• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekosistem Karst

Karstifikasi

Kata karst berasal dari bahasa Yugoslavia dan diperkenalkan oleh Cvijic seorang geolog asal Jerman pada tahun 1850. Kata karst tersebut mengacu pada kawasan batu gamping di Kota Trieste, Slovenia, Yugoslavia (Wirawan 2005). Sampai saat ini, kata karst telah digunakan secara internasional dan telah diserap secara utuh sebagai kata bahasa Indonesia. Salah satu definisi karst yang dikemukakan oleh ahli geologi adalah bentang alam (landscape) pada lempeng batuan gamping yang dibentuk oleh pelarutan batuan gamping. Pelarutan batu gamping tersebut menghasilkan bentukan karst dengan ciri celah sinkhole (lubang lari air), sungai bawah tanah, dan gua (Hamilton & Smith 2006; Samodra 2006).

Proses terbentuknya karst (karstifikasi) berlangsung selama jutaan tahun melalui peristiwa yang melibatkan faktor-faktor geologi, fisika, kimia, dan biologi. Karstifikasi diawali dengan pergerakan lempeng bumi yang bersifat dinamis. Pergerakan lempeng bumi tersebut menyebabkan lempeng saling bertabrakan dan menghasilkan gaya tektonik yang mendorong sebagian lempeng ke atas. Peristiwa ini menyebabkan sedimentasi sisa-sisa tumbuhan dan hewan yang mengandung kapur (kalsium karbonat) terangkat dari dasar laut ke permukaan (Gimes 2001). Menurut Yunqiu et al. (2006) biota laut tersebut antara lain, koral (Pontes, Neandrina, Acropora, Siderastrea, Ginoid), Briozoa, ganggang (Halimeda, Lithothamniam, Penicillus, Acialaria, Neomen), Foraminifera, dan Moluska. Peristiwa yang disebabkan oleh gaya tektonik ini menghasilkan deretan bukit kapur/gamping di permukaan laut. Gaya-gaya tektonik tersebut dapat menyebabkan terjadinya patahan dan retakan yang saling berasosiasi. Lempeng batuan yang terdeformasi oleh gaya-gaya tektonik ini merupakan area yang sangat potensial untuk masuknya aliran air dan terbentuknya perangkap-perangkap air (Eberhard 2006). Formasi awal terbentuknya karst tersaji pada Gambar 2.

8

Gambar 2 Formasi awal terbentuknya karst (Sumber: Subterra 2004) Setelah proses yang disebabkan oleh gaya tektonik, peristiwa selanjutnya adalah pelarutan batuan karbonat oleh asam lemah. Reaksi karbon dioksida (CO2) di udara dengan air hujan (H20) menghasilkan H2CO3 yang bersifat asam lemah. Larutan tersebut mengalir melalui aliran air permukaan (run off) dan akan melarutkan batu gamping sehingga terbentuk celah. Lebih rinci Samodra (2006) menjelaskan reaksi kimia pelarutan batu gamping oleh asam lemah adalah sebagai berikut :

H2O + CO2 H2CO3 H2CO3 HCO3 + H+ HCO3 + CaO CaCO3 + H2O CaCO3 + H2O + CO2 CaH2C2O6

Celah yang dihasilkan oleh pelarutan tersebut semakin besar dari waktu ke waktu sampai membentuk patahan dan rongga yang disebut karen (patahan), sinkhole (lubang lari air), collapse sink/doline (rongga), dan gua (Gimes 2001). Gaya tektonik yang terjadi pada masa berikutnya menyebabkan rongga dan gua saling berasosiasi satu sama lain membentuk sistem perguaan dengan lorong yang panjang (Samodra 2006). Persyaratan yang harus dipenuhi supaya lempeng

9

batu gamping dapat membentuk morfologi karst menurut Hamilton & Smith (2006) adalah : 1) lempeng batuan gamping mempunyai ketebalan yang cukup, 2) berada di wilayah dengan curah hujan tinggi, 3) batuan gamping banyak mengandung celah atau rongga, 4) berada pada posisi lebih tinggi dibandingkan lingkungan di sekitarnya.

