• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memperpanjang Umur Simpan Bakso Sapi dengan Pelapisan Tapioka dan Pati Sagu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Memperpanjang Umur Simpan Bakso Sapi dengan Pelapisan Tapioka dan Pati Sagu"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN BAKSO SAPI DENGAN

PELAPISAN TAPIOKA DAN PATI SAGU

SKRIPSI

TIUR FITRI HANDAYANI SITUMORANG

F24080007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Shelf Life Extension of Beef Meatball by Coating with Tapioca and

Sago Starch

Tiur Fitri Handayani Situmorang and Sugiyono Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, Darmaga Campus, PO. Box 220

Bogor 16002, West Java, INDONESIA

ABSTRACT

Meatball is a perishable food. Its shelf life is only about 12 hours to 1 day. Many

small meatball manufacturers use prohibited chemicals to extend shelf life of meatball at

room temperature. At this research, the shelf life of beef meatballs was extended through

reducing the water activity by coating the meatballs with tapioca and sago starch. The

meatballs were coated with tapioca and sago starches (roasted or not) in the ratios of 1:1,

1:2 and 2:1. The coated meatballs were stored at room temperature. During storage, the

meatballs were observed their sensory properties. The result showed that the shelf life of

meatballs could be increased up to 2 days at room temperature. The meatball coated with

roasted sago starch at the ratio of 2:1 had 1.1x10

5

cfu/g on the second day of storage.

(3)

Tiur Fitri Handayani Situmorang. F24080007. Memperpanjang Umur Simpan Bakso Sapi dengan Pelapisan Tapioka dan Pati Sagu. Di bawah bimbingan Sugiyono. 2013.

RINGKASAN

Bakso merupakan produk yang rentan terhadap penggunaan pengawet karena sifatnya yang cepat rusak (perishable). Pemasaran bakso di masyarakat umumnya berlangsung dengan kondisi penyimpanan kurang saniter pada suhu ruang. Bakso mempunyai kadar air dan aw yang tinggi

sehingga umur simpannya relatif singkat, yaitu paling lama 1 hari pada suhu ruang. Jika dilihat dari nilai aw yang tinggi maka penyebab utama kerusakan bakso adalah pertumbuhan bakteri. Aktivitas air

(aw) erat kaitannya dengan kadar air serta pertumbuhan bakteri. Pada umumnya, makin tinggi aw maka

makin banyak bakteri yang dapat tumbuh. Sebagian air dalam bahan harus dihilangkan dengan beberapa cara untuk memperpanjang umur simpan suatu bahan, tergantung dari jenis bahan. Penelitian ini menggunakan pendekatan mekanisme penurunan nilai aw bakso untuk memperpanjang umur

simpannya dengan menggunakan pati sagu dan tapioka sebagai pelapis.

Penelitian ini terdiri atas (1) pembuatan bakso sapi, (2) analisis proksimat bakso sapi, (3) aplikasi pati terhadap bakso, (4) seleksi perlakuan terpilih, dan (5) analisis organoleptik. Bahan yang digunakan untuk pembuatan bakso adalah daging sapi segar, pati sagu, pati tapioka, STPP, garam, lada, es dan bawang putih. Pada pembuatan adonan bakso digunakan meat grinder dan meat cutter. Pati yang digunakan sebagai pelapis adalah pati sagu dan tapioka yang diberi perlakuan sangrai (15 menit, suhu pati 134oC) dan tidak sangrai. Perbandingan yang digunakan untuk pati pelapis dan bakso adalah 1:1, 1:2 dan 2:1. Jumlah sampel yang diperoleh melalui perlakuan-perlakuan ini adalah 13.

Analisis proksimat dilakukan terhadap sampel bakso sapi untuk mengetahui kadar air, kadar abu, protein, lemak serta kadar karbohidrat dari sampel. Hasilnya adalah kadar air bakso 63.49% (b/b), kadar abu 2.71% (b/b), protein 11.59 (b/b), dan lemak 0.54% (b/b). Pada tahap aplikasi pati terhadap bakso, dilakukan pengamatan visual dan analisis kadar air dan aw pati sagu dan tapioka awal.

Pengamatan visual dilakukan selama 4 hari terhadap 12 sampel bakso yang dilapis dan satu sampel bakso kontrol. Pengamatan ini meliputi warna, keberadaan kapang dan lendir, bau, kondisi pati pelapis, dan kondisi sampel secara keseluruhan. Kerusakan yang dialami bakso dengan pelapisan menggunakan tapioka (sangrai maupun tidak sangrai) umumnya lebih parah sehingga umur simpannya pun menjadi pendek. Hasil analisis kadar air pati sagu dan tapioka (sangrai/ tidak sangrai) menunjukkan bahwa proses penyangraian yang dilakukan selama 15 menit pada suhu 134oC dapat mengurangi kadar air pati sagu dan tapioka hingga mencapai nilai 0.36% dan 0.38% (b/b). Nilai aw

pati sagu sangrai dan tapioka sangrai lebih rendah dibandingkan nilai aw pati sagu dan tapioka yang

tidak disangrai. Proses penyangraian membantu menguapkan air yang terdapat dalam pati sehingga nilai aw dan kadar air yang terukur menjadi lebih rendah.

Pada tahap ini dilakukan pengamatan visual, analisis aktivitas air (aw) bakso dan sagu selama

penyimpanan, analisis pH bakso, kekerasan dan kekenyalan objektif bakso, dan analisis mikrobiologi bakso dan sagu. Pengamatan dilakukan terhadap 4 sampel bakso terpilih dari tahap sebelumnya, yaitu A2B1C1, A2B1C3, A2B2C1, A2B2C3 dan satu sampel kontrol. Dari pengamatan yang dilakukan pada tahap ini akan dipilih dua sampel terbaik yang selanjutnya digunakan pada analisis organoleptik. Bakso yang dilapis dan disimpan dalam pati sagu yang tidak disangrai dengan perbandingan 1:1 dan 2:1 (A2B2C1 dan A2B2C3) mengalami kerusakan pada hari kedua penyimpanan, sedangkan bakso yang dilapis dan disimpan pada sagu sangrai dengan perbandingan 2:1 (A2B1C3) mulai mengalami kerusakan pada hari ketiga. Sampel bakso yang dilapis dan disimpan pada pati sagu sangrai dengan perbandingan 1:2 (A2B1C1) mulai mengalami kerusakan pada hari kedua. Hal ini menunjukkan bahwa selain perlakuan sangrai, perbandingan pati sagu dan bakso juga memengaruhi masa simpan bakso.

Semakin hari, sampel bakso A2B1C1 dan A2B1C3 menjadi semakin kering sebab air pada bakso diserap oleh pati sagu dan bakso pun mengkerut. Seiring dengan itu, pati sagu yang berada disekitar bakso pun menjadi basah dan nilai aw dari masing-masing sampel pati meningkat seiring

(4)

sampel. Kondisi pati sangrai lebih kering dibandingkan pati sagu yang tidak disangrai sehingga pati ini dapat menyerap air lebih baik dibandingkan pati sagu yang tidak disangrai. Dari hasil pengukuran nilai pH, semua sampel bakso mengalami penurunan pH. Salah satu faktor yang memengaruhi pH adalah suhu. Pada penelitian ini, suhu penyimpanan yang digunakan adalah suhu ruang dengan kisaran suhu 25-30oC, sehingga mengakibatkan pH produk semakin rendah dengan semakin lamanya waktu penyimpanan.

Pelapisan dan penyimpanan bakso dalam pati sagu pada suhu ruang memengaruhi nilai kekerasan dan kekenyalan bakso. Kekenyalan dari semua sampel menurun seiring dengan lamanya penyimpanan. Bakso kontrol mengalami penurunan nilai kekerasan pada penyimpanan hari ke-2. Penurunan ini disebabkan pertumbuhan mikroba yang cepat dan mendekomposisi komponen organik dalam bakso sehingga mengakibatkan timbulnya bau busuk dan semakin melunaknya produk. Sampel A2B2C1 dan A2B2C3 juga mengalami penurunan nilai kekerasan pada hari penyimpanan ke-2. Hal ini berkaitan dengan nilai aw dari masing-masing sampel yang meningkat pada hari penyimpanan ke-2

sehingga menyebabkan produk semakin melunak. Nilai aw sampel A2B1C3 terus menurun hingga hari

penyimpanan ke-3. Nilai aw sampel A2B1C3 yang turun menyebabkan permukaan sampel bakso

cenderung lebih kering sehingga ketika diukur, nilai kekerasannya meningkat pada hari penyimpanan ke-1 dan ke-2 jika dibandingkan dengan sampel lainnya. Permukaan sampel bakso A2B1C3 yang kering menyebabkan mikroba sulit untuk tumbuh sehingga proses dekomposisi komponen organik bakso yang menyebabkan pelunakan tekstur sulit dilakukan.

Jumlah mikroba bakso kontrol pada hari ke-1 adalah 7.1x106 koloni/gram (6.85 log CFU/gram). Pada hari ke-1 telah terjadi pembentukan lendir dipermukaan bakso kontrol. Sampel A2B2C1 dan A2B2C3 masing-masing memiliki jumlah mikroba sebanyak 3.8x106 (6.58 CFU/gram) dan 8.6x106 (6.93 CFU/gram) pada hari ke-1. Jumlah koloni bakteri pada sampel A2B1C1 dan A2B1C3 pada hari ke-1 adalah 8.5x104 (4.93 CFU/gram) dan 4.6x104 (4.66 CFU/gram). Semakin lama penyimpanan maka jumlah mikroba semakin meningkat. Hasil analisis TPC bakso menunjukkan bahwa bakso dengan perlakuan sagu sangrai perbandingan 2:1 (A2B1C3) memiliki masa simpan yang lebih panjang dibandingkan bakso dengan perlakuan sagu sangrai perbandingan 1:1, sagu tidak sangrai (perbandingan 1:1 dan 2:1) dan bakso kontrol, yaitu 2 hari. Sampel A2B1C3 mengalami penurunan aw sampai hari penyimpanan ke-3 sehingga pertumbuhan mikroba terhambat. Tahap akhir

penelitian ini adalah analisis organoleptik. Secara organoleptik, sampel A2B1C3, yaitu bakso yang dilapis dan disimpan dalam pati sagu sangrai dengan perbandingan 2:1 pada suhu ruang selama 2 hari, masih dapat diterima oleh panelis.

