• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Faktor Internal Dan Eksternal Pemilik Anjing Dengan Pemeliharaan Anjing Dalam Upaya Mencegah Rabies Di Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Faktor Internal Dan Eksternal Pemilik Anjing Dengan Pemeliharaan Anjing Dalam Upaya Mencegah Rabies Di Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi"

Copied!
208
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL

PEMILIK ANJING DENGAN PEMELIHARAAN

ANJING DALAM UPAYA MENCEGAH

RABIES DI KECAMATAN SUMBUL

KABUPATEN DAIRI

T E S I S

Oleh

OCTAVIA R. R. MARPAUNG

057023013/ IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL

PEMILIK ANJING DENGAN PEMELIHARAAN

ANJING DALAM UPAYA MENCEGAH

RABIES DI KECAMATAN SUMBUL

KABUPATEN DAIRI

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

OCTAVIA R. R. MARPAUNG

057023013/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL PEMILIK ANJING DENGAN PEMELIHARAAN ANJING DALAM UPAYA MENCEGAH RABIES DI KECAMATAN SUMBUL KABUPATEN DAIRI

Nama Mahasiswa : Octavia R. R. Marpaung Nomor Induk Mahasiswa : 057023013

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/

Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. dr. Aznan Lelo, Ph.D, Sp.FK) (drh. Rasmaliah, M.Kes) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S) (dr. Ria Masniari Lubis, M.Si)

(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 10 Nopember 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Aznan Lelo, Ph.D, Sp.FK

Anggota : 1. drh. Rasmaliah, M.Kes

2. Drs.Tukiman, M.K.M

(5)

PERNYATAAN

HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL

PEMILIK ANJING DENGAN PEMELIHARAAN

ANJING DALAM UPAYA MENCEGAH

RABIES DI KECAMATAN SUMBUL

KABUPATEN DAIRI

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 10 Nopember 2009

(6)

ABSTRAK

Kabupaten Dairi merupakan daerah endemis rabies di Propinsi Sumatera Utara. Kecamatan Sumbul adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Dairi yang sering melaporkan adanya kasus gigitan hewan tersangka rabies. Pada tahun 2006 dilaporkan kasus gigitan anjing sebanyak 35 kasus dan satu kasus kematian pada manusia. Kasus gigitan anjing pada tahun 2007 sebanyak 30 kasus dan satu kasus kematian pada manusia. Tahun 2008 dilaporkan kasus gigitan anjing sebanyak 15 kasus dan dua kasus kematian pada manusia.

Penelitian dilakukan di Kecamatan Sumbul dengan tujuan untuk menganalisis hubungan faktor internal dan eksternal pemilik anjing dengan pemeliharaan anjing dalam upaya mencegah rabies. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional

dengan populasi sebanyak 1025 pemilik anjing dan besar sampel sebanyak 96 responden. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Analisis data menggunakan uji statistik chi- square dan regresi logistik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi pemilik anjing yang pemeliharaan anjingnya kurang baik sebesar 69,8%. Hasil uji chi-square

menunjukkan terdapat 6 variabel yang berhubungan secara signifikan dengan p< 0,05 yaitu variabel pendidikan (p=0,022), pengetahuan (p=0,001), sikap (p=0,039), ketersediaan sarana vaksinasi (p=0,000), anjuran petugas peternakan (p=0,014) dan keterpaparan media penyuluhan (p=0,000). Hasil uji regresi logistik menunjukkan dua variabel yang berpengaruh dengan p < 0,005 yaitu pengetahuan (p= 0,002) dan ketersediaan sarana vaksinasi rabies (p= 0,000).

Disarankan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Dairi dan Dinas Pertanian Kabupaten Dairi untuk: 1) mengupayakan dukungan dana dan sarana untuk kegiatan vaksinasi rabies serta penyebarluasan informasi, 2) memasukkan materi promosi kesehatan melalui jalur Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) di sekolah dasar mengenai tindakan pencegahan rabies untuk menanamkan pengetahuan tentang penyakit rabies, 3) promosi kesehatan melalui penyuluhan oleh petugas dinas peternakan dengan peningkatan frekuensi dalam kegiatan penyebarluasan informasi tentang rabies melalui poster dan siaran radio lokal.

(7)

ABSTRACT

Dairi District is the endemic rabies in the Province of North Sumatera. Sumbul is one of the sub-district in Dairi where the cases of dog biting identified rabies are still often reported. In 2006, there were 35 cases of dog biting and 1 case of human death. In 2007, there were 30 cases of dog biting and 1 case of human death. In 2008, there were 15 cases of dog biting and 2 cases of human death.

This research was carried out in Sumbul district. It’s aimed to analyze the relationship of internal factors and external factors of the dog owners with looking after dog for prevention rabies. This research used a cross-sectional design with population were 1025 dog owners and sample were 96 respondents. The data were collected by using questionnaire. The data obtained were analyzed through chi-square test and logistic regression methods.

The result showed that the total of dog owner who look after the dog carelessly were 69.8%. The result of chi-square statistic test showed that there were six variables had significant relationship such as : education (p = 0.022), knowledge (p = 0.001), attitude (p = 0.039), the availability rabies vaccination (p = 0.000), the advice of animal husbandry officer (p = 0.014), and the statement of information media (p = 0.000). Based on logistic regression, it was found that 2 variables had significant influence with p < 0.005, were knowledge ( p=0.002) and the availability rabies vaccination (p=0.000).

It is suggested that the local government of Dairi District and Dairi Agriculture Office: 1) to efforts supported fund and facility rabies vaccination with dissemination of information, 2) including health promotion through School Health Programs at Primary School about the management of prevention rabies for increasing the knowledge about rabies, 3) the animal husbandry officers should increase health promotion about rabies by poster and local radio.

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul "Hubungan Faktor Internal dan Eksternal Pemilik Anjing dengan Pemeliharaan Anjing dalam

upaya Mencegah Rabies di Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi ".

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyusun tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K).

(9)

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. dr. Aznan Lelo, Ph.D, Sp.FK selaku ketua komisi pembimbing dan drh. Rasmaliah, M.Kes selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Drs. Tukiman, M.K.M dan drh. Hiswani, M.Kes selaku penguji tesis yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis hingga penulisan tesis selesai.

Terima kasih kepada para dosen pengajar dan staf di lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, khususnya pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ir. M. Tinambunan selaku Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Dairi yang telah memberikan izin bagi peneliti melakukan penelitian di wilayah kerja Dinas Pertanian Kabupaten Dairi dan kepada Ir. Sardin J.F Purba selaku Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian Kabupaten Dairi yang memberi banyak dukungan dalam penelitian ini.

(10)

Sumbul Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi yang telah memberikan banyak dukungan dalam pelaksanaan penelitian ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Anshari, S.K.M selaku Kepala Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BTKL-PPM) yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan tesis ini.

Terima kasih penulis ucapkan kepada rekan sejawat di BTKL-PPM Medan, khususnya Basaria Hutabarat S.K.M, M.Kes dan Rumanti Siahaan S.K.M, M.Kes yang telah memberikan banyak dukungan dalam proses penyusunan tesis ini.

Melalui kesempatan ini, dengan kerendahan hati penulis khusus menyampaikan terima kasih kepada Ayahanda Drs.T.D Marpaung, M.A (Alm) dan Ibunda L. Sibarani yang telah membimbing dan mendidik penulis sejak kecil dan senantiasa memberikan dukungan doa dan perhatian sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada mertua Ayahanda St. P. Sitompul (Alm) dan Ibunda N. Panggabean, S.Pd atas doa dan dukungan yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

(11)

Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, 10 Nopember 2009

Penulis

(12)

R I W A Y A T H I D U P

Octavia R. R. Marpaung dilahirkan di Medan pada tanggal 16 Oktober 1971 anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Ayahanda Drs. T.D Marpaung M.A (Alm) dengan Ibunda L. Sibarani. Telah menikah dengan Jhonson M Sitompul, S.H dan dikaruniai dua orang putri yang bernama Jessica Hana Christy Sitompul dan Jennie Aurora Christina Sitompul. Sekarang menetap di Jl. Beringin VII no.33 Medan.