Geomorfologi karst

Ahli geologi membagi geomorfologi karst menjadi karst luar atau exokarst dan karst dalam atau endokarst (gua). Exokarst/epikarst dicirikan dengan: 1) adanya bukit-bukit kapur berbentuk kerucut atau kubah, 2) permukaan kasar berlubang-lubang membentuk dolina (cekungan), dan 3) adanya endapan sedimen lempung berwarna merah hasil pelapukan batu gamping (Samodra 2006). Selain itu menurut Roemantyo & Noerdjito (2006), exokarst biasanya tertutup oleh lapisan tanah yang tipis yang umumnya berasal dari batuan kapur yang hancur dan terdekomposisi secara mekanik dan kimiawi. Lapisan tanah tipis tersebut sebagian terkumpul pada cekungan. Proses pengayaan nutrisi pada lapisan tanah exokarst dapat terjadi oleh adanya debu vulkanis, ataupun aliran air hujan yang membawa humus dari tempat lain. Akibatnya exokarst dapat ditumbuhi oleh jenis-jenis tumbuhan tertentu.

Endokarst (gua) menurut Hamilton & Smith (2006) merupakan ruang dengan sirkulasi udara terbatas dan sangat sedikit atau bahkan sama sekali tidak ada cahaya. Selain itu, menurut Wirawan (2005), ruang dalam gua biasanya dilengkapi dengan ornamen-ornamen gua. Ornamen tersebut merupakan hasil pengendapan kalsium karbonat (CaCO3) yang sebelumnya terlarutkan oleh peristiwa karstifikasi. FINSPAC (1993) membagi ornamen-ornamen dalam gua menjadi: 1) stalaktit, yaitu endapan kapur yang menggelantung pada langit-langit gua, 2) stalakmit, yaitu endapan kapur yang terdapat pada lantai gua, 3) tiang (column), yaitu pertemuan antara stalaktit dan stalakmit yang membentuk tiang, 4) tirai (drip curtain/drapery), yaitu endapan yang berbentuk lembaran tipis vertikal, pada atap gua yang miring, dan 5) teras (travertin), yaitu endapan kalsium karbonat pada lantai gua yang bertingkat sehingga membentuk terrasering. Geomorfologi karst tersaji pada Gambar 3.

10

Gambar 3 Geomorfologi karst (Sumber: FINSPAC 1993)

Hamilton & Smith (2006) membagi lingkungan dalam gua berdasarkan pengaruh sinar matahari menjadi 3 mintakat, yaitu 1) mintakat I adalah mintakat di dalam gua yang sinar matahari dapat masuk dan iklim dalam gua masih dipengaruhi oleh iklim luar gua, 2) mintakat II adalah mintakat di dalam gua yang tidak ada sinar matahari yang masuk, tetapi iklim di dalam mintakat tersebut masih dipengaruhi oleh iklim di luar gua, dan 3) mintakat III adalah mintakat yang tidak ada sinar matahari dan iklim di dalam mintakat ini stabil, tidak dipengaruhi oleh fluktuasi iklim di luar gua. Contoh denah pembagian mintakat pada Gua Jatijajar dapat dilihat pada Gambar 4.

Menurut Russo et al. (2003) dinding dan atap gua merupakan penyangga efektif yang memisahkan lingkungan dalam gua dengan lingkungan luar gua. Oleh karenanya, lingkungan dalam gua memiliki mikroklimat yang berbeda dari luar gua. Menurut Samodra (2006) mikroklimat dalam gua cenderung lebih dingin dan lebih lembap. Hal ini karena 1) adanya aliran sungai di lantai gua; 2) adanya air rembesan di atap gua; 3) tidak ada sinar matahari, dan 4) sirkulasi udara terbatas. Selain itu menurut Russo et al. (2003) mikroklimat tersebut dapat berbeda antara satu zona (mintakat) dan zona lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh pengaruh sinar matahari, formasi gua, dan keberadaan mahluk hidup di dalamnya. Penelitian Baudinette et al. (1994) di Gua Kelelawar dan Gua

11

Robertson Afrika Selatan membuktikan gua yang dihuni kelelawar dengan jumlah besar dapat menaikkan suhu dalam gua hingga 3oC.