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pelapisan bakso dengan sagu sangrai perbandingan 2:1 memengaruhi umur simpannya. Pelapisan dengan sagu sangrai mampu memperpanjang umur simpan bakso sapi menjadi 2 hari pada penyimpanan suhu ruang. Pemberian pelapisan ini dapat menurunkan aw bakso dan menghambat pertumbuhan mikroba pada bakso. Secara

(5)

MEMPERPANJANG UMUR SIMPAN BAKSO SAPI DENGAN

PELAPISAN TAPIOKA DAN PATI SAGU

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

TIUR FITRI HANDAYANI SITUMORANG

F24080007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Memperpanjang Umur Simpan Bakso Sapi dengan Pelapisan Tapioka dan Pati Sagu

Nama : Tiur Fitri Handayani Situmorang

NIM : F24080007

Menyetujui:

Dosen Pembimbing,

(Prof. Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc) NIP. 19650729.199002.1.002

Mengetahui: Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc)

NIP 19680526.199303.1.004

(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Memperpanjang Umur Simpan Bakso Sapi dengan Pelapisan Tapioka dan Pati Sagu adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2013 Yang membuat pernyataan,

(8)

© Hak cipta milik Tiur Fitri Handayani Situmorang, 2013 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor,

sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi,

(9)

BIODATA PENULIS

Tiur Fitri Handayani Situmorang, lahir di Palu, 26 April 1990 sebagai putri bungsu dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Aladin Situmorang (Alm) dan Ibu Dra. Magdalena Sinaga. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan di SD Katolik 1 Santo Fransiskus Xaverius Palu (2002), SMP Negeri 1 Palu (2005), dan SMA Negeri 1 Palu (2008). Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB pada tahun 2008 kemudian masuk pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian pada tahun 2009. Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis pernah terlibat dalam berbagai organisasi kemahasiswaan.

Penulis pernah tergabung dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) sebagai anggota dan juga pernah terlibat dalam Ksatria Peduli Pangan (Kapangan) yang masih berada di bawah HIMITEPA dan turut serta dalam kegiatan penyuluhan pangan ke beberapa Sekolah Dasar di Dramaga. Penulis aktif dalam pelayanan di Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) Institut Pertanian Bogor khususnya Komisi Kesenian (Komkes) dan dipercaya sebagai Wakil Koordinator Bidang Pembinaan Komisi Kesenian Periode 2010-2011. Penulis juga banyak terlibat dalam berbagai kepanitiaan antara lain sebagai anggota panitia Jurnalistik Fair (2009), anggota panitia LCTIP (Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan) XVII tahun 2009, panitia LCTIP XVIII (2010) sebagai Koordinator Fasilitas dan Properti (Faspro), panitia IPB Blogging Day (IBDay) (2010) sebagai Koordinator Divisi Konsumsi, dan panitia Masa Pengenalan Departemen (MPD) BAUR 2010 sebagai divisi Tata Tertib (TATIB) bagi mahasiswa ITP 46. Penulis juga telah mengikuti beberapa kegiatan seperti Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) pada tahun 2010-2011, beberapa seminar nasional diantaranya Seminar Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan (2011) dan Seminar Gizi Nasional (2012). Sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana Teknologi Pertanian, penulis

(10)

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat yang telah diberikan kepada penulis. Atas kehendak-Nya maka penelitian yang berjudul “Memperpanjang Umur Simpan Bakso Sapi dengan Pelapisan Tapioka dan Pati Sagu” dapat terselesaikan. Penelitian ini merupakan bagian dari tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini merupakan salah satu bagian terpenting dalam kehidupan penulis. Bagian terpenting ini dapat diselesaikan karena bimbingan, bantuan, dan sumbangan pikiran dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak (alm.) dan Mama terkasih yang selalu memberikan dukungan baik berupa kasih sayang, doa, didikan dan dorongan semangat yang tulus kepada penulis. Terima kasih untuk semua cinta kasih yang Bapak dan Mama berikan kepada penulis.

2. Kakak dan Abang tercinta yang sangat penulis banggakan. Abang Iring/Ka Lid, Abang Toni, Ka Nency, Abang Togap dan Bang Hutabarat/Ka Laura. Terima kasih atas doa dan dukungan yang tulus untuk penulis. Mission completed, Rangers!

3. Prof. Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberi bimbingan dan didikan hingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

4. Dr. Ir. Dede Robiatul Adawiyah, M.Si dan Antung Sima Firlieyanti, STP, M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan bimbingan berupa saran dan kritik kepada penulis demi penyempurnaan skripsi ini.

5. Uda dan Inanguda Pinem yang penulis kasihi. Terima kasih atas doa serta dorongan semangat yang selama ini diberikan kepada penulis. Tuhan berkati Uda sekeluarga.

6. Virza Maradhika, Sally Wiedjarnarko, Nurma Subangkit, Hafiz Fakhrurrozy, Fitrina A Simanjuntak, Sarinah Monica, Niche Evandani dan Yuliyanti. Terima ksih atas dorongan semangat serta saran yang sangat membantu penulis. Banyak hal yang penulis pelajari dari orang-orang hebat seperti kalian.

7. Ahmadun, Fathin dan Ka Dimas atas kebersamaan, bantuan, motivasi, kritik dan saran yang sangat membangun. Senang bisa bertukar pikiran dengan kalian.

8. Teman-teman ITP 45 yang luar biasa : Jesslyn, Fiqa, Ian, Rista, Buyung, Jo, Misran, Niken, Icem, Mike, Arin, Sendy, Bangun, Taufiq, Indra, Randy Oktan, Rara, Ardy, Andika BP, Yunita, Kamaliah, Rendy Maulana, Ratna, Sagita, Angel, Iqbal, Eka, Yufi, Yana, Rohanah, Mega, Kokom, Suba, Fya, Ical, Lathifah, Nurul, Nia, Desy, Dhini, Iin, Dio, Efrat, Rathih, Priska, Harum, Nisa’, Silvi, Hilda, Taufiq, Budyawan dan sahabat ITP lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih atas kebersamaan dan keceriaan selama menjalani masa perkuliahan. Penulis sangat senang bisa mengenal kalian dan menjadi bagian dari keluarga besar ITP 45.

9. Seluruh pegawai Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas bantuan yang telah diberikan, terutama Bu Novi, Bu Anie, Mba Mae dan Bu Darsih.

10. Seluruh analis dan teknisi laboratorium di SEAFAST Centre dan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas bimbingan dan bantuan yang diberikan kepada penulis.

(11)

vi 12. Keluarga besar Komisi Kesenian PMK IPB atas segala dukungan doa dan semangat serta kasih persaudaraan yang diberikan kepada penulis. Penulis belajar dan menerima banyak hal dari teman-teman di Komisi Kesenian. Kiranya kita masih dapat terus saling mendukung dalam suka maupun duka. Tuhan berkati, Komisi Kesenian.

13. Sahabat “Exact 7” Rabiatul Adawiyah, Yuliana Purwaningsih, Rizky Dwi, Rebecca Golda, Yuke Cipta, Sendhy Krisna, Iqbal, Fachry, Firman, Brigita MT, Putri Hutabarat, Wahda, Sulastri, Irwansyah , Kristi Fredzky, Putra, Nurtika A, Risma Mutia, Annisa DJ, Shinta Laksmita serta sahabat Exact 7 lainnya yang selalu dirindukan oleh penulis. Terima kasih atas kritik dan saran bagi penulis.

14. Para guru dan dosen yang telah memberikan ilmunya dari SD hingga universitas.

15. Seluruh pihak yang telah membantu kelancaran penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang pangan. Terima kasih.

(12)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2 TUJUAN ... 2

1.3 MANFAAT ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 BAKSO DAN PENGOLAHANNYA ... 3

2.2 KERUSAKAN DAN PENGAWETAN BAKSO ... 5

2.3 TAPIOKA ... 6

2.4 PATI SAGU ... 7

2.5 AKTIVITAS AIR (aw) ... 8

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 10

3.1 BAHAN DAN ALAT ... 10

3.1.1 Bahan ... 10

3.1.2 Alat ... 10

3.2 METODE PENELITIAN ... 10

3.2.1 Pembuatan Bakso Sapi ... 11

3.2.2 Analisis Proksimat ... 11

3.2.3 Aplikasi Pati terhadap Bakso ... 13

3.2.4 Seleksi Perlakuan Terpilih ... 15

3.2.5 Analisis Organoleptik Sampel Bakso Terpilih ... 18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

4.1 ANALISIS PROKSIMAT BAKSO SAPI ... 19

4.2 APLIKASI PATI TERHADAP BAKSO ... 19

4.2.1 Pengamatan Visual ... 19

4.2.2 Analisis Kadar Air dan aw Pati Sagu dan Tapioka Awal ... 20

4.3 SELEKSI PERLAKUAN TERPILIH ... 21

4.3.1 Pengamatan Visual ... 21

4.3.2 Analisis aw Bakso ... 21

4.3.3 Analisis pH Bakso ... 22

4.3.4 Analisis aw Sagu Sangrai dan Tidak Sangrai selama Penyimpanan ... 23

4.3.5 Kekerasan Bakso ... 23

4.3.6 Kekenyalan/Elastisitas Bakso ... 25

4.3.7 Analisis Mikrobiologi ... 26

4.4 ANALISIS ORGANOLEPTIK SAMPEL BAKSO TERPILIH ... 28

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 31

5.1 SIMPULAN ... 31

(13)
(14)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kriteria mutu sensori bakso ... 4

