• Tidak ada hasil yang ditemukan

BOGOR

2008

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “ Penyimpanan dengan Pertumbuhan Minimal dan Regenerasi In Vitro Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.)” merupakan gagasan dan karya saya bersama pembimbing yang belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Rita Ningsih NRP G351060441

of Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). Under supervision of RITA MEGIA and IRENG DARWATI.

Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) is an Indonesian indigenous medicinal plant with a high economic value. Its root can be used as an aphrodisiac, diuretic and tonic. Recently its population in natural habit has extinct because of highly exploitation without any replanting activities. So this species is categorized as an endangered plant. Therefore, special effort need to be done to conserve it immediatelly. Preliminary study has found that purwoceng can be conserved by minimal growth not more than four months. This experiment aimed at finding the best treatment to conserve this species for a longer periode storage (8 months), evaluated regenerating ability and leaf anatomical structure after storage. In vitro axillary buds without leaves were conserved on DKW medium suplemented with 2.5% sucrose, combination sorbitol (0,1,2,3,4,5%) and paclobutrazol (0,1,3,5 ppm) for 8 months. Regenerating ability was taken for 3 months on regenerated medium. Leaf anatomical structure was microscopically observed on leaf paradermal and cross section. The results showed that combination between sorbitol and paclobutrazol can preserve purwoceng for 8 months but regenerating ability decreased by the increase of both sorbitol and paclobutrazol consentration.There was difference in the leaf anatomical structure on regenerated after storage culture. The best treatment to preserve purwoceng for 8 months were 1% sorbitol - 0 ppm paclobutrazol (S1P0) or 3% sorbitol - 1 ppm paclobutrazol (S3P1). That because during preservation, the culture of these treatments showed slow growth rate with dwarf morphology in S3P1, but during regeneration they showed high growth rate, high shoots multiplication and 100 % survival with normally culture.

Keywords : preservation, in vitro culture, regeneration ability, sorbitol, paclobutrazol, Pimpinella pruatjan Molk.

In Vitro Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). Dibimbing oleh RITA MEGIA dan IRENG DARWATI.

Purwoceng merupakan tanaman obat asli Indonesia yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Akarnya memiliki khasiat afrodisiak yaitu dapat meningkatkan gairah seksual dan meningkatkan ereksi, melancarkan air seni (diuretik) dan meningkatkan stamina tubuh (tonik). Saat ini populasi purwoceng di habitat alaminya sudah punah akibat eksploitasi secara besar-besaran sebagai bahan baku jamu tanpa adanya usaha penanaman kembali. Selain itu purwoceng sulit dibudidayakan di luar habitat alaminya karena memiliki persyaratan tumbuh yang spesifik. Oleh karena itu purwoceng dikategorikan sebagai tanaman langka yang sangat dilindungi. Untuk menghindari kepunahan purwoceng perlu dilakukan upaya konservasi sesegera mungkin.

Konservasi in vitro tanaman purwoceng melalui pertumbuhan minimal menggunakan paklobutrazol 1 ppm pernah dilaporkan, namun hasilnya kurang memuaskan dimana kultur tidak dapat disimpan dalam waktu lebih dari empat bulan. Upaya untuk meningkatkan umur penyimpanan purwoceng dapat dilakukan dengan menggunakan secara bersama-sama dua faktor penghambat pertumbuhan yaitu regulator osmotik sorbitol dan retardan pertumbuhan paklobutrazol. Dalam penyimpanan, diharapkan kultur tidak hanya mampu disimpan lama namun harus memiliki daya regenerasi yang tetap tinggi. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan konsentrasi perlakuan terbaik dalam penyimpanan secara in vitro purwoceng dengan periode lebih lama (8 bulan), menguji daya regenerasi, stabilitas struktur morfologi dan anatomi daun regenerasi pasca penyimpanan. Formulasi terbaik diharapkan dapat diterapkan secara rutin sebagai protokol penyimpanan in vitro di bank gen untuk menghindari kepunahan spesies langka ini.

