KEBUMEN JAWA TENGAH

FAHMA WIJAYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi : Ekologi, Relung Pakan, dan Strategi Adaptasi Kelelawar Penghuni Gua di Karst Gombong Kebumen, Jawa Tengah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Mei 2011

Fahma Wijayanti

(3)

EKOLOGI, RELUNG PAKAN, DAN STRATEGI ADAPTASI

KELELAWAR PENGHUNI GUA DI KARST GOMBONG

KEBUMEN JAWA TENGAH

FAHMA WIJAYANTI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Biologi Mayor Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Penguji pada Ujian Tertutp: Prof. Dr. Ani Mardistuti, MSc

(Departemen KSHE, Fakultas Kehutanan IPB) : Prof. Wasmen Manalu, PhD

(Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi FKH, IPB).

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Henry Bastaman MES.

(Deputi Kemeterian Negara Lingkungan Hidup Bidang Pembinaan Sarana Teknik Lingkungan Dan Peningkatan Kapasitas)

(5)

ABSTRACT

The existence of cave dwelling bats of karst area need to be conserved, because bats have important roles for the ecosystem inside the cave as well as outside the cave. The objectives of this research were to know the biodiversity of cave dwelling bats, to identify physical factors which influenced the preference roosting place, to determine the prey preference of cave dwelling bats, to observe structural and physiological adaptation of the cave dwelling bats and to propose the karst management strategy based on the conservation status of bats. This study was conducted from September 2008 to July 2010 in twelve caves in Gombong karst area, Central Java. The sample of the bats were picked up at the roosting place during the day. The physical and microclimate parameters were measured under the bat roosts, three times in February, June and October 2009. Stomach gut content was collected and dissolved in aquadest. The material of insect were sorted and identified under microscope and compare to the insects that were collected by light trap in bat foraging area. The polen were collected from the intestine of fruit bats. Blood was taken from the interfemoral vein of bats. Lungs removed from body and were made preparations for histology. The diameter of alveoli was observed under the microscope. Then the amount of erythrocyte was counted by using hemocytometer and hemoglobin content was measured using Sahli’s method. The data was analyzed by ANOVA, Principle Component Analysis (PCA), Redundancy Analysis (RDA), Canonical Correspondence Analysis (CCA), Hybrid Canonical Correspondence Analysis (HCCA) and multiple regression. The result showed: 1) Fifteen spesies (eleven spesies of Microchiroptera and four spesies of Megachiroptera) indicated known in this research. 2) The microclimate factors which influenced the preference roosting place were the sound intensity, the distance from the cave mouth, the temperature, the humidity and the light intensity. The insects in gut content of insectivorous bats belong to 10 orders, distributed into 29 families. Otherwise pollen in gut content of frugivorous bats belong to 9 families, distributed into 33 spesies of plant. The niche overlap index between spesies of bats that occupy in one cave was less than 30%. The diameter of alveoli significantly correlated with humidity, temperature and ammonia levels. The amount of erythrocyte increased by the increase of humidity, decrease in the temperature and the increase of ammonia level. This tendency also revealed in hemoglobin change. Gombong karst area proposed as a karst region class I based on Kepmen ESDM No. 1456 K/20/MEM/2000

Key words: bats. Karst Gombong, roost preference, diet, adaptation, conservation.

 

 

(6)
(7)

RINGKASAN

FAHMA WIJAYANTI. Ekologi, Relung Pakan, dan Strategi Adaptasi Kelelawar Penghuni Gua di Karst Gombong Kebumen Jawa Tegah. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN, HADI SUKADI ALIKODRA, dan IBNU MARYANTO

Persoalan yang timbul akibat pemanfaatan ekosistem karst dapat menyebabkan ekosistem karst tidak lagi memberikan manfaat ekonomi dan fungsi ekologi. Untuk menghindari hal tersebut, diperlukan upaya konservasi ekosistem karst. Hal ini hanya dapat dipenuhi jika pengetahuan yang mendasari kestabilan ekosistem karst ini dapat dipahami dengan baik. Penelitian ini menjawab beberapa aspek yang berkaitan dengan kelelawar penghuni gua di Karst Gombong. Aspek-aspek tersebut meliputi: biodiversitas dan struktur komunitas kelelawar gua; pola pemilihan sarang; relung pakan; serta adaptasi struktural dan fisiologi organ pernapasan kelelawar gua. Dari hasil penelitian tersebut dirancang strategi konservasi ekosistem gua, sehingga keberadaan kelelawar sebagai kunci penyedia energi ekosistem (key factor in cycle energy) dalam gua dan pemegang peran ekologis lainnya bagi ekosistem luar gua dapat dipertahankan.

Hasil penelusuran gua menunjukkan dari dua belas gua yang diteliti, sepuluh gua dihuni kelelawar, dua gua tidak dihuni kelelawar. Jenis-jenis kelelawar yang bersarang pada gua-gua tersebut terdiri atas empat jenis kelelawar Megachiroptera dan sebelas jenis kelelawar Microchiroptera. Hasil Redundancy Analysis (RDA) menunjukkan semakin panjang, tinggi, dan lebar lorong gua, semakin tinggi kelimpahan, indeks keanekaragaman jenis, dan kemerataan jenis kelelawar. Sebaliknya, jumlah pintu dan ventilasi gua tidak berkorelasi nyata. Gua dengan lorong sempit hanya dapat dihuni oleh jenis tertentu saja, yaitu jenis yang mampu malakukan manuver dengan baik. Sebaliknya, gua dengan lorong lebar, dapat dihuni kelelawar dengan kemampuan lebih beragam. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Sevcik (2003) pada Plecotus auritus dan P. austriacus yang membuktian P. auritus lebih unggul mengeksploitasi habitat, karena lebih mampu melakukan manuver terbang. Semakin panjang, tinggi dan lebar lorong gua, semakin tinggi kelimpahan dan keanekaragaman jenis kelelawar yang dapat bersarang didalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Maguran (1988) bahwa semakin luas habitat, semakin banyak jumlah dan jenis biota yang dapat hidup di dalamnya. Penelitian Schnitzler et al. (2003) membuktikan ketika terbang menuju lokasi sarang dan tempat pencarian makan, kelelawar cenderung menggunakan jalur yang sama. Hal ini menyebabkan jumlah pintu dan ventilasi gua tidak berpengaruh pada struktur komunitas kelelawar.

(8)

manuver yang baik cenderung memilih lokasi sarang pada jarak yang jauh dari lorong gua karena lebih aman dari gangguan manusia. Sebaliknya kelelawar yang tidak mampu melewati lorong gua yang panjang memilih sarang di lokasi yang dekat dari pintu gua untuk memudahkan kelelawar tersebut keluar atau masuk ke dalam sarang. 3) Kelelawar merupakan homoikiloterm (suhu tubuh konstan) yang mempunyai batas toleransi sempit pada suhu lingkungan. Batas toleransi tersebut berbeda antara satu jenis kelelawar dan jenis lainnya, sehingga kelelawar memilih sarang yang sesuai dengan batas toleransi tubuhnya. 4) Membran petagium (sayap) kelelawar tersusun atas lapisan kulit tipis yang sangat peka pada kekeringan. Hal ini menyebabkan kelelawar yang mempunyai membran petagium tipis memilih lokasi sarang yang lembap, sedangkan yang memiliki membran petagium tebal mampu bersarang di lokasi gua yang cenderung kering. 5) Megachiroptera cenderung menggunakan penglihatannya untuk berorientasi pada ruang. Oleh karena itu jenis-jenis kelelawar Megachiroptera cenderung memilih lokasi di dalam gua yang mempunyai intensitas cahaya tinggi. Sebaliknya, jenis-jenis Microchiroptera lebih menggunakan kemampuan ekolokasinya untuk berorientasi pada ruang sehingga tidak memerlukan cahaya. Berdasarkan faktor mikroklimat yang berpengaruh tersebut, terdapat lima kelompok kelelawar. Setiap kelompok memiliki pola pemilihan sarang yang spesifik.

Kelelawar insektivora di Karst Gombong memangsa 29 famili serangga yang termasuk ke dalam 10 ordo, sedangkan kelelawar frugivora di Karst Gombong memakan polen 33 species tumbuhan yang termasuk dalam sembilan famili. Berdasarkan pemilihan pakannya tersebut, kelelawar Microchiroptera berkelompok menjadi lima kelompok, masing masing kelompok memangsa serangga dengan karakteristik berbeda. Kelelawar Megachiroptera mengelompok menjadi tiga kelompok, masing masing kelompok memilih ukuran polen berbeda dan berasal dari bunga dengan tipe tertentu. Hasil penghitungan indeks kesamaan relung pakan menunjukkan kelelawar yang berasosiasi dalam satu gua yang sama memiliki nilai indeks kesamaan relung pakan kecil (< 30%). Hal ini membuktikan bahwa jenis-jenis yang berasosiasi tersebut tidak berkompetisi memperebutkan makanan. Hal ini menjawab pertanyaan, mengapa satu gua dapat dihuni oleh beberapa jenis kelelawar dengan jumlah populasi yang sangat tinggi.

Hasil penelusuran sarang kelelawar membuktikan beberapa jenis-jenis kelelawar mampu bertahan hidup dalam sarang dengan kondisi dingin, lembap, rendah oksigen, dan tinggi kadar amonia. Hasil penelitian terdahulu membuktikan bahwa kondisi tersebut kurang menguntungkan bagi hewan mamalia. Penelitian ini menunjukkan adanya adaptasi struktural dan fisiologi organ pernapasan kelelawar yang bersarang pada kondisi suhu rendah, lembap, dan kadar amonia tinggi, yaitu dengan diameter alveolus sempit, rasio jumlah eritrosit/bobot tubuh tinggi dan rasio kadar hemoglobin/bobot tubuh tinggi. Pada kondisi udara dingin, lembap dan tinggi kadar amonia kelelawar membutuhkan lebih banyak energi untuk menghangatkan tubuh dan memproduksi zat antibodi. Oleh karenanya, sel tubuh membutuhkan lebih banyak oksigen. Diameter alveolus yang menyempit diperlukan agar absorbsi oksigen oleh pembuluh darah efektif. Jumlah eritrosit dan hemoglobin yang tinggi diperlukan agar kebutuhan sel akan oksigen segera terpenuhi akibat meningkatnya laju respirasi.

