• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2 Kajian Pustaka

2.2.9 Self Disclosure

Proses mengungkapkan informasi pribadi kita kepada orang lain atau sebaliknya disebut dengan self disclosure. Salah satu tipe komunikasi dimana informasi mengenai diri (self) yang biasanya disembunyikan diri orang lain, kini dikomunikasikan kepada orang

lain. Josep Luft mengemukakan teori Self Disclosure berdasarkan pada modal interaksi model interaksi manusia yang di sebut JohariWindow.

Johari Window

Diketahui oleh

diri Tidak diketahui oleh diri sendiri oleh diri sendiri

Diketahui oleh orang

lain 1 2

Terbuka Buta

3 4

Tidak diketahui orang lain

Tersembuny

i Tidak diketahui

Gambar 2.5 Johari Window

Menurut Luft, orang memiliki atribut yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri (1), hanya diketahui orang lain (2), diketahui oleh dirinya sendiri dan orang lain (3), dan tidak diketahui oleh siapapun (4). Kuadaran 1 (satu) mencerminkan keterbukaan akan semakin membesar. Jika komunikasi antara dua orang berlangsung dengan baik, maka akan terjadi disclosure yang mendorong informasi mengenai diri masing-masing ke dalam kuadaran terbuka. Kuadran 4 (empat) sulit untuk diketahui. Merupakan alam bawah sadar yang

hanya akan dapat diketahui melalui berbagai teknik penyingkapan alam bawah sadar (Rakhmat, 2004:135).

Menurut De Vito (2008:128) ada beberapa keuntungan dari self disclosure yakni:

1. Memahami diri sendiri secara lebih mendalam

2. Meningkatkan kemampuan untuk menghadapi rasa bersalah ketika terlibat dalam sebuah permasalahan

3. Energy release akan hal-hal sulit yang dialami

4. Meningkatkan efisiensi dan berkomunikasi dengan orang sekitarnya 5. Membina hubungan yang bermakna melalui komunikasi antar pribadi 6. Kesehatan fisiologis karena lebih terbuka dan mengurangi beban pikiran 2.2.9.1 Dimensi Self Disclosure

Self disclosure memiliki berbagai dimensi menurut Joseph A. Devito (2008:40) menyebutkan ada 5 dimensi self disclosure, yaitu (1) ukuran disclosure, (2) valensi self-disclosure, (3) kecermatan dan kejujuran, (4) maksud dan tujuan, dan (5) keakraban. Ini berbeda dengan dimensi yang dikemukakan oleh Fisher (1986) yang menyebutkan dua sifat pengungkapan yang umum dalam self-disclosure adalah memperhatikan jumlah (seberapa banyak informasi tentang diri yang diungkapkan) dan valensi (informasi yang diungkapkan bersifat positif atau negatif). Apabiladiperbandingkan, fokus yang dikemukakan Fisher hanya pada jumlah atau dalam istilah Devito “ukuran” dan valensi saja.

Kini kita mencoba untuk mendalami kelima dimensi tersebut dengan memadukan apa yang diungkapkan Devito dan Fisher, dengan melihat contohnya dalam hidup keseharian kita.

1. Ukuran/jumlah self-disclosure

Hal ini berkaitan dengan seberapa banyak jumlah informasi diri kita yang diungkapkan. Jumlah tersebut bisa dilihat berdasarkan frekuensi kita menyampaikan pesan-pesan self-disclosure atau bisa juga dengan menggunakan ukuran waktu, yakni berapa lama kita menyampaikan pesan-pesan yang mengandung self-disclosure pada keseluruhan kegiatan komunikasi kita dengan lawan komunikasi kita. Misalnya, dalam percakapan antara anak dan orang tuanya, tentu tidak sepanjang percakapan di antara keduanya. Taruhlah

berlangsung selama 30 menit itu bersifat self-disclosure. Mungkin hanya 10 menit saja dari waktu itu yang percakapannya menunjukkan self-disclosure, seperti saat anak menyatakan kekhawatirannya nilai rapornya jelek untuksemester ini atau tatkala si anak menyatakan tengah jatuh hati pada seseorang.

2. Valensi Self-disclosure

Hal ini berkaitan dengan kualitas self-disclosure kita: positif atau negatif.

