Penelitian tahap kedua meliputi seleksi jenis RS pati kimpul berdasarkan kemampuannya untuk membantu viabilitas BAL serta mempelajari sifat fisiko kimia sebagai pertimbangan untuk aplikasi. Pengujian dilakukan secara in vitro dengan menumbuhkan BAL pada media s-RS (RS yang disuspensikan dalam air) dan media m-MRSB(MRSB tanpa dekstrosa)+RS. BAL yang digunakan dalam pengujian ini adalah Lactobacillus casei subsp. rhamnosus, Lactobacillus plantarum, dan Bifidobacterium bifidum. Namun, sebelum melakukan uji viabilitas terlebih dahulu dilakukan analisis fisiko kimia RS tipe III dan tipe IV.
1. Analisis Fisiko-kimia Umbi Terpilih (kimpul)
Setelah dilakukan pembuatan RS tipe III dan tipe IV dari pati umbi terpilih (kimpul), dilakukan analisis fisiknya. Analisis fisiko kimia yang dilakukan meliputi densitas kamba, densitas padat, derajat putih, aw, uji amilograf, kadar amilosa, kadar RS, dan kadar gula pereduksi. Hasil analisis fisiko kimia dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil analisis fisiko-kimia umbi kimpul
No Parameter Pati RS tipe III RS tipe IV
a
Densitas kamba (g/ml) 0.664 0.600 0.637
Densitas padat (g/ml) 0.868 0.788 0.838
b Kelarutan dalam air (%) 4.79 15.25 6.94
c Derajat putih 99.35 81.55 100.85
Tabel 8. Hasil analisis fisiko-kimia umbi kimpul (lanjutan)
No Parameter Pati RS tipe III RS tipe IV
e Suhu awal gelatinisasi (oC)
78 54 75
Suhu puncak gelatinisasi (oC)
88.5 Tidak bisa dihitung
90
Viskositas (BU) 140 Tidak bisa
dihitung
200
f Kadar amilosa (g/100g) 30.859 31.762 31.435
g Kadar RS (%) 1.7818 8.6711 5.1452
h. Kadar gula pereduksi (%) 0.04 0.20 0.17
a. Densitas kamba dan densitas padat
Densitas kamba dan densitas padat merupakan sifat fisik tepung- tepungan yang penting diketahui terutama dikaitkan dengan pengemasan, penyimpanan dan transportasi. Densitas kamba adalah massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu tanpa dipadatkan sedangkan densitas padat adalah massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu dengan dipadatkan. Menurut Ainah (2004), densitas kamba dan densitas padat dipengaruhi oleh ukuran bahan dan kadar air. Ukuran bahan dari partikel menunjukkan porositas bahan yaitu jumlah rongga diantara partikel-partikel bahan. 0.66 0.6 0.64 0.87 0.79 0.84 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
pati RS tipe III RS tipe IV
Jenis sampel D e ns it a s ( g /m l)
densitas kamba densitas padat
Gambar 10. Densitas kamba dan densitas padat pati dan RS Kimpul tipe III dan tipe IV
Nilai densitas kamba pati, RS tipe III, dan RS tipe IV berturut-turut adalah 0.66 g/ml, 0.60 g/ml, dan 0.64 g/ml. Sedangkan nilai densitas padatnya berturut-turut sebesar 0.87 g/ml, 0.78 g/ml, dan 0.84 g/ml Dapat dilihat pada Gambar 12 bahwa nilai densitas kamba pati, RS tipe III, maupun RS tipe IV hampir sama, begitu juga dengan nilai densitas padat.
Densitas kamba dan densitas padat yang besar menunjukkan bahwa pada volume yang sama, produk dengan densitas kamba atau densitas padat lebih besar hanya memerlukan ruang yang lebih kecil. Dengan demikian pati atau RS dengan densitas kamba dan densitas padat yang besar akan menghemat ruang untuk penyimpanan.
b. Kelarutan dalam air
4.79 15.25 6.94 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
pati RS tipe III RS tipe IV
Sampel K e la ru ta n da la m a ir (% )
Gambar 11. Kelarutan pati, RS tipe III, dan RS tipe IV kimpul dalam air.