(9)
(10)
(11)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Disertasi : Ekologi, Relung Pakan, dan Strategi Adaptasi Kelelawar Penghuni Gua di Karst Gombong Kebumen, Jawa Tengah

Nama : Fahma Wijayanti

NRP : G361060011

Program Studi : Biologi

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Ketua

Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, MSc Prof. Ris. Dr. Ibnu Maryanto

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Biologi

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Dr.Ir. Dahrul Syah, MSc Agr

(12)
(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 17 Maret 1969 sebagai anak ke lima dari tujuh bersaudara, dari pasangan Prof. Dr. Hadjid Harna Widagdo dan Sudarsini. Menikah pada tahun 1993 dengan Nur Muhammad Busro, SE dan dikaruniai tiga orang putri : Iftina Amalia (16 tahun), Adelia Khairunnisa (10 tahun), dan Alysa Ilmi Aulia (4 tahun). Pendidikan Sarjana ditempuh di Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto lulus tahun 1993. Pendidikan Pascasarjana ditempuh di Program Studi Biologi Program Pascasarjana Universitas Indonesia, lulus tahun 2001. Kesempatan melanjutkan program doktor pada Program Studi Biologi IPB diperoleh pada tahun 2006 dengan bantuan biaya pendidikan Program Doktor dari Departemen Agama RI.

Penulis pertama kali bekerja sebagai dosen pada Universitas Muhammadiayah Hamka (UHAMKA) pada tahun 1994 dan pernah menjabat sebagai ketua Program Studi Pendidikan Biologi pada tahun 1999 s/d 2003. Pada tahun 2002 penulis diangkat sebagai dosen PNS di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan pada tahun 2004 s/d 2006 pernah menjabat sebagai Ketua Program Studi Biologi.

(14)
(15)

KATA PENGANTAR

Berkat rahmat dan hidayah Allah yang maha pemurah, penyusunan disertasi berjudul Ekologi, Relung Pakan, dan Strategi Adaptasi Kelelawar Penghuni Gua di Karst Gombong Kebumen Jawa Tengah ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA selaku ketua komisi pembimbing, Prof.Dr. H.S.Alikodra MSc, dan Prof. Ris. Dr. Ibnu Maryanto, MSi selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, petunjuk, dan motivasi sejak penyusunan proposal penelitian sampai pada penyempurnaan disertasi ini.

Banyak pihak telah ikut dalam pelaksanaan penelitian ini dan membantu penyelesaian disertasi baik di lapangan (Karst Gombong), di Jakarta, maupun di Bogor. Segala bantuan yang telah diberikan, baik moril maupun materil, dengan segala kerendahan hati penulis berkenan mengucapkan terima kasih. Kiranya segala bantuan tersebut tercatat sebagai ibadah, dan mendapat balasan kebaikan dari Allah SWT. Dalam melaksanakan penelitian maupun penulisan disertasi ini, apabila terdapat tingkah laku, tutur kata, sikap, maupun perbuatan penulis yang tidak berkenan, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini mungkin masih mengandung kekurangan atau kesalahan, meskipun penulis sudah berusaha sedimikian rupa untuk menyempurnakannya. Dengan berlapang dada kepada semua pihak yang mengetahui kekurangan atau kesalahan dalam disertasi ini, penulis sangat mengharapkan, menghormati, dan menghargai segala saran, kritikan, dan masukan-masukan untuk penyempurnaannya. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi kemaslahatan umat.

Bogor, Mei 2011

(16)

ix 

 

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian ... 4

Ruang Lingkup Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

BIODIVERSITAS DAN POLA PEMILIHAAN SARANG KELELAWAR: STUDI KASUS DI KAWASAN KARST GOMBONG KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH ... 30

Abstract ... 30

Pendahuluan ... 31

Bahan dan Metode ... 32

Hasil ... 39

Pembahasan ... 48

Kesimpulan ... 55

Saran ... 56

ANALISIS RELUNG PAKAN KELELAWAR INSEKTIVORA (Subordo: Microchiroptera) DAN KELELAWAR FRUGIVORA (Subordo: Megachiroptera) YANG BERSARANG DI GUA-GUA KARST GOMBONG KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH ... 57

Abstract ... 57

Pendahuluan ... 57

Bahan dan Metode ... 59

Hasil ... 62

Pembahasan ... 77

Kesimpulan ... 84

Saran ... 84

ADAPTASI STRUKTURAL DAN FISIOLOGI PERNAPASAN KELELAWAR PENGHUNI GUA: STUDI KASUS DI KAWASAN KARST GOMBONG KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH ... 85

Abstract ... 85

Pendahuluan ... 85

(17)

 

Hasil ... 91

Pembahasan ... 98

Kesimpulan ... 103

Saran ... 103

PEMBAHASAN UMUM ... 104

Pentingnya Upaya Konservasi bagi Ekosistem Karts Gombong ... 104

Perhatian Pemerintah terhadap Ekosistem Karts Gombong ... 107

Usulan Strategi Konservasi Ekosistem Karts Gombong ... 109

KESIMPULAN ... 116

SARAN ……… ... 116

DAFTAR PUSTAKA ... 117

(18)

xi 

 

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kondisi fisik gua dan struktur komunitas kelelawar ... 40

2. Jenis dan kelimpahan kelelawar pada gua-gua yang dihuni kelelawar. . 41      

3. Struktur komunitas kelelawar di setiap gua ... 42

4. Hasil pengukuran mikroklimat sarang kelelawar ... 45

5. Urutan parameter fisik mikroklimat yang mempengaruhi pemilihan sarang kelelawar ... 46

6. Pengelompokan kelelawar berdasarkan pola pemilihan sarang ... 47

7. Hasil analisis isi perut kelelawar Microchiroptera ... 63

8. Karakteristik serangga pakan: bobot tubuh, panjang tubuh (berdasarkan serangga pembanding) dan kekerasan eksoskeleton (berdasarkan Aguirre et al. 2003) ... 64

9. Nilai kesamaan relung pakan (Morsita index) antarjenis kelelawar pada semua gua ... 67

10. Nilai kesamaan relung pakan (niche overlap) dan nilai uji chi square antarjenis kelelawar yang bersarang dalam satu gua yang sama ... 68

11. Persentase polen pada saluran pencernaan tiap jenis kelelawar ... 70

12. Jenis tanaman berdasarkan tipe bunga ... 73

13. Jenis tanaman berdasarkan ukuran polen ... 74

14. Nilai kesamaan relung pakan dan uji chi square antarjenis kelelawar Megachiroptera ... 77

15. Hasil uji korelasi Spearman hubungan antara diameter alveolus, jumlah eritrosit, dan kadar hemoglobin dengan kelembapan, suhu, kadar oksigen, dan kadar amonia ... 92

(19)

xii 

 

17. Hasil uji Tukey perbandingan diameter alveolus antarkoloni kelelawar 94 18. Hasil uji Tukey perbedaan rasio jumlah eritrosit per gram bobot badan

antarkoloni kelelawar ... 95 19. Hasil uji Tukey perbedaan rasio kadar hemoglobin per gram bobot

badan antarkoloni kelelawar ... 97 20. Status konservasi kelelawar berdasarkan Red List IUCN versi 3.1

( IUCN 2001) ... 104 21. Pedoman pengelolaan gua berdasarkan identifikasi fungsi gua ... 108 22. Matriks kondisi fisik dan biota di gua-gua Karts Gombong ... 111 23. Usulan pemanfaatan ruang gua berdasarkan jenis kelelawar yang

(20)

xiii 

 

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Skema kerangka pemikiran ... 6

2. Formasi awal terbentuknya karst ... 8

3. Geomorfologi karst ... 10

4. Denah pembagian mintakat pada Gua Jatijajar ... 11

5. Suplai energi ke dalam gua ... 13

6. Rantai makanan di Gua Anak Takun Malaysia ... 14

7. Struktur rangka kelelawar ... 16

8. Organ pernapasan mamalia ... 25

9. Alveolus dan kapiler darah tempat difusi oksigen dan karbon dioksida 26

10. Struktur kimia hemoglobin ... 27

11. Peta citra satelit LANDSAT Karst Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah ... 32

12. Alat pemetaan roosting kelelawar dan pengukuran mikroklimat gua ... 33

13. Pemetaan gua dengan metode foreward ... 35

14. Pengukuran kadar amonia udara ... 36

15. Metode penghitungan populasi kelelawar pada tiap sarang ... 36

16. Pengambilan sampel kelelawar ... 37

17. Jenis-jenis kelelawar yang ditemukan pada setiap gua ... 41

18. Redundancy Analysis (RDA) hubungan kelimpahan (N), kekayaan jenis (S), keanekaragaman jenis (H), dan kemerataan jenis (E) kelelawar dengan panjang lorong gua (PG), lebar lorong gua (LG), tinggi lorong gua (TG), jumlah pintu gua (P), dan jumlah ventilasi gua (V) ... 43

(21)

xiv 

 

