• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH EKSTRAK ETANOL PROPOLIS TERHADAP HITUNG SEL MAST INTESTINAL PADA TIKUS PUTIH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARUH EKSTRAK ETANOL PROPOLIS TERHADAP HITUNG SEL MAST INTESTINAL PADA TIKUS PUTIH"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH EKSTRAK ETANOL PROPOLIS TERHADAP HITUNG SEL MAST INTESTINAL PADA TIKUS PUTIH

(Rattus norvegicus) MODEL ASMA ALERGI

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Okky Dita Rachmadian G0008035

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

iii

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan

sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam

naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, Januari 2012

Okky Dita Rachmadian

G.0008035

(3)

iv ABSTRAK

Okky Dita Rachmadian, G.0008035, 2012. Pengaruh Ekstrak Etanol Propolis terhadap Hitung Sel Mast Intestinal pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Model Asma Alergi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan Penelitian: Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol propolis terhadap hitung sel mast intestinal pada tikus putih (Rattus norvegicus) model asma alergi.

Metode Penelitian: Eksperimental laboratorik dengan the post test only control group design menggunakan 35 ekor tikus putih jantan, dibagi dalam 5 kelompok yaitu kontrol (K1), asma alergi (ovalbumin) (K2), ovalbumin (OVA) dan antihistamin generasi III dosis 2 mg/tikus/hari (K3), OVA dan ekstrak propolis dosis 100 mg/kg BB/hari (K4), sedangkan OVA dan ekstrak propolis dosis 200 mg/kg BB/hari (K5). Sensitisasi pada hari ke-1 dan ke-14 dengan 2,5 cc OVA/ tikus/ i.p, dilanjutkan pemaparan OVA aerosol menggunakan nebulizer kecepatan 6 L/ menit selama 20 menit pada hari ke-21, 23, 25, dan 28. Antihistamin dan ekstrak propolis diberikan per oral selama 28 hari berturut-turut. Hari ke-29, tikus dikorbankan kemudian intestinal diambil untuk dibuat preparat dengan metode blok parafin dan pengecatan Toluidine Blue. Preparat diamati di mikroskop dan sel mast dihitung dalam tiga lapang pandang per preparat. Hasil penelitian dianalisis dengan uji Kruskal Wallis dengan menggunakan program SPSS

Windows Release 17.0. Tingkat kemaknaan digunakan p < 0,005.

Hasil Penelitian: Hitung sel mast (median (min-maks)) sel/lapang pandang masing-masing kelompok K1 1(1-5), K2 3(1-5), K3 3(1-5), K4 2(2-3), dan K5 2(2-3). Hasil uji Kruskal Wallis tidak menunjukkan adanya perbedaan bermakna pada kelima kelompok.

Simpulan Penelitian: Pemberian ekstrak propolis dosis 100 dan 200 mg/kg BB/hari dapat menurunkan hitung sel mast intestinal pada tikus putih (Rattus norvegicus) model asma alergi namun penurunannya tidak bermakna.

Kata kunci: propolis, sel mast intestinal, asma alergi.

(4)

v ABSTRACT

Okky Dita Rachmadian, G.0008035, 2012. The Effect of Propolis Ethanol Extract on Intestines Mast Cell Count in White Mouse (Rattus norvegicus)

Allergic Asthma Model. Medical Faculty of Sebelas Maret University, Surakarta.

Objective: To find out the effect of propolis ethanol extract on intestines mast cell count in white mouse (Rattus norvegicus) allergic asthma model.

Methods: This was laboratory experimental research with the post test only control group design that used 35 male white mice, divided to 5 groups, they were control (K1), allergic asthma (ovalbumin) (K2), ovalbumin (OVA) and antihistamin generation III dosage 2 mg/mouse/day (K3), OVA and propolis extract dosage 100 mg/kg BB/day (K4), whereas OVA and propolis extarct 200 mg/kg BB/day (K5). Sensitization on day 1 and 14 dosage 2,5 cc OVA/ tikus/ i.p, then OVA aerosol with nebulizer for 20 minutes on day 21, 23, 25, and 28. Antihistamin and propolis extract was given per oral for 28 day by day. On day 29, mice were sacrificed to get intestines tissue, mast cell was accounted with

Toluidine Blue. Data was analyzed with Kruskal Wallis methodon SPSS Windows Release 17.0 program. Statistically significant p < 0,005.

Results: Mast cell count (median (min-max)) cell/ view K1 group were 1(1-5), K2 3(1-5), K3 3(1-5), K4 2(2-3), dan K5 2(2-3) respectively. There is no significant difference between five groups from Kruskal Wallis test result.

Conclusion: Propolis extract dosage 100 and 200 mg/kg BB/day can decrease intestines mast cell count in white mouse (Rattus norvegicus) allergic asthma model but it was not significant.

Key words: propolis, intestines mast cell, allergic asthma.

(5)

vi PRAKATA

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, atas segala karunia dan kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Ekstrak Etanol Propolis terhadap Hitung Sel Mast Intestinal pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Model Asma Alergi”. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan program studi pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran UNS Surakarta.

Penyusunan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM. selaku Dekan Fakultas Kedokteran UNS Surakarta;

2. R. P. Andri Putranto, dr., M.Si. selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan bimbingan, masukan, dan motivasi bagi penulis;

3. Martini, Dra., M.Si. selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan bimbingan, masukan, dan motivasi bagi penulis.

4. Diding Heri Prasetyo, dr., M.Si. selaku Penguji Utama yang telah memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini;

5. Sarsono, Drs., M.Si. selaku Anggota Penguji yang telah memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini;

6. Seluruh Dosen dan Staf bagian Biokimia FK UNS;

7. Muthmainah, dr., M.Kes. selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran UNS Surakarta beserta staf yang telah memberi pengarahan;

8. Semua pihak lainnya yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan penulis maupun peningkatan karya ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Surakarta, Januari 2012 Penulis

(6)

vii A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah... 3

4. Sensitisasi Hewan Coba ... 20

B. Kerangka Pemikiran ... 26

1. Kerangka Konsep ... 26

2. Kerangka Pikiran Teoritis ... 27

C. Hipotesis ... 28

E. Penentuan Dosis Perlakuan ... 30

F. Rancangan Penelitian ... 32

G. Identifikasi Variabel Penelitian ... 32

H. Skala Variabel ... 33

I. Definisi Operasional Variabel Penelitian... 33

J. Instrumentasi Penelitian... 34

K. Cara Kerja... 35

(7)

viii BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Hitung Sel Mast ... 38

B. Analisis Hasil ... 39

BAB V PEMBAHASAN ... 43

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ... 46

B. Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47

LAMPIRAN

(8)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kandungan Kimia Propolis

Tabel 2. Nama-nama Beberapa Flavonoid dan Aktivitas Biologisnya

Tabel 3. Hitung Sel Mast (Jumlah Sel/Lapang Pandang) Masing-Masing Kelompok Perlakuan

(9)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur Molekul Chrysin (diambil dari Harris et al., 2006) Gambar 2. Struktur Molekul Kuersetin (diambil dari Santos, et al., 2008) Gambar 3. Sel Mast dengan Pengecatan Methylene Blue (Nivaldo, 2009) Gambar 4. Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 5. Rancangan Penelitian