Kelarutan pati, RS tipe III, dan RS tipe IV kimpul dalam air berturut- turut adalah 4.79%, 15.25%, dan 6.94% seperti dapat dilihat pada Gambar 11. Kelarutan RS tipe III dalam air jauh lebih tinggi daripada kelarutan pati dan RS tipe IV dalam air. Hal ini disebabkan karena pada RS tipe III granula patinya telah tergelatinisasi, sehingga amilosanya (bagian pati yang larut air) keluar dari granula pati.
c. Derajat putih 81.6 99.35 81.55 100.85 0 20 40 60 80 100 120 standar MgO/BaSO4
pati RS tipe III RS tipe IV
Sampel D e ra ja t P u tih (%) Gambar 12. Derajat putih pati dan RS Kimpul tipe III dan tipe IV
Derajat putih kontrol adalah 81.6, sedangkan derajat putih pati, RS tipe III, dan RS tipe IV kimpul berturut-turut adalah sebesar 99.35, 81.55, dan 100.85 seperti dapat dilihat pada Gambar 14. Pati dan RS tipe IV kimpul memiliki derajat putih lebih besar dari kontrol, sedangkan RS tipe III kimpul tidak.
Menurut Ridal (2003), derajat putih pati kimpul adalah 74.55%. Salah satu hal yang menyebabkan perbedaan derajat putih pada produk yang sama adalah kandungan polifenol. Polifenol dapat menyebabkan pencoklatan enzimatis.
Analisis derajat putih dilakukan untuk mengetahui warna pati dan RS yang dihasilkan. Analisis ini merupakan salah satu analisis yang biasa dilakukan pada tepung atau pati untuk mengetahui kualitas tepung atau pati tersebut. Analisis ini dilakukan dengan bantuan alat whiteness meter dan kontrol MgO atau BaSO4.
d. aw 0.384 0.367 0.358 0.345 0.35 0.355 0.36 0.365 0.37 0.375 0.38 0.385 0.39
pati RS tipe III RS tipe IV
Jenis sampel akt iv it as ai r ( a w )
Gambar 13. Aktivitas air pati dan RS kimpul tipe III dan tipe IV
Nilai aw pati, RS tipe III, dan RS tipe IV kimpul berturut-turut adalah sebesar 0.384, 0.367, dan 0.358 seperti dapat dilihat pada Gambar 13. Aktivitas air (aw) adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Nilai aw yang kecil lebih disukai karena nilai aw yang kecil akan menyulitkan mikroba untuk hidup dan merusak produk pangan.
Nilai aw minimal bakteri adalah 0.97 untuk Pseudomonas, 0.96 untuk E. coli, dan 0.95 untuk Bacillus subtilis. Kapang membutuhkan nilai aw yang lebih rendah. Di bawah aw 0.62, semua pertumbuhan kapang dapat dihambat (Fardiaz,1992), sehingga diharapkan tidak terjadi pertumbuhan kapang pada pati maupun RS kimpul.
e. Uji amilograf
Pengukuran amilograf dilakukan dengan menggunakan alat “Brabender visko-amilograf”. Dari pengukuran amilograf ini dapat diketahui suhu awal gelatinisasi, suhu puncak gelatinisasi, waktu awal gelatinisasi, waktu puncak gelatinisasi dan viskositas puncak sampel. Suhu awal gelatinisasi pati, RS tipe III, dan tipe IV berturut-turut adalah
turut adalah 88.50C, tidak dapat dihitung (lebih dari 900C), dan 900C. Hasil uji amilograf dapat dilihat pada Lampiran 12.
Suhu awal dan suhu puncak gelatinisasi pati dan RS tipe IV tidak berbeda jauh, sedangkan suhu awal dan suhu puncak gelatinisasi RS tipe III berbeda dengan kedua sampel lainnya. Hal ini dikarenakan pada RS tipe III telah terjadi gelatinisasi sehingga suhu puncak gelatinisasinya tidak dapat ditentukan.
Menurut Pomeranz (1991), sifat amilograf pati dipengaruhi oleh jenis pati, konsentrasi pati yang digunakan, suhu awal terjadinya gelatinisasi, dan pH suspensi.