Menamatkan Sekolah Dasar di Methodist 1 Medan pada tahun 1984, SMP Methodist 1 Medan pada tahun 1987, SMA Negeri 1 Medan pada tahun 1990, dan Fakultas Kedokteran USU pada tahun 1997.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

BAB 1. PENDAHULUAN……...………... 1

1.1. Latar Belakang………... 1

1.2. Permasalahan...………... 13

1.3. Tujuan Penelitian………... 13

1.4. Hipotesis…...……… 13

1.5. Manfaat Penelitian………. 14

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA……… 15

2.1. Penyakit Rabies……… 15

2.1.1. Penyebab Rabies……… 15

2.1.2. Reservoir Rabies……… 16

2.1.3. Cara Penularan Rabies……….. 16

2.1.4. Masa Inkubasi Rabies……… 17

2.1.5. Patogenesis……… 17

2.1.6. Gejala Rabies……… 18

2.1.7. Kejadian Rabies di Lapangan……… 20

2.1.8. Diagnosa……… 22

2.2. Sejarah Rabies di Indonesia……… 24

2.3. Pembagian Status Daerah dan Kriterianya………. 25

2.3.1. Status Daerah……… 25

2.3.2. Batas Daerah………. 26

2.4. Program Pembebasan Rabies...……… 27

2.4.1. Landasan Kerjasama………. 27

2.4.2. Prinsip Dasar Sektor Peternakan..……… 28

(14)

2.4.2.2. Tindakan Karantina dan Pengawasan

Lalu Lintas... 29

2.4.2.3. Tindakan terhadap Hewan Tertular... 30

2.4.2.4. Tindakan terhadap Hewan Kontak... 30

2.4.2.5. Pengendalian Lalu-lintas di Daerah Tertular... 31

2.4.2.6. Tindakan terhadap Anjing yang Menggigit... 31

2.4.3. Pokok-pokok Kegiatan Sektor Kesehatan………. 33

2.4.3.1. Pencegahan Rabies setelah Gigitan Hewan PenularRabies....………. 33

2.4.3.2. Pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies... 34

2.5. Perilaku………. 35

2.5.1. Determinan Perilaku……….. 35

2.5.2. Perilaku Kesehatan……….... 39

2.5.2.1. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan... 39

2.5.2.2. Perilaku Pencarian dan Penggunaan Sistem atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan... 39

2.5.2.3. Perilaku Kesehatan Lingkungan... 40

2.5.3. Perubahan Perilaku ...………...………… 40

2.6. Landasan Teori……… 42

2.7. Kerangka Konsep………. 44

BAB 3. METODE PENELITIAN……….……..……. 45

3.1. Jenis Penelitian………. 45

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian………...……… 45

3.2.1. Lokasi Penelitian……….………. 45

3.2.2. Waktu Penelitian……….……. 45

3.3. Populasi dan Sampel………..…… 45

3.3.1. Populasi………..……… 45

3.3.2. Sampel………... 46

3.4. Metode Pengumpulan Data……….... 48

3.4.1. Alat Pengumpulan Data………. 48

3.4.2. Pelaksanaan Pengumpulan Data……… 48

3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner……… 48

3.4.4. Pengolahan Data……… 50

3.5. Variabel dan Definisi Operasional……….… 51

3.5.1. Variabel…………..……… 51

3.5.2. Definisi Operasional……….. 51

3.6. Metode Pengukuran……… 52

3.6.1. Pengukuran Variabel Independen... 52

3.6.2. Pengukuran Variabel Dependen... 56

3.7. Metode Analisis Data…...……… 57

3.7.1. Pengolahan Data……… 57

(15)

BAB 4. HASIL PENELITIAN... 59

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 59

4.1.1. Kondisi Geografis………... 59

4.1.2. Keadaan Penduduk……….. 59

4.1.3. Sarana dan Tenaga Pelayanan Kesehatan……… 60

4.1.4. Sarana dan Tenaga Pelayanan Kesehatan Hewan………… 62

4.2. Analisis Univariat………. 63

4.2.1. Faktor Internal...………... 64

4.2.2. Faktor Eksternal...……… 65

4.3. Analisis Bivariat………. 67

4.3.1. Faktor Internal...……… 67

4.3.1.1. Hubungan Umur dengan Pemeliharaan Anjing... 67

4.3.1.2. Hubungan Jenis Kelamin dengan Pemeliharaan Anjing... 68

4.3.1.3. Hubungan Pendidikan dengan Pemeliharaan Anjing... 68

4.3.1.4. Hubungan Pekerjaan dengan Pemeliharaan Anjing... 69

4.3.1.5. Hubungan Pengetahuan dengan Pemeliharaan Anjing... 70

4.3.1.6. Hubungan Sikap dengan Pemeliharaan Anjing... 70

4.3.2. Faktor Eksternal... 71

4.3.2.1. Hubungan Penghasilan dengan Pemeliharaan Anjing... 71

4.3.2.2. Hubungan Sarana Vaksinasi Rabies dengan Pemeliharaan Anjing... 72

4.3.2.3. Hubungan Anjuran Petugas Peternakan dengan Pemeliharaan Anjing... 72

4.3.2.4. Hubungan Keterpaparan Media Penyuluhan dengan Pemeliharaan Anjing... 73

4.3.2.5. Hubungan Anjuran Tokoh Masyarakat dengan Pemeliharaan Anjing... 74

4.4. Analisis Multivariat………... 74

4.4.1. Pemilihan Variabel untuk Uji Multivariat………... 74

4.4.2. Penentuan Variabel yang Dominan... 75

BAB 5. PEMBAHASAN... 77

5.1. Faktor Internal... 77

5.1.1. Umur... 77

5.1.2. Jenis Kelamin... 78

(16)

5.1.4. Pekerjaan... 82

5.1.5. Pengetahuan... 83

5.1.6. Sikap... 86

5.2. Faktor Eksternal... 89

5.2.1. Penghasilan... 89

5.2.2. Sarana Vaksinasi Rabies... 91

5.2.3. Anjuran Petugas Peternakan... 92

5.2.4. Keterpaparan Media Penyuluhan... 94

5.2.5. Anjuran Tokoh Masyarakat... 96

5.3. Keterbatasan Penelitian... 98

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN... 100

6.1. Kesimpulan... 100

6.2. Saran... 100

(17)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1. Kondisi Kasus Lyssa di Propinsi Sumatera Utara, Kabupaten Dairi

dan Kecamatan Sumbul Tahun 2006- 2008... 8 3.1. Besar Sampel yang Diteliti di Wilayah Kecamatan Sumbul... 47

3.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner... 49 4.1. Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin

di Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi Tahun 2008... 60

4.2. Jenis dan Jumlah Sarana Pelayanan Kesehatan di Kecamatan Sumbul Tahun 2008... 61 4.3 Jenis dan Jumlah Tenaga Pelayanan Kesehatan di Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi Tahun 2008... 61 4.4. Jenis Sarana Pelayanan Kesehatan Hewan di Kabupaten Dairi

Tahun 2008... 62 4.5. Jenis dan Jumlah Tenaga Pelayanan Kesehatan Hewan di Kabupaten Dairi Tahun 2008... 62

4.6. Jenis dan Jumlah Tenaga Pelayanan Kesehatan Hewan di Kecamatan Sumbul Tahun 2008………... 63 4.7 Distribusi Responden menurut Karakteristik Umur, Jenis Kelamin,

Pendidikan, Pekerjaan, Pengetahuan, dan Sikap Pemilik Anjing di

Kecamatan Sumbul Tahun 2009... 64 4.8 Distribusi Responden menurut Penghasilan, Sarana Vaksinasi Rabies

Anjuran Petugas Peternakan, Keterpaparan Media Penyuluhan dan

Anjuran Tokoh Masyarakat di Kecamatan Sumbul Tahun 2009... 65 4.9 Distribusi Frekuensi menurut Variabel Pemeliharaan Anjing di

(18)

4.10. Distribusi Responden menurut Umur dan Pemeliharaan Anjing

di Kecamatan Sumbul Tahun 2009... 67 4.11. Distribusi Responden menurut Jenis Kelamin dan Pemeliharaan

Anjing di Kecamatan Sumbul Tahun 2009... 68 4.12. Distribusi Responden menurut Pendidikan dan Pemeliharaan

Anjing di Kecamatan Sumbul Tahun 2009... 68 4.13. Distribusi Responden menurut Pekerjaan dan Pemeliharaan

Anjing di Kecamatan Sumbul Tahun 2009... 69 4.14. Distribusi Responden menurut Pengetahuan dan Pemeliharaan

Anjing di Kecamatan Sumbul Tahun 2009... 70 4.15. Distribusi Responden menurut Sikap dan Pemeliharaan Anjing

di Kecamatan Sumbul Tahun 2009... 70 4.16. Distribusi Responden menurut Penghasilan dan Pemeliharaan

Anjing di Kecamatan Sumbul Tahun 2009... 71

4.17. Distribusi Responden menurut Sarana Vaksinasi Rabies dan

Pemeliharaan Anjing di Kecamatan Sumbul Tahun 2009... 72 4.18. Distribusi Responden menurut Anjuran Petugas Peternakan dan

Pemeliharaan Anjing di Kecamatan Sumbul Tahun 2009... 72 4.19. Distribusi Responden menurut Keterpaparan Media Penyuluhan dan

Pemeliharaan Anjing di Kecamatan Sumbul Tahun 2009... 73 4.20. Distribusi Responden menurut Anjuran Tokoh Masyarakat dan

Pemeliharaan Anjing di Kecamatan Sumbul Tahun 2009... 74 4.21. Hasil Analisis Bivariat antara Variabel Umur, Jenis Kelamin,

Pendidikan, Pekerjaan, Pengetahuan, Sikap, Penghasilan, Sarana Vaksinasi Rabies, Anjuran Petugas Peternakan, Keterpaparan Media Penyuluhan dan Anjuran Tokoh Masyarakat dengan Pemeliharaan Anjing di Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi

Tahun 2009... 75 4.22. Hasil Uji Regresi Logistik untuk Identifikasi Variabel

Independen yang Berpengaruh terhadap Pemeliharaan

(19)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian... 107

2. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian... 113

3. Hasil Univariat dari Variabel Independen dan Dependen... 117

4. Hasil Bivariat dengan Uji Chi-square... 127

5. Hasil Bivariat untuk Pemilihan Kandidat Multivariat... 138

6. Hasil Multivariat dengan uji Regresi Logistik... 145

7. Master Data Uji Validitas dan ReliabilitasKuesioner... 152

8. Distribusi Responden berdasarkan Indikator Pengetahuan, Sikap, Ketersediaan Sarana Vaksinasi Rabies, Anjuran Petugas Peternakan, Keterpaparan Media Penyuluhan, Anjuran Tokoh Masyarakat dan Pemeliharaan Anjing di Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi ... 153

9. Master Data Penelitian... 157

10. Surat Permohonan Izin Penelitian……….……… 161

(21)

ABSTRAK

Kabupaten Dairi merupakan daerah endemis rabies di Propinsi Sumatera Utara. Kecamatan Sumbul adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Dairi yang sering melaporkan adanya kasus gigitan hewan tersangka rabies. Pada tahun 2006 dilaporkan kasus gigitan anjing sebanyak 35 kasus dan satu kasus kematian pada manusia. Kasus gigitan anjing pada tahun 2007 sebanyak 30 kasus dan satu kasus kematian pada manusia. Tahun 2008 dilaporkan kasus gigitan anjing sebanyak 15 kasus dan dua kasus kematian pada manusia.

Penelitian dilakukan di Kecamatan Sumbul dengan tujuan untuk menganalisis hubungan faktor internal dan eksternal pemilik anjing dengan pemeliharaan anjing dalam upaya mencegah rabies. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional

dengan populasi sebanyak 1025 pemilik anjing dan besar sampel sebanyak 96 responden. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Analisis data menggunakan uji statistik chi- square dan regresi logistik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi pemilik anjing yang pemeliharaan anjingnya kurang baik sebesar 69,8%. Hasil uji chi-square

menunjukkan terdapat 6 variabel yang berhubungan secara signifikan dengan p< 0,05 yaitu variabel pendidikan (p=0,022), pengetahuan (p=0,001), sikap (p=0,039), ketersediaan sarana vaksinasi (p=0,000), anjuran petugas peternakan (p=0,014) dan keterpaparan media penyuluhan (p=0,000). Hasil uji regresi logistik menunjukkan dua variabel yang berpengaruh dengan p < 0,005 yaitu pengetahuan (p= 0,002) dan ketersediaan sarana vaksinasi rabies (p= 0,000).

Disarankan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Dairi dan Dinas Pertanian Kabupaten Dairi untuk: 1) mengupayakan dukungan dana dan sarana untuk kegiatan vaksinasi rabies serta penyebarluasan informasi, 2) memasukkan materi promosi kesehatan melalui jalur Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) di sekolah dasar mengenai tindakan pencegahan rabies untuk menanamkan pengetahuan tentang penyakit rabies, 3) promosi kesehatan melalui penyuluhan oleh petugas dinas peternakan dengan peningkatan frekuensi dalam kegiatan penyebarluasan informasi tentang rabies melalui poster dan siaran radio lokal.

(22)

ABSTRACT

Dairi District is the endemic rabies in the Province of North Sumatera. Sumbul is one of the sub-district in Dairi where the cases of dog biting identified rabies are still often reported. In 2006, there were 35 cases of dog biting and 1 case of human death. In 2007, there were 30 cases of dog biting and 1 case of human death. In 2008, there were 15 cases of dog biting and 2 cases of human death.

This research was carried out in Sumbul district. It’s aimed to analyze the relationship of internal factors and external factors of the dog owners with looking after dog for prevention rabies. This research used a cross-sectional design with population were 1025 dog owners and sample were 96 respondents. The data were collected by using questionnaire. The data obtained were analyzed through chi-square test and logistic regression methods.

The result showed that the total of dog owner who look after the dog carelessly were 69.8%. The result of chi-square statistic test showed that there were six variables had significant relationship such as : education (p = 0.022), knowledge (p = 0.001), attitude (p = 0.039), the availability rabies vaccination (p = 0.000), the advice of animal husbandry officer (p = 0.014), and the statement of information media (p = 0.000). Based on logistic regression, it was found that 2 variables had significant influence with p < 0.005, were knowledge ( p=0.002) and the availability rabies vaccination (p=0.000).

It is suggested that the local government of Dairi District and Dairi Agriculture Office: 1) to efforts supported fund and facility rabies vaccination with dissemination of information, 2) including health promotion through School Health Programs at Primary School about the management of prevention rabies for increasing the knowledge about rabies, 3) the animal husbandry officers should increase health promotion about rabies by poster and local radio.

(23)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan bidang kesehatan sebagai bagian dari pembangunan nasional di Indonesia mempunyai peran ganda karena penyakit menular masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian besar, disamping itu terjadinya peningkatan penyakit tidak menular. Salah satu penyakit menular yang masih menjadi permasalahan di seluruh dunia termasuk Indonesia adalah rabies (Depkes, 2003).

Penyakit anjing gila atau dikenal dengan nama rabies merupakan suatu penyakit infeksi pada hewan yang bersifat akut dan dapat ditularkan dari hewan kepada manusia (zoonosis). Penyakit ini bila sudah menunjukkan gejala klinis pada hewan dan manusia selalu diakhiri dengan kematian, sehingga menimbulkan rasa cemas dan takut bagi orang yang terkena gigitan serta kekuatiran bagi masyarakat (Departemen Pertanian RI, 2006).

(24)

Menurut laporan WHO (2005a), penyakit rabies dapat timbul akibat kelalaian manusia “neglected disease” karena penyakit ini sebenarnya dapat dicegah sebelum muncul. Penyakit rabies tersebar di seluruh dunia dengan perkiraan 55.000 kematian per tahun, hampir semuanya terjadi di negara berkembang. Jumlah yang terbanyak dijumpai di Asia sebesar 31.000 jiwa (56%) dan Afrika 24.000 jiwa (44%). Diperkirakan 30% – 50% proporsi dari kematian yang dilaporkan terjadi pada anak-anak di bawah usia 15 tahun (WHO, 2006).

Berdasarkan laporan WHO (2005a), South East Asia Regional Office (SEARO) mempunyai beban kerja yang besar karena sekitar 25.000 kematian terjadi pada manusia setiap tahun akibat rabies dengan jumlah terbesar terdapat di India yaitu sekitar 19.000 jiwa dan Banglades sekitar 2000 jiwa. Myanmar, Nepal, Indonesia, Srilanka dan Thailand, melaporkan sedikitnya terjadi 100 kematian manusia akibat rabies setiap tahun. Berdasarkan laporan OIE (Organization International des Epizooties), di negara berkembang penyakit rabies merupakan urutan nomor 2 (dua) yang paling ditakuti wisatawan mancanegara setelah penyakit malaria ( Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat,2007 ).

(25)

Menurut laporan Sub Direktorat Zoonosis Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006), jumlah kasus gigitan hewan penular rabies (HPR) di Indonesia dari tahun 2001 sampai tahun 2005 terus mengalami kenaikan, dilaporkan pada tahun 2001 terdapat 11.942 kasus gigitan dengan 68 kasus rabies pada manusia (5,7 per 1000 kasus gigitan), tahun 2002 dilaporkan 13.805 kasus gigitan dengan 84 kasus rabies pada manusia (6,1 per 1000 kasus gigitan), tahun 2003 terdapat 14.875 kasus gigitan dan 84 kasus rabies pada manusia (5,6 per 1000 kasus gigitan), tahun 2004 terdapat 14.996 kasus gigitan dan 109 kasus rabies pada manusia (7,3 per 1000 kasus gigitan), dan tahun 2005 sebanyak 16.619 kasus gigitan dengan 147 kasus rabies pada manusia (8,8 per 1000 kasus gigitan). Pada tahun 2006, Departemen Kesehatan (2007b) melaporkan kasus gigitan hewan penular rabies sebanyak 13.929 kasus dengan 106 kasus rabies pada manusia (7,6 per 1000 kasus gigitan).

(26)

Propinsi Nusa Tenggara Timur 21 kasus, Propinsi Maluku sebanyak 15 kasus dan Propinsi Maluku Utara sebanyak 3 kasus (Depkes R.I, 2007c). Menurut Menteri Pertanian Anton Apriyantono, jumlah kasus kematian manusia periode 1997 s/d 2005 di NTT akibat rabies sebanyak 135 orang, dengan kasus gigitan anjing mencapai 1.200 orang (Amalo, 2005).

