• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 SELEKSI PERLAKUAN TERPILIH

4.3.1 Pengamatan Visual

Berdasarkan hasil pengamatan pada tahap sebelumnya, diperoleh 4 sampel yang memungkinkan untuk diteliti lebih lanjut pada penelitian selanjutnya. Sampel-sampel tersebut adalah sampel A2B1C1, A2B1C3, A2B2C1, A2B2C3 dan satu sampel kontrol. Pati yang digunakan adalah pati sagu sebab ketika dilakukan penyimpanan selama empat hari, tapioka lebih basah dibandingkan pati sagu sehingga sampel menjadi lebih cepat rusak. Rasio pati dan bakso yang digunakan adalah 1:1 dan 2:1. Bakso yang dilapis dan disimpan dalam pati sagu yang tidak disangrai dengan perbandingan 1:1 dan 2:1 (A2B2C1 dan A2B2C3) mengalami kerusakan pada hari kedua penyimpanan, sedangkan bakso yang dilapis dan disimpan pada sagu sangrai dengan perbandingan 2:1 (A2B1C3) mulai mengalami kerusakan pada hari ketiga. Sampel bakso yang dilapis dan disimpan pada pati sagu sangrai dengan perbandingan 1:2 (A2B1C1) mulai mengalami kerusakan pada hari kedua. Hal ini menunjukkan bahwa selain perlakuan sangrai, perbandingan pati sagu dan bakso juga memengaruhi masa simpan bakso. Hasil pengamatan fisik selama penyimpanan 5 sampel ini dapat dilihat pada Lampiran 5. Gambar 11 menunjukkan kondisi penyimpanan bakso dalam plastik HDPE yang berisi pati pelapis.

Gambar 11. Bakso yang disimpan dalam plastik HDPE yang berisi pati pelapis.

4.3.2 Analisis a

w

Bakso

Kandungan air dalam bahan makanan memengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan aw, yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan (Winarno 2008). Mikroorganisme penyebab kerusakan pada bahan pangan berkadar air tinggi dengan pH sekitar netral seperti bakso adalah golongan bakteri. Salah satu cara untuk menurunkan nilai aw adalah dengan menambahkan ingredien pangan yang bersifat higroskopis. Pada penelitian ini, pati sagu diharapkan dapat bersifat higroskopis sehingga dapat menyerap air pada bakso. Hipotesisnya adalah pati sagu menyerap air bakso sehingga aw bakso akan menurun mengakibatkan pertumbuhan mikroba penyebab kerusakan menjadi lebih lambat sehingga diharapkan umur simpan bakso menjadi lebih panjang. Mikroorganisme membutuhkan lingkungan dengan air yang cukup untuk melakukan pertumbuhan dan reproduksi (Matz 1965). Pengaruh penyimpanan bakso dalam pati sagu terhadap nilai aw bakso selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 12.

Pati sagu yang melapisi permukaan sampel A2B1C1 dan A2B1C3 adalah pati sagu yang mengalami proses penyangraian selama 10 menit sedangkan sampel A2B2C1 dan A2B2C3 dilapisi dengan pati sagu yang tidak disangrai. Semakin hari, sampel bakso A2B1C1 dan A2B1C3 menjadi

Bakso

22 semakin kering sebab air pada bakso diserap oleh pati sagu dan bakso pun mengkerut. Seiring dengan itu, pati sagu yang berada disekitar bakso pun menjadi basah. Penurunan nilai aw sampel ditandai dengan mengkerutnya sampel. Kondisi pati sangrai lebih kering dibandingkan pati sagu yang tidak disangrai sehingga pati ini dapat menyerap air lebih baik dibandingkan pati sagu yang tidak disangrai. Sampel A2B1C3 mengkerut dan sangat keras ketika dibelah atau dipotong, berbeda dengan sampel lainnya. Gambar 13 menunjukkan penampakan sampel A2B1C3 pada hari penyimpanan ke-4.