Pada pengukuran sifat amilograf, suhu awal gelatinisasi yaitu suhu pada saat kurva mulai meningkat. Suhu awal gelatinisasi ditentukan berdasarkan perhitungan hasil konversi waktu yang dibutuhkan sampai kurva mulai naik dikalikan dengan kenaikan suhu (1.50C/menit) kemudian ditambahkan dengan suhu awal yang digunakan pada saat pengukuran.
Suhu puncak gelatinisasi adalah suhu pada saat kurva mencapai puncak atau suhu pada puncak maksimum viskositas yang dicapai. Suhu puncak gelatinisasi ditentukan berdasarkan perhitungan hasil konversi waktu yang dibutuhkan sampai kenaikan kurva mencapai puncak dikalikan dengan kenaikan suhu (1.50C/menit) kemudian ditambahkan dengan suhu awal yang digunakan pada saat pengukuran. Suhu awal yang digunakan pada saat pengukuran suhu awal dan suhu puncak gelatinisasi adalah 300C.
Viskositas puncak pati, RS tipe III, dan tipe IV berturut-turut adalah 1140 BU, tidak dapat dihitung, dan 1200 BU. Viskositas berhubungan langsung dengan suhu gelatinisasi. Semakin tinggi suhu gelatinisasi maka semakin lambat granula pati mengembang dan semakin lambat pula waktu viskositas tercapai (Winarno, 1988). Viskositas puncak tepung ubi jalar ditentukan dengan satuan Brabender Unit (BU) pada saat suhu gelatinisasi puncak tercapai.
f. Kadar Amilosa 30.86 31.76 31.44 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
pati RS tipe III RS tipe IV
Jenis Sampel
Kadar Amilo
sa (%)
Gambar 14. Kadar amilosa pati dan RS kimpul tipe III dan tipe IV
Kadar amilosa untuk pati, RS tipe III, dan RS tipe IV kimpul berturut-turut adalah sebesar 30.86 g/100g, 31.76 g/100g, dan 31.44 g/100g seperti dapat dilihat pada Gambar 14. Dari Gambar 14 dapat terlihat bahwa kadar amilosa pada RS tipe III dan tipe IV tidak berbeda jauh dengankadar amilosa pada pati. Hal ini membuktikan bahwa proses pembuatan RS tipe III dan tipe IV hanya mengubah struktur amilosa dan bukan kadar amilosanya.
g. Kadar RS 1.78 5.15 8.67 0 2 4 6 8 10
pati RS tipe III RS tipe IV
Jenis sampel Ka d a r RS ( % )
Dari Gambar 15, kadar RS untuk pati, RS tipe III, dan RS tipe IV kimpul berturut-turut adalah sebesar 1.78%, 8.67%, dan 5.15%. Penelitian yang dilakukan oleh Edmonton dan Saskatoon (1998) pada RS tipe III dari beberapa jenis bahan, memperlihatkan bahwa kandungan RS tipe III mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan konsentrasi pati sampai dengan 10% dan setelah itu mengalami penurunan. Meskipun demikian konsentrasi pati sampai dengan 20% masih menghasilkan RS tipe III dalam jumlah yang relatif tidak jauh berbeda dengan konsentrasi 10%, yaitu sekitar 6-8%, tergantung jenis pati yang digunakan.
Hal-hal yang mempengaruhi kadar RS yang dihasilkan adalah: (1) rasio amilosa: amilopektin pada pati dimana amilosa yang lebih besar akan meningkatkan kadar RS yang dihasilkan; (2) rasio pati : air dalam pembuatan RS dimana suspensi terbaik adalah 5% pati dalam air; (3) proses pemanasan akan meningkatkan kadar RS yang dihasilkan, dan (4) proses penepungan akan meningkatkan kadar RS yang dihasilkan (Sajilata, et al., 2006). Hal lain yang dapat mempengaruhi kadar RS adalah adanya interaksi antara pati dengan komponen lain (protein, dietary fiber, dan lipid) (Escarpa, et al., 1996).