Gambar 4 Denah pembagian mintakat pada Gua Jatijajar (Sumber : DISPARBUD Kabupaten Kebumen 2004 yang telah dimodifikasi)

Tipe-tipe gua

Aliran air merupakan faktor utama dalam pembentukan gua karst. Karenanya menurut Hamilton & Smith (2006), berdasarkan penetrasi air pada dinding dan atap gua, dapat dibedakan tiga-tipe gua karst, yaitu 1) gua fosil, adalah gua karst yang pada dinding dan atapnya tidak ada lagi penetrasi air. Hal ini menyebabkan pertumbuhan ornamen-ornamen gua terhenti dan mikroklimat gua cenderung lebih kering dibandingkan tipe gua karst lainnya; 2) gua vedosa: gua karst yang berada pada sarang air (water table) yang datar. Tipe gua ini ditandai dengan sedikitnya penetrasi air pada atap gua sehingga tidak banyak ditemukan ornamen gua. Oleh karena berada pada sarang air datar, maka banyak terbentuk mata air di dinding gua. Banyaknya mata air tersebut menyebabkan mikroklimat di dalam gua cenderung dingin dan lembap; 3) gua pheartic adalah gua karst yang berada pada bidang miring, yang penetrasi air pada atap gua berlangsung sangat efektif. Tipe gua ini ditandai dengan banyaknya tetesan air

12

pada atap gua dan biasanya lantai gua dilalui sungai bawah tanah. Ornamen gua membentuk formasi yang kompleks dan masih aktif berkembang. Keberadaan sungai bawah tanah dan banyaknya tetesan air pada atap gua menyebabkan gua pheartic dingin dan lembap (Samodra 2006).

Pada gua fosil, vedosa maupun pheartic terbentuk zonasi atau mintakat-mintakat. Mintakat tersebut sangat dipengaruhi oleh besarnya mulut gua, banyaknya ventilasi gua maupun formasi gua. Gua tipe pheartic memiliki formasi gua yang lebih kompleks dibandingkan tipe gua lainnya (Samodra 2006). Hal ini disebabkan lorong gua yang berliku-liku, adanya aliran sungai, dan banyaknya ornamen-ornamen gua. Kondisi ini menghasilkan mintakat III yang lebih luas, yaitu mintakat gelap dengan suhu dan kelembapan stabil tidak dipengaruhi suhu luar gua.

Gua dapat diartikan sebagai ruang /lorong yang berada di bawah permukaan tanah. Selain tipe-tipe gua karst yang telah dijelaskan di atas, menurut Ko (2004) terdapat tiga tipe gua lain, yaitu 1) gua lava: gua yang terbentuk karena aktivitas vulkanik atau gunung berapi, 2) gua litoral /gua laut: gua yang terbentuk kerena gelombang laut yang memecah karang di pantai, dan 3) gua sandstone: gua yang terbentuk karena erosi air dan angin pada batuan pasir. Ketiga tipe gua tersebut memiliki lorong pendek, formasi gua sederhana, dan cahaya matahari dapat masuk hampir keseluruh bagian lorong gua. Karena itu tidak terdapat mintakat-mintakat seperti halnya pada gua karst dan tidak membentuk ekosistem yang kompleks.