Tabel 2. Kandungan nutrisi tapioka ... 7

Tabel 3. Komposisi kimia dalam 100 gram pati sagu (dalam % basis kering) ... 8

Tabel 4. Setting alat texture analyzer ... 17

(15)

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Diagram alir tahapan penelitian... 10

Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan bakso ... 11

Gambar 3. Alat aw-meter Shibaura Electronics Co. Ltd WA-360 ... 14

Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan bakso ... 15

Gambar 5. (a) Alat pH-meter model 210A merk Orion; (b) Elektroda pH-meter ... 16

Gambar 6. (a) Alat texture analyzer TA-XT2 stable Micro System; (b) Probe silinder (P/75) ... 16

Gambar 7. Kurva analisis profil tekstur ... 17

Gambar 8. Labelled Affective Magnitude (LAM) Scale ... 18

Gambar 9. Kadar air sagu dan tapioka (sangrai dan tidak sangrai) ... 20

Gambar 10. Pengaruh penyangraian terhadap aw pati sagu dan tapioka ... 20

Gambar 11. Bakso yang disimpan dalam plastik HDPE yang berisi pati pelapis. ... 21

Gambar 12. Pengaruh penyimpanan bakso dalam pati sagu terhadap nilai aw bakso selama penyimpanan ... 22

Gambar 13. Sampel bakso A2B1C3 penyimpanan hari ke-4 ... 22

Gambar 14. Pengaruh penyimpanan bakso dalam pati sagu terhadap nilai pH selama penyimpanan ... 23

Gambar 15. Nilai aw pati sagu sangrai dan tidak sangrai selama penyimpanan ... 23

Gambar 16. Kekerasan bakso sebelum direbus ... 24

Gambar 17. Kekerasan bakso setelah direbus ... 25

Gambar 18. Kondisi sampel bakso A2B1C3 pada hari penyimpanan ke-3 setelah pati pelapis dicuci: (a) sebelum direbus; (b) setelah direbus. ... 25

Gambar 19. Kekenyalan bakso sebelum direbus ... 26

Gambar 20. Kekenyalan bakso setelah direbus ... 26

Gambar 21. Total mikroba bakso selama penyimpanan ... 27

Gambar 22. Total mikroba pati sagu ... 28

Gambar 23. Hasil uji organoleptik ... 29

Gambar 24. Tampilan sampel bakso A2B1C3 ketika dilapis pati sagu sangrai (a), setelah dicuci (b), dan setelah direbus (c). ... 29

(16)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Lembar skor uji rating hedonik bakso ... 37 Lampiran 2. Closed question sheet... 38 Lampiran 3. Rekapitulasi data hasil pengamatan fisik 13 sampel bakso selama

penyimpanan (pengamatan hari ke-1 dan ke-2) ... 39 Lampiran 4. Rekapitulasi data hasil pengamatan fisik 13 sampel bakso selama

penyimpanan (pengamatan hari ke-3 dan ke-4) ... 40 Lampiran 5. Rekapitulasi data hasil pengamatan fisik 5 sampel bakso selama penyimpanan ... 41 Lampiran 6. Rekapitulasi data hasil perhitungan total mikroba dengan perhitungan

Total Plate Count (TPC) 5 sampel bakso selama ... 42 Lampiran 7. Rekapitulasi data hasil perhitungan total mikroba sagu dengan perhitungan

Total Plate Count (TPC) ... 43 Lampiran 8. Rekapitulasi data uji rating hedonik atribut warna, aroma, rasa, tekstur dan overall

(17)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG

Daging merupakan salah satu bahan pangan hewani yang penting sebab memiliki kandungan gizi yang berkualitas tinggi yang dibutuhkan oleh manusia. Daging yang banyak dikonsumsi diperoleh dari hewan ternak seperti ayam, sapi, kambing dan domba. Daging dapat diolah dengan berbagai cara, salah satu produk olahan daging adalah bakso. Bakso merupakan produk olahan daging yang sangat dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Beberapa jenis bakso yang beredar dimasyarakat antara lain bakso sapi, bakso ikan, bakso ayam, bakso babi dan bakso kelinci. Dari beberapa jenis bakso tersebut, bakso sapi merupakan jenis yang paling populer.

Produsen bakso sering kali menggunakan bahan tambahan berbahaya seperti bahan pengawet, pemutih dan pengenyal dalam proses pembuatan demi memperoleh keuntungan besar. Bahan pangan berbahan dasar daging umumnya sangat mudah mengalami kerusakan, baik kerusakan yang disebabkan oleh mikroorganisme, fisik, kimia atau kombinasi diantaranya. Kerusakan ini menyebabkan pendeknya masa simpan bahan pangan tersebut. Pengawetan dengan cara atau bahan tertentu dilakukan untuk memperpanjang umur simpan bahan pangan. Proses pengawetan dapat dilakukan dengan cara menurunkan kadar air bahan pangan dengan cara pengeringan, modifikasi kemasan, fermentasi, atau pemberian bahan yang dapat membunuh mikroba pembusuk. Bahan pengawet yang digunakan belum tentu aman bagi kesehatan konsumen. Bahan pengawet merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang dalam penggunaannya sering terjadi pelanggaran, seperti penggunaan dosis pengawet yang tidak tepat atau penggunaan bahan lain yang bukan termasuk bahan tambahan pangan. Pengawet umumnya digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme pada produk pangan sehingga berada pada batas aman. Adanya mikroba pada bahan pangan dapat menyebabkan kebusukan dan keracunan. Selain itu, keberadaan mikroba ini juga menyebabkan umur simpan dari suatu produk pangan menjadi lebih pendek. Faktor tunggal paling penting yang mengatur pertumbuhan mikroba adalah temperatur (Lawrie 2003).

Umur simpan merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi sebelum produk pangan dipasarkan selain produk aman dikonsumsi oleh masyarakat (Herawati 2008). Faktor-faktor yang dapat menimbulkan kerusakan mutu perlu diperhatikan dalam proses pengolahan untuk memperpanjang umur simpan produk pangan. Salah satu faktor yang sangat memengaruhi penurunan mutu produk pangan adalah perubahan kadar air dalam produk. Aktivitas air (aw) erat kaitannya

dengan kadar air serta pertumbuhan bakteri. Pada umumnya, makin tinggi aw maka makin banyak

bakteri yang dapat tumbuh.

Bakso merupakan produk yang rentan terhadap penggunaan pengawet karena sifatnya yang cepat rusak (perishable). Pemasaran bakso di masyarakat umumnya berlangsung dengan kondisi penyimpanan kurang saniter pada suhu ruang. Bakso memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, pH mendekati netral, kadar air dan aw yang juga tinggi menyebabkan umur simpannya relatif singkat yaitu

sekitar 12 jam sampai 1 hari, sehingga banyak produsen atau pedagang bakso menggunakan pengawet untuk memperpanjang umur simpan bakso (Hadittama 2009). Jika dilihat dari nilai aw yang tinggi

(18)

2 simpan suatu bahan dengan beberapa cara, tergantung dari jenis bahan. Umumnya dilakukan pengeringan, baik dengan penjemuran atau dengan alat pengering buatan (Winarno 2008). Penelitian ini menggunakan pendekatan mekanisme penurunan nilai aw bakso untuk memperpanjang umur

simpannya dengan menggunakan pati sagu dan tapioka sebagai pelapis.

1.2

TUJUAN

Penelitian ini bertujuan memperpanjang umur simpan bakso pada suhu ruang dengan cara pelapisan tapioka dan pati sagu.

1.3

MANFAAT

(19)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

BAKSO DAN PENGOLAHANNYA

Bakso menurut SNI No. 01-3818-1995 adalah produk makanan yang berbentuk bulatan, yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa Bahan Tambahan Pangan yang diizinkan. Bakso adalah suatu produk daging yang dihaluskan, dicampur dengan pati, dibentuk bulatan, dan dimasak dengan air panas. Bakso yang beredar umumnya menggunakan daging sapi. Dalam pembuatan bakso, hampir semua bagian karkas sapi dapat digunakan. Bagian yang umum digunakan untuk membuat bakso sapi adalah bagian penutup (top side), pendasar gandik (silver side), lemurur (cube roll), paha depan (chuck) dan daging iga (rib meat) (Elviera 1988).

Bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatan bakso terdiri dari daging, bahan pengisi (pati tapioka), garam, es, STPP dan bumbu-bumbu (seperti bawang putih, MSG dan merica). Sunarlim (1992) menyatakan daging yang digunakan menentukan mutu dari bakso. Daging yang baik adalah daging fase pre rigor sebab water holding capacity masih tinggi (jumlah ATP masih banyak sehingga ikatan antar protein renggang) dan protein terekstrak lebih banyak dibandingkan pada fase berikutnya. Hal ini menyebabkan kemampuan emulsinya meningkat dan menghasilkan emulsi yang stabil. Saat direbus bakso yang dibuat dari daging fase pre rigor akan memiliki daya ikat air yang tinggi sehingga permukaan bakso yang dihasilkan akan kering tetapi tetap empuk.

Bahan pengisi yang umum digunakan adalah pati yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi sedangkan kandungan proteinnya rendah, tapioka misalnya. Semakin banyak bahan pengisi yang digunakan maka semakin murah harga bakso. Bahan pengisi penting karena kemampuannya yang tinggi dalam mengikat air, tetapi tidak mempunyai kemampuan dalam mengemulsikan lemak. Fungsi bahan pengisi adalah (1) memperbaiki sifat emulsi, (2) mereduksi penyusutan selama pemasakan, (3) memperbaiki sifat fisik dan cita rasa, dan (4) menurunkan biaya (Kramlich et al.1977). Semakin meningkat jumlah bahan pengisi yang digunakan menyebabkan meningkatnya kekerasan objektif bakso.