Saat kita menyampaikan siapa diri kita secara menyenangkan, penuh humor, dan menarik seperti yang dilakukan seorang tua yang berkepala botak yang menyatakan, “Inilah model rambut yang paling cocok untuk orang seusia saya.”

Ini merupakan self-disclosure yang positif. Sebaliknya, apabila orang tersebut mengungkapkan dirinyadengan menyatakan, “Sudah berobat ke sana ke mari dan mencoba berbagai metode mencegah kebotakan yang ternyata bohong semua, inilah hasilnya. Ini berarti self-disclosure negatif. Dampak dari self-disclosure yang berbeda itu tentu saja akanberbeda pula, baik pada orang yang mengungkapkan dirinya maupun pada lawan komunikasinya.

3. Kecermatan dan Kejujuran

Kecermatan dalam self-disclosure yang kita lakukan akan sangat ditentukan oleh kemampuan kita mengetahui atau mengenal diri kita sendiri.

Apabila kita mengenal dengan baik diri kita maka kita akan mampu melakukan self-disclosure dengan cermat. Bagaimana kita akan bisa menyatakan bahwa kita ini termasuk orang yang bodoh apabila kita sendiri tidak mengetahui sejauh mana kebodohan kita itu dan tidak bisa juga merumuskan apa yang disebut pandai itu.

Kejujuran, disamping itu merupakan hal yang penting yang akan mempengaruhi self-disclosure kita. Kita oleh karenanya mengemukakan apa yang kita ketahui maka kita memiliki pilihan, seperti menyatakan secara jujur, dengan dibungkus kebohongan, melebih-lebihkan atau cukup rinci bagian-bagian yang kita anggap perlu. Banyak orang memilih untuk berbohong atau melebih-lebihkan untuk hal-hal yang bersifat pribadi, namun self-disclosure yang kita lakukan akan bergantung pada kejujuran kita. Misalnya, kita bisamelihat perilaku orang yang hendak meminjam uang. Orang yang hendak berhutang biasanya mengungkapkan permasalahan pribadinya seperti tak memiliki uang untuk belanja besok hari, anaknya sakit atau biaya sekolah anaknya. Self-disclosure sering pula kemudian

berwujud penderitaan itu dilebih-lebihkan untuk memancing iba orang yang akan dipinjami.

4. Maksud dan Tujuan

Salah satu hal yang kita pertimbangkan dalam melakukan self-disclosure, adalah maksud atau tujuannya. Orang tidak mungkin tiba-tiba menyatakan dirinya apabila tidak memiliki maksud dan tujuan tertentu. Contohnya pada saat untuk mengurangi rasa bersalah atau untuk mengungkapkan perasaan. Inilah yang populer

disebut sebagai curhat itu. Kita mengungkapkan diri kita dengan tujuan tertentu, oleh karena menyadari adanya maksud dan tujuan self-disclosure itu maka kita pun melakukan kontrol atas self-disclosure yang kita lakukan. Orang yang melebih-lebihkan atau berbohong dalam melakukan self-disclosure pada satu sisi bisa dipandang sebagai salah satu bentuk kontrol supaya self-disclosure-nya mencapai maksud atau tujuan yang diinginkannya.

5. Keakraban

Fisher mengungkapkan bahwa keakraban merupakan salah satu hal yang serta kaitannya dengan komunikasi self-disclosure. Apa yang diungkapkan itu bisa saja hal-hal yang sifatnya pribadi atau intim misalnya mengenai perasaan kita, tetapi bisa juga mengenai hal-hal yang sifatnya umum, seperti pandangan kita terhadap situasi politik mutakhir di tanah air atau bisa saja antara hal yang intim/pribadi dan hal yang impersonal publik.

Berkenaan dengan dimensi self-disclosure yang disebut terakhir, kita bisa mengacu pada apa yang dinamakan Struktur Kepribadian Pete yang dikembangkan Irwin Altman dan Dalmas Taylor dengan Teori Penetrasi Sosial-nya (Budyatna dan Ganiem, 2011: 225).