Gambar 6. Histogram Hitung Sel Mast Intestinal Tikus Masing-Masing Kelompok Perlakuan

Gambar 7. Sel Mast pada Kelompok Kontrol dilihat dengan Mikroskop Perbesaran 40x

Gambar 8. Sel Mast pada Kelompok Asma Alergi dilihat dengan Mikroskop Perbesaran 40x

Gambar 9. Sel Mast pada Kelompok Asma Alergi + Antihistamin Generasi III dilihat dengan Mikroskop Perbesaran 40x

Gambar 10. Sel Mast pada Kelompok Asma Alergi + Ekstrak Propolis Dosis 100 mg/kg BB dilihat dengan Mikroskop Perbesaran 40x

Gambar 11. Sel Mast pada Kelompok Asma Alergi Ekstrak Propolis Dosis 200 mg/kg BB dilihat dengan Mikroskop Perbesaran 40x

(10)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Jadwal Penelitian

Lampiran 2. Prosedur Pembuatan Ekstrak Etanol Propolis Lampiran 3. Tabel Konversi Dosis Manusia ke Hewan

Lampiran 4. Daftar Volume Maksimal Larutan Sediaan Uji yang Dapat Diberikan pada Berbagai Hewan

Lampiran 5. Data Primer Penelitian Lampiran 6. Hasil Uji Statistik Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit alergi merupakan kumpulan penyakit yang sering dijumpai di

masyarakat (Tanjung & Yunihastuti, 2006). Alergi adalah suatu keadaan

hipersensitivitas diinduksi oleh pajanan antigen tertentu yang menimbulkan

reaksi imunologi berbahaya pada pajanan berikutnya (Dorland, 2002). Salah

satu manifestasinya adalah asma alergi.

Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis

kelamin, umur, status atopi, faktor keturunan, serta lingkungan (Sundaru &

Sukamto, 2007). Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan

prevalensi baik di negara berkembang maupun di negara maju. Dampak asma

meliputi penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun,

ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di

rumah sakit dan bahkan kematian (Muchid dkk, 2007).

Sel imun yang berperan penting dalam respon inflamasi alergi antara lain

limfosit T-helper, sel plasma, sel mast, dan eosinofil (Hohlfeld, 2001).

Infiltrasi sel mast pada otot polos saluran nafas merupakan ciri khas asma dan

bertanggung jawab terhadap kerusakan fungsi saluran nafas (Jeffery et al.,

2006). Sel mast adalah mediator inflamasi pada reaksi hipersensitivitas dan

alergi.

1

(12)

Sel mast tampak sebagai sel besar yang terdapat pada jaringan pengikat,

khususnya di dermis dan mukosa sistem pernafasan serta pencernaan. Sel

mast terdiri atas granul yang mengandung bermacam-macam molekul

mediator termasuk histamin. Di permukaannya terdapat high-affinity Fcε

reseptors (FcεRI) yang memungkinkannya untuk berikatan dengan

Imunoglobulin E (IgE) (Janeway et al., 2004). IgE akan berikatan kuat

dengan reseptor di permukaan sel mast (Platts-Mill, 2001). Adanya

cross-linking antara antigen dengan IgE di permukaan sel mast akan menginduksi

pelepasan mediator yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas (Abbas dan

Lichtman, 2003). Mediator tersebut diantaranya amine biogenic, mediator

lipid dan sitokin (Robbins et al., 2007).

Pada penelitian ini, sel mast yang diambil adalah sel mast yang berada pada

jaringan intestinal karena sel mast jaringan ikat memiliki granul yang banyak

mengandung heparin dan histamin.

Asma merupakan penyakit yang tidak bisa disembuhkan secara total.

Pengobatan profilaksis memerlukan waktu lebih lama, sering menjadi

problem tersendiri (Medlinux, 2008).

Salah satu pengobatan asma yang saat ini sedang dikembangkan adalah

dengan menggunakan obat herbal. Masih banyak obat-obat tradisional

nusantara yang belum dikaji secara ilmiah khasiatnya (Handayani, 2001).

Oleh karena itu, pembuktian manfaat obat tradisional melalui uji klinik yang

didukung dengan penelitian imunologis, baik melalui penilaian kualitatif

(13)

Propolis merupakan herbal yang bisa dimanfaatkan dalam terapi asma

alergi. Senyawa terpenting dalam propolis adalah flavonoid. Salah satu

flavonoid yang terkandung dalam propolis adalah cafeic-acid dan kuersetin

(Kosalec et al., 2004). Cafeic-acid merupakan Ca-antagonist, sehingga

mampu mencegah degranulasi sel mast yang akan melepaskan

mediator-mediator inflamasi setelah sel mast terjadi Ca influks (Kuby, 1997).

Sedangkan kuersetin sebagai mast cell stabilizer (Duke, 2009) akan

menguatkan efek penghambatan degranulasi sel mast. Dengan dihambatnya

degranulasi sel mast, maka sekresi vasoaktif amin seperti histamin, mediator

lipid, serta sitokin yang berperan dalam proses inflamasi pada reaksi alergi

akan berkurang.

Berdasarkan temuan ilmiah di atas, penulis merasa perlu melakukan

penelitian mengenai efek propolis terhadap jumlah sel mast intestinal pada

tikus putih model asma alergi.

B. Rumusan Masalah

Adakah pengaruh pemberian ekstrak etanol propolis terhadap hitung

sel mast intestinal pada tikus putih (Rattus norvegicus) model asma alergi?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian

ekstrak etanol propolis terhadap hitung sel mast intestinal pada tikus putih

(14)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang

pengaruh propolis terhadap hitung sel mast intestinal pada tikus putih

(Rattus norvegicus) model asma alergi.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk

penelitian lebih lanjut dalam upaya memanfaatkan propolis sebagai obat

anti asma alergi, serta sebagai bahan pertimbangan pemanfaatan propolis

dalam pelayanan kesehatan formal.

(15)

5 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Propolis

a. Pengertian Umum

Lebah menghasilkan beberapa produk seperti madu, royal jeli,

polen dan propolis. Propolis sebagai kompleks resin yang

dikumpulkan lebah madu dari berbagai sumber tanaman untuk

kemudian dicampur dengan air liurnya, sehingga menghasilkan

produk lebah yang bermanfaat (Marcucci et al., 2001; Salatino et al.,

2005). Secara penampakan fisik (warna), aroma dan komposisi

kimiawi propolis terlihat bervariasi tergantung dari berbagai faktor.

Warnanya mungkin putih kekuningan ( krem), kuning, hijau, coklat

terang atau gelap. Beberapa sampel memiliki tekstur, rapuh keras,

sedangkan sampel lainnya mungkin elastis dan kenyal. Propolis

berasal dari bahasa Yunani, pro yang berarti pertahanan dan polis

berarti kota. Dengan demikian menyiratkan bahwa propolis sebagai

produk yang terlibat dalam pembelaan terhadap masyarakat lebah

(Salatino et al., 2005), yang digunakan oleh lebah dalam pembuatan,

pemeliharaan, perlindungan dan mensterilkan sarang lebah (Marcucci

et al., 2001).