Hingga akhir tahun 2007 daerah yang bebas rabies hanya 11 propinsi di Indonesia yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat, Papua, Irian Jaya Barat, Bangka-Belitung, Kepulauan Riau, Banten, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. (Depkes 2007a) namun berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1637.1/Kpts/PD.610/ 12/2008 telah dinyatakan berjangkitnya wabah penyakit anjing gila (rabies) di Kabupaten Badung Propinsi Bali sehingga wilayah yang bebas rabies

semakin sedikit. (/ dok/KepMen_Rabies.pdf).

Pemerintah Indonesia secara intensif tetap melakukan program pembebasan rabies secara bertahap. Program ini dimulai pada Pelita V (1989-1993) di Pulau Jawa dan Kalimantan, kemudian pada Pelita VI (1994-1998) diperluas ke semua pulau tertular yaitu Pulau Sumatera dan Sulawesi. Sehubungan dengan target Indonesia bebas rabies pada tahun 2005 tidak tercapai maka program pembebasan rabies ini menjadi Program Nasional dan diharapkan pada akhir tahun 2012 kasus rabies dapat terkendali sampai nol kasus (Departemen Pertanian R.I, 2006).

(27)

Propinsi Sumatera Utara disebabkan umumnya penduduk gemar memelihara anjing karena dapat dijadikan sebagai hewan peliharaan kesayangan, penjaga rumah, kebun/ladang dan ternak. Secara geografis, Propinsi Sumatera Utara letaknya berbatasan dengan beberapa propinsi lainnya secara langsung sehingga penyebaran penyakit rabies dapat terjadi dalam waktu singkat (Dinas Peternakan Prop. Sumut, 2007).

Beberapa etnis di Propinsi Sumatera Utara memiliki kebiasaan memelihara anjing. Suku batak yang akrab dengan anjing bahkan ada sebagian yang memakan daging anjing, besar kemungkinan mendapat gigitan dari anjing yang dipeliharanya. Pemeliharaan anjing dilakukan secara bebas, dibiarkan berkeliaran keluar masuk rumah, sehingga kemungkinan kontak dengan anjing lain sangat besar dan mempunyai kemungkinan mendapat virus rabies (Nasution,1995).

(28)

897 kasus (62,72%) diantaranya mendapatkan vaksin anti rabies (VAR), sedangkan jumlah kasus rabies pada manusia adalah 5 kasus baru ( 3,5 per 1000 kasus gigitan ) dan jumlah kasus rabies pada anjing dengan konfirmasi laboratorium 137 ekor ( 90% dari 151 spesimen otak anjing yang diperiksa ).

Pada tahun 2006 terdapat kasus gigitan 1409 kasus baru (11,1 kasus per 100.000 penduduk), 1031 kasus (73%) diantaranya mendapatkan vaksin anti rabies (VAR), jumlah kasus rabies pada manusia adalah 5 kasus baru ( 3,5 per 1000 kasus gigitan) dan jumlah kasus rabies pada anjing dengan konfirmasi laboratorium 75 ekor ( 67 % dari 112 spesimen otak anjing yang diperiksa).

Pada tahun 2007 kasus gigitan anjing di Propinsi Sumatera Utara dilaporkan sebanyak 1936 kasus baru ( 15 per 100.000 penduduk ), 1456 kasus (75,2%) diantaranya mendapatkan vaksin anti rabies (VAR), jumlah kasus rabies pada manusia sebanyak 5 orang ( 2,6 per 1000 kasus gigitan). (Dinas Kesehatan Prop.Sumut, 2007). Jumlah kasus rabies pada anjing dengan konfirmasi laboratorium 63 ekor ( 93 % dari 68 spesimen otak anjing yang diperiksa) ( Dinas Peternakan Prop.Sumut, 2007 ). Tahun 2008 kasus gigitan anjing di Propinsi Sumatera Utara dilaporkan sebanyak 2634 kasus baru (20,4 kasus per 100.000 penduduk), 2040 kasus (77,4%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies (VAR), jumlah kasus rabies pada manusia sebanyak 7 orang (2,7 per 1000 kasus gigitan). (Dinas Kesehatan Prop.Sumut, 2008).

(29)

penduduk), 171 kasus (88%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies, sedangkan jumlah kasus rabies pada manusia ada 3 kasus baru (1,5 per 100 kasus gigitan) dan jumlah kasus rabies pada anjing dengan konfirmasi laboratorium 3 ekor (100% dari 3 spesimen otak anjing yang diperiksa). Tahun 2005 terdapat 246 kasus baru gigitan anjing tersangka rabies ( 94 kasus per 100.000 penduduk), 180 kasus (73%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies, jumlah kasus rabies pada manusia 2 kasus baru (0,8 per 100 kasus gigitan) dan jumlah kasus rabies pada anjing dengan konfirmasi laboratorium 3 ekor (100% dari 3 spesimen otak anjing yang diperiksa). Tahun 2006 terdapat 100 kasus gigitan anjing tersangka rabies (37 per 100.000 penduduk), 90 kasus (90%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies, terdapat 1 kasus kematian pada manusia (1 per 100 kasus gigitan) dan jumlah kasus rabies pada anjing dengan konfirmasi laboratorium 5 ekor (62,5% dari 8 spesimen otak anjing yang diperiksa). Tahun 2007 jumlah kasus gigitan anjing tersangka rabies 236 kasus baru (87 kasus per 100.000 penduduk), 216 kasus (91,5%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies, terdapat kasus rabies pada manusia 2 kasus baru ( 0,8 per 100 kasus gigitan ) dan jumlah kasus rabies pada anjing dengan konfirmasi laboratorium 1 ekor ( 100 % dari spesimen otak anjing yang diperiksa ) . Pada tahun 2008 jumlah kasus gigitan anjing tersangka rabies 251 kasus baru ( 92 kasus per 100.000 penduduk), 239 kasus ( 95,2 %) diantaranya mendapat vaksin anti rabies, terdapat kasus rabies pada manusia 2 kasus baru (0,8 per 100 kasus gigitan).

(30)

kasus gigitan anjing dan adanya kasus kematian akibat rabies pada manusia . Pada tahun 2006 di Kecamatan Sumbul dilaporkan kasus gigitan anjing tersangka rabies 35 kasus baru (11 per 10.000 penduduk), 29 kasus (83%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies, terdapat kasus rabies pada manusia 1 kasus baru ( 2,8 per 100 kasus gigitan). Pada tahun 2007 dilaporkan kasus gigitan anjing 30 kasus baru (8 per 10.000 penduduk), 28 kasus ( 93 % ) diantaranya mendapat vaksin anti rabies, dan kasus rabies pada manusia dilaporkan 1 kasus baru (3,3 per 100 kasus gigitan). Pada tahun 2008 dilaporkan kasus gigitan anjing 15 kasus baru ( 5 per 10.000 penduduk), 11 kasus (73%) diantaranya mendapat vaksin anti rabies, terdapat kasus rabies pada manusia 2 kasus baru ( 13,3 per 100 kasus gigitan).

Tabel 1.1. Kondisi Kasus Lyssa di Propinsi Sumatera Utara, Kabupaten Dairi dan Kecamatan Sumbul Tahun 2006 s/d 2008

Kasus Lyssa

Lokasi Tahun

2006

Tahun 2007

Tahun 2008

Propinsi Sumatera Utara Kabupaten Dairi

Kecamatan Sumbul

5 1 1

5 2 1

7 2 2

(31)

vaksinasi anti rabies dan dibiarkan bebas berkeliaran. Satu kasus rabies pada manusia di gigit oleh anjing yang tidak bertuan atau tidak diketahui pemiliknya.

Menurut hasil penelitian Maroef, dkk (1994) di Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang serta DKI Jakarta, diketahui perilaku masyarakat di desa memelihara anjingnya lebih banyak melepas anjing peliharaannya secara bebas (65,5%), dibandingkan dengan di kota (24,0%). Kebiasaan keluarga terutama di desa yang lebih banyak memelihara anjing secara bebas atau tidak diikat dan tidak divaksinasi akan merupakan kendala dari program pembebasan rabies. Perilaku masyarakat pemilik hewan terutama pemilik anjing berperan dalam upaya pencegahan rabies karena salah satu kendala yang dihadapi untuk penanggulangan rabies adalah kurangnya kesadaran masyarakat, baik di pedesaan maupun kota besar untuk memelihara hewan sesuai dengan peraturan yang telah ada.

(32)

Penilaian kedua yang dibuat adalah perbandingan antara keuntungan dengan kerugian dari perilaku dalam usaha untuk memutuskan melakukan tindakan pencegahan atau tidak. Tambahan penilaian yang terdahulu, petunjuk untuk berperilaku (cues to action) diduga tepat untuk memulai proses perilaku. Hal ini dapat berupa berbagai macam informasi dari luar atau nasehat mengenai permasalahan kesehatan. Ancaman, keseriusan, ketidak-kekebalan dan pertimbangan keuntungan dan kerugian juga dipengaruhi oleh (a) variabel demografis (usia seseorang, jenis kelamin dan latarbelakang budaya), (b) variabel sosiopsikologis (kepribadian, kelas sosial, tekanan sosial), dan (c) variabel struktural (pengetahuan dan pengalaman masalah). Menurut Becker dkk (1977) dalam Muzaham (1995) perbedaan faktor demografis, personal, struktural dan sosial mempengaruhi perilaku kesehatan, namun semua variabel itu sebenarnya mempengaruhi persepsi dan motivasi individu, bukan berfungsi sebagai penyebab langsung dari suatu tindakan.