Kuncup aksiler in vitro tanpa daun berukuran ± 2 mm disimpan dalam media DKW + sukrosa 2.5% yang mengandung kombinasi sorbitol (0,1,2,3,4,5%) dan paklobutrazol (0,1,3,5 ppm). Dengan demikian jumlah total perlakuan 24 unit. Satu unit (botol) perlakuan mengandung 3 tunas dengan ulangan 6 kali. Kultur diinkubasi selama 8 bulan pada suhu 20 – 25°C dan fotoperiodisitas 16 jam terang dengan intensitas cahaya 800 – 1000 lux. Pada akhir penyimpanan, kultur disubkultur ke media regenerasi selama 3 bulan untuk menguji daya regenerasi setelah penyimpanan. Media regenerasi yaitu media perbanyakan (multiplikasi) terdiri dari media DKW + BA 4 ppm + Thidiazuron (TDZ) 0.4 ppm + Glutamin 100 ppm dengan penambahan GA3 3 ppm. Pengamatan karakter morfologi dan

anatomi dilakukan secara visual dan mikroskopis pada preparat paradermal dan sayatan melintang daun. Preparat paradermal untuk pengamatan stomata dibuat melalui metoda whole mount dan irisan melintang daun dibuat melalui metoda parafin dengan dehidran n-butanol. Percobaan disusun secara faktorial dalam lingkungan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor pertama konsentrasi sorbitol (S) dan faktor kedua konsentrasi paklobutrazol (P). Data dianalisis dengan ANOVA dilanjutkan dengan uji Duncan Multi Range Test (DMRT) pada taraf α = 5% menggunakan program SPSS for windows 13.

seiring peningkatan konsentrasi perlakuan. Selain itu kultur masih mempertahankan morfologi kerdil pada konsentrasi perlakuan tertentu meskipun sudah diregenerasi. Pengaruh sorbitol dan paklobutrazol selama penyimpanan masih bertahan atau persisten. Hasil pengamatan terhadap karakter anatomi menunjukkan terdapat perbedaan antara daun kontrol (yang tidak disimpan) dengan daun regenerasi pasca penyimpanan. Secara umum rata-rata semua karakter anatomi daun perlakuan mengalami penurunan kecuali kerapatan stomata. Kombinasi perlakuan terbaik yaitu sorbitol 1% - paklobutrazol 0 ppm (S1P0) atau sorbitol 3 % - paklobutrazol 1 ppm (S3P1). Kultur pada kedua kombinasi perlakuan tersebut memiliki pertumbuhan lambat saat penyimpanan dengan morfologi kerdil pada S3P1 namun ketika diregenerasi menunjukkan kecepatan pertumbuhan dan multiplikasi tunas yang cukup tinggi, daya hidup mencapai 100% dengan morfologi normal dan subur.

Kata kunci : penyimpanan, kultur in vitro, daya regenerasi, sorbitol, paklobutrazol, Pimpinella pruatjan (molk.)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(Pimpinella pruatjan Molk.)

RITA NINGSIH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

NRP : G351060441

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Rita Megia, D.E.A Dr. Ireng Darwati

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dedy Duryadi S, D.E.A Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

limpahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa sangatlah sulit untuk menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Dr. Rita Megia, D.E.A selaku ketua komisi pembimbing atas semua jerih payah dan waktu yang telah diluangkan untuk memberikan bimbingan, arahan dan kemudahan kepada penulis dari mulai penelitian sampai terselesaikannya tesis ini.

2. Dr. Ireng Darwati selaku anggota komisi pembimbing atas ilmu, waktu dan bimbingan yang diberikan kepada penulis dengan penuh kesabaran sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

3. Dr. Ir. Diah Ratnadewi selaku dosen penguji atas kritik dan sarannya untuk kesempurnaan tesis ini.

4. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Ketua Program Studi Biologi atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana di IPB.

5. Dr. Ir. Juliarni, M.Agr dan Ika Roostika T., SP., Msi atas bimbingan dan nasihat selama penulis melaksanakan penelitian.

6. Laboratorium Ekofisiologi Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) dan Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA IPB yang telah menyediakan fasilitas untuk melakukan penelitian.

7. Islamic Development Bank (IDB) dan Proyek Kerja Sama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) yang telah membiayai penelitian ini.

8. Retno Agustarini, mbak Susi, bu Rohmah, mbak Tini, Dania, Wirda, Ucu, pa Ujang, pa Naryo, pa Muzuni, bu Sih dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya atas bantuan kerjasama dan dukungannya selama ini.

Secara khusus, penulis sampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada suami tercinta Drs. H. Abdul Halim L., M.Li atas segala pengorbanan baik moril maupun materil, dorongan, kesabaran, pengertian dan doanya. Kepada bapak dan ibu tercinta yang tiada mengenal lelah selalu mendoakan penulis sampai saat ini, penulis sampaikan terima kasih yang tiada batas. Untuk adikku Acih Astuti W. dan ananda Asykar Fathoni Syukriyah H. terima kasih atas pengorbanan dan perjuangannya melewati hari-hari yang berat bersama penulis. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka, amien.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan purwoceng di Indonesia.