(16)

Faktor-faktor biologis, zona geografis dan lingkungan dapat

mempengaruhi jumlah dan kualitas produksi propolis (Pereira et al.,

2009). Beberapa penelitian melaporkan bahwa komposisi propolis

dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti sumber bunga (jenis tanaman)

untuk madu, musim dan faktor-faktor lingkungan (seperti jenis tanah

dan iklim, faktor genetik, dan metode pengolahan). Dengan kata lain,

kemungkinan efek-efek yang berhubungan dengan kesehatan sangat

tergantung asal-usulnya (Baltrusaityte et al., 2007).

Komposisi propolis sangat kompleks. Unsur utamanya adalah

lilin lebah, resin dan senyawa volatil. Lebah mensekresikan lilin

lebah, sedangkan resin dan senyawa volatil berasal dari tanaman.

Aktivitas biologis propolis ditentukan oleh zat tanaman ini berasal.

Oleh karena itu, meskipun propolis jelas merupakan produk binatang,

proporsi yang cukup besar dari komponen-komponennya yang

berperan dalam menentukan aktivitas biologis berasal dari tanaman.

Resin merupakan kandungan yang kebanyakan ditemukan dalam

ekstrak alkohol dikonsumsi oleh orang dari berbagai negara sebagai

makanan pelengkap atau obat alternatif (Salatino et al., 2005).

Beberapa senyawa telah diidentifikasi dalam propolis, terutama resin

(50%), lilin (30%), minyak esensial (10%), serbuk sari (5%), dan

senyawa organik lainnya (5%) (Sivasubramaniam & Seshadri, 2005;

G’omez-Caravaca et al., 2006; Viuda-Martos et al., 2008).

(17)

b. Kandungan Kimia

Propolis mempunyai kandungan kimia yang sangat kompleks,

antara lain resin, lilin dan asam lemak, minyak esensial, protein, serta

senyawa organik lain dan mineral. Selengkapnya disajikan pada tabel

berikut :

Tabel 1. Kandungan Kimia Propolis

Kelas komponen Jumlah Group Komponen

Resin 45-55 % Flavonoid, asam fenolat dan

esternya

Lilin dan asam lemak 25-53% Sebagian besar dari lilin lebah dan beberapa dari tanaman

Minyak esensial 10% Senyawa volatile

Protein 5% Protein kemungkinan berasal

dari polen dan amino bebas

Senyawa organik lain 5% 14 macam mineral yang

dan mineral Paling terkenal adalah Fe dan

Zn, sisanya seperti Au, Ag,

dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu (i) flavonoid (flavonol,

flavon, flavanon, dan hidroflavonol), (ii) turunan cinnamic acid, dan

(iii) terpenoid. Flavonol (kaempferide, kaempferol, galangin,

isorhamnetin, rhamnetin, myricetin, fisetin dan rutin), flavon

(apigenin, acacetin, baicalein, chrysin, luteolin dan tectochrysin),

flavanon (pinocembrin, sakuranetin dan isosakura-netin), turunan

cinnamic acid (ferulic acid, p-coumaric acid dan caffeic acid) dan

terpenoids (tt-farnesol, β-caryophyllene, terpineol dan

(18)

syringaldehyde) (Sivasubramaniam & Seshadri, 2005; Lotfy, 2006).

Senyawa-senyawa tersebut memiliki peran penting dalam aktivitas

biologis propolis, antara lain sebagai imunomodulator, antimikrobial,

antioksidan, antiinflamasi, antifungal, antiprotozoa, antiparasit dan

antiproliferatif (Banskota et al., 2001; Koo et al., 2002; Ahn et al.,

2004; Lotfy, 2006; El-Bussuony & Abouzid, 2010). Sehingga banyak

digunakan sebagai ”obat” secara umum pada sistem kardiovaskuler

dan darah (anemia), alat pernapasan (untuk berbagai infeksi),

perawatan gigi, dermatologi (regenerasi jaringan, ulkus, eksim,

penyembuhan luka-terutama luka bakar, mikosis, infeksi selaput

lendir dan lesi), pengobatan kanker, perbaikan dan penunjang sistem

imunitas, saluran pencernaan (ulkus dan infeksi), hepatoprotektor dan

lain sebagainya (Sivasubramaniam & Seshadri, 2005).

c. Flavonoid

Flavonoid banyak terdapat dalam buah-buahan, sayuran dan

minuman yang berasal dari tanaman, dan dalam sejumlah makanan

suplemen maupun obat-obatan herbal (Moon et al., 2006). Flavonoid

juga dikenal sebagai bioflavonoid memiliki kelas beragam, secara

alami disusun dari polifenol tanaman yang memiliki berbagai aktivitas

biologis penting dalam terapi. Secara kimiawi dikenal ada 12 klas

flavonoid yaitu flavon, isoflavon, flavan, flavanon, flavanol

(19)

dihidrokhalkon, dan auron. Nama-nama dari flavonoid disajikan pada

tabel berikut :

Tabel 2. Nama-Nama Beberapa Flavonoid dan Aktivitas Biologisnya

Jenis flavanoid Aktivitas biologis

Anthosianidin Efek menguntungkan pada

Sirkulasi dan penglihatan, dan antibakteri

Hesperidin Mencegah kerapuhan kapiler

Myrecetin Anti-oksidan, mencegah

Kerusakan sel-sel syaraf dari

Radikal bebas

Nobitelin Anti-inflamasi dan membantu

detoksifikasi

Proanthosianidin (juga dikenal Efek anti-oksidan, 20 kali sebagai pycnogenols) lebih besar dibandingkan

vitamin E

Kuersetin Mencegah pembentukan

katarak. Membantu

permasalahan yang

berhubungan dengan alergi, seperti hay fever, asma dan

eczema. Kuersetin

strukturnya seperti obat anti-alergi yaitu disodium chromoglycate

Rutin Membantu dalam pengobatan

hipertensi, memar dan

meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit, karena sangat aman

dan toksisitasnya rendah (Moon et al., 2006). Ribuan flavonoid

(20)

tanaman telah diidentifikasi dan kadar yang berarti biologis dari

bioflavonoid dalam manusia ditunjukkan pada konsumsi 1 gram/hari.

Secara umum dianggap bersifat non-toksik (Heo et al., 2001).

Flavonoid dilaporkan memperlihatkan aktivitas biologis yang luas,

termasuk antibakteri, antiviral, antiinflamasi, antialergik dan

vasodilatasi. Flavonoid juga menunjukkan antioksidan, agregasi

trombosit, fragilitas dan permeabilitas kapiler, dan menghambat

aktivitas sistem enzim termasuk siklooksigenase dan lipoksigenase

(Viuda-Martos et al., 2008). Selain itu flavonoid berpotensi untuk

pencegahan atau pengobatan arthritis, kardiovaskuler, dan beberapa

kanker, termasuk kanker payudara (Murray et al., 2006).

1) Caffeic Acid Phenethyl Ester

Caffeic Acid Phenethyl Ester (CAPE) merupakan antioksidan

fenolik, yang memperlihatkan sejumlah efek farmakologik dan

biologik termasuk aktivitas anti-inflamasi (Jung et al., 2008),

antiviral dan anti-tumor (Orsolic et al., 2005). CAPE merupakan

penghambat yang poten dan spesifik terhadap aktivasi NF-κB

(Fitzpatrick et al., 2001).

