• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

4. Sensitisasi Hewan Coba

Terdapat beberapa spesies binatang yang digunakan sebagai binatang model asma, di antaranya adalah tikus putih, tikus, marmut, musang, anjing, kambing, monyet, dan kuda. Dari spesies-spesies tersebut, yang paling banyak digunakan adalah tikus putih karena memiliki keuntungan yang paling besar dibanding spesies lain, di antaranya adalah karena IgE

merupakan antibodi terhadap alergi yang utama pada tikus putih (Shin et al., 2009).

Tikus putih secara tipikal meningkatkan dominasi Th2 pada respon imun, dan menginduksi parameter respon alergi seperti IgE spesifik alergen, Airway Hyperresponsiveness (AHR), dan meningkatkan inflamasi eosinofilik pada jalan nafas (Shin et al., 2009).

Ovalbumin (OVA) digunakan sebagai sensitisasi, komponen OVA utamanya adalah putih telur, secara struktural adalah serpin (sejenis protein). OVA merupakan fosfoglikoprotein monomer dengan berat

molekul 43 hingga 45 kD dan bersifat asam pada titik isoelektrik (Huntington & Stein, 2001). OVA memiliki peran dalam peningkatan IgE secara spesifik. Mayoritas model yang sekarang digunakan adalah tikus putih yang disensitisasi dengan ovalbumin secara intraperitoneal, yang dalam penggunaannya sering bersama-sama dengan adjuvant sel Th2, seperti alumunium hidroksida (Kips et al., 2003; Diding dkk., 2007). Alumunium hidroksida(Al(OH)3), merupakan alumunium yang paling stabil dalam kondisi normal. Al(OH)3 dimasukkan sebagai

adjuvant pada beberapa vaksin karena perannya dalam menginduksi respon Th2 (Petrovsky & Aguilar, 2004).

Dalam penelitian untuk mensensitisasi hewan coba menggunakan tikus putih diimunisasi dengan suntikan ovalbumin (OVA; 8µg) intraperitoneal (i.p) yang diencerkan dengan jel alumunium hidroksida (1 mg) dalam 0,5 ml PBS, dan diulangi pada hari ke-14. Sedangkan

pemaparan tikus dengan 10 µg of OVA memberikan kadar tertinggi IgE dan IgG. Penelitian lain untuk membuat asma alergi, maka tikus putih disensitisasi dengan menginjeksikan secara i.p. 10 µg OVA yang dilarutkan ke dalam 2.25 mg alumunium hidroksida dalam 100 µl saline

pada hari ke-0 dan 14. Pada hari ke-35, 39, dan 42, tikus putih dipapar dengan inhalasi OVA aerosol selama 20 menit. Aerosol menggunakan

nebulizer cairan OVA (10mg/ml) dalam saline menggunakan Pari LC Star nebulizer (Pari Respiratory Equipment, Richmond, VA) yang digerakkan kompresor udara dengan flow rate 6L/min. Untuk protokol penelitian pemaparan antigen akut (kurang lebih 1 bulan) maupun kronik (lebih dari 2 bulan), tikus putih diimunisasi secara s.c. pada hari ke-0, 7, 14, dan 21 dengan 25 µg OVA (grade V; Sigma-Aldrich, St. Louis, MO) yang dilarutkan pada 1 mg alumunium hidroksida (Sigma-Aldrich) dalam 200 µl PBS (Phosphat Buffer Saline).

a. Tikus Putih Model Asma Alergi Akut

Sifat dari model inflamasi akut dipengaruhi oleh pilihan strain, alergen, dan protokol sensitisasi dan paparan. Alergen yang umumnya dipakai adalah ovalbumin (OVA), yang merupakan derivat dari telur ayam. OVA relatif tidak mahal, tidak berbahaya, dapat dimurnikan, dan memiliki epitop yang mendominasi respon imun (Shin et al.,

2009).

Protokol sensitisasi pada model inflamasi akut biasanya membutuhkan pemberian alergen secara sistemik yang multiple

dengan penambahan adjuvant (Nials &Uddin, 2008). Adjuvant seperti alumunium hidroksida [Al(OH)3] diketahui menginduksi perkembangan fenotip Th2 oleh sistem imun ketika dipapar antigen (Nials & Uddin, 2008; Shin et al., 2009).