Struktur Kepribadian Pete ini digambarkan kepribadian manusia itu seperti bawang, yang memiliki lapisan-lapisan. Setiap lapisan itu menunjukkan derajat keakraban orang yang menjalin relasi atau berkomunikasi. Kerangka Teori Penetrasi Sosial yakni kita menjalin hubungan dengan orang lain, misalnya pada tahap awal kita berbincang-bincang soal yang sifatnya umum saja. Kita bicara soal perkuliahan yang kita ikuti, bisa juga berbincang-bincang soal selera makanan kita. Kita disini hanya berbicara pada lapisan pinggiran dari bawang tadi yang disebut

peripheral, yang mana semakin lama akan makin masuk ke lapisan berikutnya.

Kita mulai berbicara mengenai keyakinan agama kita, aspirasi dan tujuan hidup kita, akhirnya konsep diri kita sebagai lapis terdalam “bawang” kepribadian itu.

Hal tersebut menunjukkan bahwa self-disclosure tidak berlangsung secara tiba-tiba. Informasi yang kita sampaikan tidak seluruh berisikan informasi yang sifatnya pribadi, bisa saja bercampur-baur dengan informasi yang bersifat umum atau berada pada tataran periferal.

Konteks ini berarti kita sudah mulai membicarakan soal kedalaman (depth) dan keluasan (breadth) self-disclosure. Kedalaman self-disclosure sejauhmana akan ditentukan oleh derajat keakraban kita dengan lawan komunikasi. Semakin akrab kita dengannya maka akan makin dalam self-disclosure-nya, selain itu akan makin luas juga cakupan bahasan yang kita komunikasikan melalui self-disclosure itu. Ini merupakan hal yang logis. Bagaimana kita mau berbincang-bincang mengenai lapisan terdalam dari diri kita apabila kita tidak merasa memiliki hubungan yang akrab dengan lawan komunikasi kita. Apabila kita tidak akrab dengan seseorang, sebutlah dengan orang yang baru kita kenal di dalam bis atau pesawat terbang maka kita akan berbincang mengenai lapisan terluar “bawang”

tadi. Begitu juga halnya dengan upaya kita membangun keakraban maka akan menuntut kita untuk berbicara mengenai diri kita. Pada awalnya tidak menyentuh lapisan terdalam melainkan lapisan yang berada agak di luar. Kita misalnya berbicara tentang makanan yang kita sukai atau model dan warna pakaian yang digemari. Kita semakin lama akan semakin membuka diri apabila lawan komunikasi kita pun memberikan respons yang baik dengan turut membuka dirinya.

2.2.10 Komunikasi Keluarga

Keluarga merupakan forum pendidikan yang pertama dan utama dalam sejarah hidup sang anak yang menjadi dasar penting dalam pembentukan karakter manusia itu sendiri (Hyoscyamina, 2011 : 144). Pembentukan karakter anak tersebut akan tercapai apabila adanya komunikasi yang baik antara orang tua dan anaknya (Pusungulaa dkk, 2015 : 2).

Keluarga memiliki peran dalam mempengaruhi terhadap pola interaksi sosial anak. Keluarga juga sebagai tempat pembentukan kepribadian anak (Rohmat, 2010 : 44).

Lingkungan pertama dan utama yang dapat mengarahkan seorang anak untuk menghadapi kehidupannya adalah keluarga. Melalui keluarga, anak dibimbing untuk mengembangkan

kemampuan dan kreativitasnya serta menyimak nilai-nilai sosial yang berlaku (Afrina dkk, 2010 : 36)

Lingkungan diluar keluarga akan turut andil dalam pembentukan perilaku anak. Anak-anak mudah sekali untuk mengadopsi dan meniru apa saja yang mereka lihatdan mereka dengar.

Perhatian mereka terhadap hal-hal yang ada disekelilingnya banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang mereka anut (Ramadhani 2013:113) Ada beberapa unsur penting dalam diri individu yang perlu dikembangkan dalam keluarga. Di antaranya adalah intelektualitas yang berorientasi pada kebudayaan, moral keagamaan, kemandirian, orientasi pada prestasi dan produkvitivitas, serta kemandirian. Bila unsur-unsur tersebut berkembang dengan baik maka ia akan dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapi, mampu mencukupi diri, kompetitif, adaptif dan dapat memajukan lingkungan sosial dan budayanya, serta berperilaku etis (Faturochman, 2001 : 5).