20. Hasil Principle Component Analysis (PCA) jenis kelelawar berdasarkan serangga pakannya ... 66 21. Hasil Principle Component Analysis (PCA) jenis kelelawar

berdasarkan polen yang dimakan ... 71 22. Hybrid Canonical Correspondent Analysis (HCCA) pemilihan pakan

jenis kelelawar Frugivora berdasarkan bentuk mahkota bunga ... 75 23. Hybrid Canonical Correspondent Analysis (HCCA) pemilihan pakan

jenis kelelawar Frugivora berdasarkan ukuran polen ... 75 24. Proses pembedahan dan perendaman paru-paru dalam laritan Bouin .... 90 25. Patung deorama cerita pewayangan Rama dan Shinta di lorong Gua

(22)

xv 

 

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Gambar jenis-jenis kelelawar penghuni gua Karst Gombong... 124 2. Peta sebaran sarang kelelawar di gua-gua Karst Gombong ... 128 3. Serangga pakan kelelawar insektivora/Microchiroptera ... 140 4. Polen tumbuhan sumber pakan kelelawar ... 143 5. Gambar penampang melintang sayatan histologi alveolus kelelawar ... 148 6. Nilai loading factor komponen Principle Component Analysis (PCA)

jenis kelelawar berdasrkan jenis serangga pakannya dengan tiga komponen utama ... 152 7 Nilai loading factor komponen Principle Component Analysis (PCA)

(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman hayati. Salah satu bentuk keanekaragaman hayati Indonesia adalah ekosistem karst. Ekosistem karst adalah kesatuan komunitas mahluk hidup dengan berbagai faktor lingkungan yang terdapat pada suatu kawasan dengan batuan dasar berupa batu gamping atau kapur. Ciri khas kawasan karst adalah adanya celah sinkholes (sarang air), sungai bawah tanah, dan gua (Samodra 2006). Celah sinkholes dan sungai bawah tanah pada ekosistem karst dapat menyimpan banyak air, sehingga ekosistem karst berfungsi sebagai reservoar air (Vermeulen & Whitten 1999). Selain itu, ekosistem karst juga berfungsi sebagai habitat biota khas gua karena kondisi unik gua karst yang hanya dapat dihuni oleh fauna tertentu saja (Epsinasa & Vuong 2008).

Menurut BAPPENAS (2003), terdapat sekitar 15.4 juta hektar kawasan karst di wilayah Indonesia atau sekitar 10% dari seluruh luas daratan Indonesia. Selama ini, pemerintah dan masyarakat memanfaatkan ekosistem karst tersebut sebagai sumber pendapatan, di antaranya untuk kegiatan pertambangan dan obyek wisata. Namun, pemanfaatan dua sektor ini belum didukung oleh dasar ilmu pengetahuan (technopreunership) yang kuat, sehingga pemanfaatannya sering kali menimbulkan persoalan. Menurut Ko (1999), persoalaan utama yang timbul akibat pemanfaatan ekosistem karst adalah : 1) Adanya perubahan bentang alam (landscape) dan struktur geologi karst akibat penambangan batu gamping; 2) Menurunnya debit air bawah tanah akibat berkurangnya porositas batuan karst; dan 3) Hilangnya keanekaragaman biota khas gua, akibat habitatnya rusak atau terganggu.

(24)

2

Penelitian untuk mendukung pemanfaatan ekosistem karst secara lestari masih sangat sedikit. Selain itu, beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan di kawasan karst di Indonesia terutama hanya terfokus pada struktur geologi karst saja. Penelitian mengenai komunitas biologi belum banyak dilakukan, padahal komunitas biologi memegang peran penting dalam keseimbangan ekosistem karst. Atas dasar alasan tersebut, penelitian mengenai komunitas biologi pada ekosistem karst mutlak diperlukan.

Salah satu komunitas biologi yang berperan penting dalam ekosistem karst adalah fauna troglozene, yaitu fauna yang bersarang di dalam gua, tetapi mencari makan di luar gua (Epsinasa & Vuong 2008). Menurut Whitten et al. (1999), hewan troglozene utama pada gua-gua karst di Indonesia adalah kelelawar. Sebagai hewan troglozene, kelelawar mensuplai energi ke ekosistem gua denganguano (feses kelelawar) dan bangkainya. Tanpa kehadiran kelelawar, aliran energi ke dalam ekosistem gua akan terhenti dan keanekaragaman biota gua akan hilang.

Selain berperan penting dalam kestabilan ekosistem gua, kelelawar juga memegang fungsi ekologi penting bagi ekosistem luar gua. Peran kelelawar bagi ekosistem luar gua adalah sebagai pemencar biji, penyerbuk berbagai jenis tumbuhan dan pengendali/predator serangga hama tanaman. Penelitian Tan et al. (1998) membuktikan kelelawar Cynopterus brachyotis (Subordo: Megachiroptera) di Bangi Malaysia memakan buah dan menyebarkan biji 17 famili tumbuhan hutan dan tanaman perkebunan. Penelitian Razakarivony et al. (2005) di Malagasy membuktikan beberapa kelelawar subordo Microchiroptera yang bersarang di gua (Hipposideros commersoni, Miniopterus manavi dan Myotis goudoti) memakan serangga ordo Isoptera, Hymenoptera, Cooleoptera, Lepidoptera, Orthoptera, Hemiptera, dan Homoptera. Anggota ordo serangga tersebut tercatat sebagai serangga hama tanaman. Oleh sebab itu, hilangnya komunitas kelelawar di dalam gua karst tidak hanya dapat menghancurkan ekosistem dalam gua, tetapi juga dapat mempengaruhi ekosistem luar gua.

(25)

3

sarang kelelawar di gua yang telah dipertahankan dari generasi ke generasi tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini karena kondisi fisik gua telah berubah, menjadi tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kelelawar. Oleh karena itu, agar keberadaan kelelawar di gua dapat dipertahankan, diperlukan informasi yang akurat mengenai segala aspek yang berkaitan dengan kehidupan kelelawar gua.

Penelitian ini akan menjawab beberapa aspek yang berkaitan dengan kelelawar penghuni gua. Aspek-aspek tersebut meliputi biodiversitas dan struktur komunitas kelelawar gua, pola pemilihan sarang, relung pakan, serta adaptasi struktural dan fisiologi organ pernapasan kelelawar gua. Dari hasil penelitian tersebut dirancang strategi konservasi ekosistem gua, sehingga keberadaan kelelawar sebagai kunci penyedia energi ekosistem (key factor in cycle energy) dalam gua dan pemegang peran ekologis lainnya bagi ekosistem luar gua dapat dipertahankan.

Rumusan Masalah

(26)

4

kelelawar gua, dan 5) strategi konservasi ekosistem Karst Gombong. Apabila luaran di atas berhasil dicapai dengan baik, maka dapat dibuat pola pemanfaatan gua yang tepat, yang dapat mempertahankan komunitas kelelawar dan ekosistemnya.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

a. Mengkaji biodiversitas kelelawar penghuni gua berdasarkan faktor-faktor fisik gua di beberapa gua Karst Gombong.

b. Mengidentifikasi faktor mikroklimat gua yang berpengaruh pada pemilihan sarang kelelawar gua.

c. Mengidentifikasi pakan kelelawar gua dan menentukan kesamaan relung (niche overlap) pakan kelelawar yang berasosiasi dalam satu gua yang sama.

d. Mengkaji adaptasi struktural dan fisiologi pernapasan kelelawar yang bersarang di gua-gua Karst Gombong.

e. Merancang strategi konservasi ekosistem Karst Gombong.

Hipotesis penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah :

a. Keanekaragaman, kelimpahan, dan kemerataan jenis kelelawar dipengaruhi secara nyata oleh panjang lorong, lebar lorong, tinggi lorong, serta jumlah pintu, dan jumlah ventilasi gua.

b. Pola pemilihan sarang kelelawar gua dipengaruhi oleh jarak dari mulut gua, tinggi atap gua, suhu, kelembapan udara, intensitas cahaya, kecepatan angin, intensitas suara, kadar oksigen, dan kadar amonia di sekitar sarang. c. Asosiasi bersarang dalam satu gua oleh beberapa jenis kelelawar dapat

dilakukan oleh jenis-jenis kelelawar yang memiliki indeks kesamaan relung pakan yang kecil (< 50%).

(27)

5

eritrosit/ bobot badan tinggi ( > 0.3 juta/ml /gr bobot badan) dan rasio kadar hemoglobin/bobot badan tinggi ( > 0.9 g/ml /gr bobot badan).

Ruang Lingkup Penelitian

Secara sistematik, ruang lingkup penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Namun, tahapan penelitian dilakukan secara bertahap mulai dari penelitian tentang biodiversitas kelelawar, hingga strategi konservasi ekosistem karst dilakukan secara rinci melalui beberapa topik penelitian sebagai berikut :

Penelitian 1 : Biodiversitas dan pola pemilihan sarang kelelawar penghuni gua: Studi kasus di gua-gua Karst Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Penelitian ini untuk mencapai tujuan a, b, dan e. Penelitian 2 : Analisis relung pakan kelelawar insectivora ( Subordo

Microchiroptera) dan kelelawar frugivora (Subordo: Megachiroptera) yang bersarang di Gua Karst Gombong.

Penelitian ini untuk mencapai tujuan c dan e.

Penelitian 3 : Adaptasi struktural dan fisiologi pernapasan kelelawar penghuni

gua di Karst Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Penelitian ini untuk mencapai tujuan d dan e.