Bogor, Januari 2009

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 11 Agustus 1977 sebagai anak pertama dari pasangan Suparman dan Elis Rohimah. Penulis merupakan putri pertama dari lima bersaudara. Penulis menikah dengan Drs. H. Abdul Halim L., M.Li dan dikaruniai putra Asykar Fathoni Syukriyah H. berusia 8 tahun.

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB Bandung, lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2006, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi S2 pada Program Studi Biologi, Sub Program Studi Fisiologi, Genetika dan Biologi Molekuler, sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), dengan beasiswa dari Proyek Kerjasama Pengembangan Universitas Haluoleo dengan Islamic Development Bank (IDB).

Sejak tahun 2004 penulis terangkat menjadi Pegawai Negri Sipil dan bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Biologi FMIPA Universitas Haluoleo Kendari Sulawesi Tenggara.

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xv PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 4 Hipotesis Penelitian ... 4 Manfaat Penelitian ... 4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Purwoceng ... 5 Mikropropagasi dan Regenerasi Purwoceng... 6 Penyimpanan dengan Pertumbuhan Minimal ... 7 Regulator Osmotik dan Retardan Pertumbuhan... 9

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian ... 12 Metode Penelitian ... 12 Penyimpanan In Vitro ... 12 Pengujian Daya Regenerasi Pasca Penyimpanan... 14 Pengujian Stabilitas Karakter Anatomi ... 14 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyimpanan In Vitro ... 17 Regenerasi Pasca Penyimpanan ... 24 Struktur Anatomi Daun ... 29 Penentuan Kombinasi Terbaik ... 40

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ... 43 Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44