Peningkatan reactive oxygen species (ROS) maupun aktivitas

NF-κB pada pemberian OVA inhalasi, maupun diminimalkan

dengan pemberian CAPE. Hal ini mengindikasikan stres oksidatif

memiliki fungsi penting dalam patogenesis asma bronchial dan

(21)

CAPE dapat digunakan sebagai terapi pembantu dalam

penatalaksanaan asma bronchial (Jung et al., 2008).

2) Chrysin

Chrysin (5,7-dihydroxyflavone) adalah senyawa flavon alami

yang ditemukan pada tanaman. Beberapa penelitian terkini

menunjukkan chrysin memiliki banyak aktivitas biologic, seperti

anti-inflamasi, anti-kanker, dan anti-oksidan (Cho et al., 2004;

Harris et al., 2006; Fu et al., 2007). Aktivitas anti-inflamasi

chrysin melalui mekanisme penekanan aktivitas promoter

enzim-enzim pro-inflamasi, cyclooxygenase-2 (COX-2) dan inducible

nitric oxide synthase (iNOS) (Cho et al., 2004). Chrysin berpotesi

untuk menghambat angiogenesis dan tumorigenesis, melalui

penghambatan hypoxia-inducible factor-1 (HIF-1) yang

merupakan faktor transkripsi heterodimer. HIF-1 diekspresikan

secara berlebih pada sejumlah kanker pada manusia dan kadarnya

akan meningkat pada angiogenesis dan tumorigenesis (Fu et al.,

2007).

(22)

3) Galangin

Galangin (3,5,7-trihydroxyflavone) termasuk salah satu kelas

flavonoid yang dikenal sebagai flavonol. Galangin adalah

komponen utama propolis lebah madu yang memiliki aktivitas

anti-inflamasi (Borrelli et al., 2002). Aktivitas biologis galangin

yang lain adalah menghalangi induksi mRNA iNOS selama respon

inflamasi (Blonska et al., 2004), menurunkan transkripsi COX-2

(O’Leary et al., 2004), menghambat replikasi virus secara In Vitro

(Amoros et al., 1992), menekan pertumbuhan sel bakteri (Basio et

al., 2000), dan menghambat proliferasi sel kanker payudara

melalui penurunan regulasi siklin D3, E, dan A. Galangin

menghambat aktivitas aryl hydrocarbon receptor (AhR), suatu

faktor transkripsi yang terlibat dalam memprakarsai dan

pertumbuhan tumor payudara (Murray et al., 2006).

4) Kuersetin

Kuersetin (3,3’,4’,5,7-pentahydroxyflavone), merupakan

flavonoid yang banyak ditemukan pada tanaman ataupun

buah-buahan termasuk bawang, brokoli, apel, teh, coklat, dan anggur

merah. Kuersetin adalah flavonoid utama yang banyak ditemukan

pada makanan yang dikonsumsi manusia, di USA diperkirakan

asupan kuersetin berkisar 25 mg/hari (Nanua et al., 2006).

(23)

Gambar 2. Struktur Molekul Kuersetin (diambil dari Santos, et al., 2008)

Oleh karena itu, kuersetin memiliki aktivitas biologis yang

beragam. Aktivitas biologis yang ditunjukkan antara lain adalah

efek pro-apopotosis dan anti-proliferatif untuk sejumlah sel

kanker ataupun pre-neoplastik, anti-inflamasi, proteksi terhadap

stress oksidatif.

Pemanfaatan kuersetin untuk kesehatan, antara lain :

a) Manfaat kuersetin pada penyakit saluran nafas

Manfaat potensi kuersetin dalam pengobatan penyakit

saluran nafas, karena beberapa penelitian telah menunjukkan

efek penghambatan pada produksi sitokin atau kemokin

dalam kultur sel. Kuersetin dapat mengurangi produksi Nitric

Oxide (NO) yang diinduksi lipopolisakarida, ekspresi

inducible Nitric Oxide Synthase (iNOS), dan pelepasan

TNF-α dan IL-6. Kuersetin sangat mengurangi aktivasi

Mitogen-Activated Protein Kinases (MAPK) dan NF-κB, suatu

(24)

ekspresi gen-gen pro-inflamasi (Cho et al., 2003). Kuersetin

juga memiliki efek penghambatan terhadap aktivasi sel mast

dan pelepasan histamin, TNF-α, IL-6, dan IL-8 (Kimata et

al., 2005). Kuersetin menghambat induksi IL-8 dan Monocyte

Chemotractant Protein (MCP)-1 oleh TNF-α pada kultur sel

sinovial manusia. EM-X, suatu campuran mengandung

kuersetin berasal dari fermentasi beras yang tidak dipoles,

papaya, dan rumput laut, memperlihatkan penghambatan

ekspresi IL-8 yang diinduksi TNF-α pada kultur sel epitel

alveolar manusia (Deiana et al., 2002). Hasil-hasil penelitian

tersebut konsisten pada suatu gagasan yang memperlihatkan

bahwa kuersetin dapat mengurangi inflamasi saluran nafas

pada pasien asma.

b) Manfaat kuersetin pada sistem kardiovaskuler

Flavonoid dapat memperbaiki fungsi endotel dan

akhirnya menyebabkan efek kardiovaskuler yang

menguntungkan. Kuersetin dapat meningkatkan status NO

dan mengurangi konsentrasi endotelin-1 dan dengan

demikian dapat memperbaiki fungsi endotel (Loke et al.,

2008). Konsumsi makanan yang kaya akan kuersetin akan

menurunkan risiko trombosis dan penyakit kardiovaskuler

(Hubbard et al., 2006).

(25)

c) Manfaat kuersetin sebagai antioksidan

Sehubungan dengan aktivitas anti-oksidan, anti-tumor

dan anti-inflamasi, kuersetin banyak diteliti pada sejumlah

model kanker sebagai agen kemoprotektif. Kuersetin

memperlihatkan penghambatan berbagai macam kanker,

seperti kanker prostat, serviks, paru, payudara dan kolon.

Penelitian terbaru telah mengungkapkan bahwa kuersetin

menghambat proliferasi sel dengan menyebabkan apoptosis

dan/atau menahan siklus sel (Lee et al., 2006). Kuersetin

merupakan antioksidan yang kuat, sebab dapat mengikat

logam-logam, menangkap radikal bebas, dan menghambat

xanthine oxidase dan li;id peroxidation secara In Vitro

(Vulcain et al., 2005).

2. Asma Alergi

Alergi adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh reaksi imunologik

spesifik yang ditimbulkan oleh alergen. Pada umumnya berupa

pertahanan selular dan humoral organisme terhadap benda asing (Zukesti,

2003). Degranulasi sel mast merupakan komponen sentral pada penyakit

alergi, sedangkan manifestasi klinis dan patologis bergantung pada letak

dan kronisitasnya (Abbas & Lichtman, 2003).

Asma alergi diawali dengan inhalasi alergen (Busse dan Lemanske,

(26)

Antigen Presenting Cells (APCs) menjadi peptida-peptida untuk

selanjutnya dipresentasikan pada sel limfosit T CD4+ atau yang lebih

dikenal dengan sel Th0. Sel T CD4+ dapat berdiferensiasi menjadi sel

CD4+ Th1 dan sel CD4+ Th2 (Baratawidjaja, 2004).