Komunitas fauna gua karst

Dinding dan atap gua merupakan pembatas yang memisahkan lingkungan dalam gua dengan luar gua. Dinding dan atap tersebut tidak tembus sinar matahari. Akibatnya, kondisi dalam gua menjadi gelap dan tumbuhan hijau (autotrof) tidak ditemukan. Meskipun demikian, menurut Ko (2004), ruang dalam gua dapat ditempati oleh mahluk hidup. Hal ini karena sumber energi didatangkan dari luar gua melalui unsur hara yang terlarut dalam aliran air, debu zat-zat organik yang terbawa oleh udara serta bahan nutrisi yang berasal dari

13

hewan yang bersarang di dalam gua tetapi mencari makan di luar gua (hewan Troglozene).

Menurut Ko (2004), di kawasan karst penghubung utama antara ekosistem luar gua dan ekosistem dalam gua adalah burung dan Mamalia. Jenis-jenis burung di antaranya adalah walet (Aerodramus fuciphagus) dan sriti (Hirundo tahitica), sedangkan kelompok Mamalia adalah ordo Chiroptera (kelelawar). Menurut Whitten et al. (1999) dan Sinaga et al. (2006) fauna troglozene utama di gua-gua karst di Pulau Jawa adalah kelelawar. Bahkan jumlah populasi kelelawar tersebut dapat mencapai jutaan individu dalam satu gua. Secara sederhana suplai energi ke dalam gua disajikan dalam Gambar 5.

Gambar 5 Suplai energi ke dalam gua (Sumber: Subterra 2004)

Berdasarkan sumber energinya, jenis-jenis fauna yang hidup di gua menurut Ko (2004) dibedakan menjadi: 1) necrophagus, yaitu fauna pemakan bangkai 2) cocroaphagus, yaitu fauna pemakan kotoran/feses 3) parasit, yaitu fauna yang hidup pada fauna lain dan 4) predator, yaitu fauna pemakan fauna lain. Penelitian McCure (1985) di Gua Batu Malaysia mendapatkan necrophagus terdiri atas : lalat (Muscoidae:Insekta) dan semut (Formicidae: Insekta); cocroaphagus terdiri atas ekor pegas (Collembola: Insekta/Hexapoda), kumbang (Stratiomyiidae: Insekta), kecoa (Blattidae: Insekta), kumbang (Tineidae: Insekta), jangkerik (Gryllothalpidae: Insekta) dan jangkerik (Gryllidae: Insekta); parasit terdiri atas :

14

kutu (Ichneumonidae: Insekta); dan predator terdiri atas : kala jengking (Scorpionidae: Arachnida) , semut (Formicidae: Inseta) dan ular (Elaphe taeniura: Reptilia). Penelitian Wirawan (2004) di Gua Pawon Jawa Tengah mendapatkan ekor pegas (Collembola: Insekta), lalat (Diptera:Insekta), kecoa (Blatodea:Insekta), dan kumbang (Colleoptera:Insekta) sebagai pemakan guano. Fauna-fauna tersebut kemudian dimakan oleh kodok (Bufo: Amphibia) dan laba- laba (Arachnidae: Decapoda). Dunn (1978) mendapatkan rantai makanan di dalam Gua Anak Takun Malaysia seperti pada Gambar 6.

GUANO

Gambar 6 Rantai makanan di Gua Anak Takun Malaysia (Dunn, 1978)

Ruang dalam gua yang gelap dan lembap menyebabkan fauna gua harus beradaptasi pada keadaan tersebut. Adaptasi oleh fauna gua ini memerlukan waktu yang panjang. Hasil adaptasi tersebut menurut Espinasa & Vuong (2008) menghasilkan ciri-ciri sebagai berikut: 1) tubuh tidak berpigmen, 2) mempunyai alat gerak yang ramping dan panjang, 3) indera peraba atau pendengar berkembang; 4) mata tereduksi atau hilang sama sekali, 5) metabolisme lambat.