1 Rincian kombinasi perlakuan sorbitol dan paklobutrazol ... 16

2 Pengaruh tunggal sorbitol dan paklobutrazol terhadap jumlah tunas

pada bulan ke-4 penyimpanan ………... 21

3 Pengaruh sorbitol dan paklobutrazol terhadap jumlah tunas pada

bulan ke-8 penyimpanan ……… 21

4 Interaksi sorbitol dan paklobutrazol terhadap tebal epidermis

atas daun regenerasi pasca penyimpanan 4 bulan ... 34

5 Pengaruh kombinasi sorbitol dan paklobutrazol terhadap tebal

epidermis atas daun regenerasi pasca penyimpanan 8 bulan ... 35

6 Interaksi sorbitol dan paklobutrazol terhadap tebal epidermis

bawah daun regenerasi pasca penyimpanan 4 bulan ... 35

7 Pengaruh kombinasi sorbitol dan paklobutrazol terhadap tebal

epidermis bawah daun regenerasi pasca penyimpanan 8 bulan ... 36

8 Interaksi sorbitol dan paklobutrazol terhadap tebal mesofil

daun regenerasi pasca penyimpanan 4 bulan ... 36

9 Pengaruh kombinasi sorbitol dan paklobutrazol terhadap tebal

mesofil daun regenerasi pasca penyimpanan 8 bulan ... 37

10 Rekapitulasi data beberapa kandididat perlakuan terbaik pada

1 Tanaman purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) ... 5

2 Struktur kimia sorbitol ... 9

3 Struktur kimia paklobutrazol ... 10

4 Diagram alir tahapan penelitian ……….. 13

5 Pengaruh kombinasi sorbitol dan paklobutrazol terhadap pertumbuhan kultur selama 4 dan 8 bulan penyimpanan ... 18

6 Pengaruh kombinasi sorbitol dan paklobutrazol terhadap daya hidup

kultur (%) pada akhir penyimpanan 4 dan 8 bulan... 22

7 Morfologi kultur akhir bulan ke-4 penyimpanan ... 23

8 Pengaruh kombinasi sorbitol dan paklobutrazol terhadap pertumbuhan kultur selama 3 bulan regenerasi ... 25

9 Interaksi sorbitol dan paklobutrazol terhadap jumlah tunas pada

akhir bulan ke-3 regenerasi ... 26

10 Pengaruh kombinasi sorbitol dan paklobutrazol terhadap daya hidup

kultur pada akhir bulan ke-3 regenerasi ... 27

11 Morfologi kultur akhir bulan ke- 3 regenerasi ... 28

12 Variasi morfologi daun hasil regenerasi ... 28

13 Interaksi sorbitol dan paklobutrazol terhadap kerapatan stomata

akhir bulan ke-3 regenerasi ... 30

14 Interaksi sorbitol dan paklobutrazol terhadap

panjang stomata daun akhir bulan ke-3 regenerasi ... 31

15 Interaksi sorbitol dan paklobutrazol terhadap

lebar stomata daun akhir bulan ke-3 regenerasi ... 32

16 Stomata daun bulan ke-3 regenerasi ... 33

17 Sayatan melintang daun purwoceng lapang dan kultur in vitro ... 38

18 Sayatan melintang daun hasil regenerasi

1 Mekanisme penghambatan paklobutrazol

terhadap sintesis giberelin ... 50

2 Perbandingan formulasi media dasar MS dan DKW... 51

Latar Belakang

Industri obat tradisional Indonesia berkembang pesat, baik sebelum maupun selama krisis multidimensional melanda Indonesia. Pesatnya perkembangan industri obat tercermin dari jumlah perusahaan pendukungnya. Pada tahun 1981, jumlah perusahaan obat baru mencapai 165 buah, namun pada tahun 1991 dan tahun 2000, jumlah tersebut meningkat masing-masing menjadi 427 dan 985 perusahaan (Hasanah & Rusmin 2006).

Sekitar 80% pasokan bahan baku industri obat tradisional masih mengandalkan hasil pemanenan dari hutan atau habitat alami, sisanya dipasok dari hasil budidaya secara tradisional yang pada umumnya sebagai usaha sampingan. Hal ini menyebabkan terjadinya erosi genetik sehingga 54 jenis tanaman obat menjadi langka. (Proyek Pengelolaan dan Pemulihan Kerusakan Lingkungan dan Fakultas Kehutanan IPB 2001).

Eksploitasi besar-besaran dari habitat alami menimbulkan permasalahan serius bagi kelestarian tanaman obat di Indonesia. Menurut Zuhud et al. (2001) selain pemanenan tanaman obat yang berlebihan, masalah kelestarian juga timbul akibat adanya a) kerusakan habitat karena eksploitasi kayu, konversi hutan, perladangan berpindah dan lain-lain, b) punahnya budaya dan pengetahuan tradisional/lokal di dalam atau sekitar hutan, c) ketidakseimbangan penawaran dan permintaan akan tanaman obat, d) lambatnya pengembangan budidaya, e) rendahnya harga tanaman obat, f) kurangnya kebijakan perundangan pelestarian, g) kelembagaan pelestarian tanaman obat.

Akibatnya banyak tanaman yang terancam punah atau paling tidak sudah sulit dijumpai di alam Indonesia. Salah satunya adalah Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) yang merupakan tanaman obat langka asli Indonesia dengan kategori endangered atau hampir punah (Rivai et al. 1992). Bahkan tanaman ini termasuk dalam Appendix I berdasarkan CITES (Convention on International Trading in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) yang berarti sangat dilindungi.

Purwoceng hidup secara endemik di daerah pegunungan seperti Dataran Tinggi Dieng (Heyne 1987), namun saat ini keberadaan di habitat alaminya sudah punah (Rahardjo 2003). Selain itu purwoceng juga sulit dibudidayakan di luar habitatnya. Menurut Rahardjo (2004) tanaman purwoceng berhasil dibudidayakan secara kecil-kecilan oleh petani di habitat aslinya yaitu sekitar desa Sekunang Dataran Tinggi Dieng pada ketinggian tempat 1800 - 3500 m dpl, suhu antara 13 – 17°C dan kelembaban udara 65 – 85%.

Purwoceng merupakan tanaman obat bernilai ekonomi tinggi. Akarnya dilaporkan berkhasiat sebagai afrodisiak (meningkatkan gairah seksual dan menimbulkan ereksi), diuretik (melancarkan air seni) dan tonik (menjaga stamina tubuh). Khasiat utama yang bersifat komersial sebagai obat afrodisiak. Hasil uji klinis membuktikan, ekstrak akar purwoceng mengandung aktivitas androgenik dan estrogenik, (Caropeboka 1980; Heyne 1987; Hernani & Yuliani, 1990). Khasiat purwoceng tidak kalah dengan ginseng yang berasal dari China atau Korea (Hernani & Yuliani 1990; Rahardjo 2004).