Gambar 12. Pengaruh penyimpanan bakso dalam pati sagu terhadap nilai aw bakso selama penyimpanan

Gambar 13.Sampel bakso A2B1C3 penyimpanan hari ke-4

4.3.3 Analisis pH Bakso

Nilai pH daging sangat berpengaruh terhadap sifat fisik daging, yaitu warna, daya mengikat air dan kekenyalan. Nilai pH bakso berkaitan dengan protein yang terlarut serta dapat memengaruhi daya mengikat air suatu produk emulsi. Semakin tinggi nilai pH maka akan semakin tinggi pula daya mengikat air (Putri 2009). Jika daya ikat air tinggi maka kekenyalan bakso pun akan meningkat. Bakso sebagai produk emulsi membutuhkan pH tinggi, yaitu di atas pH isoelektrik untuk mengikat air (Yovita 2000). Gambar 14 menunjukkan hasil pengukuran pH bakso selama penyimpanan. Semua sampel bakso mengalami penurunan pH. Salah satu faktor yang memengaruhi pH adalah suhu. Jay (2000) mengatakan nilai pH substrat cenderung menjadi asam dengan meningkatnya temperatur. Pada penelitian ini, suhu penyimpanan yang digunakan adalah suhu ruang dengan kisaran suhu 25-30oC, sehingga mengakibatkan pH produk semakin rendah dengan semakin lamanya waktu penyimpanan.

0.82 0.84 0.86 0.88 0.90 0.92 0.94 0.96 0.98 1.00 0 1 2 3 aw

Penyimpanan Hari ke-

Kontrol A2B1C1 A2B1C3 A2B2C1 A2B2C3

23 Gambar 14. Pengaruh penyimpanan bakso dalam pati sagu terhadap nilai pH selama penyimpanan

4.3.4 Analisis a

w

Sagu Sangrai dan Tidak Sangrai selama Penyimpanan

Pengukuran nilai aw juga dilakukan terhadap pati sagu sangrai dan tidak sangrai. Pengukuran dilakukan selama 4 hari penyimpanan. Gambar 15 menunjukkan nilai aw dari masing-masing sampel per hari penyimpnan. Nilai aw dari masing-masing sampel pati meningkat seiring dengan lamanya hari penyimpanan. Hasil dari pengukuran nilai aw pati sagu sangrai dan tidak sangrai ini dapat dikaitkan dengan hasil pengukuran nilai aw bakso selama penyimpanan. Keempat sampel bakso, yaitu sampel A2B1C1, A2B1C3, A2B2C1, dan A2B2C3 mengalami penurunan nilai aw (Gambar 12) sedangkan nilai aw pati sagu pelapis dari masing-masing sampel meningkat. Hal ini membuktikan bahwa pati sagu yang digunakan sebagai pelapis bakso mampu menyerap air dari permukaan bakso sehingga aw

bakso menurun dan bakso menjadi lebih kering, sedangkan aw pati sagu pelapisnya (yang sangrai maupun tidak sangrai) meningkat.

Gambar 15. Nilai aw pati sagu sangrai dan tidak sangrai selama penyimpanan

4.3.5 Kekerasan Bakso

Kekerasan bahan pangan dapat diartikan sebagai gaya yang diperlukan untuk menyebabkan bahan pangan patah (Nurhayati 2009). Keempukan daging olahan dipengaruhi oleh kandungan air, lemak, dan protein (Kramlich et al. 1977). Jika kadar air tinggi maka kekerasan akan turun. Demikian

0 2 4 6 8 0 1 2 3 pH

Penyimpanan Hari ke-

Kontrol A2B1C1 A2B1C3 A2B2C1 A2B2C3 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 0 1 2 3 4 aw

Penyimpanan Hari ke-

A2B1C1 A2B1C3 A2B2C1 A2B2C3

24 juga dengan tingginya lemak akan menurunkan kekerasan. Jumlah tepung yang ditambahkan juga memengaruhi kekerasan bakso. Semakin banyak jumlah tepung maka kekerasan objektif akan meningkat pula. Menurut Purnomo (1995), jika suatu bahan pangan dikeringkan sampai nilai aw

sehingga pertumbuhan mikroorganisme dapat terhenti, biasanya tekstur produk menjadi terlalu kering dan keras. Pengukuran kekerasan objektif pada penelitian ini dilakukan pada bakso sebelum direbus (permukaannya masih dilapisi sedikit pati) dan bakso setelah direbus (pati pelapis dicuci dahulu sebelum direbus) selama 10 menit pada suhu 80-100oC. Hasil pengukuran kekerasan dari 5 sampel bakso dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Kekerasan bakso sebelum direbus

Pelapisan dan penyimpanan bakso dalam pati sagu pada suhu ruang memengaruhi nilai kekerasan bakso. Gambar 16 menunjukkan bahwa bakso kontrol mengalami penurunan nilai kekerasan pada penyimpanan hari ke-2. Penurunan ini disebabkan pertumbuhan mikroba yang cepat dan mendekomposisi komponen organik dalam bakso sehingga mengakibatkan timbulnya bau busuk dan semakin melunaknya produk. Sampel A2B2C1 dan A2B2C3 juga mengalami penurunan nilai kekerasan pada hari penyimpanan ke-2. Hal ini berkaitan dengan nilai aw dari masing-masing sampel yang meningkat pada hari penyimpanan ke-2 sehingga menyebabkan produk semakin melunak.