Kadar amilosa yang besar akan meningkatkan banyaknya RS yang dihasilkan (Sajilata, et al., 2006). Hal ini berhubungan erat dengan rasio pati : air dalam pembuatan RS tipe III. Selama proses pembentukan gel, kandungan air mempengaruhi pembengkakan granula pati dan pelepasan amilosa dari granula pati. Konsentrasi pati yang lebih rendah menyebabkan pembengkakan granula dan pelepasan amilosa yang lebih besar, namun rendahnya konsentrasi amilosa dalam suspensi akan membatasi pembentukan RS tipe III. Sebaliknya, pada konsentrasi pati yang lebih tinggi, keterbatasan jumlah air akan menekan pembengkakan granula dan pelepasan amilosa. Dengan demikian, amilosa tidak akan dibebaskan dengan sempurna dari granula pati. Jadi, pembentukan RS tipe
III, tidak hanya dipengaruhi oleh kandungan amilosa, tetapi juga dipengaruhi oleh pembengkakan granula dan pelepasan amilosa.
Untuk RS tipe IV, hal-hal yang mempengaruhi yield RS yang terbentuk adalah fosfat yang ditambahkan. RS tipe IV yang dalam pembuatannya ditambahkan fosfat 0.4-0.5% menghasilkan jumlah RS yang optimal (Woo, et al., 1999). Pada penelitian, POCl3 yang digunakan adalah sebesar 0.2%. Hal ini menyebabkan kadar RS pada RS tipe IV rendah (5.15%).
h. Granula pati
(a) (b)
(c)
Gambar 16. (a) Granula pati kimpul (perbesaran 400x); (b) Granula pati RS tipe III kimpul (perbesaran 400x); dan (c) Granula pati RS tipe IV kimpul (perbesaran 200x)
Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula yang berbeda-beda. Dengan mikroskop, jenis pati dapat dibedakan karena mempunyai bentuk, ukuran, dan sifat birefringent yang berbeda. Sifat birefringent berarti kemampuan granula pati untuk merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal hitam putih. Pada waktu granula mulai pecah (tergelatinisasi) sifat birefringent ini akan hilang (Winarno, 1995). Tidak terdapat perbedaan antara granula pati kimpul (Gambar 16a) dengan granula pati RS tipe IV-nya (Gambar 16c), keduanya masih memiliki sifat birefringent, sedangkan RS tipe III telah kehilangan sifat birefringent akibat proses gelatinisasi.
i. Gula pereduksi
Pati, RS tipe III, dan RS tipe IV kimpul mempunyai kadar gula pereduksi berturut-turut sebesar 0.04%, 0.20%, dan 0.17%. Kadar gula pereduksi RS tipe III dan RS tipe IV pada tabel 8 relatif rendah. Hal ini menunjukkan RS dimanfaatkan oleh BAL sebagai sumber karbon untuk mempertahankan pertumbuhannya, setelah gula pereduksi yang sangat jumlahnya terbatas habis.
2. Uji Prebiotik secara In Vitro
Salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi prebiotik dari RS tipe III dan tipe IV dari pati umbi terpilih. Sehingga, tahap selanjutnya setelah didapatkan umbi terpilih adalah menguji potensi prebiotik RS secara in vitro dengan metode uji viabilitas BAL. Uji ini dilakukan dalam dua jenis media yaitu m-MRSB+RS (MRSB tanpa dekstrosa+RS) dan s-RS (suspensi RS dalam air).
a. Pengaruh jenis media
Uji dalam media m-MRSB+RS dilakukan untuk mengetahui ketahanan BAL untuk dapat hidup pada media lengkap namun sumber karbonnya diganti dengan RS. Uji viabilitas BAL pada media s-RS dilakukan untuk melihat seberapa jauh kemampuan RS dalam meningkatkan, atau paling tidak mempertahankan jumlah BAL.
7.6 7.2 8. 2 8.4 8.1 8.1 8.2 8.3 7.1 7 8.5 7.8 0 2 4 6 8 10 Jumlah BA L (log CFU/m l)
L.rhamnosus L.plantarum B.bifidum
Jenis BAL
s-RS3 s-RS4 m-MRSB+RS3 m-MRSB+RS4
Gambar 17. Pengaruh RS kimpul tipe III dan tipe IV terhadap viabilitas BAL pada konsentrasi kultur 5%
Berdasarkan analisis statistik rancangan acak lengkap pada taraf nyata α = 0.05, peluang pada media adalah 0.003. Karena p<0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara media s-RS dan
m-MRSB terhadap viabilitas BAL. Hasil uji statistik dapat dilihat pada Lampiran 13.
