• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani Purwoceng

Purwoceng adalah istilah dalam bahasa Jawa bagi tumbuhan yang memiliki nama ilmiah Pimpinella pruatjan Molk. Biasa juga disebut gebangan depok (Jawa), antanan gunung (Sunda) atau suripandak abang. Purwoceng hidup secara endemik di daerah pegunungan seperti Dataran Tinggi Dieng dan Gunung Lawu di Jawa Tengah, Gunung Pangrango dan Gunung Galunggung di Jawa Barat, serta di Pegunungan Tengger dan Iyang di Jawa Timur (Heyne 1987).

Tanaman dari kelas dikotil dan famili apiaceae yang memiliki nama sinonim Pimpinella alpina Kds, merupakan tanaman terna perenial dengan struktur batang roset. Tangkai daun mendatar sehingga tajuk tanaman menutupi permukaan tanah hampir membentuk bulatan, dengan diameter 33.9 – 50 cm. Purwoceng memiliki daun majemuk berhadapan berpasang-pasangan berjumlah 18.9 – 24.8 helai/tanaman, di ujung tangkai terdapat daun tunggal. Bentuk anak daun membulat dengan tepi bergerigi. Warna permukaan atas daun hijau dan bawah daun hijau keputihan.Tangkai daun memiliki panjang 8.6 – 13.1 cm tumbuh rapat menutupi batang, seolah batang tidak ada. Warna pangkal daun pada umumnya berwarna merah kecoklatan dan panjang daun 20.1 – 28.2 cm. Tanaman berbunga majemuk membentuk bunga payung, setiap tandan bunga yang berbentuk payung tersebut terdapat lebih kurang 5 – 10 bunga. Sistem perakaran tunggang dengan akar utama membesar seolah membentuk umbi seperti bentuk ginseng tetapi tidak sebesar ginseng (Rahardjo et al. 2005; Rostiana et al. 2007).

Mikropropagasi dan Regenerasi Purwoceng

Purwoceng merupakan tanaman obat langka yang cukup potensial untuk dikembangkan sebagai sumber bahan baku afrodisiak. Dalam mendukung budidaya dan pengadaan sumber eksplan untuk keperluan berbagai topik kajian tentang tanaman ini, diperlukan jumlah bahan yang memadai, salah satunya melalui teknik perbanyakan in vitro atau mikropropagasi. Kestabilan teknik mikropropagasi dan regenerasi merupakan syarat utama yang harus dipenuhi sebelum melakukan studi penyimpanan secara in vitro.

Metode regenerasi dapat ditempuh melalui organogenesis maupun embriogenesis somatik (Roostika et al. 2005). Purwoceng dapat diregenerasikan secara in vitro melalui organogenesis proliferasi tunas aksilar. Kondisi inkubasi terbaik untuk regenerasi adalah dalam growth chamber dengan temperatur 9°C dan penyinaran dengan insensitas cahaya 1000 lux. Adapun media dasar terbaik yaitu DKW yang mengandung 4 ppm BA dan 100 ppm arginin. Sumber eksplan berupa kuncup aksiler tanpa daun. Dengan kondisi tersebut kultur mampu menghasilkan 2.8 tunas pada minggu ke-10. Induksi perakaran paling cepat 40 hari dengan persentase perakaran paling tinggi (100%) dapat ditempuh melalui penambahan NAA 1 ppm pada media DKW (Roostika et al. 2006).

Kultur yang telah melampaui periode penyimpanan diharapkan tidak mengalami penurunan daya tumbuh pada media regenerasi, dan tidak menimbulkan perubahan karakter morfologi maupun anatomi. Retardan pertumbuhan dan cekaman air menimbulkan perubahan luas daun, kerapatan stomata, kandungan klorofil, protein, bahkan lebih jauh lagi perubahan pada tingkat ultrastruktur (Kasele et al. 1995; Utrillas & Alegre 1997). Pada penelitian Gati dan Purnamaningsih (2005), tunas daun dewa yang telah disimpan selama 7 bulan dalam 4 ppm paklobutrazol tetap memiliki daya tumbuh yang tinggi setelah dikulturkan pada media regenerasi MS + 2 ppm BA, selain itu tunas yang berakar selama masa simpan dapat langsung diaklimatisasi di rumah kaca. Demikian pula Saldana dan Garcia de la Rosa (1996) melaporkan bahwa tidak ada perbedaan pertumbuhan pada tanaman kentang umur 1 bulan setelah disimpan dalam 250 ppm paklobutrazol selama 4 bulan.

Pengumpulan plasma nutfah di kebun koleksi sangat berisiko dan juga membutuhkan lahan, waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar. Konservasi in vitro merupakan solusi yang tepat untuk permasalahan di atas. Untuk memperoleh hasil yang optimal dalam penyimpanan in vitro, ada beberapa prinsip yang dapat diterapkan yaitu : meminimumkan pertumbuhan biakan sehingga interval waktu subkultur lebih panjang, memelihara agar viabilitas tunas yang disimpan tidak menurun dan mencegah terjadinya variasi somaklonal (Gati 1999).