Mengingat nilai ekonomis dan statusnya yang langka, untuk menghindari kepunahan tanaman purwoceng, perlu dilakukan upaya konservasi sesegera mungkin. Upaya konservasi secara in situ (pada habitatnya) hampir tidak mungkin dilakukan karena habitat asli tanaman ini sudah punah dengan rusaknya hutan konservasi sebagai akibat kegiatan eksploitasi yang berlebihan. Dengan demikian, konservasi ex situ (di luar habitatnya) lebih sesuai untuk diterapkan.

Konservasi ex situ di lapang menghadapi kendala disebabkan purwoceng sulit dibudidayakan di luar habitatnya, karena memerlukan persyaratan agronomis yang spesifik. Selain itu, konservasi di lapang menghadapi resiko hilangnya populasi tanaman tersebut karena cekaman biotik (hama dan penyakit) dan abiotik (kekeringan, kebanjiran dan kebakaran). Pemeliharaan tanaman di lapang juga akan membutuhkan lahan, tenaga, waktu, dan biaya yang besar.

Teknologi kultur in vitro merupakan teknologi alternatif yang dapat diterapkan untuk menghindari kepunahan tanaman purwoceng. Teknik ini cukup praktis, hemat lahan, tenaga kerja, biaya dan waktu, kelebihan lainnya kultur dapat segera diperbanyak apabila diperlukan, kemudahan dalam pertukaran

plasma nutfah selain itu lebih menjamin dari kehilangan genotip akibat cekaman biotik dan abiotik yang banyak terjadi di kebun koleksi (Gati dan Mariska 1997).

Konservasi in vitro sebagai koleksi aktif dapat diterapkan dengan menggunakan teknik pertumbuhan minimal untuk penyimpanan jangka menengah (Withers 1991). Untuk mencapai tujuan tersebut umumnya digunakan senyawa penghambat pertumbuhan seperti paklobutrazol, cicocel, ancimidol dan inhibitor asam absisat serta komponen osmotik seperti sorbitol atau manitol (Chawla 2002; Whiters 1985; Wilkin & Dodds 1983).

Penyimpanan jangka menengah menggunakan sorbitol 3% sebagai regulator osmotik telah dilakukan oleh Fletcher (1994) terhadap tanaman asparagus. Hasilnya eksplan mampu bertahan sampai 2 tahun dan 100% berhasil ditransfer ke tanah di rumah kaca. Menurut Unnikrishnan et al. (2001) perlakuan sorbitol 5 % dan sukrosa 60 % terhadap kultur meristem ubi kayu, memberikan pengaruh penghambatan yang lebih nyata dibanding manitol selama 4 bulan, sedangkan pemberian sorbitol 30 % dan sukrosa 30% dapat memperpanjang umur simpan sampai 12 bulan dengan viabilitas cukup baik dan daya regenerasi mencapai 78 sampai 90%.

Berbagai jenis tanaman lainnya yang telah berhasil disimpan dengan teknik pertumbuhan minimal adalah ubi jalar (Roostika & Sunarlim 2006), ubi kayu (Sunarlim & Zuraida 2001), kentang hitam (Roostika & Mariska 2004), talas (Dewi 2002), kentang dan pisang (Ashmore 1997), daun dewa (Gati & Purnamaningsih 2005), pule pandak (Gati & Mariska 2001).

Konservasi in vitro tanaman purwoceng melalui pertumbuhan minimal pernah dilaporkan, namun hasilnya kurang memuaskan dimana kultur tidak dapat disimpan dalam waktu lebih dari empat bulan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan, media terbaik untuk penyimpanan yaitu DKW dengan retardan yang cocok yaitu paklobutrazol 5 ppm (Rahayu & Sunarlim 2002). Oleh karena itu diperlukan pengembangan metode penyimpanan melalui teknik pertumbuhan minimal untuk memperpanjang masa simpan kultur tanpa tindakan subkultur secara berulang-ulang. Pemberian secara bersama-sama regulator osmotik sorbitol dan retardan pertumbuhan paklobutrazol diharapkan dapat memperpanjang umur simpan kultur purwoceng.

Kondisi yang diharapkan di dalam konservasi in vitro yaitu kultur dapat disimpan selama mungkin dengan viabilitas tinggi tanpa menyebabkan penurunan daya regenerasi. Retardan tumbuh maupun regulator osmotik pada taraf konsentrasi tertentu berpotensi menginduksi perubahan sejumlah karakter morfologi, anatomi, fisiologi bahkan mutasi. Hal ini menyebabkan menurunnya daya regenerasi kultur pasca penyimpanan. Untuk itu pengujian daya regenerasi, karakter morfologi dan anatomi pasca penyimpanan perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan konsentrasi perlakuan sorbitol dan paklobutrazol terbaik untuk menyimpan kultur purwoceng selama 4 dan 8 bulan.