Komunikasi keluarga menurut Rae SeWiwig (dalam Lumanauw, 2014 : 2), adalah suatu pengorganisasian yang menggunakan kata-kata, sikap tubuh (gesture), intonasi suara, tindakan untuk menciptakan harapan image, ungkapan perasaan serta saling membagi pengertian. Proses komunikasi antara orangtua dan anak dalam menanamkan perilaku positif berlangsung secara tatap muka dan berjalan dua arah artinya ketika orangtua mengkomunikasikan pesan-pesan yang berisi nilai-nilai positif yang akan mempengaruhi perilaku anak ke arah yang positif pula, komunikasi berjalan dengan adanya interaksi di antara orangtua dan anak (Ramadhani, 2013 : 119).Menurut Wahidah (2011 : 167), komunikasi akan sukses apabila orang tua memiliki kredibilitas di mata anaknya. Bagaimana caranya agar komunikasi dalam keluarga bisa efektif, ada enam hal yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Respect

Penghargaan (respect) komunikasi harus diawali dengan sikap saling menghargai. Adanya penghargaan biasanya akan menimbulkan kesan serupa (timbal balik) dari si lawan diskusi.

orangtua akan sukses berkomunikasi dengan anak jika ia melakukannya dengan penuh penghargaan. Jika ini dilakukan, maka anak pun akan melakukan hal yang sama ketika berkomunikasi dengan orang tua atau orang di sekitanya.

2. Empati.

Empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri kita pada situasi dan kondisi yang dihadapi orang lain. Syarat utama dari sikap empati adalah kemampuan untuk mendengar dan

mengerti orang lain, sebelum didengar dan dimengerti oleh orang lain. orangtua yang baik tidak akan menuntut anaknya untuk mengerti keinginannya, tapi ia akan berusaha memahami anak atau pasangannya terlebih dulu. Ia akan membuka dialog dengan mereka, mendengar keluhan dan harapannya. Mendengarkan di sini tidak hanya melibatkan indera saja, tapi melibatkan pula mata hati dan perasaan. Cara seperti ini dapat memunculkan rasa saling percaya dan keterbukaan dalam keluarga.

3. Audible

Audibleyang berarti dapat didengarkan atau dapat dimengerti dengan baik. Sebuah pesan harus dapat disampaikan dengan cara atau sikap yang bisa diterima oleh si penerima pesan.

Raut muka yang cerah, bahasa tubuh yang baik, kata-kata yang sopan, atau cara menunjuk, termasuk dalam komunikasi yang dapat dimengerti dengan baik.

4. Kejelasan.

Pesan yang disampaikan harus jelas maknanya dan tidak menimbulkan banyak pemahaman, selain harus terbuka dan transparan. Ketika berkomunikasi dengan anak, orang tua harus berusaha agar pesan yang disampaikan bisa jelas maknanya. Salah satu caranya adalah berbicara sesuai bahasa yang mereka pahami (melihat tingkatan usia).

5. Ketepatan.

Dalam membahas suatu masalah hendaknya proporsi yang diberikan tepat baik waktunya, tema maupun sasarannya. Waktu yang tepat untuk membicarakan masalah anak misalnya pada waktu makan malam. Pada waktu sarapan pagi, karena ketergesaan maka yang dibicarakan umumnya masalah yang ringan saja.

6. Kerendahan hati

Sikap rendah hati dapat diungkapkan melalui perlakuan yang ramah, saling menghargai, tidak memandang diri sendiri lebih unggul ataupun lebih tahu, lemah lembut, sopan, dan penuh pengendalian diri. Dengan sikap rendah hati ini maka lawan diskusi kita menjadi lebih terbuka, sehingga banyak hal yang dapat diungkapkan dari diskusi tersebut.

2.2.11 .Broken Home

2.2.11.1 Pengertian Broken Home

Arti Broken Home dalam bahasa Indonesia adalah perpecahan dalam keluarga.