Garam berpengaruh nyata terhadap daya mengikat air adonan, susut masak, rendemen dan kadar abu serta berpengaruh nyata terhadap kadar protein bakso (Anshori 2002). Dalam penelitiannya, Anshori (2000) menyatakan bahwa semakin banyak garam yang ditambahkan pada adonan bakso maka semakin tinggi daya mengikat air adonan, rendemen serta kadar abu bakso yang dihasilkan tetapi susut masak dan kadar proteinnya semakin rendah. Garam berfungsi untuk mengekstrak protein miofibrial dari sel-sel otot selama perlakuan mekanis, dan berinteraksi dengan protein otot membentuk matriks yang kuat dan mampu menahan air bebas serta membentuk tekstur. Penambahan garam kurang dari 1.8 persen dapat menyebabkan rendahnya protein terlarut (Sunarlim 1992). Penambahan garam pada konsentrasi tinggi ke dalam larutan protein dapat menyebabkan molekul mengendap, yang biasa disebut salting out (Lehninger 1995). Fenomena salting out menyebabkan terjadinya denaturasi dan mengendapkan protein sarkoplasma sehingga daya ikat menurun (Yovita 2000).

(20)

4 emulsi, karena protein merupakan emulsifier alami, ada tiga protein yang berperan dalam pembentukan emulsi, yaitu (1) protein sarkoplasma yang larut air, (2) aktin myosin yang larut garam, dan (3) protein lain seperti mioglobin (larut air dan garam) (Wilson 1981).

Menurut Hadittama (2009), proses pembuatan bakso dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu penghancuran daging, pembuatan adonan, pencetakan, dan pemasakan. Tujuan dari penghancuran daging adalah untuk memecah serabut daging sehingga protein larut garam lebih mudah terekstrak. Penghancuran daging dapat dilakukan dengan cara menggiling, mencacah atau mencincang hingga lumat. Alat yang umumnya digunakan adalah pisau atau penggiling daging (meat grinder). Pembuatan adonan dilakukan dengan mencampurkan seluruh bagian bahan kemudian dihancurkan hingga membentuk adonan. Pencetakan bakso dilakukan dengan cara membentuk adonan menjadi bulatan-bulatan sebesar kelereng atau lebih dengan menggunakan tangan atau alat pencetak bakso. Pemasakan bakso dilakukan dalam dua tahap agar bakso yang dihasilkan tidak keriput dan tidak pecah. Tahap pertama, bakso dipanaskan dalam air hangat, suhu air sekitar 60-80oC, sampai bakso mengambang di permukaan air. Selanjutnya, bakso direbus sampai matang di dalam air mendidih sekitar 10 menit.

Penilaian mutu bakso dapat dilakukan dengan menilai mutu sensori atau mutu organoleptiknya. Parameter mutu sensori bakso dapat dilihat pada Tabel 1. Kadar Aw bakso 0.98 dan kadar airnya 80% sehingga rentan terhadap kerusakan oleh mikroorganisme (Syamadi 2002). Mikroorganisme penyebab kerusakan pada bahan pangan berkadar air tinggi dengan pH sekitar netral adalah golongan bakteri.

Tabel 1. Kriteria mutu sensori bakso

Parameter Ciri-ciri

Penampakan Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan cemerlang, tidak

kusam, sedikitpun tidak tampak berjamur, tidak berlendir.

Warna Coklat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau coklat muda

hingga coklat muda agak keputihan atau abu-abu. Warna tersebut

merata tanpa warna lain yang mengganggu (jamur).

Bau Bau khas daging segar rebus dominan, tanpa bau tengik, asam, basi,

atau busuk. Bau bumbu cukup tajam.

Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu cukup

menonjol tapi tidak berlebihan. Tidak terdapat rasa asing yang

mengganggu.

Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal, tetapi tidak liat atau membal, tidak

ada serat daging, tidak lembek, tidak basah berair, dan tidak rapuh.

(21)

5

2.2

KERUSAKAN DAN PENGAWETAN BAKSO

Komposisi gizi yang beragam daging membuat daging sebagai lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme pembusuk daging. Proses yang digunakan dalam pengawetan daging terutama berkaitan dengan penghambatan mikroba pembusuk. Sejumlah faktor yang saling memengaruhi umur simpan dan kualitas daging, khususnya pengendalian suhu, keberadaan O2, enzim endogen, kelembaban (pengeringan), cahaya dan yang paling penting,

mikroorganisme (Zhou et al. 2010).

Bakso merupakan produk olahan daging yang memiliki kandungan nutrisi, nilai pH, dan kadar air tinggi. Bahan pangan yang memiliki nutrisi, nilai pH, dan kadar air tinggi merupakan media pertumbuhan yang baik bagi mikroba sehingga bakso umumnya memiliki masa simpan yang singkat. Kerusakan bakso sapi terutama disebabkan oleh pertumbuhan mikroba karena kondisi penyimpanan yang tidak tepat. Kerusakan ini tidak selalu menyebabkan keracunan pangan. Jika yang tumbuh adalah mikroba pembusuk, maka akibat yang ditimbulkan adalah kerusakan produk yang membuat produk tidak layak lagi untuk dikonsumsi.

Menurut Husni (2002), bakso sebagai produk olahan merupakan media kultur pertumbuhan yang ideal bagi mikroorganisme karena tingginya kadar air, kaya akan nutrisi, serta memiliki pH yang mendekati netral. Hal ini menyebabkan kontaminasi yang berasal dari organisme pembusuk merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Selain itu, Syamadi (2002) juga menyatakan bahwa kandungan nutrient dan kadar air/aw (80% /0.98) yang tinggi menyebabkan produk bakso memiliki

masa simpan yang singkat yaitu hanya mampu bertahan 12 jam hingga maksimum 1 hari pada penyimpanan suhu kamar. Secara organoleptik, tanda-tanda yang dapat diamati untuk mengetahui telah terjadinya kerusakan bakso antara lain timbulnya bau masam hingga busuk, permukaan bakso berlendir dan ditumbuhi miselium kapang, warna dan penampakan menjadi tidak cerah (Sugiharti 2009).

Frazier (1958) menyatakan mikroorganisme penyebab kerusakan pada bahan pangan berkadar air tinggi dengan pH sekitar netral terutama adalah golongan bakteri. Beberapa golongan bakteri yang dapat tumbuh baik pada bahan pangan yang banyak mengandung protein, kadar air tinggi dengan pH netral antara lain golongan bakteri proteolitik, bakteri asam laktat, dan golongan termodurik seperti Micrococcus, Bacillus, dan Brevibacteria. Salah satu indikator kesusakan bakso adalah tumbuhnya miselium kapang dipermukaan bakso dan pertumbuhan khamir. Miselium kapang yang tumbuh bisa berupa spot berwarna putih dan hijau. Jenis kapang dan khamir yang biasa tumbuh pada olahan daging adalah Aspergillus, Penicillium, Rhizopus, Thamnidium, Debaryomyces, Torula, Torulopsis, Trichosporon, dan Candida (Frazier 1958).

Preservasi atau pengawetan pangan khususnya daging, bertujuan untuk mengamankan daging dan produk daging proses dari kerusakan atau pembusukan oleh mikroorganisme dan untuk memperpanjang umur simpannya (Soeparno 1994). Suatu produk dikatakan berada pada kisaran umur simpannya bila kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah 2001). Oleh karena itu pengukuran mutu atribut produk menjadi sangat penting. Penentuan umur simpan dapat secara sederhana dilakukan dengan cara mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima oleh konsumen. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi umur simpan adalah aktivitas air, pH, suhu penyimpanan, komposisi udara dalam kemasan dan penanganan oleh konsumen.

(22)

6 bahan pengawet. Penelitian yang bertujuan memperpanjang masa simpan bakso telah banyak dilakukan. Hasil penelitian Hadi (2008) menunjukkan bahwa aplikasi kitosan larutan 1% dan penambahan ekstrak bawang putih 2% pada adonan bakso mampu mempertahankan umur simpan selama 12 jam, sedangkan bakso dengan perlakuan edible coating mencapai umur 24 jam pada suhu ruang. Hadittama (2009) menyatakan metode pengawetan bakso yang efektif adalah metode perebusan dengan konsentrasi larutan pengawet (ekstrak bawang putih dan asam asetat) 10% selama 10 menit karena dapat mempertahankan keawetan bakso selama 4 hari pada suhu ruang. Sementara itu, Savitri (2009) melakukan penelitian untuk memperpanjang masa simpan bakso sapi dengan metode pengawetan menggunakan substrat antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 pada suhu ruang. Hasil penelitian menunjukkan aktivitas substrat antimikroba mampu menghambat E.coli dan S.aureus selama penyimpanan 9 jam pada suhu ruang. Kualitas mikrobiologi pada bakso sapi dengan penambahan substrat antimikroba lebih baik dibandingkan dengan tanpa substrat antimikroba yang disimpan selama 9 jam pada suhu ruang.

2.3

TAPIOKA

Tapioka merupakan hasil dari ekstraksi ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) yang mengalami pencucian sempurna dan dilanjutkan dengan pengeringan. Pati merupakan komponen utama dari tapioka dan merupakan senyawa yang tidak mempunyai rasa dan bau (Rusmono 1983). Proses ekstraksi ubi kayu terbilang mudah. Jika dilakukan dengan baik maka tapioka yang dihasilkan akan berwarna putih bersih. Semakin putih warna tepung tapioka mutunya akan semakin baik. Tapioka yang lebih putih biasanya lebih diharapkan sebagai bahan baku.