(28)

6

Gambar 1 Skema kerangka pemikiran

PERAN DAN FUNGSI KAWASAN KARST DI PANTAI SELATAN JAWA - Sebagai reservoar air terutama untuk wilayah Jawa bagian selatan

- Sebagai habitat biota khas gua

PERMASALAHAN STRUKTUR GUA KARST:

1. Pemanfaatan gua sebagai

tambang batu gamping dan guano PERMASALAHAN KOMUNITAS

BIOLOGI:

1. Kurangnya informasi fauna gua karst

2. Pemanfaatan gua karst yang tidak lestari

ANCAMAN BAGI KOMUNITAS FAUNA GUA

STATUS FAUNA GUA DAN SARANGNYA

- Keanekaragaman dan struktur komunitas kelelawar gua - Pola pemilihan sarang

kelelawar

1. Karakteristik gua sebagai sarang kelelawar 2. Pola pemilihan sarang kelelawar

3. Pola asosiasi dalam komunitas (Sharing resources)

4. Strategi adaptasi kelelawar gua

STRATEGI ADAPTASI FAUNA GUA

- Pemilihan relung pakan - Adaptasi struktur organ

pernapasan

- Adaptasi fisiologi pernapasan

Strategi konservasi kelelawar gua

Action plan yang ramah lingkungan : - Pemanfaatan berdasarkan persyaratan - Pemilihan gua sebagai objek

(29)

7

TINJAUAN PUSTAKA

Ekosistem Karst

Karstifikasi

Kata karst berasal dari bahasa Yugoslavia dan diperkenalkan oleh Cvijic seorang geolog asal Jerman pada tahun 1850. Kata karst tersebut mengacu pada kawasan batu gamping di Kota Trieste, Slovenia, Yugoslavia (Wirawan 2005). Sampai saat ini, kata karst telah digunakan secara internasional dan telah diserap secara utuh sebagai kata bahasa Indonesia. Salah satu definisi karst yang dikemukakan oleh ahli geologi adalah bentang alam (landscape) pada lempeng batuan gamping yang dibentuk oleh pelarutan batuan gamping. Pelarutan batu gamping tersebut menghasilkan bentukan karst dengan ciri celah sinkhole (lubang lari air), sungai bawah tanah, dan gua (Hamilton & Smith 2006; Samodra 2006).

(30)
[image:30.612.133.502.80.322.2]

8

Gambar 2 Formasi awal terbentuknya karst (Sumber: Subterra 2004)

Setelah proses yang disebabkan oleh gaya tektonik, peristiwa selanjutnya adalah pelarutan batuan karbonat oleh asam lemah. Reaksi karbon dioksida (CO2) di udara dengan air hujan (H20) menghasilkan H2CO3 yang bersifat asam

lemah. Larutan tersebut mengalir melalui aliran air permukaan (run off) dan akan melarutkan batu gamping sehingga terbentuk celah. Lebih rinci Samodra (2006) menjelaskan reaksi kimia pelarutan batu gamping oleh asam lemah adalah sebagai berikut :

H2O + CO2 H2CO3

H2CO3 HCO3 + H+

HCO3 + CaO CaCO3 + H2O

CaCO3 + H2O + CO2 CaH2C2O6

Celah yang dihasilkan oleh pelarutan tersebut semakin besar dari waktu ke waktu sampai membentuk patahan dan rongga yang disebut karen (patahan), sinkhole (lubang lari air), collapse sink/doline (rongga), dan gua (Gimes 2001). Gaya tektonik yang terjadi pada masa berikutnya menyebabkan rongga dan gua saling berasosiasi satu sama lain membentuk sistem perguaan dengan lorong yang panjang (Samodra 2006). Persyaratan yang harus dipenuhi supaya lempeng

(31)

9

batu gamping dapat membentuk morfologi karst menurut Hamilton & Smith (2006) adalah : 1) lempeng batuan gamping mempunyai ketebalan yang cukup, 2) berada di wilayah dengan curah hujan tinggi, 3) batuan gamping banyak mengandung celah atau rongga, 4) berada pada posisi lebih tinggi dibandingkan lingkungan di sekitarnya.

Geomorfologi karst

Ahli geologi membagi geomorfologi karst menjadi karst luar atau exokarst dan karst dalam atau endokarst (gua). Exokarst/epikarst dicirikan dengan: 1) adanya bukit-bukit kapur berbentuk kerucut atau kubah, 2) permukaan kasar berlubang-lubang membentuk dolina (cekungan), dan 3) adanya endapan sedimen lempung berwarna merah hasil pelapukan batu gamping (Samodra 2006). Selain itu menurut Roemantyo & Noerdjito (2006), exokarst biasanya tertutup oleh lapisan tanah yang tipis yang umumnya berasal dari batuan kapur yang hancur dan terdekomposisi secara mekanik dan kimiawi. Lapisan tanah tipis tersebut sebagian terkumpul pada cekungan. Proses pengayaan nutrisi pada lapisan tanah exokarst dapat terjadi oleh adanya debu vulkanis, ataupun aliran air hujan yang membawa humus dari tempat lain. Akibatnya exokarst dapat ditumbuhi oleh jenis-jenis tumbuhan tertentu.

Endokarst (gua) menurut Hamilton & Smith (2006) merupakan ruang dengan sirkulasi udara terbatas dan sangat sedikit atau bahkan sama sekali tidak ada cahaya. Selain itu, menurut Wirawan (2005), ruang dalam gua biasanya dilengkapi dengan ornamen-ornamen gua. Ornamen tersebut merupakan hasil pengendapan kalsium karbonat (CaCO3) yang sebelumnya terlarutkan oleh

(32)

10

Gambar 3 Geomorfologi karst (Sumber: FINSPAC 1993)

Hamilton & Smith (2006) membagi lingkungan dalam gua berdasarkan pengaruh sinar matahari menjadi 3 mintakat, yaitu 1) mintakat I adalah mintakat di dalam gua yang sinar matahari dapat masuk dan iklim dalam gua masih dipengaruhi oleh iklim luar gua, 2) mintakat II adalah mintakat di dalam gua yang tidak ada sinar matahari yang masuk, tetapi iklim di dalam mintakat tersebut masih dipengaruhi oleh iklim di luar gua, dan 3) mintakat III adalah mintakat yang tidak ada sinar matahari dan iklim di dalam mintakat ini stabil, tidak dipengaruhi oleh fluktuasi iklim di luar gua. Contoh denah pembagian mintakat pada Gua Jatijajar dapat dilihat pada Gambar 4.

(33)

11

[image:33.612.143.467.148.363.2]

Robertson Afrika Selatan membuktikan gua yang dihuni kelelawar dengan jumlah besar dapat menaikkan suhu dalam gua hingga 3oC.

Gambar 4 Denah pembagian mintakat pada Gua Jatijajar (Sumber : DISPARBUD Kabupaten Kebumen 2004 yang telah dimodifikasi)

Tipe-tipe gua

(34)

12

pada atap gua dan biasanya lantai gua dilalui sungai bawah tanah. Ornamen gua membentuk formasi yang kompleks dan masih aktif berkembang. Keberadaan sungai bawah tanah dan banyaknya tetesan air pada atap gua menyebabkan gua pheartic dingin dan lembap (Samodra 2006).

Pada gua fosil, vedosa maupun pheartic terbentuk zonasi atau mintakat-mintakat. Mintakat tersebut sangat dipengaruhi oleh besarnya mulut gua, banyaknya ventilasi gua maupun formasi gua. Gua tipe pheartic memiliki formasi gua yang lebih kompleks dibandingkan tipe gua lainnya (Samodra 2006). Hal ini disebabkan lorong gua yang berliku-liku, adanya aliran sungai, dan banyaknya ornamen-ornamen gua. Kondisi ini menghasilkan mintakat III yang lebih luas, yaitu mintakat gelap dengan suhu dan kelembapan stabil tidak dipengaruhi suhu luar gua.

Gua dapat diartikan sebagai ruang /lorong yang berada di bawah permukaan tanah. Selain tipe-tipe gua karst yang telah dijelaskan di atas, menurut Ko (2004) terdapat tiga tipe gua lain, yaitu 1) gua lava: gua yang terbentuk karena aktivitas vulkanik atau gunung berapi, 2) gua litoral /gua laut: gua yang terbentuk kerena gelombang laut yang memecah karang di pantai, dan 3) gua sandstone: gua yang terbentuk karena erosi air dan angin pada batuan pasir. Ketiga tipe gua tersebut memiliki lorong pendek, formasi gua sederhana, dan cahaya matahari dapat masuk hampir keseluruh bagian lorong gua. Karena itu tidak terdapat mintakat-mintakat seperti halnya pada gua karst dan tidak membentuk ekosistem yang kompleks.

Komunitas fauna gua karst

(35)

13

hewan yang bersarang di dalam gua tetapi mencari makan di luar gua (hewan Troglozene).

Menurut Ko (2004), di kawasan karst penghubung utama antara ekosistem luar gua dan ekosistem dalam gua adalah burung dan Mamalia. Jenis-jenis burung di antaranya adalah walet (Aerodramus fuciphagus) dan sriti (Hirundo tahitica), sedangkan kelompok Mamalia adalah ordo Chiroptera (kelelawar). Menurut Whitten et al. (1999) dan Sinaga et al. (2006) fauna troglozene utama di gua-gua karst di Pulau Jawa adalah kelelawar. Bahkan jumlah populasi kelelawar tersebut dapat mencapai jutaan individu dalam satu gua. Secara sederhana suplai energi ke dalam gua disajikan dalam Gambar 5.

Gambar 5 Suplai energi ke dalam gua (Sumber: Subterra 2004)

(36)

14

kutu (Ichneumonidae: Insekta); dan predator terdiri atas : kala jengking (Scorpionidae: Arachnida) , semut (Formicidae: Inseta) dan ular (Elaphe taeniura: Reptilia). Penelitian Wirawan (2004) di Gua Pawon Jawa Tengah mendapatkan ekor pegas (Collembola: Insekta), lalat (Diptera:Insekta), kecoa (Blatodea:Insekta), dan kumbang (Colleoptera:Insekta) sebagai pemakan guano. Fauna-fauna tersebut kemudian dimakan oleh kodok (Bufo: Amphibia) dan laba- laba (Arachnidae: Decapoda). Dunn (1978) mendapatkan rantai makanan di dalam Gua Anak Takun Malaysia seperti pada Gambar 6.