Berdasarkan Gambar 17 dapat terlihat bahwa terdapat perbedaan yang cukup jauh antara media s-RS dengan m-MRSB+RS (antara 0.5-1 log CFU/ml). Hal ini terutama terdapat pada L. rhamnosus dan B. bifidum dimana viabilitas lebih tinggi terjadi pada media m-MRSB+RS. Perbedaan viabilitas ini terjadi karena pada media m-MRSB+RS terdapat sumber N dan sumber mineral yang dibutuhkan untuk kehidupan BAL. Namun, perbedaan viabilitas tidak terjadi pada L. plantarum dimana viabilitas BAL yang ditumbuhkan baik pada media s-RS maupun media m-MRSB tidak terlalu berbeda. Viabilitas BAL tertinggi untuk konsentrasi kultur BAL 5% terdapat pada B. bifidum yang ditumbuhkan pada media m-MRSB+RS3 (2.8 x 108 CFU/ml).
Pada dasarnya, media m-MRSB+RS dapat menstimulir BAL lebih baik dibandingkan dengan media s-RS. Menurut Fardiaz (1992), hal ini disebabkan karena Lactobacillus tidak dapat tumbuh pada makanan yang kandungan vitaminnya rendah. Walaupun viabilitas BAL lebih tinggi pada media m-MRSB, penelitian tahap selanjutnya dilakukan dengan menggunakan media s-RS. Hal ini disebabkan media s-RS dianggap lebih dapat menunjukkan pengaruh RS terhadap pertumbuhan BAL karena satu- satunya bahan makanan untuk BAL dalam media s-RS adalah Resistant starch.
b. Pengaruh jenis RS 7.6 8.1 7.1 7.2 8.1 7 6.4 6.6 6.8 7 7.2 7.4 7.6 7.8 8 8.2 Ju m lah BAL (l o g CF U/ m l) s-RS3 s-RS4 Jenis media
L.rhamnosus L.plantarum B.bifidum
Gambar 18. Pengaruh RS kimpul tipe III dan tipe IV terhadap viabilitas BAL pada media s-RS
Gamabar 18 menunjukkan bahwa viabilitas BAL tertinggi terdapat pada L. plantarum (1.2 x 108 CFU/ml) baik yang ditumbuhkan pada s-RS3 maupun pada s-RS4. 8.2 8.2 8.5 8.4 8.3 7.8 7.4 7.6 7.8 8 8.2 8.4 8.6 Ju m lah BAL (l o g CF U/ m l) m-MRSB+RS3 m-MRSB+RS4 Jenis media
L.rhamnosus L.plantarum B.bifidum
Gambar 19. Pengaruh RS kimpul tipe III dan tipe IV terhadap viabilitas BAL pada media m-MRSB + RS
m-MRSB+RS4 kecuali pada B. bifidum. Viabilitas B. bifidum pada media m-MRSB+RS3 (2.8 x 108 CFU/ml) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan viabilitasnya pada media m-MRSB+RS4 (5.6 x 107 CFU/ml).
Berdasarkan analisis statistik rancangan acak lengkap pada taraf nyata α = 0.05, uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa RS tipe III dan RS tipe IV berada pada subset yang sama baik pada media s-RS maupun media m-MRSB. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antara jenis RS yang digunakan terhadap viabilitas BAL. Hasil ini menunjukkan RS tipe III maupun RS tipe IV dapat digunakan untuk penelitian tahap selanjutnya. Hasil uji statistik dapat dilihat pada Lampiran 13.