Broken Home dapat juga diartikan dengan kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan pertengkaran (Santrock:2002). Broken

Home adalah kurangnya perhatian dari keluarga atau kurangnya kasih sayang orang tua sehingga membuat mental seorang anak menjadi frustasi, brutal dan susah diatur (Kartono: 1996). Broken Home adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suasana keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalannya kondisi keluarga yang rukun dan sejahtera yang menyebabkan terjadinya konflik dan perpecahan dalam keluargaMatinka (dalam Lestari: 2013). Selain itu, istilah Broken Home juga digunakan untuk menggambarkan keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun dansejahtera akibat seringnya terjadi konflik yang menyebabkanperpisahan

2.2.11.2 Ciri-ciri Keluarga Broken Home

Berdasarkan beberapa asumsi dalam literatur, peneliti menemukan bahwa keluarga Broken Home bukan hanya keluarga dengan kasus perceraian saja. Keluarga Broken Home secara keseluruhan berarti keluarga dimana fungsi ayah dan ibu sebagai orang tua tidak berjalan baik secara fungsional. Fungsi orang tua pada dasarnya adalah sebagai motivator primer bagi anak, sebagai tempat anak untuk mendapatkan kasih sayang dan sebagainya. Jikalau fungsi orang tua ini terhambat maka aspek-aspek khusus dalam keluarga bisa dimungkinkan tidak terjadi . Pada hakekatnya, anak membutuhkan orangtuanya untuk mengembangkan kepribadian yang sehat. Pada masa remaja, remaja memerlukan figur tertentu yang nantinya bisa menjadi figure sample dalam internalisasi nilai-nilai remajanya. Dengan tidak berfungsinya peran orang tua sebagaimana mestinya, makahal ini bisa terhambat

2.2.11.3 Aspek-aspek yang Mempengaruhi Anak Mengalami Broken Home

Terdapat empat aspek yang mempengaruhi remaja mengalami Broken Home Hartley (dalam Sumadi: 2007), yaitu:

1). Terjadinya perceraian.

2). Ketidakdewasaan sikap orang tua yang bertengkar di depan anak-anaknya.

3). Tidak bertanggung jawabnya orang tua sehingga tidak memikirkan dampak dalam kehidupan anak-anak mereka.

4). Jauh dari Tuhan sehingga masalah-masalah tidak diserahkan kepada Tuhan, kehilangan kehangatan dalam keluarga antara orang tua dan anak

2.2.11. 4 Dampak Bagi Korban Broken Home

Beberapa dampak yang muncul dari seorang yang mengalami Broken Home antara lain:

1). Academic Problem

Seseorang yang mengalami Broken Home akan menjadi orang yang malas belajar, dan tidak bersemangat serta tidak berprestasi.

2).Behavioural Problem

Mereka mulai membrontak, kasar, masa bodoh, memiliki kebiasaan merusak, seperti mulai merokok, minum-minuman keras, judi, dan lari ketempat pelacuran

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian

Penelitian pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan suatu kebenaran atau untuk lebih mudah membenarkan kebenaran.Usaha untuk mencari kebenaran dilakukan oleh para filsuf, peneliti maupun para praktisi melalui model-model tertentu.

Model-model tertentu biasanya disebut dengan paradigma (Moleong, 2010: 49).

Meskipun tidak bisa disetarakan dengan seperangkat teori semata, paradigma memberikan arah tentang bagaimana pengetahuan harus didapat dan teori-teori apa yang seharusnya digunakan dalam sebuah penelitian. Menurut Thomas Khun (dalam Bulaeng, 2004: 2), paradigma didefenisikan sebagai suatu pandangan dunia dan model konseptual yang dimiliki oleh anggota masyarakat ilmiah yang menentukan cara mereka meneliti.

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme (pandangan/pendapat) dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Dalam paradigma konstruktivisme, realitas sosial pada hakekakatnya tidak pasti namun relatif.

Karena kerelatifannya, maka pemaknaan setiap orang tergantung bagaimana ia terlibat dalam peristiwa sosial tertentu. Seseorang hanya dapat mengerti dari sisi dalam, bukan dari luar realitas sosial.Dalam konteks ini ilmu sosial bersifat subyektif.

Pada penelitian kualitatif peneliti dituntut sebagai instrumen utama penelitian, hal ini bermakna bahwa peneliti harus cerdas dalam menafsirkan, mengartikan, memaknai, menginterpretasikan data yang didapatkan menjadi sebuah jawaban penelitian. Paradigma interpretatif digunakan dalam penelitian ini karena paradigma ini menyatakan bahwa pengetahuan dan pemikiran awam berisikan arti atau makna yang diberikan individu terhadap pengalaman dan kehidupannya sehari-hari melalui paradigma interpretatif, peneliti dapat melihat bagaimana pola komunikasi orang tua tunggal berlangsung selama kehidupan menjadi orang tua tunggal dimulai. Maka, untuk melihat hal tersebut, peneliti menggunakan cara pandang atau paradigma interpretatif sebagai bahan untuk melakukan penelitian.