[image:36.612.96.493.30.767.2]

GUANO

Gambar 6 Rantai makanan di Gua Anak Takun Malaysia (Dunn, 1978)

Ruang dalam gua yang gelap dan lembap menyebabkan fauna gua harus beradaptasi pada keadaan tersebut. Adaptasi oleh fauna gua ini memerlukan waktu yang panjang. Hasil adaptasi tersebut menurut Espinasa & Vuong (2008) menghasilkan ciri-ciri sebagai berikut: 1) tubuh tidak berpigmen, 2) mempunyai alat gerak yang ramping dan panjang, 3) indera peraba atau pendengar berkembang; 4) mata tereduksi atau hilang sama sekali, 5) metabolisme lambat.

Menurut Suyanto (2001) dan Espinasa & Vuong (2008) berdasarkan tingkat adaptasinya, fauna gua dibedakan menjadi :

1) Troglobit, yaitu hewan yang telah mengalami modifikasi khusus sesuai dengan kondisi gua yang gelap, seperti tidak berpigmen dan lebih

KELELAWAR (CHIROPTERA)

lalat

(Muscoidae)

kumbang (Lathridiidae)

jangkerik (Gryllidae) kecoa

(Blattidae

kala jengking (Scorpionodae)

laba-laba (Arachnidae)

semut (Formicidae) ular

(Boidae)

kodok (Anura)

(37)

15

berfungsinya indera peraba, penciuman, dan pendengaran. Troglobit merupakan penghuni tetap gua yang tidak dapat hidup di habitat lain. Oleh karena itu, hewan troglobit merupakan kelompok yang paling fragil di antara kelompok lainnya. Espinasa & Vuong (2008) mendapatkan serangga troglobit: Nicoletiid (Zygentoma: Insecta) di Gua Oaxaca, Mexico. Menurut Whitten et al. (1999) fauna troglobit yang sering ditemukan di gua-gua karst di Pulau Jawa adalah kepiting (Sesarmoides jacobsoni: Crustacea ), Udang putih (Macrobrachium poeti: Crustacea) dan ikan buta (Puntius binotatus: Osteicthyes). Penelitian Wijayanti (2001) di Gua Petruk dan Gua Jatijajar Jawa Tengah mendapatkan fauna troglobit: ikan buta (Amblyopsis spelaeus: Osteicthyes), udang gua (Macrobrachium pilimanus: Crustacea), laba-laba gua (Stigophrynus darmamani: Arachnidea), dan kumbang gua (Eustra saripaensis: Insekta). Hasil penelitian Rachmadi (2003) di gua Karst Ngerong, Tuban, Jawa Timur, mendapatkan fauna troglobit: kalajengking gua (Chaerilus sabinae: Scorpionidae), kepiting gua (Cancrocaeca xenomorpha: Cruatacea), kepiting mata kecil (Sesarmoides emdi: Crustacea), isopoda gua (Cirolana marosina: Isopoda), kumbang gua (Eustra saripaensis:Insecta), dan ekor pegas gua (Pseudosinella maros: Insecta).

(38)

16

3) Troglophil, yaitu fauna yang hidup di dalam gua, tetapi belum mengalami modifikasi khusus. Fauna ini selama hidupnya berada dalam gua, tetapi jenis yang sama juga ditemukan di luar gua. Bila terjadi gangguan di dalam gua, fauna troglophil dapat pindah ke habitat luar gua. Penelitian Castillo et al. (2009) di Los Ricos Cave, Queretaro, Mexico mendapatkan kodok (Eleutherodactylus longipes: Anura) sebagai fauna troglophil yang secara musiman memasuki gua. Menurut Whitten et al. (1999) jangkerik (Rhapidophora dammarmani: Insekta), kumbang (Collasoma scrutater: Insekta), laba-laba (Liphistius sp: Arachnidae), dan keong (Thiara scabra: Gastropoda) merupakan troglophil yang sering dijumpai di gua-gua karst di Pulau Jawa.

Kelelawar sebagai Kelompok Fauna Troglozene

Kelelawar merupakan fauna troglozene utama di gua-gua karst di Indonesia (Whitten et al.1999; dan Suyanto 2001). Kelelawar adalah Mamalia yang termasuk dalam ordo Chiroptera. Ciri khas ordo ini adalah tulang telapak tangan (metacarpal) dan tulang jari (digiti) mengalami pemanjangan sehingga berfungsi sebagai kerangka sayap. Sayap tersebut terbentuk dari selaput tipis (petagium) yang membentang antara tulang-tulang telapak dan jari tangan sampai sepanjang sisi tubuh (Nowak 1994; Altringham 1996). Nowak (1994) menggambarkan struktur rangka kelelawar seperti terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Struktur rangka kelelawar (Sumber : Nowak 1994) digiti 1 digiti 2

digiti 3

digiti 4

digiti 5

(39)

17

Ordo Chiroptera terdiri atas 2 subordo, yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera. Kedua subordo ini diduga tidak mempunyai hubungan kekerabatan dan merupakan hasil evolusi konvergen, yaitu evolusi yang terjadi pada dua spesies yang berbeda tetapi beradaptasi dengan cara yang sama sehingga menghasilkan morfologi yang mirip (Altringham 1996). Salah satu alasan yang mendukung adalah : saraf superior colliculus (s.c) kanan pada otak tengah Microchiroptera mengatur retina mata kiri dan sebaliknya s.c kiri mengatur retina mata kanan. Hal ini ditemukan pada semua Mamalia, kecuali primata. Pada Megachiroptera, saraf superior colliculus kanan otak tengah mengatur retina mata kiri dan mata kanan sekaligus. Keadaan ini hanya ditemukan pada Primata, Dermoptera, dan Megachiroptera (Corbet & Hill 1992; Altringham 1996). Karena alasan tersebut maka diduga Megachiroptera berasal dari nenek moyang Primata, sedangkan Microchiroptera diduga berasal dari nenek moyang bukan Primata. Penelitian HanGuan et al. (2006) tentang philogenetika kelelawar juga mendapatkan bahwa kelelawar Megachiroptera memiliki kekerabatan lebih dekat dengan primata dibandingkan dengan Microchiroptera. Saat ini diketahui terdapat 18 famili, 192 genus dan sekitar 1111 jenis kelelawar yang ada di dunia (Safi & Kerth 2004). Menurut Suyanto et al. (1998) terdapat 10 famili, 49 genus, dan sekitar 151 jenis terdapat di Indonesia.

Anggota subordo Megachiroptera makanan utamanya adalah buah (frugivora), selain itu juga memakan serbuk sari (polen) dan nektar. Subordo ini terdiri atas 1 famili, yaitu Pteropodidae dengan 42 genus dan 166 spesies (Nowak 1994). Menurut Altringham (1996) anggota subordo Megachiroptera memiliki ukuran yang relatif besar (bobot minimum 10 gram maksimum 1500 gram dengan bentangan sayap maksimum 1700 mm); memiliki mata besar; telinga tidak memiliki tragus; moncong sederhana dan ekor tidak berkembang; jari kedua dan jari ketiga terpisah relatif jauh dan memiliki cakar pada jari kedua, kecuali pada Eonycteris, Dobsonia, dan Neopterix.

(40)

18

Microchiroptera adalah berukuran kecil (bobot minimum 2 gram, maksimum 196 gram dengan bentangan sayap maksimum 70 mm); memiliki mata kecil; telinga memiliki tragus (tonjolan dari dalam daun telinga) atau anti tragus (tonjolan dari luar daun telinga); jari sayap tidak bercakar dan moncong sangat bervariasi, terutama famili Rhinolophidae dan Hipposideridae memiliki daun hidung (noselea) yang kompleks.

Klasifikasi kelelawar menurut Corbet & Hill (1992) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Chiroptera Subordo : Megachiroptera

Famili : Pteropodidae Subordo : Microchiroptera

Famili : Rhinolophidae, Hipposideridae, Megadermatidae, Craseonycteridae,

Rhinopomatidae, Nycteridae, Emballonuridae, Phyllostomidae, Mormoopidae, Noctilionidae, Furipteridae, Thyropteridae, Mystacinidae, Myzopodidae, Vespertilionidae, Molosidae dan Natalidae

(41)

19

Indonesia. Lebih lanjut Kunz & Pierson (1994) menjelaskan bahwa kelelawar merupakan Mamalia paling berhasil, karena dapat ditemukan di berbagai tipe habitat dengan ketinggian mulai 10 m dpl sampai 3000 m dpl. Winkelmann et al. (2000) meneliti penggunaan habitat oleh kelelawar Synconycteris australis di Papua New Guinea. Menurut Winkelmann et al. (2000) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberadaan dan kelimpahan kelelawar pada suatu habitat ialah 1) struktur fisik habitat, 2) iklim mikro habitat, 3) ketersediaan pakan dan sumber air, 4) keamanan dari predator, 5) kompetisi, dan 6) ketersediaan sarang.

Perilaku bersarang

(42)

20

Setiap jenis kelelawar mempunyai beberapa alternatif dalam memilih lokasi sarang, di antaranya adalah pohon yang tinggi, di balik batu, di atap rumah, dan di dalam gua. Menurut Altringham (1996), pemilihan sarang mempengaruhi distribusi lokal dan global, kepadatan, strategi pencarian makan, strategi kawin, struktur sosial, dan pergerakan musiman. Menurut Zahn & Hager (2005) proses yang terlibat dalam memilih tempat bersarang cukup kompleks. Ketersediaan tempat bersarang yang cocok misalnya, akan mempengaruhi perilaku pencarian makan, tetapi perilaku bersarang sendiri juga dipengaruhi oleh kelimpahan dan penyebaran makanan.