(33)

Gunawardhani (2002) di Kotamadya Jakarta Selatan ada hubungan antara penghasilan, pendidikan, akses terhadap informasi, pengetahuan dan sikap pemilik anjing dengan perilakunya dan tidak ada hubungan antara pekerjaan pemilik anjing dengan perilakunya dalam upaya pengendalian penyakit rabies.

Berdasarkan hasil penelitian Sudardjat (2003) di Indonesia, anjing jalanan yang bebas berkeliaran merupakan penular utama rabies kepada manusia . Lebih dari 2,5 juta ekor anjing yang berada di wilayah tertular rabies, hampir keseluruhannya adalah merupakan anjing liar di jalanan (street dog). Lebih dari 90% kasus gigitan anjing disebabkan oleh gigitan anjing liar. Anjing liar yang terdapat di Indonesia berpotensi sebagai reservoir rabies.

Hasil pengamatan penulis di Kecamatan Sumbul dijumpai banyak anjing berkeliaran secara bebas. Pemilik anjing di Kecamatan Sumbul memiliki budaya tidak membuat kandang pada anjing peliharaannya. Pada survei pendahuluan yang dilakukan peneliti bulan Desember tahun 2006, pada umumnya rumah penduduk termasuk yang memelihara anjing tidak memiliki pagar sehingga sehingga anjing terbiasa berkeliaran dan bebas keluar masuk rumah pemiliknya serta tidak ada dijumpai anjing yang mempunyai penutup moncong (berangus). Menurut Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian Kabupaten Dairi, di Kabupaten Dairi tidak dilakukan eliminasi terhadap anjing yang tidak berpemilik dan tidak dilakukan perdaftaran anjing oleh pemiliknya kepada Ketua RT maupun Lurah setempat.

(34)

(Dinas Pertanian Kabupaten Dairi). Penduduk di Kecamatan Sumbul yang mayoritas adalah suku Batak memiliki kegemaran untuk memelihara anjing sehingga besar kemungkinan untuk mendapat gigitan dari anjing yang dipeliharanya atau gigitan dari anjing yang diliarkan dan dibiarkan bebas berkeliaran. Dengan situasi masyarakat yang demikian maka lalu lintas anjing sangat sulit diawasi sehingga memiliki risiko tertular rabies dari anjing yang menderita rabies.

Menurut Kepala Bidang Peternakan Kabupaten Dairi pelaksanaan sosialisasi rabies di Kecamatan Sumbul dilakukan bersamaan dengan penyuluhan program di bidang pertanian. Sosialisasi mengenai rabies pernah dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan melalui media cetak berupa leaflet dan media elektronik berupa siaran melalui radio lokal pada tahun 2008. Poster dan leaflet yang memuat informasi tentang rabies juga dibagikan ke Puskesmas untuk disosialisasikan kepada masyarakat.

(35)

Berdasarkan kondisi di Kecamatan Sumbul tersebut dan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di berbagai tempat di atas, maka perlu dilakukan penelitian dan diharapkan mampu menjelaskan tentang hubungan faktor internal dan eksternal pemilik anjing dengan pemeliharaan anjing untuk mencegah penyakit rabies di Kabupaten Dairi, khususnya di Kecamatan Sumbul.

1.2. Permasalahan

Bagaimana hubungan faktor internal dan eksternal pemilik anjing dengan pemeliharaan anjing dalam upaya mencegah rabies di Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuanpenelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan faktor internal dan eksternal pemilik anjing dengan pemeliharaan anjing dalam upaya mencegah rabies di Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi.

1.4. Hipotesa Penelitian

a. Ada hubungan antara umur pemilik anjing dengan pemeliharaan anjing dalam upaya mencegah rabies di Kecamatan Sumbul.

b. Ada hubungan antara jenis kelamin pemilik anjing dengan pemeliharaan anjing dalam upaya mencegah rabies di Kecamatan Sumbul.

c. Ada hubungan antara pendidikan pemilik anjing dengan pemeliharaan anjing dalam upaya mencegah rabies di Kecamatan Sumbul.

(36)

e. Ada hubungan antara pengetahuan pemilik anjing dengan pemeliharaan anjing dalam upaya mencegah rabies di Kecamatan Sumbul.

f. Ada hubungan antara sikap pemilik anjing dengan pemeliharaan anjing dalam upaya mencegah rabies di Kecamatan Sumbul.

g. Ada hubungan antara penghasilan pemilik anjing dengan pemeliharaan anjing dalam upaya mencegah rabies di Kecamatan Sumbul.

h. Ada hubungan antara ketersediaan sarana vaksinasi rabies dengan pemeliharaan anjing dalam upaya mencegah rabies di Kecamatan Sumbul.

i. Ada hubungan antara anjuran petugas peternakan dengan pemeliharaan anjing dalam upaya mencegah rabies di Kecamatan Sumbul.

j. Ada hubungan antara keterpaparan media penyuluhan rabies dengan pemeliharaan anjing dalam upaya mencegah rabies di Kecamatan Sumbul.

k. Ada hubungan antara anjuran tokoh masyarakat dengan pemeliharaan anjing dalam upaya mencegah rabies di Kecamatan Sumbul.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi pembuat kebijakan dan pelaksana kegiatan yang mendukung program pembebasan rabies di Kabupaten Dairi.

2. Sebagai masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada bidang manajemen kesehatan khususnya kesehatan komunitas/epidemiologi.

(37)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Rabies

Rabies telah dikenal sejak zaman dahulu dan dinilai sangat penting sehingga dicatat pada salah satu prasasti yang dibuat pada zaman kekuasaan raja Hammurabi (2300 SM). Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit infeksi akut (bersifat

zoonosis) pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies dan ditularkan melalui gigitan hewan penular terutama anjing, kucing dan kera. Penyakit ini selalu diakhiri dengan kematian pada hewan dan manusia bila telah menunjukkan gejala klinis (Depkes, 2000).

Rabies merupakan zoonosis yang penting karena anjing selalu dekat kepada manusia sebagai hewan peliharaan. Penyakit ini hampir selalu menimbulkan kematian dan kerugian ekonomi yang besar. (Soejoedono, 2004).

2.1.1. Penyebab Rabies

Penyebab rabies adalah virus famili Rhabdoviridae yang termasuk dalam golongan ordo Mononegavirales, genus Lyssavirus (Greek lyssa : rabies). Lyssavirus

(38)

Di bawah mikroskop elektron, virus rabies ini berbentuk seperti peluru (bahasa Yunani : rhabdo= bentuk batang ), dengan ukuran panjang sekitar 180 x 10-7 mm dan lebar 65 x 10-7 mm. Pada lapisan permukaan virus ini terdapat envelope yang tersusun atas 50% lemak dan 50% protein tergolong RNA. Virus ini sensitif dengan pelarut lemak (larutan sabun, eter, kloroform, aseton), etanol 45-70% dan preparat iodine (Meslin, 1994).

Virus rabies dapat menginfeksi semua hewan berdarah panas, dan pada hampir semua kejadian infeksinya akan berakhir dengan kematian (Fenner,1995).

2.1.2. Reservoir Rabies

Berbagai Canidae domestic dan liar, seperti anjing, serigala, coyotes, rubah,

skunks, raccoon, mongoose dan mamalia penggigit lainnya. Populasi vampire yang terinfeksi, kelelawar frugivorous (pemakan buah) dan insectivorous (pemakan serangga) di temukan di Amerika Serikat, Kanada dan Eropa. Di Amerika Selatan ,

vampire (Desmodus rotundus murinus) merupakan pembawa virus rabies yang dapat menyerang ternak sapi atau kuda, bahkan kadang-kadang manusia. Di Eropa, rubah

(fox) menjadi sumber penular rabies pada ternak. Di negara berkembang, anjing merupakan reservoir utama (Chin,2000).

2.1.3. Cara Penularan Rabies

(39)

virus rabies dalam jumlah sangat tinggi, penyebaran melalui udara pernah dilaporkan terjadi. Penularan rabies melalui transplantasi organ (kornea) dari orang yang meninggal karena penyakit sistem saraf pusat yang tidak terdiagnosa sebelumnya kemungkinan dapat menularkan rabies kepada penerima organ tadi (Chin, 2000)

2.1.4.Masa Inkubasi Rabies

Masa inkubasi sangat tergantung dari tingkat keparahan luka, lokasi luka yang erat kaitannya dengan kepadatan jaringan saraf di lokasi luka dan jarak luka dari otak Masa inkubasi rabies bervariasi sekitar 10 hari sampai 6 bulan. Biasanya berlangsung antara 3-8 minggu. Masa inkubasi akan semakin pendek jika gigitan semakin dekat dengan kepala.Gigitan di daerah kepala mempunyai masa inkubasi sekitar antara 30 – 48 hari, sedangkan gigitan di daerah tangan 40-59 hari (Shnurrenberger, 1991). Masa inkubasi lebih pendek pada anak-anak, karena anak-anak umumnya terkena gigitan di daerah kepala dan leher (Bell,1995).