Menurut Suyanto (2001) dan Espinasa & Vuong (2008) berdasarkan tingkat adaptasinya, fauna gua dibedakan menjadi :

1) Troglobit, yaitu hewan yang telah mengalami modifikasi khusus sesuai dengan kondisi gua yang gelap, seperti tidak berpigmen dan lebih

KELELAWAR (CHIROPTERA) lalat (Muscoidae) kumbang (Lathridiidae) jangkerik (Gryllidae) kecoa (Blattidae kala jengking (Scorpionodae) laba-laba (Arachnidae) semut (Formicidae) ular (Boidae) kodok (Anura) ekor Pegas/ Collembola

15

berfungsinya indera peraba, penciuman, dan pendengaran. Troglobit merupakan penghuni tetap gua yang tidak dapat hidup di habitat lain. Oleh karena itu, hewan troglobit merupakan kelompok yang paling fragil di antara kelompok lainnya. Espinasa & Vuong (2008) mendapatkan serangga troglobit: Nicoletiid (Zygentoma: Insecta) di Gua Oaxaca, Mexico. Menurut Whitten et al. (1999) fauna troglobit yang sering ditemukan di gua-gua karst di Pulau Jawa adalah kepiting (Sesarmoides jacobsoni: Crustacea ), Udang putih (Macrobrachium poeti: Crustacea) dan ikan buta (Puntius binotatus: Osteicthyes). Penelitian Wijayanti (2001) di Gua Petruk dan Gua Jatijajar Jawa Tengah mendapatkan fauna troglobit: ikan buta (Amblyopsis spelaeus: Osteicthyes), udang gua (Macrobrachium pilimanus: Crustacea), laba-laba gua (Stigophrynus darmamani: Arachnidea), dan kumbang gua (Eustra saripaensis: Insekta). Hasil penelitian Rachmadi (2003) di gua Karst Ngerong, Tuban, Jawa Timur, mendapatkan fauna troglobit: kalajengking gua (Chaerilus sabinae: Scorpionidae), kepiting gua (Cancrocaeca xenomorpha: Cruatacea), kepiting mata kecil (Sesarmoides emdi: Crustacea), isopoda gua (Cirolana marosina: Isopoda), kumbang gua (Eustra saripaensis:Insecta), dan ekor pegas gua (Pseudosinella maros: Insecta).

2) Troglozene, yaitu fauna yang secara teratur masuk ke dalam gua untuk berlindung, beristirahat, dan berkembang biak, tetapi mencari makan di luar gua. Meskipun hanya sebagian hidupnya berada di dalam gua, hewan troglozene telah beradaptasi dengan kondisi gua yang gelap. Menurut Vermeulen & Whitten (1999), fauna troglozene mempunyai kemampuan echolokasi, yaitu kemampuan menangkap gelombang pantul (gema) berfrekuensi ultrasonik (>20 KHz). Echolokasi ini berguna untuk mendeteksi mangsa dan orientasi ruang tanpa mengunakan mata. Kelompok fauna troglozene merupakan spesies kunci dalam ekosistem gua, karena fauna troglozene memindahkan energi dari luar gua ke dalam gua. Fauna troglozene yang sering ditemukan di gua karst di Indonesia adalah burung walet (Collocalia fuciphaga/Aerodramus fuciphagus), burung sriti (Hirundo tahitica), dan kelelawar (ordo Chiroptera) (Whitten et al. 1999).

16

3) Troglophil, yaitu fauna yang hidup di dalam gua, tetapi belum mengalami modifikasi khusus. Fauna ini selama hidupnya berada dalam gua, tetapi jenis yang sama juga ditemukan di luar gua. Bila terjadi gangguan di dalam gua, fauna troglophil dapat pindah ke habitat luar gua. Penelitian Castillo et al. (2009) di Los Ricos Cave, Queretaro, Mexico mendapatkan kodok (Eleutherodactylus longipes: Anura) sebagai fauna troglophil yang secara musiman memasuki gua. Menurut Whitten et al. (1999) jangkerik (Rhapidophora dammarmani: Insekta), kumbang (Collasoma scrutater: Insekta), laba-laba (Liphistius sp: Arachnidae), dan keong (Thiara scabra: Gastropoda) merupakan troglophil yang sering dijumpai di gua-gua karst di Pulau Jawa.