Teknik penyimpanan in vitro mempunyai beberapa kelebihan, seperti penghematan lahan, tenaga kerja, biaya dan waktu, biakan dapat segera diperbanyak apabila diperlukan, juga kemudahan dalam pertukaran plasma nutfah dan bebas dari gangguan hama dan penyakit. Namun adapula beberapa kendala dalam pemanfaatannya yaitu butuh tenaga trampil, dan analisis kestabilan genetik pada materi yang disimpan setiap periode tertentu (Ashmore 1997). Selain itu risiko kematian atau kehilangan genotip pun tetap ada. Oleh karena itu kebun koleksi plasma nutfah tetap diperlukan (Mariska et al. 1996).

Penyimpanan plasma nutfah secara in vitro salah satunya ditempuh melalui pertumbuhan lambat atau minimal. Pada penyimpanan ini eksplan dikondisikan tumbuh dalam keadaan sub optimal dimana pertumbuhan berlangsung sangat lambat. Metode ini memiliki beberapa keuntungan antara lain bahan yang disimpan siap pakai apabila diperlukan, mudah diamati kondisinya, dan bahan dengan mudah disimpan kembali (Wilkins & Dodds 1983).

Beberapa faktor yang dapat digunakan untuk pertumbuhan minimal adalah: 1. Menurunkan temperatur inkubasi (4 – 12°C) atau (20°C) (Hu & Wang 1983).

Sebelum perlakuan, tunas dikultur terlebih dahulu selama 3 – 4 minggu pada kondisi pertumbuhan standar, setelah itu dipindahkan ke kondisi perlakuan dengan fotoperiodisitas 16 jam dan intensitas cahaya rendah, sekitar 50 lux (Chawla 2002).

2. Mengurangi atau menghilangkan beberapa faktor esensial untuk pertumbuhan normal seperti pengenceran media dasar dan mengurangi konsentrasi zat pengatur tumbuh (Debrunais et al. 1992; Wilkin & Dodds 1983).

3. Meningkatkan tekanan osmotik dengan menambahkan bahan osmotik seperti gula alkohol (manitol atau sorbitol) untuk menghambat pembelahan sel.

Dengan adanya bahan osmotik maka potensial osmotik media menjadi lebih rendah dan menyebabkan penyerapan unsur hara oleh sel tanaman menjadi lambat (Bessembinder et al. 1993; Wilkins & Dodds 1983).

4. Menambahkan inhibitor asam absisat dan zat pelambat tumbuh (retardan) ancimidol, cicocel, atau paklobutrazol untuk menghambat pembelahan dan pemanjangan sel (Harijono 1990; Withers 1985).

5. Memperkecil luas tempat penyimpanan (Negri et al. 1995).

Bahan tanaman yang sebaiknya disimpan pada kultur in vitro adalah meristem, karena meristem adalah bagian tanaman yang bebas penyakit dan mudah diregenerasikan karena terdiri dari kumpulan sel yang aktif membelah. Eksplan berupa suspensi sel atau kalus jarang dilakukan karena dikhawatirkan terjadi penyimpangan genetik (Grout 1995). Kultur kalus pun tidak dianjurkan karena menyebabkan penurunan sintesis produk sekunder, dan juga penurunan kecepatan tumbuh pada media pemulihan (Withers 1991).

Penyimpanan dengan menurunkan temperatur sudah banyak memberikan hasil, beberapa keuntungan dari penyimpanan tersebut menurut Mariska et al. (1996) antara lain : (a) suhu rendah menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara alami, dan secara nyata dapat memperpanjang masa simpan; (b) tingkat mutasi pada biakan lebih rendah; (c) lebih praktis sehingga memungkinkan penyediaan plasma nutfah yang siap dimanfaatkan setiap waktu, dan (d) bahan tanaman yang disimpan dapat dipertahankan dalam keadaan haploid karena pada suhu lebih tinggi akan merubah bahan tanaman menjadi diploid. Namun metode tersebut sulit dilakukan di negara-negara berkembang disebabkan mahalnya fasilitas penyimpanan dengan suhu yang dapat diatur, juga pasokan listrik yang kadang-kadang sering terganggu. Beberapa tanaman yang sudah berhasil disimpan menggunakan temperatur rendah antara lain : kentang, ubi kayu dan ubi jalar, pisang, apel (Bannerjee & De Langhe 1985; Wilkins & Dodds 1983). Namun metode yang paling banyak diterapkan adalah dengan menggunakan zat pelambat pertumbuhan (retardan), inhibitor osmotik atau kombinasi keduanya.