2. Menguji daya regenerasi, stabilitas karakter morfologi dan anatomi kultur purwoceng pasca kedua periode simpan.

3. Membandingkan daya regenerasi, stabilitas karakter morfologi dan anatomi kultur purwoceng pasca kedua periode simpan.

Hipotesis Penelitian

1. Terdapat satu atau lebih konsentrasi perlakuan sorbitol dan paklobutrazol terbaik untuk menyimpan kultur purwoceng selama 4 dan 8 bulan.

2. Tidak terjadi penurunan daya regenerasi maupun perbedaan karakter morfologi dan anatomi kultur purwoceng pasca kedua periode simpan.

3. Tidak terdapat perbedaan daya regenerasi maupun karakter morfologi dan anatomi kultur purwoceng antara kedua periode simpan.

Manfaat Penelitian

Formulasi terbaik sorbitol dan paklobutrazol dalam memperpanjang umur simpan kultur in vitro purwoceng, diharapkan dapat diterapkan secara rutin sebagai protokol penyimpanan melalui pertumbuhan minimal di bank gen. Dengan aplikasi teknik konservasi in vitro ini maka kepunahan spesies langka tersebut dapat dihindari. Selain itu, koleksi aktif (yang disimpan dengan pertumbuhan minimal) dapat diperbanyak kembali untuk keperluan produksi bibit atau produksi metabolit sekunder secara in vitro jika ada pihak yang memerlukan.

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Purwoceng

Purwoceng adalah istilah dalam bahasa Jawa bagi tumbuhan yang memiliki nama ilmiah Pimpinella pruatjan Molk. Biasa juga disebut gebangan depok (Jawa), antanan gunung (Sunda) atau suripandak abang. Purwoceng hidup secara endemik di daerah pegunungan seperti Dataran Tinggi Dieng dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan Iyang di Jawa Timur (Heyne 1987).

Tanaman dari kelas dikotil dan famili apiaceae yang memiliki nama sinonim Pimpinella alpina Kds, merupakan tanaman terna perenial dengan struktur batang roset. Tangkai daun mendatar sehingga tajuk tanaman menutupi permukaan tanah hampir membentuk bulatan, dengan diameter 33.9 – 50 cm. Purwoceng memiliki daun majemuk berhadapan berpasang-pasangan berjumlah 18.9 – 24.8 helai/tanaman, di ujung tangkai terdapat daun tunggal. Bentuk anak daun membulat dengan tepi bergerigi. Warna permukaan atas daun hijau dan bawah daun hijau keputihan.Tangkai daun memiliki panjang 8.6 – 13.1 cm tumbuh rapat menutupi batang, seolah batang tidak ada. Warna pangkal daun pada umumnya berwarna merah kecoklatan dan panjang daun 20.1 – 28.2 cm. Tanaman berbunga majemuk membentuk bunga payung, setiap tandan bunga yang berbentuk payung tersebut terdapat lebih kurang 5 – 10 bunga. Sistem perakaran tunggang dengan akar utama membesar seolah membentuk umbi seperti bentuk ginseng tetapi tidak sebesar ginseng (Rahardjo et al. 2005; Rostiana et al. 2007).

Mikropropagasi dan Regenerasi Purwoceng

Purwoceng merupakan tanaman obat langka yang cukup potensial untuk dikembangkan sebagai sumber bahan baku afrodisiak. Dalam mendukung budidaya dan pengadaan sumber eksplan untuk keperluan berbagai topik kajian tentang tanaman ini, diperlukan jumlah bahan yang memadai, salah satunya melalui teknik perbanyakan in vitro atau mikropropagasi. Kestabilan teknik mikropropagasi dan regenerasi merupakan syarat utama yang harus dipenuhi sebelum melakukan studi penyimpanan secara in vitro.

Metode regenerasi dapat ditempuh melalui organogenesis maupun embriogenesis somatik (Roostika et al. 2005). Purwoceng dapat diregenerasikan secara in vitro melalui organogenesis proliferasi tunas aksilar. Kondisi inkubasi terbaik untuk regenerasi adalah dalam growth chamber dengan temperatur 9°C

Dokumen terkait