Berdasarkan kandungan HCN, ubi kayu dapat dibedakan menjadi ubi kayu manis/tidak pahit

dengan kandungan HCN < 40 mg/kg umbi segar, dan ubi kayu pahit dengan kadar HCN ≥ 50 mg/kg

umbi segar. Kandungan HCN yang tinggi dapat menyebabkan keracunan bagi manusia maupun hewan. Untuk keperluan industri pati tapioka, umbi dengan kadar HCN tinggi bukanlah masalah sebab HCN akan hilang selama proses pembuatan pati (Sundari 2010). Banyak industri, baik industri pangan maupun non-pangan, menggunakan tapioka sebagai bahan baku.

Tapioka mengandung 17% amilosa dan 83% amilopektin (Rickard et al. 1992). Granula tapioka berbentuk semi bulat dengan salah satu dari bagian ujungnya mengerucut dengan ukuran 5-35 µm. Suhu gelatinisasi dari pati tapioka berkisar antara 52-64oC, kristalinisasi 38%, kekuatan pembengkakan sebesar 42 µm dan kelarutan 31%. Kekuatan pembengkakan dan kelarutan tapioka lebih kecil dari pati kentang, tetapi lebih besar dari pati jagung. Suhu gelatinisasi adalah suhu dimana pati mengalami pengembangan dan akhirnya pecah.

(23)

7 Tabel 2. Kandungan nutrisi tapioka

Zat Nutrisi Jumlah

Bobot kering (%)

Energi metabolisme (kkal/kg)

Protein kering (%)

Lemak kasar (%)

Serat kasar (%)

Kalsium (%) Fosfor (%) Lisin (%) 87.9 3800 2.5 0.3 3.5 0.18 0.09 0.04

Sumber : Muller dkk(1975) dalam Setiowibowo (2002)

2.4

PATI SAGU

Sagu (Metroxylon sp.) adalah tanaman menahun yang dapat berkembang biak atau dikembangbiakan dengan anakan atau dengan biji. Sagu merupakan salah satu tanaman sumber karbohidrat. Sagu menjadi makanan pokok bagi masyarakat di Maluku dan Papua yang tinggal di daerah pesisir (Albert et al. 2008). Ciri-ciri pohon sagu siap panen pada umumnya dilihat perubahan yang terjadi pada daun, duri, pucuk dan batang. Batang sagu merupakan bagian terpenting dalam tanaman sagu. Batang sagu adalah tempat penyimpanan cadangan makanan berupa karbohidrat yang dapat menghasilkan pati sagu. Pati sagu diperoleh dari hasil ekstraksi inti batang sagu atau empulur sagu dengan bantuan air sebagai perantara. Sebelumnya empulur sagu dengan cara ditokok atau diparut. Tahapan proses pengolahan pati sagu secara tradisional pada prinsipnya meliputi penebangan pohon, pemotongan dan pembelahan, penokokkan atau pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan, dan pengemasan (Haryanto dan Pangloli 1992). Kualitas dari pati sagu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu bahan mentah, cara dan lamanya transportasi, persediaan dan kualitas dari air untuk ekstraksi serta metode dan efisiensi dari proses ekstraksi atau penyaringan (Karim et al. 2008). Tanaman sagu termasuk dalam divisi Spermatophytae, ordo Spadiciflorae, kelas Angiospermae, subkelas Monocotyledonae, famili Palmae, dan genus Metroxylon (Rauwerdink 1986).

Empulur batang sagu mengandung 20.2-29% pati, 50-66% air, dan 13.8-21.3% bahan lain atau ampas (Pratiwi 2008). Pratiwi (2008) juga menyatakan pati sagu memiliki bentuk oval dengan ukuran cukup besar, yaitu sekitar 20-60 mikron. Pati sagu memiliki suhu gelatinisasi yang tinggi, yaitu sekitar 69oC. Pati sagu mengandung 27% amilosa dan sekitar 73% amilopektin. Pati dapat terakumulasi dalam batang sagu sampai tahap berbunga dengan kadar pati maksimum terjadi tepat sebelum timbulnya bunga. Kandungan amilosa dari pati dari bagian bawah batang lebih tinggi daripada yang dari bagian atas batang, yang selanjutnya meningkat dengan pertumbuhan. Selain dimanfaatkan sebagai bahan makanan, pati sagu juga dapat dimanfaatkan untuk memproduksi perekat untuk kertas, tekstil dan polywood, sebagai stabilizer dalam obat-obatan, atau dikonversi ke jenis lain dari makanan (Singhal et al. 2008).

(24)

8 Tabel 3. Komposisi kimia dalam 100 gram pati sagu (dalam % basis kering)

Komponen Jumlah

Kalori (kkal)

Air (g)

Protein (g)

Karbohidrat (g)

Serat kasar (g)

Lemak (g) Abu Kalsium (mg) Besi (mg) 353.0 16.28 0.81 98.49 0.41 0.23 -- 0.01 0.017

Sumber : Haryanto dan Pangaloli (1992)

2.5

AKTIVITAS AIR (a

w

)

Air merupakan bahan penting dalam bahan pangan. Air merupakan komponen penting dalam kelangsungan proses biokimia organisme hidup. Semua bahan pangan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda. Kandungan air dalam bahan pangan memengaruhi kesegaran bahan, penerimaan konsumen akan bahan tersebut serta umur simpannya. Air dalam bahan pangan, selain berperan sebagai pelarut, juga berperan sebagai pereaksi.

Kandungan air dalam bahan pangan memengaruhi daya tahan bahan pangan terhadap serangan mikroba yang biasanya dinyatakan dengan aktivitas air (aw), yaitu jumlah air bebas yang

dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Aktivitas air (aw) merupakan sebuah

ukuran dari jumlah air bebas yang terdapat dalam produk pangan. Aktivitas air adalah perbandingan antara tekanan uap air dari larutan (P) dengan tekanan uap air murni pada suhu yang sama (P0)

(Muchtadi 2008). Dalam industri pangan, pengukuran aktivitas air merupakan hal yang penting. Nilai aw suatu bahan pangan dinyatakan dalam skala 0 sampai 1. Nilai 0 menunjukkan bahwa bahan pangan

tersebut tidak terdapat air bebas, sedangkan nilai 1 menunjukkan bahwa bahan pangan tersebut terdiri dari air murni. Winarno (2008) menyatakan berbagai mikroorganisme mempunyai aw minimum agar

dapat tumbuh dengan baik, misalnya bakteri memerlukan aw 0.90 untuk tumbuh, sedangkan khamir

dan kapang memerlukan aw 0.80-0.90 dan 0.60-0.70 untuk dapat tumbuh.

Kerentanan pangan untuk pertumbuhan mikroorganisme tergantung pada beberapa faktor, di antaranya aktivitas air dan lama penyimpanan (Abdullah et al. 2000). Aktivitas air merupakan salah satu faktor kritis untuk menentukan kualitas dan keamanan produk pangan. Aktivitas air memengaruhi umur simpan, keamanan, flavor, dan aroma dari produk pangan (Jarret 2004). Aktivitas air terbukti merupakan sebuah indikator dari sebuah reaksi penurunan yang mungkin terjadi selama penyimpanan produk pangan. Nilai aw diperlukan untuk mengetahui produk telah mencapai zona kritis dimana

reaksi kerusakan dapat terjadi atau tidak (Mathlouthi 2001). Pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan erat kaitannya dengan jumlah air yang tersedia untuk pertumbuhan mikroba didalamnya. Aktivitas air (aw) memengaruhi pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim. Abbas et al. (2009)

(25)

9 mikroorganisme pembusuknya tergantung dari nilai aw-nya. Pada produk pangan tertentu supaya lebih

awet biasanya dilakukan penurunan nilai aw.

Aw yang menentukan pertumbuhan mikroorganisme (Purnomo 1995). Pengurangan air atau

perubahan fase air dalam bahan pangan oleh penambahan bahan yang larut dalam air atau pembekuan, dapat mengakibatkan terjadinya penyesuaian terhadap nilai aw. Purnomo (1995) lebih lanjut

menjelaskan bahwa penurunan nilai aw oleh penambahan humektan menunjukkan bahwa zat yang

ditambahkan mempunyai pengaruh yang cukup kompleks terhadap pengaruh aw itu sendiri. Misalnya

(26)

10

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1

BAHAN DAN ALAT

3.1.1

Bahan

Bahan yang digunakan untuk pembuatan bakso adalah daging sapi segar, pati sagu, pati tapioka, STPP, garam, lada, es dan bawang putih. Daging sapi yang digunakan merupakan daging sapi segar yang diperoleh dari Pasar Bogor. Pati sagu yang digunakan adalah pati sagu yang diperoleh langsung dari produsennya yang berada di daerah Kedung Halang, Bogor. Tapioka yang digunakan diperoleh dari Pasar Bogor. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis adalah larutan H2SO4, HCl,

H3BO3,HgO, K2SO4, air destilata, larutan NaOH-Na2S2O3, larutan NaOH, larutan K2SO4 10%, media

PCA dan alkohol 70%.

3.1.2

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas alat untuk pembuatan bakso sapi dan analisis. Alat yang digunakan untuk pembuatan bakso sapi adalah meat grinder Rheninghaus Model Eve/All-12, meat cutter merk Panasonic MK-5087M, baskom, pisau dan penggorengan. Alat yang digunakan untuk analisis adalah pH-meter model 210A merk Orion, texture analyzer TA-XT2 stable

Micro System, aw meter Shibaura Electronics Co. Ltd Wa-360, oven Thelco Model 15, neraca analitik

model XT220A merk Precisa Swissmade, inkubator suhu 37oC, tabung reaksi bertutup, pipet volumetrik 1 ml, pipet volumetrik 10 ml, vortex, erlenmeyer, dan cawan petri.