Kelelawar sebagai Kelompok Fauna Troglozene

Kelelawar merupakan fauna troglozene utama di gua-gua karst di Indonesia (Whitten et al.1999; dan Suyanto 2001). Kelelawar adalah Mamalia yang termasuk dalam ordo Chiroptera. Ciri khas ordo ini adalah tulang telapak tangan (metacarpal) dan tulang jari (digiti) mengalami pemanjangan sehingga berfungsi sebagai kerangka sayap. Sayap tersebut terbentuk dari selaput tipis (petagium) yang membentang antara tulang-tulang telapak dan jari tangan sampai sepanjang sisi tubuh (Nowak 1994; Altringham 1996). Nowak (1994) menggambarkan struktur rangka kelelawar seperti terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Struktur rangka kelelawar (Sumber : Nowak 1994) digiti 1 digiti 2 digiti 3 digiti 4 digiti 5 petagium

17

Ordo Chiroptera terdiri atas 2 subordo, yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera. Kedua subordo ini diduga tidak mempunyai hubungan kekerabatan dan merupakan hasil evolusi konvergen, yaitu evolusi yang terjadi pada dua spesies yang berbeda tetapi beradaptasi dengan cara yang sama sehingga menghasilkan morfologi yang mirip (Altringham 1996). Salah satu alasan yang mendukung adalah : saraf superior colliculus (s.c) kanan pada otak tengah Microchiroptera mengatur retina mata kiri dan sebaliknya s.c kiri mengatur retina mata kanan. Hal ini ditemukan pada semua Mamalia, kecuali primata. Pada Megachiroptera, saraf superior colliculus kanan otak tengah mengatur retina mata kiri dan mata kanan sekaligus. Keadaan ini hanya ditemukan pada Primata, Dermoptera, dan Megachiroptera (Corbet & Hill 1992; Altringham 1996). Karena alasan tersebut maka diduga Megachiroptera berasal dari nenek moyang Primata, sedangkan Microchiroptera diduga berasal dari nenek moyang bukan Primata. Penelitian HanGuan et al. (2006) tentang philogenetika kelelawar juga mendapatkan bahwa kelelawar Megachiroptera memiliki kekerabatan lebih dekat dengan primata dibandingkan dengan Microchiroptera. Saat ini diketahui terdapat 18 famili, 192 genus dan sekitar 1111 jenis kelelawar yang ada di dunia (Safi & Kerth 2004). Menurut Suyanto et al. (1998) terdapat 10 famili, 49 genus, dan sekitar 151 jenis terdapat di Indonesia.

Anggota subordo Megachiroptera makanan utamanya adalah buah (frugivora), selain itu juga memakan serbuk sari (polen) dan nektar. Subordo ini terdiri atas 1 famili, yaitu Pteropodidae dengan 42 genus dan 166 spesies (Nowak 1994). Menurut Altringham (1996) anggota subordo Megachiroptera memiliki ukuran yang relatif besar (bobot minimum 10 gram maksimum 1500 gram dengan bentangan sayap maksimum 1700 mm); memiliki mata besar; telinga tidak memiliki tragus; moncong sederhana dan ekor tidak berkembang; jari kedua dan jari ketiga terpisah relatif jauh dan memiliki cakar pada jari kedua, kecuali pada Eonycteris, Dobsonia, dan Neopterix.