Regulator Osmotik dan Retardan Pertumbuhan

Regulator osmotik (osmoregulator) merupakan suatu zat yang dapat menurunkan pertumbuhan tanaman dengan cara mempengaruhi tekanan osmotik dalam media kultur. Sorbitol dan manitol merupakan jenis osmoregulator yang dianjurkan (Grout 1995). Sorbitol adalah gula alkohol yang dimetabolismekan dengan kecepatan sangat rendah, berasal dari glukosa yang mengalami reduksi pada gugus aldehid menjadi hidroksil. Struktur kimia sorbitol adalah sebagai berikut :

Gambar 2 Struktur kimia sorbitol

Penambahan manitol maupun sorbitol ke dalam media kultur menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman kultur tanpa mempengaruhi sifat genetiknya (Gamborg & Shyluk 1981 dalam Dewi 2002), sehingga sorbitol dapat digunakan untuk konservasi in vitro. Penyimpanan tiga aksesi talas (Colocasia esculenta) secara in vitro berhasil dilakukan melalui penambahan manitol 40 % pada media MS (Dewi 2002). Penyimpanan talas lebih lama sampai tiga tahun diperoleh melalui kombinasi perlakuan manitol dan temperatur 9°C (Bessembinder et al. 1993). Kultur tunas pisang Musa balbisiana ‘Kluai Hin’ yang disimpan dalam media dengan penambahan sukrosa 10 % memberikan hasil yang lebih baik diikuti berturut-turut oleh perlakuan glukosa 30 % dan sorbitol 50 %, dan lebih baik responnya bila dikultur pada temperatur 25°C dengan fotoperiodisitas 16 jam selama 6 bulan (Promsorn & Kanchanapoom 2006). Tanaman asparagus pun berhasil disimpan selama 2 tahun dalam media MS dengan penambahan sukrosa 3%, sorbitol 4%, 0.4 ppm thiamin, 200 ppm glutamin, 100 ppm inositol, 1 ppm ancimidol dan 0.8% agar, bahkan setelah pemulihan, 100% berhasil tumbuh di rumah kaca (Fletcher 1994).

Retardan pertumbuhan atau zat pelambat pertumbuhan juga biasa digunakan untuk menghambat pertumbuhan kultur, seperti paklobutrazol, ancimidol, cicocel (CCC), Alar, B9, uniconazol, asam absisat, fospon D, maleik hidrazid, diaminiazid (B995) (Chawla 2002; Wilkins & Dodds 1983; Pinhero & Fletcher 1994; Withers 1991). Zat pelambat tumbuh adalah senyawa-senyawa organik sintetik yang dapat menghambat perpanjangan sel pada meristem sub apikal, mengurangi laju perpanjangan batang bila diberikan pada tanaman yang responsif, tanpa mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan daun (Dicks 1979 diacu dalam Gati 1999 dan Wattimena 1987). Mekanisme penghambatan oleh retardan pertumbuhan dapat dilihat pada lampiran 1.

Paklobutrazol merupakan anggota golongan triazol mempunyai rumus empirik C15H20ClN3O dengan rumus kimia (2-RS, 3 RS)-1 (4-m klorofenil) – 4,4

dimetil – 2 (1 H-1, 2, 4-triazol 1-Y1)- pentan-3-01. Paklobutrazol disebut juga PP333 (Anonim1, 2005). Paklobutrazol secara komersil memiliki dua

stereoisomer (diastereoisomer 2RS, 3RS). Bentuk enansiomer (2S,3S) memiliki peranan sebagai zat pengatur tumbuh pada tanaman dengan menghambat biosintesis GA lebih spesifik, sedangkan enansiomer (2R, 3R) lebih aktif dalam menghambat biosintesis sterol (Rademacher 2000). Struktur kimia paklobutrazol adalah sebagai berikut :

N N

N

HO

Cl

Pengaruhnya antara lain menghambat panjang batang, meningkatkan panjang trikoma, meningkatkan pembentukan lapisan lilin pada kutikula, meningkatkan kandungan klorofil serta meningkatkan pertumbuhan akar (Pinhero & Fletcher 1994). Zat pelambat tumbuh ini dapat pula menurunkan metabolisme sel dan menghambat pertumbuhan vegetatif. Daya kerjanya antara lain menghambat biosintesis giberelin, menurunkan kadar ABA, etilen dan IAA akan tetapi meningkatkan kandungan sitokinin serta berperan sebagai senyawa proteksi terhadap stress abiotik (Anonim2 2005; Methouachi et al. 1996).

Penyimpanan daun dewa (Gynura procumbens) menggunakan paklobutrazol 4 ppm atau ABA 5 ppm yang dalam media dasar ½ MS (Gati & Purnamaningsih 2005), tanaman pule pandak (Rauvolfia serpentina) menggunakan paklobutrazol 0.75 ppm dalam media MS dapat menghambat kultur selama 6 bulan (Gati & Mariska 2001). Sunarlim et al. (2000) menemukan bahwa semakin tinggi konsentrasi paklobutrazol ataupun ancimidol sampai 5 ppm, semakin pendek kultur purwoceng, daun makin kecil tetapi jumlahnya semakin banyak. Adapun pada tanaman ubi kayu, penambahan paklobutrazol 3 ppm pada media MS dapat menghambat pertumbuhan selama enam bulan, sementara itu pada perlakuan ABA 1 ppm dapat lebih lama lagi sampai 10 bulan (Sunarlim & Zuraida 2001). Penyimpanan purwoceng berhasil dilakukan pada media dasar DKW dengan penambahan ancimidol 1.5 ppm, namun hanya bertahan sampai empat bulan saja (Sunarlim et al. 2000).

Dokumen terkait