3.2

METODE PENELITIAN

Penelitian ini terdiri atas (1) pembuatan bakso sapi, (2) analisis proksimat bakso sapi, (3) aplikasi pati terhadap bakso, (4) seleksi perlakuan terpilih, dan (5) analisis organoleptik. Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram alir tahapan penelitian Pembuatan bakso sapi

Aplikasi pati terhadap bakso

Seleksi perlakuan terpilih

Analisis organoleptik

Pengamatan visual, analisis aw dan

kadar air pati sagu dan tapioka awal

Pengamatan visual, analisis aw bakso dan

sagu selama penyimpanan, pH bakso, kekerasan dan kekenyalan bakso, analisis mikrobiologi bakso dan sagu

(27)

11

3.2.1

Pembuatan Bakso Sapi

Bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatan bakso sapi terdiri dari daging sapi segar, bahan pengisi (pati tapioka), garam, STPP, es, bawang putih, dan lada. Diagram pembuatan bakso menurut Nurhayati (2009) dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan bakso

3.2.2

Analisis Proksimat

3.2.2.1 Analisis Kadar Air Metode Oven (SNI 01-2891-1992)

Analisis kadar air dilakukan terhadap sampel bakso sapi. Penetapan kadar air dengan metode oven diawali dengan pengeringan cawan alumunium pada suhu 105oC selama 15 menit, kemudian cawan tersebut didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W2). Sampel ditimbang sekitar 2-5 gram (W) kemudian dimasukkan ke dalam cawan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama kurang lebih tiga jam. Setelah tiga jam, cawan yang berisi sampel tersebut dikeluarkan dari oven dan dimasukan kedalam desikator lalu ditimbang (W1). Penimbangan dilakukan hingga diperoleh bobot yang tetap. Analisis kadar air digunakan kembali ditahap selanjutnya untuk mengukur kadar air pati sagu dan tapioka. Kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Digiling halus selama 1 menit

0.5% lada, 30% tapioka dan 0.9% bawang putih

Digiling kembali selama 1 menit

Didiamkan selama 10 menit

Dicetak berbentuk bulat-bulatan bakso 100 gram daging

30% es, 5% NaCl

Dimasak dalam air mendidih (100oC) selama 10 menit

Bakso diangkat dan ditiriskan selama 15 menit

Analisis Proksimat

(28)

12

adar air bb x 00

adar air bk x 00

3.2.2.2 Analisis Kadar Abu (SNI 01-2891-1992)

Analisis kadar abu dilakukan dengan metode pengabuan kering. Cawan porselen yang akan digunakan dikeringkan terlebih dahulu di dalam oven bersuhu 105oC selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W2). Sampel ditimbang sebanyak 2-5 gram (W) didalam cawan porselen tersebut lalu cawan porselen berisi sampel tersebut dibakar sampai tidak berasap dan diabukan dalam tanur listrik pada suhu maksimum 550oC sampai pengabuan sempurna (bobot konstan). Setelah proses pengabuan selesai, cawan berisi sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga bobot tetap (W1). Kadar abu dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

adar abu x 00

3.2.2.3 Analisis Kadar Protein (SNI 01-2891-1992)

Penetapan kadar protein kasar dengan metode Kjeldahl dibagi menjadi 3 tahap, yaitu penghancuran, destilasi, dan titrasi. Sebanyak 0,1-0.25 gram contoh ditimbang di dalam labu Kjeldahl, lalu ditambahkan 1.0 + 0.1 gram K2SO4, 40 + 10 ml HgO, dan 2.0 + 0.1 ml H2SO4, selanjutnya contoh

didihkan sampai cairan jernih kemudian didinginkan. Larutan jernih ini dipindahkan ke dalam alat destilasi secara kuantitatif. Labu Kjeldahl dibilas dengan 1-2 ml air destilata, kemudian air cuciannya dimasukan ke dalam alat destilasi, pembilasan dilakukan sebanyak 5-6 kali. Tambahkan 8-10 ml larutan 60% NaOH – 5% Na2S2O3.5H2O ke dalam alat destilasi.

Di bawah kondensor diletakkan erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 jenuh dan 2-4

tetes indikator (campuran 2 bagian 0.2% metilen red dan 1 bagian 0.2% metilen blue dalam etanol 95%). Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3, kemudian dilakukan destilasi

sehingga diperoleh sekitar 15 ml destilat. Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna dari hijau menjadi abu-abu. Kadar protein kasar dapat dihitung dengan persamaan :

N ml HCl sampel ml HCl blank x N HCl x 4.007mg sampel x 00

adar pr tein bb N x akt r n ersi

3.2.2.4 Analisis Kadar Lemak Metode Soxhlet (SNI 01-2891-1992)

(29)

13 menggunakan kertas saring dan dikeringkan dalam oven 1050C selam 3 jam. Selongsong kertas saring yang telah berisi sampel kemudian dimasukan ke dalam alat ekstraksi soxhlet dan dihubungkan dengan kondensor dan labu lemak. Sampel diekstrak dengan larutan keksana selama kurang lebih 6 jam. Selanjutnya, heksana disuling sehingga hanya tersisa lemak dalam labu. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W1). Pengeringan diulangi hingga mencapai bobot tetap. Kadar lemak dapat diperoleh dengan persamaan berikut:

adar lemak x 00

3.2.2.5 Analisis Kadar Karbohidrat (by difference)

Nilai kadar karbohidrat dapat dilakukan dengan cara by difference. Kadar karbohidrat dihitung berdasarkan pengurangan total 100% terhadap kadar protein, kadar air, kadar abu, dan kadar lemak. Metode ini dapat dihitung melalui persamaan :

Kadar karbohidrat = 100% - (% air + % abu + % protein + % lemak)

3.2.3

Aplikasi Pati terhadap Bakso

Proses pelapisan bakso dengan pati dilakukan setelah bakso tiris (10-15 menit setelah perebusan). Jenis pati yang digunakan adalah tapioka dan pati sagu. Setelah pelapisan dilakukan, bakso dibiarkan berada di dalam pati dan kemudian disimpan pada suhu ruang. Pengamatan yang dilakukan pada tahap ini adalah pengamatan visual, analisis aw dan kadar air pati sagu dan tapioka

awal (analisis kadar air dilakukan seperti pada tahap sebelumnya). Dari tahap ini, 4 sampel bakso terbaik akan dipilih. Perlakuan yang diberikan pada bakso adalah sebagai berikut:

Perlakuan:

K : Kontrol, tanpa perlakuan dengan pelapisan pati, simpan suhu ruang. A : Jenis pati yang digunakan

A1 : Tapioka A2 : Sagu

B : Perlakuan terhadap pati

B1 : Sangrai (15 menit, suhu pati 134oC ) B2 : Tidak disangrai

C : Rasio pati : bakso C1 : 1:1

C2 : 1:2 C3 : 2:1

Kombinasi Sampel

K : Kontrol, tanpa perlakuan pelapisan pati, simpan suhu ruang A1B1C1 : Pelapisan dan penyimpanan dalam tapioka sangrai, rasio pati dan

bakso 1:1, simpan suhu ruang.

(30)

14 A1B1C3 : Pelapisan dan penyimpanan dalam tapioka sangrai, rasio pati dan

bakso 2:1, simpan suhu ruang.

A1B2C1 : Pelapisan dan penyimpanan dalam tapioka tidak sangrai, rasio pati dan bakso 1:1, simpan suhu ruang.

A1B2C2 : Pelapisan dan penyimpanan dalam tapioka tidak sangrai, rasio pati dan bakso 1:2, simpan suhu ruang.

A1B2C3 : Pelapisan dan penyimpanan dalam tapioka tidak sangrai, rasio pati dan bakso 2:1, simpan suhu ruang.

A2B1C1 : Pelapisan dan penyimpanan dalam pati sagu sangrai, rasio pati dan bakso 1:1, simpan suhu ruang.

A2B1C2 : Pelapisan dan penyimpanan dalam pati sagu sangrai, rasio pati dan bakso 1:2, simpan suhu ruang.

A2B1C3 : Pelapisan dan penyimpanan dalam pati sagu sangrai, rasio pati dan bakso 2:1, simpan suhu ruang.

A2B2C1 : Pelapisan dan penyimpanan dalam pati sagu tidak disangrai, rasio pati dan bakso 1:1, simpan suhu ruang.

A2B2C2 : Pelapisan dan penyimpanan dalam pati sagu tidak disangrai, rasio pati dan bakso 1:2, simpan suhu ruang.

A2B2C3 : Pelapisan dan penyimpanan dalam pati sagu tidak disangrai, rasio pati dan bakso 2:1, simpan suhu ruang.

3.2.3.1 Pengamatan Visual

Pengamatan visual dilakukan selama 4 hari terhadap 12 sampel bakso yang dilapis dan satu sampel bakso kontrol. Pengamatan ini meliputi warna, keberadaan kapang dan lendir, bau, kondisi pati pelapis, dan kondisi sampel secara keseluruhan. Pengamatan visual juga dilakukan terhadap 4 sampel bakso terpilih dan satu sampel bakso kontrol (pada tahap selanjutnya).

3.2.3.2 Analisis Aktivitas Air (aw) dengan aw-meter

Pengukuran aktivitas air (aw) bertujuan untuk mengetahui jumlah air bebas dalam produk

yang dapat digunakan oleh mikroba. Alat yang digunakan untuk mengukur aw adalah aw-meter

Shibaura Electronics Co. Ltd WA-360 (Gambar 3). Pengukuran nilai aw pada sampel bakso dilakukan

dengan cara memasukkan pati sagu (sangrai/ tidak sangrai) sebanyak 3-5 gram ke dalam cawan sensor pada aw-meter dan ditutup rapat. Pembacaan nilai aw dilakukan pada saat display alat menunjukkan

angka yang tetap atau ditandai dengan munculnya indikator completed test. Hal yang sama juga dilakukan pada pati tapioka (sangrai/ tidak sangrai) dan bakso.