2.1.5. Patogenesis

(40)

hampir tiap organ dan jaringan di dalam tubuh dan berkembang biak dalam jaringan-jaringan seperti kelenjar ludah, dan ginjal (Depkes, 2007a).

2.1.6. Gejala Rabies

1. Hewan

Dikenal 2 (dua) bentuk rabies pada hewan terutama anjing, yakni dumb rabies

(bentuk tenang) dan furious rabies (bentuk ganas/beringas). Hewan yang terjangkit rabies menunjukkan gejala umum dengan adanya kelainan pada tingkah laku. Anjing yang biasanya galak dapat tampak kehilangan sifat galak, sedangkan anjing yang semula sangat jinak cenderung bersembunyi (menyendiri) dan menjadi galak.

Pada tipe rabies ganas, hewan tidak menuruti lagi perintah pemilik dan terlihat air liur yang keluar berlebihan. Hewan menjadi ganas, menyerang atau menggigit apa saja yang ditemui dan ekornya dilengkungkan ke bawah perut diantara dua paha. Terjadi kejang-kejang kemudian lumpuh, biasanya mati setelah 4-7 hari sejak timbul gejala atau paling lama 12 hari setelah penggigitan. Bentuk ganas/beringas lebih banyak dijumpai pada anjing, kucing dan kuda dibanding sapi dan spesies hewan laboratorium (Fenner,1995).

(41)

2. Manusia

Untuk mengetahui tanda-tanda rabies pada manusia , yang pertama harus diperhatikan adalah riwayat gigitan oleh hewan seperti anjing atau hewan penular rabies (HPR) lainnya. Berdasarkan diagnosa klinik gejala klinis rabies terbagi menjadi 4 stadium (Depkes, 2007a), yaitu :

a. Stadium Prodromal

Gejala-gejala awal berupa demam, mual, malaise dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.

b. Stadium Sensoris

Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka. Kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi berlebihan terhadap rangsangan sensorik.

c. Stadium Eksitasi

Tonus otot-otot dan aktifitas simpatis jadi meninggi dengan gejala hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupil dilatasi. Bersamaan dengan stadium eksitasi ini penyakit mencapai puncaknya, yang sangat khas pada stadium ini ialah adanya bermacam-macam fobi, yang sangat terkenal diantaranya ialah hidrofobi.

(42)

d. Stadium Paralisis

Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang-kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang, yang memperlihatkan gejala paralysis otot-otot pernafasan.

2.1.7. Kejadian Rabies di Lapangan

Kejadian (kasus) positif rabies di lapangan ditentukan atau dipengaruhi oleh hal: 1. Pola penggigitan

Ada 2 pola penggigitan oleh anjing terhadap manusia yang lazim terjadi di daerah-daerah pedesaan yaitu :

a. Penggigitan karena ada provokasi :

(43)

b. Penggigitan tanpa provokasi

Dalam hal ini anjing menyerang dan menggigit secara tiba-tiba tanpa adanya gangguan dalam bentuk apapun. Di lapangan, anjing yang menggigit secara tiba-tiba biasanya sudah menjadi “wandering-dog” atau “anjing luntang-lantung” yang berjalan tanpa tujuan dan menyerang serta menggigit siapa saja yang ditemuinya. Anjing tersebut biasanya adalah anjing liar atau anjing-anjing peliharaan yang ditelantarkan sehingga menjadi liar.

2. Pola Penyebaran

Penularan rabies di lapangan berawal dari suatu kondisi anjing yang tidak dipelihara dengan baik atau anjing liar yang merupakan ciri khas yang ada di pedesaan yang berkembang sangat cepat dan sulit dikendalikan. Suatu kondisi yang sangat kondusif untuk menjadikan suatu daerah dapat bertahan menjadi daerah endemis.

(44)
[image:44.612.105.530.116.256.2]

Sumber : Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia Penyakit Hewan Menular, Departemen Pertanian, Dirjen Bina Produksi Peternakan, Direktorat Kesehatan Hewan 2006. p, 7.

Gambar 2.1. Pola Penyebaran Rabies di Lapangan

2.1.8. Diagnosa

Rabies pada hewan dapat didiagnosa melalui tanda-tanda klinis pada hewan yang terjadi di lapangan dan melalui pemeriksaan laboratorium dengan pemeriksaan spesimen.

1. Diagnosa Lapangan

Untuk memperoleh tingkat akurasi yang tinggi, cara yang paling tepat adalah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Anjing yang menggigit harus ditangkap dan diobservasi b. Riwayat penggigitan, ada tidaknya provokasi

c. Jumlah penderita yang digigit.

Anjing yang menggigit lebih dari satu orang dan penggigitannya tanpa diawali dengan provokasi (gangguan, stimulasi) anjing tersebut cenderung menderita rabies. Tetapi untuk membuktikannya, prosedur observasi selama 10 – 14 hari harus

ANJING LIAR

ANJING PELIHARAAN

YANG MENJADI LIAR

ANJING

(45)

dilakukan. Apabila dalam masa observasi anjing tersebut mati maka dugaan ke arah rabies semakin besar.

Berdasarkan pengalaman di lapangan, anjing yang menggigit lebih dari satu orang tanpa didahului oleh adanya provokasi dan anjing tersebut mati dalam masa observasi yang kemudian spesimen otaknya diperiksa di laboratorium hasilnya adalah positif rabies. Berdasarkan indikasi seperti tersebut di atas dapat ditentukan sebagai berikut : a) Hewan menggigit 1 orang tanpa provokasi , kemungkinan positif rabies 25 %. b) Hewan menggigit 2 orang tanpa provokasi , kemungkinan positif rabies 50 %. c) Hewan menggigit 3 orang tanpa provokasi, kemungkinan positif rabies 70 %. d) Hewan menggigit 4 orang tanpa provokasi, kemungkinan positif rabies 100%.

Ketepatan diagnosa di lapangan ditentukan pula oleh status wilayah. Penggigitan yang terjadi di daerah wabah walaupun hanya terhadap 1 orang, kecenderungan positif rabies dapat menjadi 100%.

2. Diagnosa Laboratorium

(46)

Metode pemeriksaan yang lebih canggih untuk mendiagnosa rabies adalah dengan Flourescence Antibody Test (FAT). Metode FAT hasilnya akurat dan cepat, sedangkan preparat yang diperlukan untuk pembuatan FAT bisa yang masih segar, beku atau spesimen dalam glycerol. FAT juga bisa mendeteksi virus rabies yang berasal dari preparat kelenjar ludah (salivary glands).

Diagnosis laboratorium dari rabies pada hewan penting dilakukan di laboratorium tertentu oleh tenaga yang terampil dan berpengalaman, karena dalam banyak kasus, ini melibatkan keputusan pengobatan pada manusia (Dinas Peternakan Prop.Sumut, 2006b).

Penyakit ini sering berjalan dengan cepat dan dalam sepuluh hari dapat menyebabkan kematian sejak timbulnya gejala, sehingga pemeriksaan serologis kadang-kadang belum sempat dilakukan, walaupun secara klinis cukup jelas (Depkes,2007a).

Penetapan suatu Kejadian Luar Biasa (KLB) rabies jika memenuhi salah satu kriteria (Depkes 2004) :

- Peningkatan jumlah kasus gigitan hewan tersangka rabies menurut periode waktu (mingguan/harian) di suatu kecamatan, desa/kelurahan dibandingkan dengan periode sebelumnya.

- Terdapat satu kasus klinis rabies pada manusia

2.2. Sejarah Rabies di Indonesia

(47)

seekor kerbau oleh J.W. Esser (1884), kemudian dilaporkan oleh Penning yang terjadi pada seekor anjing di Jawa Barat (1889) dan kejadian rabies pada manusia dilaporkan pertama kali oleh Eilers de Zhaan pada tahun 1894 (Depkes, 2007a).

Setelah Perang Dunia ke-II kasus rabies di Indonesia ditemukan di Jawa Barat (1948), Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur (1953), Sumatera Utara (1956), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (1958), Sumatera Selatan (1959), DI Aceh (1970), Jambi dan Yogyakarta (1971).

Soeharso (2003) menuliskan pada tahun 1972 ditemukan kasus pertama rabies di DKI Jakarta. Kasus pertama rabies di Bengkulu dan Kalimantan Timur (1974), Riau (1975) dan Kalimantan Tengah (1978). Penyakit rabies kembali meluas ke Propinsi Kalimantan Selatan pada tahun 1983 dan pada akhir tahun 1997, wabah rabies muncul di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (Dinas Peternakan Prop.Sumut,2006b).