Anggota subordo Microchiroptera kebanyakan pemakan serangga (insectivora). Selain itu, ada juga yang penghisap darah (sanguivora), misalnya Desmodus vampirus; dan penghisap madu misalnya (Leptonycteris curasoae). Subordo ini terdiri atas 17 famili, 150 genus, dan 945 spesies. Ciri

18

Microchiroptera adalah berukuran kecil (bobot minimum 2 gram, maksimum 196 gram dengan bentangan sayap maksimum 70 mm); memiliki mata kecil; telinga memiliki tragus (tonjolan dari dalam daun telinga) atau anti tragus (tonjolan dari luar daun telinga); jari sayap tidak bercakar dan moncong sangat bervariasi, terutama famili Rhinolophidae dan Hipposideridae memiliki daun hidung (noselea) yang kompleks.

Klasifikasi kelelawar menurut Corbet & Hill (1992) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Chiroptera Subordo : Megachiroptera

Famili : Pteropodidae Subordo : Microchiroptera

Famili : Rhinolophidae, Hipposideridae, Megadermatidae, Craseonycteridae,

Rhinopomatidae, Nycteridae, Emballonuridae, Phyllostomidae, Mormoopidae, Noctilionidae, Furipteridae, Thyropteridae, Mystacinidae, Myzopodidae, Vespertilionidae, Molosidae dan Natalidae

Menurut Nowak ( 1994), kelelawar ditemukan di seluruh permukaan bumi, kecuali di daerah kutub dan pulau-pulau terpencil. Kemampuan terbang kelelawar merupakan faktor penting dalam persebaran hewan ini. Selain itu, jenis pakannya sangat bervariasi sehingga memungkinkan hidup di berbagai tipe habitat. Menurut Altringham (1996), sekitar 200 spesies kelelawar ditemukan di Madagaskar dan Afrika; 300 spesies ditemukan di Amerika Selatan dan Amerika Tengah; 240 jenis ditemukan di Asia dan Australia; dan sekitar 40 spesies ditemukan di Amerika Utara dan Eropa. Menurut Suyanto et al. (1998), di Indonesia terdapat 151 jenis kelelawar. Jenis-jenis tersebut menyebar di seluruh kepulauan

19

Indonesia. Lebih lanjut Kunz & Pierson (1994) menjelaskan bahwa kelelawar merupakan Mamalia paling berhasil, karena dapat ditemukan di berbagai tipe habitat dengan ketinggian mulai 10 m dpl sampai 3000 m dpl. Winkelmann et al. (2000) meneliti penggunaan habitat oleh kelelawar Synconycteris australis di Papua New Guinea. Menurut Winkelmann et al. (2000) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberadaan dan kelimpahan kelelawar pada suatu habitat ialah 1) struktur fisik habitat, 2) iklim mikro habitat, 3) ketersediaan pakan dan sumber air, 4) keamanan dari predator, 5) kompetisi, dan 6) ketersediaan sarang.

Perilaku bersarang

Sarang merupakan salah satu komponen penting dalam hidup kelelawar. Kebanyakan jenis kelelawar hidup berkoloni dalam bersarang dan pencarian makan. Menurut Zukal et al. (2005) beberapa keuntungan hidup dalam koloni adalah adanya transfer informasi, keamanan pada predator, keberhasilan reproduksi, dan thermoregulasi. Altringham (1996) menjelaskan tiga perilaku produk transfer informasi yang dilakukan dalam koloni kelelawar, yaitu 1) mengikuti (following behaviour), yaitu perilaku yang menyebabkan anggota dalam koloni bersama-sama menuju suatu lokasi tempat pencarian makan atau tempat bersarang; 2) penanda hubungan sosial (sosial signal), yaitu pemahaman signal-signal intensional, termasuk signal tanda bahaya; 3) belajar (learning behaviour), yaitu proses pembelajaran dari induk ke anak yang menyebabkan kelelawar muda mampu mengembangkan teknik pencarian makan, menghindar dari predator, serta hal-hal yang menguntungkan bagi kehidupannya. Willis & Brigham (2004) meneliti pembagian sarang (roost sharing) dan kebersamaan sosial (sosial cohesion) kelelawar Eptesicus fuscus (Microchiroptera) di Cypres Hill Canada. Hasil penelitian membuktikan bahwa interaksi sosial dan kerja sama intraspesifik dalam koloni dapat menghasilkan ketahanan terhadap gangguan predator dan cuaca buruk. Penelitian Baudinette et al. (1994) di Gua Kelelawar dan Gua Robertson Australia membuktikan gua yang dihuni kelelawar dengan jumlah besar dapat menaikkan suhu dalam gua hingga 3oC. Pada musim dingin, keadaan ini menguntungkan kelelawar karena mengurangi energi yang diperlukan untuk menghangatkan tubuh.