Purnomo (1995) menyatakan nilai aw yang cukup tinggi menyebabkan produk cenderung mudah rusak karena kerja mikroorganisme. Peningkatan nilai aw kedua sampel ini menjadi salah satu faktor pertumbuhan mikroba pada permukaan bakso. Penurunan kekerasan sampel A2B2C1 dan A2B2C3 kemungkinan disebabkan oleh adanya pertumbuhan mikroba pada permukaan bakso sehingga merusak tekstur bakso yang mengakibatkan pelunakan bakso. Selain itu, suhu penyimpanan yang digunakan pada penelitian ini adalah suhu ruang yang merupakan suhu optimum pertumbuhan kapang, khamir dan bakteri mesofilik.

Sampel A2B1C3 mulai mengalami penurunan nilai kekerasan pada hari penyimpanan ke-3. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa nilai aw memengaruhi kekerasan bakso. Nilai aw

sampel A2B1C3 terus menurun hingga hari penyimpanan ke-3. Nilai aw sampel A2B1C3 yang turun menyebabkan permukaan sampel bakso cenderung lebih kering sehingga ketika diukur, nilai kekerasannya meningkat pada hari penyimpanan ke-1 dan ke-2 jika dibandingkan dengan sampel lainnya. Menurut Jay (2000), kemampuan mikroorganisme untuk tumbuh menurun seiring dengan penurunan nilai aw bahan pangan. Permukaan sampel bakso A2B1C3 yang kering menyebabkan mikroba sulit untuk tumbuh sehingga proses dekomposisi komponen organik bakso yang menyebabkan pelunakan tekstur sulit dilakukan.

-500.00 500.00 1500.00 2500.00 3500.00 4500.00 5500.00 6500.00 0 1 2 3 Kek er asan ( g ram fo rce )

Penyimpanan Hari ke-

Kontrol A2B1C1 A2B1C3 A2B2C1 A2B2C3

25 Gambar 17 menunjukkan perebusan menyebabkan penurunan nilai kekerasan bakso. Semua sampel mengalami penurunan nilai kekerasan selama penyimpanan. Proses perebusan membantu merehidrasi sampel dan secara tidak langsung meningkatkan kadar air dari sampel sehingga sampel menjadi lebih lunak. Peningkatan kadar air sampel ditandai dengan meningkatnya berat sampel setelah perebusan dilakukan, yaitu meningkat sekitar 1-2 gram dan sampel nampak berukuran lebih besar. Selain itu, perebusan juga membantu memperbaiki tekstur sampel walaupun tidak sepenuhnya kembali seperti tekstur awal. Gambar 18 menunjukkan kondisi sampel bakso A2B1C3 sebelum dan sesudah direbus pada hari penyimpanan ke-3 setelah pati pelapis dicuci.

Gambar 17. Kekerasan bakso setelah direbus

(a) (b)

Gambar 18. Kondisi sampel bakso A2B1C3 pada hari penyimpanan ke-3 setelah pati pelapis dicuci: (a) sebelum direbus; (b) setelah direbus.

4.3.6 Kekenyalan/Elastisitas Bakso

Pengaruh lama penyimpanan dengan menggunakan pati sagu sangrai dan tidak sangrai terhadap kekenyalan bakso sebelum dan setelah direbus dapat dilihat pada Gambar 19 dan Gambar 20. Terjadi penurunan kekenyalan sampel kontrol seiring dengan lamanya penyimpanan yang dilakukan, baik pada bakso sebelum direbus maupun setelah direbus. Pada perlakuan perebusan, kekenyalan bakso kontrol hanya diukur hingga hari penyimpanan pertama saja sebab kondisi sampel tidak memungkinkan untuk diukur pada hari-hari penyimpanan selanjutnya. Sama halnya dengan pengukuran kekerasan sebelumnya, penurunan nilai kekenyalan sampel kontrol disebabkan oleh aktivitas mikroba. Efek dari aktivitas mikroba ini menyebabkan tekstur bakso menjadi lebih lunak sehingga ketika diberikan gaya, sampel kontrol tidak dapat melakukan deformasi secara sempurna.