Aktivasi sel CD4+ Th2 terlihat berperan utama dalam mengawali dan

memelihara terjadinya inflamasi alergi (Temann, 2002; Blease et al.,

2000; Laouini et al., 2003). Hal ini terlihat pada penderita asma dimana

jumlah sel CD4+ Th2 lebih tinggi secara signifikan dibandingkan kontrol,

sebaliknya jumlah sel CD4+ Th1 tidak berbeda (Laouini et al., 2003).

Sel CD4+ Th2 akan memproduksi mediator-mediator inflamasi seperti

histamin dan leukotriene yang dapat menarik sel-sel inflamasi (netrofil,

monosit, eosinofil, dll); sitokin-sitokin termasuk IL-4, IL-5(Busse &

Lemanske, 2001), IL-10, dan IL-13 (Abbas & Lichtman, 2003). Histamin

meningkatkan sekresi sitokin sel CD4+ Th2 seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-10

dan IL-13 serta menghambat produksi sitokin sel CD4+ Th1, di antaranya

IL-2, IL-12 dan IFN-฀. Melalui sitokin yang dihasilkannya, sel CD4+

Th2 juga berperan dalam hipersekresi mukus dan hiperplasi sel mast

(Blease et al., 2000; Temann, 2002; Abbas & Lichtman, 2003).

Interleukin-4 yang dihasilkan oleh sel CD4+ Th2 akan merangsang

perkembangan sel CD4+ Th2 sendiri dari sel Th0 dan merupakan stimulus

utama produksi IgE (Baratawidjaja, 2004). IL-4 bersama IL-3 dan IL-10

berperan dalam merangsang pertumbuhan sel mast. IL-5 berfungsi

(27)

sitokin (Li-Weber & Krammer, 2003). Sedangkan IL-4 dan IL-13

merangsang pertumbuhan, proliferasi, diferensiasi, dan pematangan sel B

menjadi sel plasma dan memproduksi IgE (Janeway, 2004; Kuby, 1997).

Pembentukan IgE oleh sel B memerlukan enzim Protein-Kinase-C (PKC),

Phosphatidilinositol-specific Phospholipase C-γ (PLCγ), dan faktor

transkripsi Nuclear Factor кB (NF-кB) (Abbas & Lichtman, 2003).

Imunoglobulin E sangat berperan dalam terjadinya reaksi alergi. IgE

yang dihasilkan sel plasma tersebut akan berikatan dengan sel mast pada

reseptor FceRI. Proses perlekatan IgE pada sel mast disebut sensitisasi

(Janeway, 2004; Abbas & Lichtman, 2003).

Setelah tersensitisasi, sel mast mempengaruhi reaksi inflamasi. Pada

paparan berikutnya dengan alergen yang sama, alergen akan berikatan

dengan IgE pada sel mast atau basofil yang tersensitisasi dan terjadi

proses degranulasi pada sel tersebut, kemudian mediator akan dilepaskan

dari granula sel mast dan berefek pada jaringan sekitar (Kuby, 1997;

Abbas & Lichtman, 2003).

Dalam peristiwa degranulasi, sel mast melepaskan sejumlah mediator

antara lain histamin, enzim siklooksigenase (COX) dan lipoxygenase

(Laprise et al., 2004; Blease et al., 2000), Prostagalandin D2 (PGD2),

leukotriene-C4, leukotriene-D4, leukotriene-E4, dan platelet-activating

factor (Abbas & Lichtman, 2003).

Histamin memainkan peran yang sangat penting pada patogenesis

(28)

et al., 2000; Abbas & Lichtman, 2003). Histamin menyebabkan

peningkatan permeabilitas pembuluh darah, kontraksi otot polos, dan

meningkatkan aktivitas kelenjar respirasi yang merupakan pathogenesis

asma alergi (Abbas & Lichtman, 2003; Kuby, 1997).

Siklooksigenase melalui mediator utamanya PGD2 menyebabkan

vasodilatasi pembuluh darah, bronkokontriksi, dan kemotaksis neutrofil.

Sedangkan lipoxygenase melalui mediator utamanya leukotriene

menyebabkan bronkokontriksi, sekresi mukus dan peningkatan

permeabilitas pembuluh darah. Selain mediator-mediator di atas, sel mast

juga mengeluarkan sitokin berupa TNF-α, IL-4, IL-5, IL-6 (Abbas &

Lichtman, 2003; Kuby, 1997).

3. Sel Mast

Semua sel mast merupakan derivat dari progenitor di sumsum tulang.

Awalnya sel mast membelah secara heteroplastik, lalu dilanjutkan secara

mitosis homoplastik (Arvy, 1956). Normalnya, sel mast matur tidak

terdapat di sirkulasi. Progenitor bermigrasi ke jaringan perifer sebagai sel

mast imatur dan berdeferensiasi in situ (Abbas & Lichtman, 2003).

Pada mencit terdapat dua tipe sel mast yaitu sel mast mukosa dan sel

mast jaringan ikat.

a. Sel mast mukosa mempunyai granul yang banyak mengandung

kondroitin sulfat dan sedikit histamin. Sel mast jenis ini predominan

(29)

b. Sedangkan sel mast jaringan ikat memiliki granul yang banyak

mengandung heparin dan histamin. Predominan terdapat di

submukosa intestinal dan kulit (Abbas & Lichtman, 2003).

Di intestinal, sel mast terutama terdapat di vili, sekitar glandula

duodenal Lieberkuhn, dan juga tersebar di mukosa usus kecil serta

caecum (Sansonow, 1909). Sedangkan pada bronkus, sel mast dapat

ditemukan di sekitar glandula submukosa, otot polos bronkus, dan bagian

lain dari bronkus (Martin et al., 1991).

Salah satu cara untuk melihat sel mast di jaringan yaitu dengan

melakukan pewarnaan preparat menggunakan methylene blue. Dengan

pewarnaan ini, granula sitoplasma sel mast akan terlihat sebagai

gambaran metakromasi (Martin et al., 1991).

Sebenarnya, organ normal hanya mengandung sedikit jaringan

pengikat dan sel mast. Sebaliknya, sel mast terlihat banyak pada jaringan

yang mengalami inflamasi baik pada inflamasi kronik (Prakken dan

Woedermann, 1952) maupun inflamasi akut (Bensley, 1950). Pada

keadaan tersebut terjadi peningkatan jumlah sel mast secara progresif di

sekitar area inflamasi. Selama fase proliferasi sel mast masih terjadi,

populasinya akan terus meningkat (Bensley, 1950). Kemudian melalui

pemeriksaan secara histologi diketahui bahwa peningkatan destruksi sel

mast mengakibatkan reaksi inflamasi yang besar pada jaringan di

sekitarnya (Riley, 1959).

(30)

Gambar 3. Sel Mast dengan Pengecatan Methylene Blue (Nivaldo, 2009)

Pada reaksi inflamasi, aktivasi sel mast didahului dengan masuknya

alergen (Utomo & Sutijanto, 2005) yang dapat menimbulkan respon

biologi berupa sekresi isi granul, sintesis dan sekresi mediator lipid, serta

sintesis dan sekresi sitokin. Proses sintesis mediator lipid di antaranya

yaitu pembentukan prostaglandin dan leukotriene. Proses ini memerlukan

enzim cytosolic Phospholipase A2 (PLA2). Sedangkan dalam proses

pelepasan granul sel mast dibutuhkan PLC , PKC, dan influks Ca2+ sel

(Abbas & Lichtman, 2003).