Menurut Baudinette et al. (1994), Russso et al. (2003), dan Willis & Brigham (2004), dengan memilih sarang, kelelawar dapat memperoleh beberapa keuntungan, yaitu perlindungan dari cuaca buruk, perlindungan dari predator, memperkecil energi termoregulasi, keberhasilan reproduksi, serta transfer informasi tempat mencari makan dan tempat bersarang. Penelitian Willis & Brigham (2004) dan juga penelitian Seckerdieck et al. (2005) membuktikan bahwa kelelawar mempunyai home instink yang kuat, sarang yang dipilih kelelawar dipertahankan sampai beberapa generasi. Namun demikian apabila sarang mendapat ganggguan dan kelelawar tidak nyaman dan aman, sarang ini akan ditinggalkan (Willis & Brigham 2004).

(43)

21

Kebun Raya Bogor. Tanaman yang dipilih memiliki ketinggian yang cukup untuk menghindar dari gangguan predator serta bertajuk relatif lebar dan mendatar.

Jenis Megachiroptera yang bersarang di gua biasanya dalam koloni kecil atau bahkan hanya satu individu saja. Jenis-jenis tersebut adalah Rousettus amplexicaudatus, Megaderma lyra dan Eonysteris spelaea (Suyanto 2001). Penelitian Doyle (1979) di Gua Pondok Malaysia mendapatkan Eonycteris spelaea dengan jumlah dua puluh individu dan Megaderma lyra hanya lima individu bersarang dalam gua.

Sebaliknya, ordo Microchiroptera bersarang di pohon dalam jumlah sedikit. Microchiroptera lebih menyukai bersarang di bangunan buatan manusia, di celah batuan atau di gua dibandingkan pada dahan pohon. Penelitian Campbell et al. (1996) di hutan Pasific Nortwest Amerika Serikat mendapatkan kelelawar Lasionycteri noctivagans (Vespertilionidae: Microchiroptera) bersarang pada pohon pinus (Pinus ponderosa: Pinaceae) dan pinus putih (Pinus monticola: Pinaceae). Law & Chidel (2002) meneliti sarang dan ekologi pencarian makan kelelawar Kerivoula papuensis (Vespertilionidae : Microchiroptera) di hutan hujan New South Wales Australia. Sebanyak 11 individu kelelawar ditangkap di sekitar hutan dan dipasangi radiotracking. Lima puluh empat persen (54%) di antaranya bersarang di pohon yang jaraknya 5.2 km dari sungai, dan dua puluh tiga persen (23%) bersarang di pohon yang jaraknya 2.7 km dari sungai, dua puluh tiga persen (23%) bersarang dipohon yang jaraknya 2 km. Jumlah individu dalam koloni sarang ternyata tidak lebih dari 10 individu. Tanaman yang digunakan sebagai sarang adalah pohon jeruk (Flindersia australis:Rutaceae). Russo et al. (2003) meneliti seleksi sarang oleh kelelawar jenis Barbastella barbastellus (Vespertilionidae: Microchiroptera) di hutan Italia. Tanaman pada hutan yang tidak ditebang lebih banyak dihuni kelelawar Barbastella barbastellus daripada di hutan yang telah mengalami penebangan. Hal ini karena di hutan yang belum ditebang lebih banyak terdapat tanaman tua (hampir mati) dengan kulit kayu mengelupas, tinggi, dan sedikit daun.

(44)

22

stabil, dan jauh dari kebisingan. Dengan kondisi demikian, kelelawar kelompok Microchiroptera dapat meminimalkan kekurangan air akibat evaporasi, dapat memilih suhu yang tepat untuk tubuhnya, dan dapat menghindari kebisingan yang dapat mengganggu bahkan dapat menyebabkan kematian. Menurut Ruczynsi et al. (2007) kelelawar Microchiroptera memiliki alat pendengaran yang sangat sensitif pada gelombang suara, terutama gelombang pantul (echolokasi) berfrekuensi ultrasonik ( > 20 KHerzt).

Hasil penelitian Seckerdieck et al. (2005) membuktikan bahwa koloni kelelawar betina Rhinolopus hipposideros (Rhinolophidae : Microchiroptera) pada masa produktif cenderung memilih ruang bawah tanah dengan suhu rata rata 2oC lebih dingin dan lebih stabil dibandingkan lokasi lainnya. Pada masa hamil dan menyusui, sebenarnya kelelawar lebih membutuhkan suhu hangat. Meskipun lebih dingin, ruang bawah tanah lebih dipilih sebagai tempat bersarang karena mempunyai suhu stabil. Penelitian Zahn & Hager (2005) juga menunjukkan bahwa kelelawar jenis Myotis daubentonii (Vespertilionidae: Microchiroptera) ditemukan bereproduksi di gua-gua di Eropa Tengah yang juga dijadikan tempat bersarang bagi kelelawar muda dan jantan dewasa. M. daubentonii jantan biasanya menempati lokasi yang lebih dingin dibandingkan M. daubentonii betina.

(45)

23

orientasi ruang dalam keadaan gelap dan kemampuan terbang dalam ruang dengan banyak rintangan. Penelitian Safi & Kerth (2004) pada 35 jenis kelelawar Microchiropteradi zona temperate Eropa dan Amerika Utara menunjukkan bahwa kelelawar yang mempunyai tulang-tulang jari (phalanges) sayap panjang hanya mampu mengeksploitasi habitat dengan kanopi terbuka. Sebaliknya kelelawar yang memiliki tulang jari sayap pendek, lebih mampu mengeksploitasi habitat berkelok-kelok dan banyak rintangan. Oleh karena itu, kelelawar yang mampu bersarang pada lokasi jauh dari mulut gua kemungkinan adalah kelelawar dengan tulang jari sayap pendek.

Adaptasi struktural dan fisiologi pernapasan

Kondisi ruang gua yang sempit, sirkulasi udara terbatas, dan banyak dihuni kelelawar menyebabkan udara dalam gua menjadi rendah oksigen (hypoxic), tinggi karbon dioksida (hypercapnic), dan tinggi gas amonia (Baudinette et al. 1994). Keadaan ini kurang menguntungkan bagi hewan gua karena: 1) kurangnya oksigen dapat menyebabkan respirasi terhambat (Guyton 1995); 2) tingginya karbon dioksida dapat menyebabkan afinitas hemoglobin pada oksigen menurun (Guyton 1995); dan 3) tingginya konsentrasi gas amonia (NH3) dapat

menyebabkan gangguan metabolisme, iritasi epitel organ pernapasan serta gangguan fisiologi saraf (Hutabarat et al. 2000). Oleh karena itu, agar dapat bertahan hidup dalam gua, kelelawar harus beradaptasi pada keadaan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Alikodra (2010) bahwa untuk bertahan hidup dan berkembang dalam suatu habitat, hewan harus mengembangkan strategi, di antaranya strategi adaptasi pada habitat.

(46)

24

Menurut Suyanto (2001), kelelawar juga dapat bertahan hidup pada gua dengan kandungan amonia tinggi. Penelitian Sridhar et al. (2006) mendapatkan urin dan feses (guano) kelelawar Hipposideros speoris (Hipposideridae: Microchiroptera) tersusun atas 5.7 ± 1.5% nitrogen (N) berbentuk amonia (NH3).

Amonia tersebut merupakan hasil katabolisme protein. Amonia dalam guano dapat menguap menjadi gas bercampur dengan komponen udara lainnya. Hal ini menyebabkan kandungan amonia udara meningkat tajam (Shidar et al. 2006). Hutabarat (2000) melakukan penelitian pada karyawan pabrik lateks yang terkena paparan amonia sebesar 500 ppm sampai 600 ppm selama 60 hari. Hasil penelitian menunjukkan karyawan yang terkena paparan amonia mengalami gejala sebagai berikut : tenggorokan kering (80%); jalan pernapasan kering (73.3%); mata perih (66.67%); batuk (53.3%); dan pingsan (6.67%). Menurut Suyanto (2001) kelelawar gua dapat bertahan pada kandungan amonia udara mencapai 5000 ppm, sedangkan manusia hanya mampu bertahan pada kandungan amonia udara maksimum sebesar 100 ppm.

Penelitian tentang strategi adaptasi kelelawar yang bersarang di gua dengan kondisi dingin dan lembap pernah dilakukan oleh Baudinette et al. (2000) di Australia. Hasil penelitian menunjukkan laju respirasi kelelawar Macroderma gigas (Megadermatidae: Microchiroptera) dan Rhinonycteris aurantias (Hipposideridae: Microchiroptera) menyesuaikan dengan suhu dan kelembapan udara dalam gua. Pada saat kondisi udara kering dan dingin (kelembapan <60% dan suhu < 5.6oC) laju respirasi sama dengan pada saat kondisi udara lembap dan hangat ( kelembapan > 80% ;suhu > 9.8oC). Tetapi bila kondisi udara lembap dan dingin (kelembapan < 60% dan suhu < 9o) laju respirasinya meningkat tajam. Meningkatnya laju respirasi tersebut merupakan strategi agar tubuh tetap hangat. Namun demikian, sejauh ini belum ada penelitian mengenai strategi adaptasi fisiologi dan anatomi pernapasan kelelawar untuk bertahan hidup pada kondisi hypoxic, hypercapnic, dan tinggi amonia.

(47)

25

menghantarkan udara ke paru-paru; 4) bronchus, merupakan percabangan trakhea; dan 5) alveolus, merupakan membran tempat pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Organ pernapasan hewan Mamalia dapat dilihat pada Gambar 8.