0 2000 4000 6000 0 1 2 3 k ek er asan ( g ram fo rce )

Penyimpanan Hari ke-

Kontrol A2B1C1 A2B1C3 A2B2C1 A2B2C3

26 Pada Gambar 19 terlihat kelima sampel mengalami penurunan nilai kekenyalan. Namun, jika dilihat pada Gambar 20, sampel A2B1C1 dan A1B1C3 mengalami kenaikan nilai kekenyalan pada hari penyimpanan ke-1 dan ke-2 sedangkan tiga sampel lainnya tetap mengalami penurunan. Selama penyimpanan, sampel bakso A2B1C1 dan A1B1C3, yaitu bakso yang dilapis dan disimpan dalam pati sagu sangrai dengan perbandingan sagu dan bakso 1:1 dan 2:1 mengalami penurunan nilai aw. Ketika dilakukan pemanasan pada suhu 80-100oC selama 10 menit, kekuatan gel terbentuk kembali. Putri (2009) menyatakan kekenyalan bakso dipengaruhi oleh gelatinisasi tapioka. Granula-granula pati mengembang dan menghasilkan pasta kenyal sehingga bakso memiliki kekuatan menahan tekanan dari luar dan kembali ke bentuk semula setelah tekanan dihilangkan. Sampel A2B2C1, A2B2C3, dan kontrol kemungkinan telah mengalami dekomposisi komponen organik oleh mikroba yang disebabkan peningkatan nilai aw sehingga ketika sampel-sampel tersebut dipanaskan pada suhu 80-100oC selama 10 menit teksturnya menjadi semakin lunak. Hal ini menyebabkan nilai kekenyalannya turun.

Gambar 19. Kekenyalan bakso sebelum direbus

Gambar 20. Kekenyalan bakso setelah direbus

4.3.7 Analisis Mikrobiologi

Analisis mikrobiologi perlu dilakukan sebagai evaluasi terhadap jumlah mikroba dalam suatu bahan pangan. Bakso sebagai produk olahan daging merupakan kultur media pertumbuhan yang ideal bagi jasad renik karena tingginya kadar air, pH yang mendekati netral dan kaya akan nutrisi. Kontaminasi yang berasal dari organisme pembusuk merupakan hal yang sulit dihindari. Menurut SNI

0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 0 1 2 3 Kek en y alan

Penyimpanan Hari ke-

Kontrol A2B1C1 A2B1C3 A2B2C1 A2B2C3 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 1.00 0 1 2 3 Kek en y alan

Penyimpanan Hari ke-

Kontrol A2B1C1 A2B1C3 A2B2C1 A2B2C3

27 01-3818-1995, bakso daging sapi memiliki batas maksimal Total Plate Count (TPC) atau angka lempeng total sebesar 1x105 koloni/gram (5 log CFU/gram). Gambar 21 menunjukkan grafik pertumbuhan mikroba bakso selama penyimpanan. Analisis total mikroba dilakukan terhadap 4 sampel bakso daging sapi yang dilapis pati sagu yang disangrai dan tidak disangrai dengan perbandingan pati pelapis dan bakso sebesar 1:1 dan 2:1, dan satu sampel kontrol. Rekapitulasi data hasil analisis TPC bakso dapat dilihat pada Lampiran 6.

Gambar 21. Total mikroba bakso selama penyimpanan

Jumlah mikroba bakso kontrol pada hari ke-1 adalah 7.1x106 koloni/gram (6.85 log CFU/gram). Pada hari ke-1 telah terjadi pembentukan lendir dipermukaan bakso kontrol. Sampel A2B2C1 dan A2B2C3 masing-masing memiliki jumlah mikroba sebanyak 3.8x106 (6.58 CFU/gram) dan 8.6x106 (6.93 CFU/gram) pada hari ke-1. Jumlah koloni bakteri pada sampel A2B1C1 dan A2B1C3 pada hari ke-1 adalah 8.5x104 (4.93 CFU/gram) dan 4.6x104 (4.66 CFU/gram). Semakin lama penyimpanan maka jumlah mikroba semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh pengaruh suhu penyimpanan, yakni disimpan dalam suhu ruang (25-30oC) yang menguntungkan bakteri untuk tumbuh dan berkembang dengan pesat. Menurut Fardiaz (1992), pada fase logaritma sel jasad renik membelah dengan cepat dan konstan, dimana pertumbuhan jumlahnya mengikuti kurva logaritmik. Kecepatan pertumbuhan pada fase ini sangat dipengaruhi oleh medium tempat tumbuhnya seperti pH, kandungan nutrient, kondisi lingkungan termasuk suhu dan kelembaban udara.