(31)

15

3.2.4

Seleksi Perlakuan Terpilih

Pengamatan dilakukan terhadap 4 sampel bakso terpilih dari tahap sebelumnya, yaitu A2B1C1, A2B1C3, A2B2C1, A2B2C3 dan satu sampel kontrol. Pengamatan yang dilakukan meliputi pengamatan visual, analisis aktivitas air (aw) bakso dan sagu selama penyimpanan, analisis pH bakso,

[image:31.595.99.564.227.772.2]

kekerasan dan kekenyalan objektif bakso, dan analisis mikrobiologi bakso dan sagu. Proses pembuatan bakso dapat dilihat pada Gambar 4. Secara umum proses ini sama dengan proses pembuatan pada tahap sebelumnya, namun lama perebusan menjadi 15 menit.

Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan bakso

3.2.4.1 Analisis pH Bakso dengan pH-meter

Nilai pH bakso diukur dengan menggunakan pH-meter. Sebelum pengukuran, pH-meter (Gambar 5a) dikalibrasi dengan buffer pH 4 dan 7. Bakso yang akan dianalisis, ditimbang sebanyak 1 gram dan dicampur dengan akuades sebanyak 10 ml, dihancurkan dengan pangan selama 1 menit dengan memasukkan bakso dan akuades ke dalam plastik HDPE. Setelah campuran homogen baru dilakukan pengukuran pH. Pengukuran pH dilakukan dengan merendam elektroda pH-meter (Gambar 5b) ke dalam larutan sampai alat menunjukkan nilai pH terukur, elektroda kemudian dibilas dengan akuades, dikeringkan dan digunakan untuk pengukuran pH selanjutnya. Analisis pH juga dilakukan pada pati yang digunakan sebagai pelapis bakso. Sampel pati ditimbang sebanyak 1 gram kemudian

Digiling halus selama 1 menit

0.5% lada, 30% tapioka dan 0.9% bawang putih

Digiling kembali selama 1 menit

Didiamkan selama 10 menit

Dicetak berbentuk bulat-bulatan bakso 100 gram daging

30% es, 5% NaCl

Dimasak dalam air mendidih (100oC) selama 15 menit

Bakso diangkat dan ditiriskan selama 15 menit

Pengamatan visual, analisis aktivitas air (aw), analisis pH bakso,

(32)

16 dilarutkan dalam akuades sebanyak 10 ml. Setelah homogen baru dilakukan pengukuran pH dengan cara merendam elektroda pH-meter ke dalam larutan sampai alat menunjukkan nilai pH terukur. Setelah itu elektroda dibilas dengan akuades, dikeringkan dan digunakan untuk pengukuran pH selanjutnya.

(a) (b)

Gambar 5. (a) Alat pH-meter model 210A merk Orion; (b) Elektroda pH-meter

3.2.4.2 Kekerasan dan Kekenyalan/Elastisitas Objektif (Texture Profile Analysis)

Prinsip dari analisis profil tekstur (Texture Profile Analysis atau TPA) adalah memberikan gaya tekan terhadap produk sebanyak dua kali sehingga dapat mendefinisikan parameter tekstur menjadi satu nilai, misalnya nilai kekerasan atau kekenyalan suatu produk. Karena gaya yang diberikan terhadap sampel adalah dua gaya tekanan, maka profil Texture Profile Analysis (TPA) akan memberikan dua puncak. Pengukuran yang dilakukan mencakup kekerasan dan kekenyalan bakso dengan menggunakan texture analyzer TA-XT 2i (Gambar 6a) dengan probe silinder (Gambar 6b).

Pilih dan pasang probe silinder (P/75) kemudian setting kondisi pengukuran (settingan alat dapat dilihat pada Tabel 4). Setelah itu lakukan kalibrasi ketinggian probe kemudian letakkan sampel bakso dibawah probe silinder dan lakukan pengukuran terhadap tekstur bakso. Hasil pengukuran dengan menggunakan alat ini akan menghasilkan kurva profil analisis dengan dua puncak yang kemudian dapat diolah lebih lanjut dengan menggunakan software yang terintegrasi dengan alat texture analyzer TA-XT 2i. Kekerasan bakso ditentukan dari maksimum gaya (nilai puncak) pada tekanan/ kompresi pertama, sedangkan kekenyalan ditentukan dari jarak yang ditempuh oleh bakso pada tekanan kedua sehingga tercapai nilai gaya maksimumnya (L2) dibandingkan dengan jarak yang ditempuh oleh bakso pada tekanan pertama sehingga tercapai nilai maksimumnya (L1), atau L2/L1. Contoh kurva profil analisis dapat dilihat pada Gambar 7.

(a) (b)

(33)
[image:33.595.212.428.98.375.2]

17 Tabel 4. Setting alat texture analyzer

No. Parameter Ukuran

1. Pre Test Speed 1.0 mm/s

2. Test Speed 1.0 mm/s

3. Post Test Speed 1.0 mm/s 4. Rupture Test Dist 1.0%

5. Distance 50%

6. Force 0.98 N

7. Time 5.00 sec

8. 9.

10.

11.

Count Trigger

Type Force Stop plot at

Break Detect Sensitivity

Units Force Distance

5

Auto 0.10 N

Final

Off 0.98 N

Newtons % strain

Gambar 7. Kurva analisis profil tekstur

3.2.4.3 Uji Total Mikroba (Fardiaz 1989)

Sebanyak 10 gram sampel dimasukkan ke dalam plastik tahan panas steril yang berisi 90 ml larutan pengencer steril. Sampel tersebut kemudian dihancurkan dengan menggunakan alat stomacher selama 60 detik sehingga dihasilkan sampel bakso dengan pengenceran 1:10. Campuran dikocok, diambil 1 ml kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi 9 ml/ larutan pengencer steril (10-2). Dengan cara yang sama diperoleh pengenceran 10-3, 10-4, dan seterusnya. Dari tiap-tiap pengenceran, dipipet secara aseptis 1 ml suspensi sampel dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Selanjutnya ditambahkan 15-20 ml medium PCA (Plate Count Agar) steril bersuhu 47-50oC (duplo). Setelah

L1

L2 Maksimum

(34)

18 medium membeku, cawan petri diinkubasikan dengan posisi terbalik pada inkubator suhu 37oC selama 2-3 hari. Total mikroba dihitung dengan rumus:

ALT atau TPC ∑C / [ xn1 ) + (0.1xn2)]x(d)

Keterangan:

ALT atau TPC = angka lempeng total atau total plate count

∑C = jumlah koloni

n1 = jumlah cawan pengenceran pertama

n2 = jumlah cawan pengenceran kedua

d = pengenceran pertama

3.2.5

Analisis Organoleptik Sampel Bakso Terpilih

[image:34.595.133.386.507.725.2]

Analisis organoleptik dilakukan terhadap sampel bakso terpilih, yaitu sampel bakso yang telah dilapis pati dan disimpan pada suhu ruang serta memiliki jumlah mikroba yang masih memenuhi batas cemaran mikroba yang ditetapkan SNI. Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji rating hedonik dengan 30 panelis tidak terlatih. Panelis diminta untuk menilai atribut sensori produk bakso berupa warna, aroma, rasa, tekstur dan overall. Skala yang digunakan ialah skala garis dengan panjang maksimum 10 cm. Masing-masing tanda batas diberi label dengan deskripsi intensitas yang berbeda. Lembar skor dari uji rating hedonik ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Selain lembar skor berisi skala garis penilaian sampel, panelis juga diberikan selembar kuisioner berisi pertanyaan tertutup (closed question) mengenai atribut terpenting bakso menurut pendapat panelis. Kuisioner tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Skor rataan penerimaan panelis kemudian dideskripsikan menggunakan acuan Labelled Affective Magnitude (LAM) scale (Kemp et al. 2009). Skor rataan penerimaan panelis dikalikan dengan 10 untuk mendapatkan kisaran nilai yang sama dengan kisaran nilai Labelled Affective Magnitude (LAM) scale, yaitu 0-100. Deskripsi kesukaan disesuaikan dengan deskripsi yang ada pada skala tersebut. Skala tersebut ditunjukkan pada Gambar 8.

(35)

19

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

ANALISIS PROKSIMAT BAKSO SAPI

Analisis proksimat dilakukan terhadap sampel bakso sapi untuk mengetahui kadar air, kadar abu, protein, lemak serta kadar karbohidrat dari sampel. Hasil analisis proksimat bakso dapat dilihat pada Tabel 5. Menurut SNI No. 01-3818-1995, kadar air bakso daging adalah maksimal 70% (b/b), kadar abu maksimal 3.0% (b/b), protein minimal 9.0% (b/b), dan lemak maksimal 2.0% (b/b). Jika dibandingkan dengan SNI, maka bakso yang dibuat pada penelitian ini masih masuk dalam standar yang dinyatakan oleh SNI.

Tabel 5. Hasil analisis proksimat bakso Komponen Jumlah Kadar Air (% b/b) 63.49 Kadar Abu (% b/b) 2.71 Protein (% b/b) 11.59

Lemak (% b/b) 0.54

Karbohidrat (% b/b) 21.68

4.2

APLIKASI PATI TERHADAP BAKSO

4.2.1

Pengamatan Visual

(36)

20

4.2.2

Analisis Kadar Air dan a

w

Pati Sagu dan Tapioka Awal

[image:36.595.134.453.218.345.2]

Menurut SNI 3729:2008, pati sagu memiliki kadar air sebesar maksimal 13% (b/b). Gambar 9 menyatakan pati sagu (tidak sangrai) memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan standar SNI, yaitu 13.56% (b/b). SNI 3451:2011 menyatakan bahwa kadar air pati tapioka adalah maksimum sebesar 14% (b/b). Gambar 9 menunjukkan bahwa pati tapioka (tidak sangrai) memiliki kadar air sebesar 13.34% (b/b). Nilai ini lebih rendah dari persyaratan yang ditentukan oleh SNI untuk pati tapioka. Nilai ini juga ternyata lebih rendah dibandingkan nilai kadar air dari pati sagu tidak sangrai.