Metode penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Nazir (2011 : 54), “metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang”. Pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan

data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dalam penilitian ini peneliti hanya menggambarkan keadaan atau suasana yang sebenarnya terjadi pada saat sekarang, dalam hal ini mekanisme sebuah proses berdasarkan survei yang dilakukan dengan cara observasi dan wawancara.

Metode penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif yang mendeskripsikan data analisis kualitatif. Pemilihan metode penelitian deskriptif kualitatif ini dipilih agar dapat menjelaskan sedetail-detailnya gambaran tentang fenomena penelitian yang diteliti. Dalam penelitian ini peneliti berusaha menggambarkan bagaimana proses komunikasi keluarga yang terjadi dpada anak korban Broken Home. Proses komunikasi yang ingin peneliti lihat dan pahami merupakan salah satu fenomena komunikasi yang dialami oleh subjek penelitian, Dalam penelitian ini peneliti mengungkap masalah dan fakta yang peneliti temui di lapangan untuk kemudian nantinya peneliti analisis. Dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif diharapkan berbagai pertanyaan seputar masalah proses komunikasi antara anak dan orangtua dapat terjawab.

3.2 Subjek Penelitian dan Objek Penelitian

Subjek penelitian pada penelitian kualitatif adalah sejumlah individu yang menjadi informan yang dipilih sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian.Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah anak korban Broken Home di Kota Medan dengan rentang usia 14 sampai dengan 23 tahun. Yang nantinya bagaimana komunikasi keluarga yang terjalin pada mereka dengan orang tua maupun anggota keluarga lainnya.

Subjek penelitian ini nantinya akan diperoleh dengan teknik sampling yang penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Subjek penelitian ini merujuk pada informan ataupun responden yang akan dimintai keterangan mengenai penelitian ini.

Objek penelitian merupakan hal yang merujuk pada masalah yang sedang diteliti.

Objek penelitian yang diteliti adalah pola komunikasi keluarga yang diterapkan oleh anak Broken Home.Dalam hal ini objek penelitian tidak hanya semata-mata dari responden yang bersangkutan, juga terdapat beberapa hal di dalam objek penelitian ini

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian ini diperoleh melalui sumber data primer dan data sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada peneliti, dalam hal

ini adalah anak Broken Home, sedangkan sumber data sekunder diperoleh melalui sahabat, keluarga, tetangga dan beberapa aspek yang dapat memberikan informasi tentang hal yang diteliti. Data primer dan sekunder yang digunakan adalah melalui:

1. Wawancara

Wawancara dalam suatu penelitian bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat, yang merupakan pembantu utama dari metode observasi. Wawancara dalam penelitian ini menggunakan wawancara semi-terstruktur.

2. Dokumentasi

Untuk hasil wawancara yang direkam dengan baik dan peneliti memiliki bukti telah melakukan interview kepada interviewee, maka diperlukan bantuan alat-alat sebagai berikut:

a. Tape Recorder

Alat perekam ini digunakan untuk merekam semua pembicaraan. Penggunaan alat perekam dalam hal ini adalah alat perekam dari telepon genggam yang dimiliki peneliti, dan dalam wawancara dapat digunakan setelah peneliti mendapatkan izin dari subjek untuk mempergunakannya.

b. Alat Tulis

Alat tulis digunakan untuk menulis pada lembar observasi untuk mencatat semua percakapan dengan interviewee. Penggunaan alat tulis dalam wawancara dapat digunakan pada saat wawancara berlangsung.

3.4 Teknik Analisis Data

Pada penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif.

Dalam penelitian ini, peneliti memperoleh data dari informan yang memiliki kriteria sesuai dengan yang ditetapkan peneliti, kemudian peneliti menggunakan teknik pengumpulan data

Dalam penelitian ini, peneliti memperoleh data dari informan yang memiliki kriteria sesuai dengan yang ditetapkan peneliti, kemudian peneliti menggunakan teknik pengumpulan data

Dokumen terkait