20

Setiap jenis kelelawar mempunyai beberapa alternatif dalam memilih lokasi sarang, di antaranya adalah pohon yang tinggi, di balik batu, di atap rumah, dan di dalam gua. Menurut Altringham (1996), pemilihan sarang mempengaruhi distribusi lokal dan global, kepadatan, strategi pencarian makan, strategi kawin, struktur sosial, dan pergerakan musiman. Menurut Zahn & Hager (2005) proses yang terlibat dalam memilih tempat bersarang cukup kompleks. Ketersediaan tempat bersarang yang cocok misalnya, akan mempengaruhi perilaku pencarian makan, tetapi perilaku bersarang sendiri juga dipengaruhi oleh kelimpahan dan penyebaran makanan.

Menurut Baudinette et al. (1994), Russso et al. (2003), dan Willis & Brigham (2004), dengan memilih sarang, kelelawar dapat memperoleh beberapa keuntungan, yaitu perlindungan dari cuaca buruk, perlindungan dari predator, memperkecil energi termoregulasi, keberhasilan reproduksi, serta transfer informasi tempat mencari makan dan tempat bersarang. Penelitian Willis & Brigham (2004) dan juga penelitian Seckerdieck et al. (2005) membuktikan bahwa kelelawar mempunyai home instink yang kuat, sarang yang dipilih kelelawar dipertahankan sampai beberapa generasi. Namun demikian apabila sarang mendapat ganggguan dan kelelawar tidak nyaman dan aman, sarang ini akan ditinggalkan (Willis & Brigham 2004).

Menurut Altringham (1996), kebanyakan kelelawar pemakan buah (Megachiroptera) bersarang di pohon dengan jumlah koloni besar. Pohon sarang Megachiroptera biasanya tinggi dan besar, tetapi tidak berdaun rimbun. Menurut Campbell et al. (1996), pohon tempat bersarang kelelawar biasanya menyediakan akses yang mudah menuju tempat pencarian makan (central place foraging) dan mempunyai pencahayaan yang cukup bagi perkembangan anakan. Penelitian Storz et al. (2000) pada sarang kelelawar Cyanopterus sphinx (Megachiroptera) di India Barat mendapatkan tanaman palem (Caryota urens : Palmaea) ditempati oleh 1 individu jantan dewasa, 37 individu betina dewasa, dan 33 individu anakan. Penelitian Soegiharto & Kartono (2009) mendapatkan kelelawar Megachiroptera: Pteropus vampirus menempati tanaman kelapa (Cocos nucifera: Palmaea), kepuh (Sterculia foetida: Malvaceae), dan kapuk (Ceiba pentandra: Malvaceae) di

21

Kebun Raya Bogor. Tanaman yang dipilih memiliki ketinggian yang cukup untuk menghindar dari gangguan predator serta bertajuk relatif lebar dan mendatar.

Jenis Megachiroptera yang bersarang di gua biasanya dalam koloni kecil atau bahkan hanya satu individu saja. Jenis-jenis tersebut adalah Rousettus amplexicaudatus, Megaderma lyra dan Eonysteris spelaea (Suyanto 2001). Penelitian Doyle (1979) di Gua Pondok Malaysia mendapatkan Eonycteris spelaea dengan jumlah dua puluh individu dan Megaderma lyra hanya lima individu bersarang dalam gua.

Dokumen terkait