4. Sensitisasi Hewan Coba

Terdapat beberapa spesies binatang yang digunakan sebagai binatang

model asma, di antaranya adalah tikus putih, tikus, marmut, musang,

anjing, kambing, monyet, dan kuda. Dari spesies-spesies tersebut, yang

paling banyak digunakan adalah tikus putih karena memiliki keuntungan

yang paling besar dibanding spesies lain, di antaranya adalah karena IgE

(31)

merupakan antibodi terhadap alergi yang utama pada tikus putih (Shin et

al., 2009).

Tikus putih secara tipikal meningkatkan dominasi Th2 pada respon

imun, dan menginduksi parameter respon alergi seperti IgE spesifik

alergen, Airway Hyperresponsiveness (AHR), dan meningkatkan

inflamasi eosinofilik pada jalan nafas (Shin et al., 2009).

Ovalbumin (OVA) digunakan sebagai sensitisasi, komponen OVA

utamanya adalah putih telur, secara struktural adalah serpin (sejenis

protein). OVA merupakan fosfoglikoprotein monomer dengan berat

molekul 43 hingga 45 kD dan bersifat asam pada titik isoelektrik

(Huntington & Stein, 2001). OVA memiliki peran dalam peningkatan

IgE secara spesifik. Mayoritas model yang sekarang digunakan adalah

tikus putih yang disensitisasi dengan ovalbumin secara intraperitoneal,

yang dalam penggunaannya sering bersama-sama dengan adjuvant sel

Th2, seperti alumunium hidroksida (Kips et al., 2003; Diding dkk., 2007).

Alumunium hidroksida(Al(OH)3), merupakan alumunium yang

paling stabil dalam kondisi normal. Al(OH)3 dimasukkan sebagai

adjuvant pada beberapa vaksin karena perannya dalam menginduksi

respon Th2 (Petrovsky & Aguilar, 2004).

Dalam penelitian untuk mensensitisasi hewan coba menggunakan

tikus putih diimunisasi dengan suntikan ovalbumin (OVA; 8µg)

intraperitoneal (i.p) yang diencerkan dengan jel alumunium hidroksida (1

(32)

pemaparan tikus dengan 10 µg of OVA memberikan kadar tertinggi IgE

dan IgG. Penelitian lain untuk membuat asma alergi, maka tikus putih

disensitisasi dengan menginjeksikan secara i.p. 10 µg OVA yang

dilarutkan ke dalam 2.25 mg alumunium hidroksida dalam 100 µl saline

pada hari ke-0 dan 14. Pada hari ke-35, 39, dan 42, tikus putih dipapar

dengan inhalasi OVA aerosol selama 20 menit. Aerosol menggunakan

nebulizer cairan OVA (10mg/ml) dalam saline menggunakan Pari LC

Star nebulizer (Pari Respiratory Equipment, Richmond, VA) yang

digerakkan kompresor udara dengan flow rate 6L/min. Untuk protokol

penelitian pemaparan antigen akut (kurang lebih 1 bulan) maupun kronik

(lebih dari 2 bulan), tikus putih diimunisasi secara s.c. pada hari ke-0, 7,

14, dan 21 dengan 25 µg OVA (grade V; Sigma-Aldrich, St. Louis, MO)

yang dilarutkan pada 1 mg alumunium hidroksida (Sigma-Aldrich) dalam

200 µl PBS (Phosphat Buffer Saline).

a. Tikus Putih Model Asma Alergi Akut

Sifat dari model inflamasi akut dipengaruhi oleh pilihan strain,

alergen, dan protokol sensitisasi dan paparan. Alergen yang umumnya

dipakai adalah ovalbumin (OVA), yang merupakan derivat dari telur

ayam. OVA relatif tidak mahal, tidak berbahaya, dapat dimurnikan,

dan memiliki epitop yang mendominasi respon imun (Shin et al.,

2009).

Protokol sensitisasi pada model inflamasi akut biasanya

membutuhkan pemberian alergen secara sistemik yang multiple

(33)

dengan penambahan adjuvant (Nials &Uddin, 2008). Adjuvant seperti

alumunium hidroksida [Al(OH)3] diketahui menginduksi

perkembangan fenotip Th2 oleh sistem imun ketika dipapar antigen

(Nials & Uddin, 2008; Shin et al., 2009).

Protokol tanpa adjuvant juga dapat dilakukan, tetapi

membutuhkan alergen dalam jumlah yang lebih banyak. Setelah

sensitisasi (14-21 hari), jalan nafas tikus putih dipapar dengan alergen,

biasanya selama beberapa hari. Alergen dapat diinhalasi menggunakan

formulasi nebulizer (aerosol), atau dengan intratrakeal (i.t) atau

intranasal (i.n) (Nials & Uddin, 2008). Paparan pada model inflamasi

akut ini disebut dengan paparan alergen primer (Shin et al., 2009).

Protokol untuk yang akut adalah pemaparan OVA secara

intranasal (20 µg dalam 50 µl PBS) diberikan pada hari ke-26, 28, 30,

dan 35, dan tikus putih dikorbankan pada hari ke-36 (Hopfenspriger et

al., 2002).

Paparan primer pada model inflamasi akut memperlihatkan

perubahan seperti asma di klinik seperti peningkatan kadar IgE,

inflamasi jalan napas, hiperplasia sel goblet, hipertrofi epitel, AHR

yang spesifik stimulus, dan -pada beberapa model- bronkokonstriksi

fase cepat dan fase lambat. Namun, karena paparan ini bersifat

paparan singkat, maka tidak dijumpai beberapa lesi yang ada pada

asma kronik pada manusia, seperti inflamasi kronik pada dinding jalan

(34)

berjalan singkat, dan pada beberapa model, inflamasi jalan nafas dan

AHR berkurang setelah beberapa minggu dari paparan alergen

terakhir. Oleh karena itu, model paparan akut lebih cocok digunakan

untuk meneliti proses yang mendasari inflamasi jalan napas akut dan

AHR (Nials & Uddin, 2008).

b. Tikus Putih Model Asma Alergi Kronik

Tujuan pembuatan model inflamasi kronik adalah untuk

memperlihatkan perubahan yang terjadi seperti pada asma di klinik,

seperti AHR yang persisten dan remodelling jalan nafas, dan juga

memungkinkan evaluasi obat baru sebagai rancangan terapi daripada

sebagai rancangan profilaksis (Nials & Uddin, 2008). Selain itu,

keuntungan dari protokol ini adalah kemampuannya untuk memonitor

perubahan parameter inflamasi (Shin et al., 2009). Paparan kronik

alergen dilakukan dengan memaparkan secara berulang jalan nafas

dengan alergen kadar rendah sampai selama 12 minggu (Nials &

Uddin, 2008). Sedangkan Shin et al. (2009) menuliskan paparan

untuk model asma kronik (paparan sekunder) diberikan 2-6 minggu

setelah paparan primer ketika eosinofilia jalan nafas dan AHR

menurun sampai baseline level. Pemaparan kronik alergen

memperlihatkan perubahan-perubahan seperti asma pada manusia,

termasuk alergen dependent sensitisasi, Th2 dependent inflamasi alergi

dengan karakteristik influks eosinofil pada mukosa jalan nafas, AHR,

(35)

remodelling jalan nafas seperti hiperplasia sel goblet, hipertrofi epitel,

dan fibrosis subepitelial atau peribronkiolar (Nials & Uddin, 2008).