[image:47.612.190.445.160.324.2] [image:47.612.199.438.505.665.2]

Gambar 8 Organ pernapasan Mamalia (Sumber: Campbell et al. 2002) Bagian terpenting dari organ pernapasan adalah alveolus, yaitu tempat oksigen berdifusi ke dalam sel dan karbon dioksida berdifusi keluar sel. Menurut Guyton (1995), dinding alveolus sangat tipis dan di dalamnya banyak terdapat kapiler darah yang saling berhubungan. Kondisi demikian memudahkan pertukaran gas antara membran alveolus dan membran kapiler darah. Difusi oksigen dari alveolus ke dalam kapiler darah dan difusi karbon dioksida dengan arah berlawanan dapat dilihat pada Gambar 9.

(48)

26

Menurut Guyton (1995) pertukaran gas respirasi melewati membran alveolus berlangsung sangat efektif. Hal ini karena permukaan membran alveolus sangat tipis. Selain itu, dengan bentuk seperti gelembung-gelembung udara, luas permukaan membran menjadi sangat besar. Hasil penelitian Setiadi (2000) menunjukkan kelelawar Scotophilus kuhli (Vespertilionidae: Microchiroptera) memiliki alveolus lebih kecil dan rapat dibandingkan alveolus tikus (Mus musculus). Menurut Plopper & Adams (1993), alveolus beberapa Mamalia berukuran kecil dan rapat sehingga permukaan respirasinya lebih luas. Permukaan respirasi yang luas menyebabkan paru-paru mampu mengikat oksigen lebih banyak (Plopper & Adams 1993). Menurut Guyton (1995), luas permukaan membran alveolus ini dapat berkurang karena rusaknya dinding alveolus. Kerusakan tersebut di antaranya adalah karena emfisema, yaitu keadaan alveolus bersatu disebabkan terpapar gas racun atau karena infeksi kuman.

Setelah oksigen berdifusi dari alveolus ke kapiler darah dan karbon dioksida berdifusi dari kapiler darah ke alveolus, selanjutnya oksigen akan diangkut oleh darah ke seluruh jaringan tubuh oleh sel darah merah (eritrosit). Karena adanya unsur hemoglobin dalam eritrosit, maka eritrosit dapat mengikat oksigen dan karbon dioksida. Menurut Ganong (2001), eritrosit Mamalia berbentuk cakram bikonkaf. Cakram bikonkaf tersebut memiliki permukaan yang relatif luas untuk pertukaran oksigen.

(49)

27

Kemampuan sel darah merah mengikat oksigen disebabkan adanya hemoglobin. Hemoglobin merupakan molekul protein yang berikatan dengan porphyrin. Di bagian tengah molekul porphyrin tersebut terdapat satu atom besi (Fe). Menurut Ganong (2001) hemoglobin Mamalia tersusun atas empat subunit protein berbentuk globul (bola). Satu subunit dapat membawa satu molekul oksigen, dengan demikian setiap molekul hemoglobin dapat membawa empat molekul oksigen. Struktur hemoglobin dapat dilihat pada Gambar 10.

(50)

28

Kesamaan relung (niche overlap) pakan

Kelelawar dari jenis (species) berbeda dapat memanfaatkan gua yang sama sebagai sarang. Hal ini dibuktikan oleh: penelitian Dunn (1978) yang mendapatkan jenis Hipposideros armiger, H. cineraceus, Rhinolophus affinis dan R. malayanus di Gua Anak Takun Malaysia; penelitian Zukal et al. (2005) yang mendapatkan jenis Myotis myotis dan Rhinolophus hipposideros di Gua Katerinska Cekoslvakia; dan penelitian Apriandi et al. (2008) yang mendapatkan jenis Miniopterus australis, Myotis adversus dan Rhinolophus affinis di Gua Gudawang Bogor. Menurut Kunz (1982) dan Willis & Brigmann (2004) sarang yang dipilih kelelawar memiliki akses yang mudah pada sumber pakan. Oleh karena itu, apabila jenis-jenis kelelawar yang bersarang dalam satu gua tersebut bergantung pada sumber pakan yang sama, akan terjadi kompetisi, terutama bila ketersediaan sumber pakan terbatas. Sebaliknya, bila sumber pakan berbeda, kompetisi tidak terjadi.

Menurut Cox (2002), penggunaan relung yang sama (niche overlap) menyebabkan interaksi kompetitif, yaitu tiap populasi yang berkompetisi memberikan pengaruh yang merugikan bagi pesaingnya (competitor). Menurut Reynold & Ludwig (1984) nilai niche overlap berkisar antara nol (0) sampai dengan satu (1). Apabila nilai niche overlap pakan mendekati satu berarti kedua jenis hewan tersebut memiliki pakan yang sama dan berpotensi untuk berkompetisi.

(51)

29

(52)

30

BIODIVERSITAS DAN POLA PEMILIHAN SARANG

KELELAWAR: STUDI KASUS DI KAWASAN

KARST GOMBONG KABUPATEN KEBUMEN

JAWA TENGAH

ABSTRACT

The existence of cave dwelling bats of karst area need to be conserved, because bats have important roles for the ecosystem inside as well as outside the cave. The objectives of this research were to know the biodiversity of cave dwelling bats; the physical factors influencing the community structure of the bats and the physical factors influencing the preference roosting place. This study was conducted from September 2008 to March 2009 in twelve caves in Gombong Karst Area, Central Java. The mapping of the roosting place was carried out using forward method. The sample of the bats were picked up at the roosting place during the day. The physical and microclimate parameters were measured under the bat roosts, three times in February, June and October 2009. The data were analyzed by ANOVA, Redundancy analysis (RDA) and canonical correspondence analysis (CCA). The result showed: 1) Fifteen species (eleven species of Microchiroptera and four spesies of Megachiroptera) indicated known in this research. 2) The length, height, and width of the cave corridor influenced the community structure of the bats; 3) The microclimate factors which influenced the roosting place preference were the sound intensity, the distance from the cave entrance, the temperature, the humidity, and the light intensity. Based on the factors mentioned, there were five goup of bats, each of which has specific patterns of roosting preference.

Key words: cave, bat, roosting preference, Gombong karst.

Pendahuluan

(53)

31

dengan proses abrasi sehingga menghasilkan gua yang bercabang-cabang, gelap, lembap, temperatur stabil, dan sirkulasi udara terbatas.

Di kawasan Karst Gombong terdapat sekitar 112 gua karst, dan lebih dari 60 gua di antaranya dihuni kelelawar (DISPARHUB Kebumen 2004). Menurut Boudinette et al. (1994), Duran & Centano (2002), dan Twente (2004), dinding dan atap gua membentuk fisik dan mikroklimat yang berbeda antara satu gua dengan gua lainnya. Perbedaan fisik dan mikroklimat tersebut menyebabkan setiap gua membentuk ekosistem yang unik dan dihuni oleh keanekaragaman jenis fauna yang khas. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut diduga setiap gua di kawasan Karst Gombong akan memiliki keanekaragaman jenis kelelawar berbeda. Namun, belum ada hasil penelitan yang menunjukkan ke arah itu.

Hasil-hasil penelitian mengenai kelelawar di luar Indonesia membuktikan bahwa tiap jenis kelelawar cenderung memilih sarang di dalam gua dengan kondisi yang sesuai bagi kebutuhan tubuhnya. Penelitian Zahn & Hager (2005) mendapatkan Myotis daubentonii jantan menempati lokasi yang lebih dingin dibandingkan M. daubentonii betina di gua-gua di Eropa Tengah. Penelitian Duran & Centano (2002) membuktikan kelelawar Pteronotus quadridens bersarang di gua dengan suhu 28oC s/d 35oC, dan Erophylla sezekorni bersarang di gua dengan suhu 25 oC s/d 28 oC. Di samping itu, diduga terdapat faktor-faktor fisik dan mikroklimat lain selain suhu yang mempengaruhi pemilihan sarang kelelawar di gua-gua Karst Gombong.

(54)

32

Bahan dan Metode

Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilakukan pada September 2008 s/d Maret 2009. Lokasi penelitian di kawasan Karst Gombong Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah yang terletak pada koordinat 7°36' - 7°48' LS dan 109°24' - 109°28' BT (Gambar 11).

Gambar 11 Peta citra satelit LANDSAT Karst Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah (Sumber: ESALab PPLH IPB 2010)

(55)

33

Gua Kampil (07O42.389LS/109O23.836 BT); Gua Kemit (07O42.247LS/ 109O23.638 BT); Gua Liyah (07O42.392LS/109O23.838 BT); Gua Petruk (07O42.315LS/109O24.130BT); Gua Sigong (07O42.487LS/109O23.389 BT); Gua Tiktikan (07O40.166LS/109O25.595BT); dan Gua Tratag (07O42.267LS/ 109O23.66BT). Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Mamalia PUSLIT Biologi LIPI Cibinong.

Bahan dan alat

Bahan yang digunakan adalah chloroform dan alkohol 70%. Alat yang digunakan adalah: Global Positioning System(GPS) merk Garmin; altimeter merk Krisbow, kompas merk Sunto; pita ukur (50 m); mist net; hand net; harp trap; kantong spesimen; bambu; timbangan digital; jangka sorong; lux meter; anemometer; sound level meter;digital thermometer; digital hygrometer; oksigen

[image:55.612.148.491.350.553.2]

meter; generator; pompa vacum; dan air quality checker (Gambar 12).