Gambar 9. Kadar air sagu dan tapioka (sangrai dan tidak sangrai)

Pati tapioka sangrai memiliki kadar air sebesar 0.38% (b/b). Nilai ini tidak jauh berbeda dengan nilai kadar air pati sagu sangrai, yaitu 0.36% (b/b). Nilai kadar air yang rendah ini, baik pada pati sagu maupun pati tapioka, menunjukkan bahwa proses penyangraian yang dilakukan selama 15 menit pada suhu 134oC dapat mengurangi kadar air pati sagu dan tapioka hingga mencapai nilai 0.36% dan 0.38% (b/b). Penurunan nilai aw suatu bahan pangan dapat dilakukan dengan cara

pengeringan. Pengeringan dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya pengeringan dengan menggunakan oven atau pun dengan menyangrai. Pada penelitian ini digunakan proses penyangraian untuk menurunkan aw pati sagu. Gambar 10 menunjukkan hasil pengukuran aw pati sagu dan tapioka,

baik yang disangrai maupun yang tidak disangrai. Pada Gambar 10 terlihat nilai aw pati sagu sangrai

dan tapioka sangrai lebih rendah dibandingkan nilai aw pati sagu dan tapioka yang tidak disangrai.

Proses penyangraian membantu menguapkan air yang terdapat dalam pati sehingga nilai aw dan kadar

air yang terukur menjadi lebih rendah.

Gambar 10. Pengaruh penyangraian terhadap aw pati sagu dan tapioka

0.36 13.56 0.38 13.34 0 2 4 6 8 10 12 14

[image:36.595.185.447.581.711.2]
(37)

21

4.3

SELEKSI PERLAKUAN TERPILIH

4.3.1

Pengamatan Visual

Berdasarkan hasil pengamatan pada tahap sebelumnya, diperoleh 4 sampel yang memungkinkan untuk diteliti lebih lanjut pada penelitian selanjutnya. Sampel-sampel tersebut adalah sampel A2B1C1, A2B1C3, A2B2C1, A2B2C3 dan satu sampel kontrol. Pati yang digunakan adalah pati sagu sebab ketika dilakukan penyimpanan selama empat hari, tapioka lebih basah dibandingkan pati sagu sehingga sampel menjadi lebih cepat rusak. Rasio pati dan bakso yang digunakan adalah 1:1 dan 2:1. Bakso yang dilapis dan disimpan dalam pati sagu yang tidak disangrai dengan perbandingan 1:1 dan 2:1 (A2B2C1 dan A2B2C3) mengalami kerusakan pada hari kedua penyimpanan, sedangkan bakso yang dilapis dan disimpan pada sagu sangrai dengan perbandingan 2:1 (A2B1C3) mulai mengalami kerusakan pada hari ketiga. Sampel bakso yang dilapis dan disimpan pada pati sagu sangrai dengan perbandingan 1:2 (A2B1C1) mulai mengalami kerusakan pada hari kedua. Hal ini menunjukkan bahwa selain perlakuan sangrai, perbandingan pati sagu dan bakso juga memengaruhi masa simpan bakso. Hasil pengamatan fisik selama penyimpanan 5 sampel ini dapat dilihat pada Lampiran 5. Gambar 11 menunjukkan kondisi penyimpanan bakso dalam plastik HDPE yang berisi pati pelapis.

Gambar 11. Bakso yang disimpan dalam plastik HDPE yang berisi pati pelapis.

4.3.2

Analisis a

w

Bakso

Kandungan air dalam bahan makanan memengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan aw, yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh

mikroorganisme untuk pertumbuhan (Winarno 2008). Mikroorganisme penyebab kerusakan pada bahan pangan berkadar air tinggi dengan pH sekitar netral seperti bakso adalah golongan bakteri. Salah satu cara untuk menurunkan nilai aw adalah dengan menambahkan ingredien pangan yang

bersifat higroskopis. Pada penelitian ini, pati sagu diharapkan dapat bersifat higroskopis sehingga dapat menyerap air pada bakso. Hipotesisnya adalah pati sagu menyerap air bakso sehingga aw bakso

akan menurun mengakibatkan pertumbuhan mikroba penyebab kerusakan menjadi lebih lambat sehingga diharapkan umur simpan bakso menjadi lebih panjang. Mikroorganisme membutuhkan lingkungan dengan air yang cukup untuk melakukan pertumbuhan dan reproduksi (Matz 1965). Pengaruh penyimpanan bakso dalam pati sagu terhadap nilai aw bakso selama penyimpanan dapat

dilihat pada Gambar 12.

Pati sagu yang melapisi permukaan sampel A2B1C1 dan A2B1C3 adalah pati sagu yang mengalami proses penyangraian selama 10 menit sedangkan sampel A2B2C1 dan A2B2C3 dilapisi dengan pati sagu yang tidak disangrai. Semakin hari, sampel bakso A2B1C1 dan A2B1C3 menjadi

Bakso

(38)

22 semakin kering sebab air pada bakso diserap oleh pati sagu dan bakso pun mengkerut. Seiring dengan itu, pati sagu yang berada disekitar bakso pun menjadi basah. Penurunan nilai aw sampel ditandai

[image:38.595.139.504.192.335.2]

dengan mengkerutnya sampel. Kondisi pati sangrai lebih kering dibandingkan pati sagu yang tidak disangrai sehingga pati ini dapat menyerap air lebih baik dibandingkan pati sagu yang tidak disangrai. Sampel A2B1C3 mengkerut dan sangat keras ketika dibelah atau dipotong, berbeda dengan sampel lainnya. Gambar 13 menunjukkan penampakan sampel A2B1C3 pada hari penyimpanan ke-4.

Gambar 12. Pengaruh penyimpanan bakso dalam pati sagu terhadap nilai aw bakso selama

penyimpanan

Gambar 13.Sampel bakso A2B1C3 penyimpanan hari ke-4

4.3.3

Analisis pH Bakso

Nilai pH daging sangat berpengaruh terhadap sifat fisik daging, yaitu warna, daya mengikat air dan kekenyalan. Nilai pH bakso berkaitan dengan protein yang terlarut serta dapat memengaruhi daya mengikat air suatu produk emulsi. Semakin tinggi nilai pH maka akan semakin tinggi pula daya mengikat air (Putri 2009). Jika daya ikat air tinggi maka kekenyalan bakso pun akan meningkat. Bakso sebagai produk emulsi membutuhkan pH tinggi, yaitu di atas pH isoelektrik untuk mengikat air (Yovita 2000). Gambar 14 menunjukkan hasil pengukuran pH bakso selama penyimpanan. Semua sampel bakso mengalami penurunan pH. Salah satu faktor yang memengaruhi pH adalah suhu. Jay (2000) mengatakan nilai pH substrat cenderung menjadi asam dengan meningkatnya temperatur. Pada penelitian ini, suhu penyimpanan yang digunakan adalah suhu ruang dengan kisaran suhu 25-30oC, sehingga mengakibatkan pH produk semakin rendah dengan semakin lamanya waktu penyimpanan.

0.82 0.84 0.86 0.88 0.90 0.92 0.94 0.96 0.98 1.00

0 1 2 3

aw

Penyimpanan Hari ke-

Kontrol

A2B1C1

A2B1C3

A2B2C1

[image:38.595.251.386.403.491.2]
(39)
[image:39.595.92.521.67.702.2]

23 Gambar 14. Pengaruh penyimpanan bakso dalam pati sagu terhadap nilai pH selama penyimpanan

4.3.4

Analisis a

w

Sagu Sangrai dan Tidak Sangrai selama Penyimpanan

Pengukuran nilai aw juga dilakukan terhadap pati sagu sangrai dan tidak sangrai. Pengukuran

dilakukan selama 4 hari penyimpanan. Gambar 15 menunjukkan nilai aw dari masing-masing sampel

per hari penyimpnan. Nilai aw dari masing-masing sampel pati meningkat seiring dengan lamanya hari

penyimpanan. Hasil dari pengukuran nilai aw pati sagu sangrai dan tidak sangrai ini dapat dikaitkan

dengan hasil pengukuran nilai aw bakso selama penyimpanan. Keempat sampel bakso, yaitu sampel

A2B1C1, A2B1C3, A2B2C1, dan A2B2C3 mengalami penurunan nilai aw (Gambar 12) sedangkan

nilai aw pati sagu pelapis dari masing-masing sampel meningkat. Hal ini membuktikan bahwa pati

sagu yang digunakan sebagai pelap

Gambar

Tabel 1. Kriteria mutu sensori bakso ...................................................................................................
Tabel 1. Kriteria mutu sensori bakso
Tabel 2.  Kandungan nutrisi tapioka
Tabel 3. Komposisi kimia dalam 100 gram pati sagu (dalam % basis kering)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jelaskan tentang transfer logam pada pengelasan GMAW (MIG) dan jenis transfer mana yang saudara pilih bila digunakan untuk mengelas pelat

Tesis ini berisi tentang penelitian eksperimen berupa penerapan membaca pemahaman dengan model interaktif dalam pembelajaran chuukyuu dokkai pada mahasiswa

Pengertian kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan

-Kurangnya informasi dalam bentuk animasi edukasi mengenai cara yang baik yang dapat dilakukan dalam merawat gigi.. 4.2.1.2 Masalah Yang

Penelitian yang dilakukan terhadap 109 orang responden menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki posisi kerja yang salah sebanyak 65 responden (59,6%) mengalami

421.6 Kegiatan Sekolahan,Dies Natalis,Lustrum 421.61 Perguruan tinggi (PT) 421.7 Kegiatan Pelajar 421.71 Reuni Darmawisata 421.72 Pelajar Teladan 421.73 Resimen

Volume 8, Nomor 2 Januari 2011 Jurnal Administrasi Bisnis 9 saat ini, sentra usaha kecil makanan ringan ini menjadi usaha tetap kelompok ini untuk menopang kehidupan

Hukum perlindungan konsumen terhadap usaha DAM isi ulang ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dikaitkan dengan peraturan menteri