Walaupun begitu jika RS akan dikembangkan untuk produk makanan lebih baik menggunakan RS tipe IV karena RS tipe IV memiliki derajat putih (100.85) lebih tinggi dan aw (0.358) yang paling rendah dibandingkan dengan derajat putih (81.55) dan aw (0.367) RS tipe III. Derajat putih yang tinggi lebih disukai konsumen, sedangkan aw yang rendah akan menghambat pertumbuhan mikroba.
c. Pengaruh konsentrasi
Konsentrasi RS yang digunakan adalah 2.5% dan BAL yang ditambahkan ke dalam media adalah sebanyak 5% pada media dengan volume 50 ml. BAL yang digunakan dalam penelitian ini adalah L. casei rhamnosus, L. plantarum, dan B. bifidum yang berumur 24 jam dengan jumlah sel L. casei subsp. rhamnosus, L. plantarum, dan B. Bifidum, berturut-turut sebesar 1.6x109 CFU/ml, 2.3x109 CFU/ml, dan 1.5x109 CFU/ml.
Konsentrasi kultur yang ditambahkan pada uji viabilitas L. plantarum dan B. bifidum pada media air dan RS tipe III, dikurangi menjadi 1% sehingga tingkat pengenceran juga diturunkan menjadi 10-4 – 10-6. Hal tersebut disebabkan pengaruh RS dalam meningkatkan pertumbuhan BAL
tidak dapat dilihat secara nyata. Konsentrasi kultur sebelumnya, yaitu 5%, dinilai terlalu tinggi sehingga penambahan substrat prebiotik tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan BAL.
6. 2 6. 6 7. 6 8.1 7. 1 8 7. 6 7. 9 8. 2 8. 2 8.5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ju m lah BAL ( lo g CF U/ ml ) s-RS3 1% s-RS3 5% m-MRSB+RS3 1% m-MRSB+RS3 5% Jenis media
L.rhamnosus L.plantarum B.bifidum
Gambar 20. Pengaruh konsentrasi kultur BAL terhadap viabilitas BAL pada RS kimpul tipe III
Uji viabilitas BAL pada konsentrasi 1% dan 5% (Gambar 20) menunjukkan bahwa konsentrasi kultur BAL yang ditambahkan mempengaruhi viabilitas BAL. Namun hal ini tidak terjadi pada L. rhamnosus yang ditumbuhkan pada media m-MRSB dimana perbedaan viabilitas antara viabilitas BAL pada media m-MRSB+RS3 1% (1.0 x 108 CFU/ml) dan media m-MRSB+RS3 5% (1.6 x 108 CFU/ml) hanya 0.2 log CFU/ml.
Percobaan yang dilakukan oleh Kleessen, et al., (1997), menunjukkan bahwa dari tiga jenis ransum yang diberikan pada tikus (pati, RS tipe I, dan RS tipe II), Bifidobacterium hanya muncul pada tikus yang diberi ransum dengan tambahan RS tipe I dan tipe II. Dari sini terbukti bahwa RS mempengaruhi viabilitas BAL terutama Bifidobacterium. Viabilitas
tertinggi terdapat pada B. bifidum (3.2x108CFU/ml) yang ditumbuhkan pada media m-MRSB+ RS3.
C. ANALISIS SERAT PANGAN DAN ASAM LEMAK RANTAI PENDEK UNTUK RS DAN BAL TERPILIH
Analisis serat pangan (dietary fiber) dilakukan dengan menggunakan RS tipe IV dari umbi terpilih (kimpul) dan untuk analisis SCFA digunakan hasil degradasi bakteri Lactobacilus plantarum pada media s-RS4 kimpul.
1. Analisis Serat Pangan (Dietary Fiber)
Serat pangan atau dietary fiber merupakan bagian dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil (Winarno, 1997). Terdapat dua jenis utama dari dietary fiber, yaitu serat larut (selulosa, hemiselulosa, dan lignin), serta serat tidak larut (gums, mucilages, dan pektin) (Hopkins Techology, 1990).
Setiap makanan memiliki kadar serat makanan yang berbeda-beda. Department of Nutrition, Ministry of Health and Institute of Health (1999)
seperti yang dikutip oleh Friska (2002) menyatakan bahwa makanan dapat diklaim sebagai sumber serat pangan apabila mengandung serat pangan sebesar 3-6 gram/100gram. Oleh karena itu, RS tipe IV kimpul dapat dikatakan sebagai pangan sumber serat karena memiliki serat pangan yang tinggi, yaitu sebesar 7.53 gram/100gram, yang dapat dilihat pada Lampiran 11. Menurut U.S. Department of Agriculture and Health and Human Services yang diacu oleh Hopkins Technolohy (1990), kebutuhan dietary fiber adalah 20-30 g per hari dengan batas maksimum 35 g per hari.