2.3. Pembagian Status Daerah dan Kriterianya

2.3.1. Status Daerah

2.3.1.1.Daerah Bebas, kriterianya :

a. Daerah yang secara historis tidak pernah ditemukan penyakit rabies.

(48)

Beberapa daerah yang sebelumnya menjadi daerah tertular telah ditetapkan menjadi daerah bebas rabies yaitu :

- Propinsi Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah (berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor : 892 /Kpts/TN. 560/9/97)

- Propinsi Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta (berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor : 566/KPTS/PD.640/2004)

2.3.1.2. Daerah Tertular, kriterianya:

Daerah yang dalam 2 (dua) tahun terakhir pernah ada kasus rabies pada hewan dan manusia (baik secara berurutan atau tunggal) secara klinis, epidemiologis dan dikonfirmasikan secara laboratoris. Khusus untuk manusia kasusnya berasal dari daerah tersebut (bukan kasus import).

2.3.1.3. Daerah Tersangka, kriterianya :

a. Daerah yang dalam 2 (dua) tahun terakhir ada kasus rabies secara klinis dan epidemiologis tapi belum dibuktikan secara laboratoris.

b. Daerah yang berbatasan langsung dalam satu daratan dengan daerah tertular.

2.3.2. Batas Daerah

Yang dapat dijadikan pegangan dalam menentukan batasan daerah adalah : a. Pulau

(49)

2.4. Program Pembebasan Rabies

Mengingat akan bahaya rabies terhadap kesehatan dan ketentraman masyarakat karena dampak buruknya selalu diakhiri dengan kematian serta dapat mempengaruhi dampak perekonomian khususnya bagi pengembangan daerah-daerah pariwisata di Indonesia yang tertular rabies, maka usaha pengendalian penyakit berupa pencegahan dan pemberantasan perlu dilakukan seintensif mungkin menuju pada program pembebasan. Kebijakan memberantas rabies dilaksanakan dengan alasan utama untuk perlindungan kehidupan manusia dan mencegah penyebaran ke hewan lokal dan satwa liar (Dinas Peternakan.Prop.Sumut, 2006b).

2.4.1.Landasan Kerjasama

Program pembebasan rabies merupakan Kesepakatan Nasional dan merupakan kerjasama kegiatan 3 (tiga) Departemen, yaitu Departemen Pertanian (Direktorat Jenderal Peternakan), Departemen Dalam Negeri ( Direktorat Jenderal Pembinaan Umum dan Otonomi Daerah ) dan Departemen Kesehatan (Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman) dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Nomor : 279A/Men.Kes/SK/VIII/ 1978, Nomor : 522/Kpts/Um/8/78 dan Nomor : 143 Tahun 1978 yang dikeluarkan tanggal 15 Agustus 1978.

(50)

2.4.2. Prinsip Dasar Sektor Peternakan

Rabies adalah penyakit daftar B pada Office International des Epizooties (OIE) yang penting dari aspek sosio-ekonomi dan kesehatan masyarakat. (Dinas Peternakan Prop.Sumut, 2006b). Pembebasan rabies dapat dicapai dengan menjalankan gabungan atau kombinasi strategi di bawah ini :

1. Karantina dan pengawasan lalu lintas terhadap hewan penular penyakit.

2. Pemusnahan hewan tertular dan hewan yang kontak untuk mencegah sumber virus rabies yang paling berbahaya.

3. Vaksinasi semua hewan yang dipelihara di daerah tertular untuk melindungi hewan terhadap infeksi dan mengurangi kontak terhadap manusia.

4. Penelusuran dan surveilans untuk menentukan sumber penularan dan arah pembebasan dari penyakit

5. Kampanye peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness) untuk memfasilitasi kerjasama masyarakat terutama dari pemilik hewan dan komunitas yang terkait.

2.4.2.1. Metode Pencegahan Penyebaran dan Eliminasi Agen Penyebab

(51)

yang berpotensi untuk berkumpul dan bertemunya anjing, sekaligus akan mengurangi atau meniadakan kesempatan kontak antar anjing.

Di lapangan sasaran pemberantasan ditujukan terhadap anjing atau hewan penular rabies (HPR) yang tidak diketahui status vaksinasinya, baik anjing peliharaan maupun anjing liar. Berdasarkan laporan penelitian tentang Analisa Epidemiologi Data Surveillance Rabies di Indonesia oleh Padri dkk (1986), diketahui adanya korelasi antara jumlah penduduk, jenis kelamin dan golongan umur, orang yang mendapat vaksin anti rabies, total gigitan, populasi anjing, jumlah anjing menggigit, jumlah spesimen diperiksa, jumlah spesimen yang positif dan jumlah hewan yang divaksinasi dengan prevalensi rabies.

Di daerah-daerah/pulau-pulau yang bebas rabies kemungkinan hewan terjangkit rabies bisa saja terjadi, karena masuknya anjing atau hewan penular rabies (HPR) dari daerah tertular. Untuk melindungi daerah yang bebas rabies, tindakan pengawasan lalu lintas anjing dan hewan penular rabies yang masuk dari luar secara ketat harus dilakukan dengan konsisten.

2.4.2.2. Tindakan Karantina dan Pengawasan Lalu-Lintas

(52)

2.4.2.3. Tindakan Terhadap Hewan Tertular

Setiap anjing dan HPR yang menggigit harus dianggap sebagai hewan tertular atau tersangka rabies. Tindakan observasi selama 10-14 hari harus diterapkan. Apabila hasil observasi negatif, pemusnahan paska observasi dapat dilaksanakan berdasarkan kondisi-kondisi tertentu seperti atas permintaan pemilik atau kondisi anjing sudah tidak layak untuk dipelihara lebih lanjut.

Semua anjing dan HPR lain yang berada di wilayah administratif daerah yang terjadi wabah dinyatakan sebagai hewan tertular rabies sah dijadikan sasaran eliminasi. Hewan yang masuk dari luar ke dalam daerah wabah, terutama yang masuk secara ilegal dapat pula menjadi target pemusnahan. Pemusnahan dilakukan terutama terhadap anjing, kucing dan kera yang mempunyai potensi sangat besar dalam menularkan dan menyebarkan rabies.

2.4.2.4. Tindakan Terhadap Hewan Kontak

Hewan-hewan yang kontak dengan penderita rabies bisa saja menimbulkan masalah yang lebih besar daripada hewan tertular. Tanda-tanda klinis dari hewan tertular dapat terlihat setelah beberapa jam, beberapa hari, satu minggu atau paling lama dua minggu (Dinas Peternakan Prop.Sumut, 2006b).

(53)

Tindakan karantina untuk memudahkan observasi, baik untuk hewan-hewan yang kontak dengan penderita rabies maupun anjing atau HPR lain yang menggigit, merupakan prosedur yang harus ditempuh sampai diperoleh kepastian bahwa hewan tersebut bebas rabies. Pada dasarnya hewan-hewan yang kontak dengan penderita rabies maupun anjing yang menggigit sama sekali tidak boleh dibunuh sebelum hasil observasi dikeluarkan.

2.4.2.5. Pengendalian Lalu-lintas di Daerah Tertular

Begitu kejadian kasus rabies dipastikan maka suatu langkah yang cepat harus dilakukan untuk menetapkan daerah tertular (DT) dan daerah rawan (DR) yang mengelilingi DT, dengan merujuk dan mempedomani secara ketat ketentuan-ketentuan yang berlaku secara nasional.

Keberadaan DT berlaku hanya sampai dinyatakan bahwa anjing liar di daerah tertular sudah dimusnahkan, daerah tersebut kemudian didesinfeksi dan HPR peliharaan lainnya di DT divaksinasi. Tidak ada lalu lintas HPR dan hewan yang tidak di vaksinasi masuk maupun keluar DT. Setelah kasus rabies dapat dihilangkan dari DT dan hewan-hewan peka lainnya telah divaksinasi, maka DT bisa diturunkan menjadi DR dan hewan yang ada di DT tersebut tetap berada di bawah pengawasan dan kontrol yang ketat petugas Dinas Peternakan.

2.4.2.6. Tindakan Terhadap Anjing yang Menggigit

(54)

dimaksudkan untuk melindungi jiwa manusia dan sekaligus mengurangi korban. Apabila anjing tersebut berpemilik perlu dilihat catatan atau informasi mengenai vaksinasinya.

Tindakan terhadap hewan berpemilik yang telah divaksin apabila menggigit/mencakar dan terhadap hewan berpemilik yang kontak dengan hewan tertular rabies adalah:

- Isolasi dan observasi selama 14 hari

- Jika dalam masa observasi tetap hidup dibebaskan tetapi jika hewan tidak berpemilik maka dimusnahkan.

- Jika dalam masa observasi anjing mati, otaknya harus dikirim ke laboratorium untuk peneguhan diagnosa rabies.

Tindakan terhadap hewan berpemilik yang tidak divaksin apabila menggigit/mencakar adalah :

- Isolasi dan observasi selama 14 hari.