Sedangkan protokol untuk yang kronik, tikus putih yang telah

mendapatkan pemaparan OVA intranasal pada hari ke-26, 28, 30

seperti pada protokol akut dan kemudian dilanjutkan dengan

pemberian pemaparan OVA intranasal dua minggu sekali. Untuk

melakukan pemberian intranasal, tikus putih diberikan anestesi dengan

isoflurane (Isosol TM; Abbott Laboratories, North Chicago, IL) (Ikeda

R.K., 2003). Sedangkan pada penelitian Cho et al., 2004, tikus putih

diimunisasi i.p. pada hari ke-0 dan 12 dengan 50 µg OVA (grade V;

Sigma-Aldrich, St. Louis, Missouri, USA) dilarutkan pada 1 mg alum

(Sigma-Aldrich) dalam 200 µl normal saline. Pemaparan OVA

intranasal (20 µg/ 50 µl dalam PBS) diberikan pada hari ke-26, 29,

dan 31 di bawah, anestesi dengan isoflurane (Vedco lnc., St. Joseph,

Missouri, USA) dan kemudian diulangi dua minggu sekali selama 3

bulan. Tikus putih dikorbankan 24 jam setelah akhir pemaparan OVA

terakhir (Cho J. Y., 2004).

(36)

B. Kerangka Pemikiran 1. Kerangka Konsep

Gambar 4. Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :

: merangsang : menghambat

(37)

2. Kerangka Pikiran Teoritis

Ovalbumin sebagai alergen masuk ke tubuh, ditangkap oleh Antigen

Presenting Cell (APCs). Kemudian diproses dan dipresentasikan ke sel T

CD4+ atau sel Th0. Sel Th0 akan berdiferensiasi menjadi sel CD4+ Th1 dan

sel CD4+ Th2. Kerja dua sel tersebut bersinergi, dimana sel CD4+ Th2

berperan sebagai respon imun humoral yang akan mensekresikan antibodi

(IgE). Sedangkan sel CD4+ Th1 berperan dalam respon imun seluler, yang

akan menghasilkan sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1β, IL-2, IL-6,

dan TNF-α. TNF-α bersifat proteolitik, sehingga akan melisiskan

sejumlah sel-sel termasuk sel saluran nafas. Debris lisis sel ini akan

menimbulkan stres oksidatif (Reactive Oxygen Species/ROS), yang akan

menambah beratnya reaksi asma alergi.

Ovalbumin melalui sel CD4+ Th2 memicu produksi sel mast, paparan

ovalbumin berikutnya akan menimbulkan degranulasi sel mast yang akan

memproduksi lipid mediator (termasuk histamin) sehingga timbul alergi

inflamasi pada saluran nafas yang akan bermanifestasi sebagai asma

alergi.

Propolis mengandung CAPE yang memiliki aktivitas biologis sebagai

Ca-antagonis yang akan menghambat degranulasi sel mast. Kuersetin

yang terkandung dalam propolis memiliki aktivitas biologis yang akan

memperkuat membran sel mast sehingga membran sel mast tidak mudah

terdegranulasi. Selain itu CAPE memiliki aktivitas biologis sebagai anti

(38)

oksidan, kandungan ini dapat menghambat stres oksidatif yang akan

mengurangi terjadinya reaksi inflamasi pada asma alergi.

C. Hipotesis

Ekstrak etanol propolis menurunkan hitung sel mast intestinal pada

tikus putih (Rattus norvegicus) model asma alergi.

(39)

29 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan rancangan penelitian the post test only control group

design.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret. Pada bulan Mei sampai dengan September 2011.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian berupa tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dengan

berat badan ± 150 - 200 gram, dan berumur 4 - 6 minggu. Tikus putih

diperoleh dari Unit Pengembangan Hewan Coba Universitas Setia Budi

Surakarta.

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara incidental sampling. Dimana

jumlah sampel ditentukan menggunakan rumus Federer (Purawisastra, 2001),

yaitu :

(k-1) (n-1) > 15

(40)

Keterangan:

k : jumlah kelompok

n : jumlah sampel dalam tiap kelompok

Dalam penelitian ini, subjek dibagi menjadi 5 kelompok. Berdasarkan

rumus Federer di atas, didapatkan jumlah subjek masing-masing kelompok

sebagai berikut:

( k-1) (n-1) ≥ 15

(5-1) (n-1) ≥ 15

4 (n-1) ≥ 15

4n ≥ 19

n ≥ 4,75≈ 5

Jadi tiap kelompok minimal terdiri dari 5 ekor tikus putih. Pada penelitian

kali ini kami menggunakan 7 ekor tikus putih.

E. Penentuan Dosis Perlakuan

1. Pemberian anti histamin generasi III

Antihistamin generasi III yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Telfast® 120 mg yang mengandung Fexofenadine. Faktor konversi

manusia (dengan berat badan ±70 kg) ke tikus putih (dengan berat badan ±

200 gr) adalah 0,018 (Suhardjono, 1995). Sehingga dosis yang diberikan

kepada tikus putih :

120 x 0,018 = 2,16 mg ≈ 2 mg

Dalam penelitian ini dosis anti histamin yang diberikan ialah 1

ml/tikus putih/hari, sehingga pelarut yang diperlukan :

(41)

2. Pemberian propolis

Dosis propolis yang diberikan pada tikus putih adalah 100 mg/kg

BB/hari/oral (Lotfy, 2006). Oleh karena tikus putih yang digunakan dalam

penelitian ini mempunyai berat badan ±200 mg, maka didapatkan

perhitungan sebagai berikut :

Untuk mengetahui berapa banyak dosis per oral yang diberikan untuk tiap

tikus, maka dapat dihitung sebagai berikut :

v = 0,5 ml

Sehingga untuk dosis 100 mg/kg BB/hari setiap tikus mendapatkan dosis

per oral 0,5 ml. Sedangkan untuk dosis 200 mg/kg BB/hari setiap tikus

mendapatkan dosis per oral 1 ml.

(42)

F. Rancangan Penelitian

Gambar 5. Rancangan Penelitian Keterangan :

S : Jumlah tikus putih yang digunakan K1 : Kelompok kontrol

K2 : Kelompok asma alergi

K3 : Kelompok asma alergi + antihistamin 2 mg/tikus putih/hari per oral

K4 : Kelompok asma alergi + ekstrak propolis dengan dosis 100mg/kg BB/tikus putih/oral

K5 : Kelompok asma alergi + ekstrak propolis dengan dosis 200mg/kg BB/tikus putih/oral

1. Variabel Bebas : ekstrak etanol propolis

2. Variabel Terikat : hitung sel mast

3. Variabel Luar

a. dapat dikendalikan : gizi, makanan dan minuman, galur, umur, dan

jenis kelamin hewan coba.

b. tidak dapat dikendalikan : kondisi psikologis, sistem kekebalan tubuh

(43)

H. Skala Variabel

1. Ekstrak etanol propolis : skala nominal

2. Hitung sel mast : skala rasio

I. Definisi Operasional Variabel 1. Ekstrak etanol propolis

Propolis lebah pada penelitian ini diperoleh dari peternak lebah di

daerah Kecamatan Kerjo, Kabupaten Karanganyar, Surakarta, Jawa

Tengah. Ekstraksi dilakukan dengan metode perkolasi, dengan cairan

penyari etanol 80%. Sekitar 1 gram (akurasi penimbangan sampai 0,0001

gram) bubuk propolis mentah diekstraksi dengan 10 mL etanol 80% di

shaker dengan kecepatan 200 rpm pada suhu kamar selama 24 jam. Setelah

penyaringan melalui kertas saring, filtrat dibuat hingga 25 mL dengan 80%

etanol dan disimpan dalam botol sampai analisis (Fu et al., 2005).