RS memiliki kadar dietary fiber yang cukup tinggi. Banyak keuntungan dari tingginya kadar dietary fiber dalam makanan, seperti peningkatan kesehatan usus besar, pelepasan glukosa darah yang lebih
terkontrol, dan peningkatan profil lipid dalam darah (British Nutrition Foundation, 2005).
2. Asam Lemak Rantai Pendek (Short Chain Fatty Acid/SCFA)
Tabel 9. Hasil Analisis SCFA Dari Hasil Degradasi Bakteri Lactobacillus plantarum pada Media s-RS4
Parameter Hasil (%w/v)
Asam format Tidak Terdeteksi
Asam asetat 0.04
Asam propionat Tidak Terdeteksi Asam butirat Tidak Terdeteksi
Asam lemak rantai pendek (SCFA) terbentuk ketika polisakarida difermentasi oleh bakteri anaerobik di dalam usus besar. Resistant starch (RS) adalah salah satu jenis polisakarida. Produk SCFA yang paling utama adalah butirat, propionat, dan asetat. Konsentrasi SCFA di dalam usus besar berbeda- beda tergantung tipe polisakaridanya, walaupun pada umumnya asetat adalah jenis SCFA yang paling sering ditemukan, sedangkan butirat adalah SCFA yang paling jarang ditemukan (British Nutrition Foundation, 2005).
Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa SCFA yang dihasilkan oleh bakteri Lactobacillus plantarum pada fermentasi RS tipe IV adalah asam asetat sebanyak 0.04 %(w/v), sedangkan asam format, propionat dan butirat tidak terdeteksi. Kleessen, et al., (1997) melaporkan penelitian terhadap tikus yang diberi ransum yang mengandung RS tipe III sebanyak 15% selama 5 bulan. Feses segar dari tikus dianalisis kandungan SCFA-nya. Dari hasil analisis diketahui bahwa konsentrasi asam asetat selalu lebih tinggi daripada propionat dan butirat.
Menurut Brouns, et al., (2002), proporsi SCFA hasil fermentasi RS tipe II oleh bakteri Lactobacillus dan Bifidobacterium adalah 53% asam asetat, 16% asam propionat, dan 30% asam butirat, sedangkan untuk RS tipe
butirat. Menurut British Nutrition Foundation (2005), keberadaan SCFA menurunkan pH usus besar. Hal ini menguntungkan karena penurunan pH dapat menjadikan usus besar sebagai lingkungan yang dapat mencegah pertumbuhan bakteri merugikan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN
Ganyong, kentang, dan kimpul adalah umbi lokal yang memiliki kadar pati dan amilosa yang cukup tinggi sehingga dapat dijadikan bahan baku untuk RS. Rendemen pati kimpul (12.33%) lebih besar dibandingkan dengan pati umbi lainnya dan daya cerna pati RS tipe IV-nya (29.31%) paling rendah diantara RS tipe IV umbi yang lain.
Uji viabilitas dilakukan untuk mengetahui pengaruh jenis media, jenis RS, dan konsentrasi kultur BAL yang ditambahkan. Berdasarkan analisis statistik, media m-MRSB memiliki kemampuan lebih baik untuk meningkatkan viabilitas BAL (α = 0.05), tetapi untuk lebih dapat menunjukkan pengaruh RS terhadap viabilitas BAL, dipilih media s-RS pada tahap selanjutnya.
RS tipe IV dipilih untuk tahap selanjutnya karena uji fisik menunjukkan bahwa RS tipe IV memiliki karakteristik yang lebih baik dalam hal derajat putih yang lebih tinggi dan aw yang lebih rendah dibandingkan dengan RS tipe III. Konsentrasi kultur BAL yang digunakan mempengaruhi nilai viabilitas BAL dimana konsentrasi yang lebih tinggi (5%) akan meningkatkan nilai viabilitas BAL. Nilai viabilitas yang paling berbeda terdapat pada L. plantarum yang