Protokol tanpa adjuvant juga dapat dilakukan, tetapi membutuhkan alergen dalam jumlah yang lebih banyak. Setelah sensitisasi (14-21 hari), jalan nafas tikus putih dipapar dengan alergen, biasanya selama beberapa hari. Alergen dapat diinhalasi menggunakan formulasi nebulizer (aerosol), atau dengan intratrakeal (i.t) atau intranasal (i.n) (Nials & Uddin, 2008). Paparan pada model inflamasi akut ini disebut dengan paparan alergen primer (Shin et al., 2009). Protokol untuk yang akut adalah pemaparan OVA secara intranasal (20 µg dalam 50 µl PBS) diberikan pada hari ke-26, 28, 30, dan 35, dan tikus putih dikorbankan pada hari ke-36 (Hopfenspriger et al., 2002).

Paparan primer pada model inflamasi akut memperlihatkan perubahan seperti asma di klinik seperti peningkatan kadar IgE, inflamasi jalan napas, hiperplasia sel goblet, hipertrofi epitel, AHR yang spesifik stimulus, dan -pada beberapa model- bronkokonstriksi fase cepat dan fase lambat. Namun, karena paparan ini bersifat paparan singkat, maka tidak dijumpai beberapa lesi yang ada pada asma kronik pada manusia, seperti inflamasi kronik pada dinding jalan napas dan remodelling jalan nafas. Terlebih lagi, beberapa proses

berjalan singkat, dan pada beberapa model, inflamasi jalan nafas dan AHR berkurang setelah beberapa minggu dari paparan alergen terakhir. Oleh karena itu, model paparan akut lebih cocok digunakan untuk meneliti proses yang mendasari inflamasi jalan napas akut dan AHR (Nials & Uddin, 2008).

b. Tikus Putih Model Asma Alergi Kronik

Tujuan pembuatan model inflamasi kronik adalah untuk memperlihatkan perubahan yang terjadi seperti pada asma di klinik, seperti AHR yang persisten dan remodelling jalan nafas, dan juga memungkinkan evaluasi obat baru sebagai rancangan terapi daripada sebagai rancangan profilaksis (Nials & Uddin, 2008). Selain itu, keuntungan dari protokol ini adalah kemampuannya untuk memonitor perubahan parameter inflamasi (Shin et al., 2009). Paparan kronik alergen dilakukan dengan memaparkan secara berulang jalan nafas dengan alergen kadar rendah sampai selama 12 minggu (Nials & Uddin, 2008). Sedangkan Shin et al. (2009) menuliskan paparan untuk model asma kronik (paparan sekunder) diberikan 2-6 minggu setelah paparan primer ketika eosinofilia jalan nafas dan AHR menurun sampai baseline level. Pemaparan kronik alergen memperlihatkan perubahan-perubahan seperti asma pada manusia, termasuk alergen dependent sensitisasi, Th2 dependent inflamasi alergi dengan karakteristik influks eosinofil pada mukosa jalan nafas, AHR,

remodelling jalan nafas seperti hiperplasia sel goblet, hipertrofi epitel, dan fibrosis subepitelial atau peribronkiolar (Nials & Uddin, 2008). Sedangkan protokol untuk yang kronik, tikus putih yang telah mendapatkan pemaparan OVA intranasal pada hari ke-26, 28, 30 seperti pada protokol akut dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian pemaparan OVA intranasal dua minggu sekali. Untuk melakukan pemberian intranasal, tikus putih diberikan anestesi dengan isoflurane (Isosol TM; Abbott Laboratories, North Chicago, IL) (Ikeda R.K., 2003). Sedangkan pada penelitian Cho et al., 2004, tikus putih diimunisasi i.p. pada hari ke-0 dan 12 dengan 50 µg OVA (grade V; Sigma-Aldrich, St. Louis, Missouri, USA) dilarutkan pada 1 mg alum (Sigma-Aldrich) dalam 200 µl normal saline. Pemaparan OVA intranasal (20 µg/ 50 µl dalam PBS) diberikan pada hari ke-26, 29, dan 31 di bawah, anestesi dengan isoflurane (Vedco lnc., St. Joseph, Missouri, USA) dan kemudian diulangi dua minggu sekali selama 3 bulan. Tikus putih dikorbankan 24 jam setelah akhir pemaparan OVA terakhir (Cho J. Y., 2004).

B. Kerangka Pemikiran

Dokumen terkait