- Jika dalam masa observasi anjing/kucing tetap hidup dibebaskan.

- Jika dalam masa observasi anjing/kucing mati maka otaknya harus dikirim ke laboratorium untuk meneguhkan diagnosa rabies.

Tindakan terhadap hewan yang tidak berpemilik apabila menggigit/mencakar adalah anjing dibunuh dan spesimen otak dikirim ke laboratorium untuk meneguhkan diagnosa rabies. (Dinas Peternakan.Prop.Sumut, 2006b).

(55)

penertiban dan pengawasan pemeliharaan anjing dengan menetapkan beberapa ketentuan, yaitu :

1. Setiap anjing berpemilik harus divaksinasi.

2. Bagi anjing berpemilik yang tidak divaksinasi dilakukan eliminasi. 3. Anjing dipelihara di halaman dan tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran.

4. Bila rumah tidak berpagar rapat, anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak lebih dari 2 m.

5. Anjing yang sudah divaksinasi diberi tanda.

6. Apabila hendak dibawa keluar halaman, anjing harus diikat dengan rantai/tali dan moncongnya di berangus.

7. Pemilik anjing wajib mendaftarkan anjingnya pada ketua RT dan wajib melakukan vaksinasi rabies terhadap anjingnya secara teratur setiap tahun

2.4.3. Pokok-pokok Kegiatan Sektor Kesehatan

2.4.3.1. Pencegahan Rabies setelah Gigitan Hewan Penular Rabies

Setiap ada kasus gigitan hewan penular rabies harus ditangani dengan cepat dan sesegera mungkin. Untuk mengurangi/mematikan virus rabies yang masuk pada luka gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air (sebaiknya air mengalir) dengan sabun atau detergen selama 10-15 menit, kemudian diberi antiseptik (alkohol 70%, betadine, jodium).

(56)

situasi yang tidak terlalu erat dan tidak menghalangi pendarahan dan drainase. Bila memang perlu sekali untuk dijahit dengan alasan kosmetik dan dukungan jaringan. Jahitan dilakukan setelah pemberian Serum Anti Rabies (SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikkan di sekitar luka. Disamping itu harus dipertimbangkan pula perlu tidaknya pemberian serum/vaksin anti tetanus, anti biotik untuk mencegah infeksi dan pemberian analgetik ( Depkes, 2007a ).

2.4.3.2. Pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies

Pemberian vaksin anti rabies (VAR) disertai serum anti rabies (SAR) harus didasarkan jawaban atas pertanyaan terhadap penderita yang meliputi : bagaimana bentuk paparan (kontak/jilatan/gigitan), lokasi kejadian (di daerah bebas / tertular / terancam), apakah di dahului tindakan provokatif / tidak), apakah hewan yang menggigit menunjukkan gejala rabies, hewan yang menggigit (hilang / lari / dibunuh), hewan yang menggigit mati (tetapi masih diragukan menderita rabies), penderita pernah mendapat vaksin anti rabies (kapan) dan hewan yang menggigit pernah mendapat VAR (kapan).

(57)

Apabila terjadi kontak (dengan air liur hewan tersangka rabies / hewan rabies atau penderita rabies), tetapi tidak ada luka, kontak tak langsung, tidak ada kontak, maka tidak perlu diberikan pengobatan VAR maupun SAR ( Depkes, 2007a ).

2.5. Perilaku

Perilaku manusia menurut Sarwono (2004) merupakan hasil daripada segala pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan.

Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2003b) merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku ini melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut merespons. Teori ini disebut Stimulus Organisme Respons.

2.5.1. Determinan Perilaku

Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Meski stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respons tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku (Notoatmodjo, 2007). Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

(58)

2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

Berdasarkan pembagian domain perilaku kesehatan, Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2003a) membagi perilaku menjadi 3 domain yang dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan yang terdiri dari : (1) pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan (knowledge), (2) sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan ( attitude), (3) praktek atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan dengan materi pendidikan yang diberikan (practice).

Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau objek di luarnya, sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut. Ini selanjutnya menimbulkan respons batin dalam bentuk sikap subjek terhadap objek yang diketahui. Akhirnya rangsangan itu, yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap atau sehubungan dengan stimulus atau objek tadi.

(59)

1. Teori Lawrence Green.

Menurut model perubahan perilaku dari Lawrence Green dan M. Kreuter (2005), faktor-faktor penentu atau mempengaruhi perubahan perilaku dibagi atas tiga kategori yaitu :

a. Faktor predisposisi (predisposing factors)

Faktor predisposisi merupakan faktor yang dapat mempermudah atau mempredisposisi timbulnya perilaku dalam diri seorang individu atau masyarakat. Faktor-faktor yang dimasukkan ke dalam kelompok faktor predisposisi diantaranya adalah pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial.

b. Faktor pendukung (enabling factors)

Faktor pendukung perilaku adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku atau tindakan individu atau masyarakat. Faktor ini meliputi tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya. c. Faktor penguat (reinforcing factors)

Faktor-faktor yang memperkuat terjadinya suatu tindakan untuk berperilaku sehat diperlukan adalah perilaku petugas kesehatan dan dari tokoh masyarakat seperti lurah dan tokoh agama. Selain hal tersebut juga diperlukan ada tersedianya peraturan dan perundang-undangan yang memperkuat .

(60)

2. Teori Model Kepercayaan Kesehatan Rosenstock .

Menurut teori model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model) oleh Rosenstock (1982) dalam Sarwono (2004), seseorang individu baru akan melakukan suatu tindakan untuk menyembuhkan penyakitnya jika benar-benar merasa terancam oleh penyakit tersebut. Jika tidak maka dia tidak akan melakukan tindakan apa-apa.

Model kepercayaan kesehatan ini mencakup lima unsur utama, yaitu : persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit (perceived susceptibility). Mereka yang merasa dapat terkena penyakit tersebut akan lebih cepat merasa terancam. Unsur yang kedua ialah pandangan individu tentang beratnya penyakit tersebut (perceived seriousness), yaitu risiko dan kesulitan apa saja yang akan dialaminya dari penyakit itu. Unsur yang ketiga adalah pandangan individu terhadap besarnya ancaman suatu penyakit yang dapat menyerangnya (perceived threats). Ancaman ini mendorong individu untuk melakukan tindakan pencegahan atau penyembuhan penyakit. Unsur selanjutnya yang diambil individu untuk mengurangi rasa terancam terhadap suatu penyakit adalah pandangan individu tersebut tentang besarnya manfaat dan besarnya hambatan dari suatu alternaltif yang diajukan oleh petugas kesehatan (perceived benefits and barriers).

(61)

2.5.2. Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit penyakit, sistem pelayanan kesehatan, lingkungan dan sebagainya (Notoatmodjo 2003b). Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu :

2.5.2.1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance)

Usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan upaya penyembuhan bilamana sakit. Perilaku pemeliharaan kesehatan terdiri dari 3 aspek :

a. Perilaku pencegahan dan penyembuhan penyakit serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit

b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat sehingga dapat mencapai tingkat kesehatan yang optimal.

c. Perilaku gizi makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatan kesehatan tetapi dapat juga menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang bahkan dapat mendatangkan penyakit.

2.5.2.2.Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan, (health sekiing behavior).

(62)

2.5.2.3. Perilaku kesehatan lingkungan

Bagaimana seseorang merespons lingkungan baik fisik,

Gambar

Gambar 2.1. Pola Penyebaran Rabies di Lapangan
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1. Besar Sampel yang Diteliti di Wilayah Kecamatan Sumbul
Tabel 3.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena nilai signifikansi &lt; 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan guru dalam mengajar berpengaruh terhadap kesulitan belajar siswa.. Berdasarkan arah

Panalungtikan anu geus pernah dilakukeun ku mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah patali jeung kasalahan morfologis aya dua nya éta (1) “Kasalahan Morfologis dina

Paket rapat Fullday 1 hari untuk peserta value gathering dengan peserta sejumlah pegawai kanwil, KPPN yang sekota dengan kanwil, panitia, dan peserta TOT Change. Agent dengan

Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Grossl dan Sparks (1994) tentang kecepatan kinetik adsorpsi ion logam Cu 2+ dengan menggunakan goethite sebagai adsorben

TATA CARA PERHITUNGAN : Dokumen dihitung tercapai apabila ditetapkan paling lambat sesuai dengan target yang telah ditetapkan.. : Bagian Program dan Pelaporan,

Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa ikatan sekunder sangat menentukan ketahanan polimer thermoplastik terhadap deformasi plastik atau yang selama ini kita

Jumlah spektrum lebih sedikit Resolusi spasial Tinggi (0,5 - 4m) untuk pemetaan skala lokal Hanya kawasan kecil yang terliput Resolusi temporal Pemetaan regular memungkin

: fossils dan umur batuan batuan – – ALLOCHTHONOUS ALLOCHTHONOUS SEDIMENTS (material SEDIMENTS (material yang terangkut masuk yang terangkut masuk dalam cekungan sedimen)