Gambar 12 Alat pemetaan roosting kelelawar dan pengukuran mikroklimat gua

Cara kerja

(56)

34

Kebumen; serta ke Badan Geologi Nasional di Bandung. Penentuan gua pengamatan dilakukan dengan metode purposive random sampling, yaitu gua pengamatan ditentukan sebanyak 10% dari seluruh gua yang ada. Berdasarkan survei pendahuluan diketahui bahwa di kawasan Karst Gombong terdapat 112 gua. Maka ditentukan sekitar 10% atau dua belas gua sebagai objek penelitian. Dua belas gua tersebut dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan panjang lorong gua, yaitu lorong gua pendek (kurang dari 100 m) sebanyak tiga gua (Gua Tiktikan, Gua Tratag, Gua Sigong); lorong gua sedang (antara 100 m s/d 200 m) sebanyak tiga gua (Gua Macan, Gua Dempo, Gua Kampil); lorong gua panjang (antara 200 m s/d 350 m) sebanyak tiga gua (Gua Inten, Gua Kemit, Gua Jatijajar), dan lorong gua sangat panjang (lebih dari 350 m) sebanyak tiga gua (Gua Petruk, Gua Celeng, Gua Liyah).

(57)

35

Gambar 13 Pemetaan gua dengan metode foreward (Hikespi 2004)

Parameter fisik gua yang diukur adalah: panjang lorong gua, lebar lorong gua, tinggi lorong gua, jumlah mulut gua dan jumlah ventilasi gua. Panjang lorong gua diukur mulai dari mulut gua sampai ujung gua dengan menggunakan pita meter. Bila terdapat percabangan lorong gua, semua percabangan tersebut juga diukur dan hasil pengukurannya dijumlahkan. Lebar lorong gua diukur dengan cara sebagai berikut: ditentukan lima lokasi di dalam lorong gua secara acak, kelima lokasi tersebut diukur lebarnya (tegak lurus dari satu dinding gua ke dinding lain yang berseberangan) menggunakan pita meter, kemudian dihitung rata-ratanya. Tinggi lorong gua juga diukur pada lima lokasi yang dipilih secara acak dan dihitung rata-ratanya. Cara yang dilakukan bergantung pada kondisi gua. Cara tersebut adalah: 1) menggunakan tali rafia yang diikat dengan batu, batu dilempar tegak lurus hingga menyentuh atap gua, panjang tali rafia yang terbawa lemparan batu diukur (cara ini dilakukan pada gua yang mempunyai atap tinggi dan sedikit stalaktit); 2) menggunakan 3 potongan bambu yang disambung fleksibel (cara ini dilakukan pada gua yang mempunyai atap tidak terlalu tinggi). Mengingat tingkat kesulitan yang cukup tinggi, pengukuran fisik gua hanya dilakukan satu kali, yaitu pada bulan Februari sampai Maret 2009.

Pengukuran parameter fisik mikroklimat sarang dilakukan di bawah sarang kelelawar pada jarak terdekat dari sarang yang mungkin terjangkau. Pengukuran kadar amonia udara dilakukan dengan cara: udara di bawah sarang kelelawar dihisap menggunakan pipa vacum dan dialirkan ke pingel yang telah

(58)

36

berisi absorban NH3 selama 120 menit (Gambar 14). Larutan absorban yang telah

bercampur dengan NH3 dari udara dipindahkan ke dalam tabung yang tertutup

rapat. Pembacaan konsentrasi NH3 dilakukan di laboratorium dengan

menggunakan spektrofotometer. Pengukuran parameter lingkungan sarang kelelawar diulang sebanyak 3 kali pada bulan yang berbeda (Februari; Juni; Oktober 2009). Kecuali pengukuran amonia udara hanya dilakukan satu kali (Maret 2010).

Gambar 14 Pengukuran kadar amonia udara

Estimasi jumlah kelelawar di setiap sarang dilakukan dengan menghitung langsung (direct count) kelelawar di sarangnya. Penghitungan dilakukan pada siang hari (10.00 WIB s/d 15.00 WIB) saat kelelawar bersarang di dalam gua dengan cara (Saroni 2005) : 1) Diukur luas sarang dengan membuat proyeksi sarang ke lantai gua; 2) Tiap satu sarang dibuat tiga kuadrat secara acak masing-masing berukuran 1 meter persegi; 3) Pada setiap kuadrat dihitung jumlah kelelawar; 4) Jumlah kelelawar tiap sarang adalah luas sarang dikalikan jumlah kelelawar rata- rata pada setiap kuadrat (Gambar 15).

[image:58.612.88.477.34.708.2]

.

Gambar 15 Metode penghitungan populasi kelelawar pada tiap sarang kuadrat I

kuadrat III

1m

(59)

37

Pengambilan sampel kelelawar dilakukan pada setiap sarang. Cara yang dilakukan bergantung pada kondisi gua (formasi gua, keberadaan stalaktit dan tinggi atap gua). Cara tersebut adalah : 1) menggunakan hand net, apabila formasi gua sederhana dan sarang terjangkau hand net; 2) menggunakan mist net yang dipasang di sekitar mulut gua, apabila sarang pada posisi tinggi, dan lorong gua lebar; 3) menggunakan harpa trap yang dipasang di mulut gua, apabila sarang berada pada posisi tinggi dan lorong gua sempit (Gambar 16).

a) hand net b) mist net c) harpa trap Gambar 16 Pengambilan sampel kelelawar

Jumlah minimal sampel kelelawar yang diambil pada setiap sarang adalah lima ekor. Sampel kelelawar yang tertangkap dimasukkan ke dalam kantong blacu, kemudian dilakukan pengukuran morfometri untuk identifikasi awal. Setelah itu sampel dibius dengan menggunakan chloroform dan direndam dalam alkohol 70%. Identifikasi sampel dilakukan di laboratoriun Mamalia LIPI Cibinong dengan menggunakan buku kunci identifikasi Mamalia: The Mammals of the Indomalayan Region: a Systematic Review (Corbet & Hill 1992).

Analisis data

Kelimpahan populasi kelelawar pada setiap sarang dihitung dengan cara pendugaan berdasarkan luas sarang, dengan rumus (Saroni 2005):

P= D x L Keterangan :

P= kelimpahan populasi kelelawar (individu) D= kepadatan ( individu/meter2)

(60)

38

Struktur komunitas yang diamati meliputi: kelimpahan, indeks keanekaragaman jenis (H’), kekayaan jenis (S), dan indeks kemerataan jenis (E). Untuk menentukan indeks keanekaragaman jenis kelelawar pada setiap gua digunakan rumus indeks keanekaragaman (H’) Shannon & Wiener (Magurran 2004) sebagai berikut:

H’= - ∑ ( ni/N) ln (ni/N) Keterangan :

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener ni = Jumlah individu jenis ke i

N = Jumlah total individu

Indeks keanekaragaman jenis kelelawar ini dihitung menggunakan software ecological methodology versi 5.1.

Indeks kemerataan jenis kelelawar dianalisis dengan digunakan indeks kemerataan Simpson (E), dengan rumus sebagai berikut (Magurran 2004):

E = H’/ ln S

Keterangan :

E = indeks kemerataan H’ = indeks keanekaragaman S = jumlah spesies

Indeks kemerataan jenis kelelawar dihitung menggunakan software ecological methodology versi 5.1.

Kecenderungan hubungan antara parameter fisik gua dengan struktur komunitas kelelawar dianalisis dengan analisis multivariat RDA (Redundancy analysis). RDA merupakan penjabaran dari regesi linear berganda memakai model linear dengan variabel X dan Y. Adapun parameter fisik gua yang dianalisis adalah panjang lorong gua, tinggi lorong gua, lebar lorong gua, jumlah ventilasi, dan jumlah pintu gua. RDA dihitung menggunakan software Canoco for windows 4.5 (Leps & Smilauer 1999; Koneri 2007). Untuk mengetahui nilai korelasi faktor fisik gua dengan struktur komunitas kelelawar dilakukan uji korelasi Spearmen dengan taraf kepercayaan 95% menggunakan software SPSS versi 15.

(61)

39

bertujuan untuk menentukan hubungan dalam bentuk grafik serta mengungkap informasi maksimum dari suatu matriks data dengan faktor lingkungan secara bersamaan. Matriks data tersebut terdiri atas jenis kelelawar dan faktor lingkungan yang terdiri atas 9 parameter yaitu; jarak dari mulut gua, tinggi sarang, suhu, kelembapan, intensitas cahaya, intensitas suara, kecepatan angin, persentasi oksigen udara, dan kadar amonia udara. Untuk mengurutkan mikroklimat yang paling berpengaruh terhadap pemilihan sarang kelelawar digunakan RDA (Redundancy analysis) dengan metode forward selection dan diuji menggunakan monte carlo permutation dengan 199 permutasi acak (Leps & Smilauer 1999; Koneri 2007).

Hasil

Biodiversitas dan sebaran sarang kelelawar

Hasil penelusuran gua menunjukkan bahwa dari dua belas gua yang diteliti, sepuluh gua dihuni kelelawar, dan dua gua tidak dihuni kelelawar. Jenis-jenis kelelawar yang bersarang pada gua-gua tersebut terdiri atas empat jenis kelelawar Megachiroptera dan sebelas jenis kelelawar Microchiroptera. Kelelawar Megachiroptera terdiri atas: Cynopterus horsfieldii Gay, 1843 Cynopterus brachyotis (Muller, 1838); Rousettus amplexicaudatus (Geoffroy, 1810); dan

Gambar

Gambar 2  Formasi awal terbentuknya karst  (Sumber: Subterra 2004)
Gambar 4 Denah pembagian mintakat pada Gua Jatijajar (Sumber : DISPARBUD
Gambar 6   Rantai makanan di Gua Anak Takun Malaysia (Dunn, 1978)
Gambar 9  Alveolus dan kapiler darah tempat difusi oksigen dan karbon dioksida
+7

Referensi

Dokumen terkait