Salah satu kerusakan bakso ditandai dengan pembentukan lendir pada permukaan bakso. Kerusakan yang ditandai pembentukan lendir dapat disebabkan oleh spesies Pseudomonas,

Achromobacter, Streptococcus, Leuconostoc, Bacillus dan Micrococcus, juga beberapa spesies

Lactobacillus (Frazier 1958). Penyimpanan bakso pada suhu ruang selama 3 hari terus menunjukkan jumlah mikroba yang semakin tinggi sehingga melebihi batas cemaran yang ditetapkan SNI. Sampel kontrol, A2B2C1 dan A2B2C3 melebihi batas cemaran SNI pada penyimpanan hari ke-1, sampel A2B1C1 pada penyimpanan hari ke-2, sedangkan sampel A2B1C3 melebihi cemaran SNI pada penyimpanan hari ke-3. Sampel A2B1C3 memiliki jumlah koloni bakteri sebanyak 1.1x105 koloni/gram pada hari penyimpanan ke-2. Jika dibandingkan dengan batas cemaran yang ditetapkan oleh SNI, yaitu maksimal 1x105 koloni/gram, maka jumlah koloni bakteri pada sampel A2B1C3 telah melebihi batas, namun karena jumlah bakteri pada sampel tersebut tidak melebihi satu log dari batas maksimum yang ditetapkan SNI maka jumlah tersebut (1.1x105 koloni/gram) masih dapat dikatakan aman. Pemberian lapisan terhadap bakso dapat mencegah terjadinya kontaminasi mikroorganisme

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3 L o g J u m lah Ko lo n i ( C FU/g ram )

Penyimpanan Hari Ke-

Kontrol A2B1C1 A2B1C3 A2B2C1 A2B2C3

28 selama penyimpanan. Kualitas mikrobiologi pada bakso sapi dengan pelapisan sagu sangrai 2:1 lebih baik dibandingkan dengan tanpa pelapis yang disimpan selama 3 hari pada suhu ruang.

Hasil TPC sampel-sampel bakso dapat dikaitkan dengan hasil TPC dari pati sagu yang digunakan. Gambar 22 menunjukkan total mikroba pada pati sagu sangrai dan tidak disangrai. Sagu sangrai memiliki total mikroba sebesar 2.95 x 102 koloni/gram (2.47 log CFU/gram) sedangkan sagu tidak sangrai sebesar 3.14 x 103 koloni/gram (3.5 log CFU/gram). Total mikroba dalam sagu memengaruhi masa simpan dari bakso sebab secara tidak langsung jumlah mikroba pada sagu akan menambah jumlah mikroba pada bakso. SNI 3729:2008 menyatakan bahwa batas maksimal angka lempeng total dari pati sagu adalah 1 x 106 koloni/gram.

Hasil analisis TPC bakso menunjukkan bahwa bakso dengan perlakuan sagu sangrai perbandingan 2:1 (A2B1C3) memiliki masa simpan yang lebih panjang dibandingkan bakso dengan perlakuan sagu sangrai perbandingan 1:1, sagu tidak sangrai (perbandingan 1:1 dan 2:1) dan bakso kontrol, yaitu 2 hari. Sampel A2B1C3 mengalami penurunan aw sampai hari penyimpanan ke-3 sehingga pertumbuhan mikroba terhambat. Aktivitas air (aw) erat kaitannya dengan kadar air serta pertumbuhan bakteri. Pada umumnya, makin tinggi aw maka makin banyak bakteri yang dapat tumbuh. Penurunan nilai aw dibawah optimum meningkatkan tahap istirahat (lag phase) dari pertumbuhan mikroorganisme dan menurunkan tingkat pertumbuhan serta besarnya populasi akhir karena semua reaksi kimia dalam sel membutuhkan air yang juga berasal dari lingkungan sekitarnya (Purnomo 1995). Rekapitulasi data hasil analisis TPC sagu (sangrai/tidak sangrai) dapat dilihat pada Lampiran 7.

Gambar 22. Total mikroba pati sagu

Dokumen terkait