Ekstrak Etanol Propolis (EEP) menunjukkan aktivias anti-inflamasi

baik akut ataupun kronik. EEP dosis 50 mg/kg BB/hari/oral dan 100 mg/kg

BB/hari/oral menunjukkan aktivitas anti-inflamasi kronik, sedangkan dosis

200 mg/kg BB/hari/oral menunjukkan aktivitas anti-inflamasi akut pada

hewan coba model.

2. Hitung Sel Mast

Tikus putih dikorbankan dengan pentobarbital-Na 100mg/kg BB/i.p.

24 jam setelah akhir pemaparan OVA untuk diambil jaringan intestinal,

(44)

setelah itu dibuat blok parafin. Selanjutnya dilakukan potongan serial

terhadap blok parafin tersebut untuk dibuat slide dengan pewarnaan

Toluidine Blue untuk hitung sel mast. Hitung sel mast diidentifikasi

menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 40 kali, pada tiga lapang

pandang yang berbeda.

3. Sensitisasi Hewan Coba

Tikus putih diadaptasikan selama satu minggu. Kemudian dilakukan

penimbangan untuk menentukan dosis dan dilakukan perlakuan. Untuk

membuat model tikus putih asma alergi maka tikus disensitisasi pada hari

ke-1 dengan 2,5 cc ovalbumin (OVA)/tikus putih/i.p dari 2,5 mg OVA

yang dilarutkan pada 7,75 ml Alumunium hidroksida. Hari ke-14

disensitisasi ulang menggunakan 2,5 cc OVA/tikus putih/i.p dari 2,5 mg

OVA yang dilarutkan pada 10 ml PBS. Pemaparan OVA aerosol dalam

PBS (10:1) selama 20 menit dengan nebulizer kecepatan 6 L/menit

diberikan pada hari ke-21, 23, 25 dan 27. Hari ke-28 tikus putih

dikorbankan, jaringan intestinal dan serum dikoleksi.

J. Instrumentasi Penelitian 1. Alat penelitian

a. Kandang hewan percobaan (20 cm x 30 cm x 15 cm)

b. Timbangan digital

c. Spuit injeksi 0,1 ml

d. Sonde tikus putih 0,1 ml

(45)

e. Labu ukur 5 ml

f. Beaker glass 5 ml

g. Minor set

h. Deck glass

i. Nebulizer

j. Mikroskop

2. Bahan penelitian

a. Ekstrak propolis

b. Intestinal hewan coba

c. Aquades

d. Pakan tikus putih BR I

e. OVA

f. Antihistamin generasi III

g. Formalin buffer 10%

h. Al(OH)3

i. Blok paraffin

j. Pewarna Toluidine Blue

K. Cara Kerja

1. Sebelum perlakuan

a. Hewan uji diadaptasi dengan kondisi laboratorium tempat penelitian

selama kurang lebih 1 minggu.

(46)

b. Hewan uji dikelompokkan secara incidental sampling menjadi 5

kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor tikus putih.

2. Pemberian Perlakuan

a. Sejak hari ke-1 sampai hari ke-7 kelompok K1, K2, K3, K4 dan K5

diberi diet standar. Masing-masing diberi perlakuan yang berbeda.

b. Antihistamin untuk kelompok 3 dan ekstrak propolis untuk kelompok 4

dan 5 diberikan setiap hari.

c. Sensitisasi OVA dalam Al (OH)3/tikus putih dari 2,5 mg ovalbumin

yang dilarutkan pada 7,75 ml Al (OH)3. intraperitoneal (i.p.) dilakukan

pada hari ke-0 dan 14 dengan dosis 0,15 ml/tikus putih.

d. Hari ke-21, ke-23, ke-25 dan ke-27 tikus putih dipapar dengan

ovalbumin aerosol dari 50 mg ovalbumin dalam 5 ml PBS dengan alat

nebulizer kecepatan 6 L/menit selama 20 menit.

3. Setelah perlakuan

Dua puluh empat jam setelah paparan terakhir, semua tikus putih

dikorbankan menggunakan teknik cervical dislocation. Jaringan intestinal

diambil untuk dibuat preparat imunohistokimia dan dicat dengan Toluidine

Blue. Preparat diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran

1000 kali.

L. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis secara statistik dengan menggunakan

(47)

perbedaan mean antarkelompok. Jika data tidak memenuhi syarat untuk uji

Anova, sebaran data tidak normal (p < 0,05) dan varians data tidak sama

meskipun sudah ditransformasi, digunakan uji alternatifnya yaitu uji

Kruskal-Wallis untuk membandingkan perbedaan mean lebih dari dua kelompok.

Dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney, untuk membandingkan perbedaan

mean antar kelompok menggunakan program SPSS for Windows Release

17.0.

(48)

38 BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Hitung Sel Mast

Penelitian ini menggunakan 35 ekor tikus putih (Rattus norvegicus),

galur Wistar, jenis kelamin jantan, usia 4 - 6 minggu, berat badan ± 150 - 200

gram. Tikus-tikus tersebut dibagi secara acak menjadi lima kelompok yaitu

kelompok I yang menjadi kelompok kontrol, kelompok II yaitu kelompok

asma alergi, kelompok III yang dibuat asma dan diberi antihistamin,

kelompok IV yang dibuat asma dan diberi ekstrak propolis dosis 100 mg/kg

BB/tikus putih/oral, dan kelompok V yang dibuat asma dan diberi ekstrak

propolis dosis 200 mg/kg BB/tikus putih/oral.

Sebelum pemberian perlakuan, kelima kelompok tikus diadaptasikan

terlebih dahulu dan diukur berat badannya. Rerata berat badan tikus adalah

150 gram. Pada hari ke-28 kelima kelompok tikus dikorbankan, dan diambil

jaringan intestinalnya untuk dibuat preparat.

Preparat intestinal masing-masing kelompok diamati menggunakan

mikroskop dengan pengecatan toluidine blue. Pengamatan sel mast jaringan

intestinal dengan mikroskop perbesaran 10 x 100 dan dihitung dalam tiga

lapang pandang. Data selengkapnya disajikan pada tabel 4.1 :

(49)

Tabel 3. Hitung Sel Mast (Jumlah Sel/Lapang Pandang) Masing-Masing Kelompok Perlakuan

Kelompok Median (min-max)

K1 = Kontrol 1(1-5)

K2 = Asma Alergi 3(1-5)

K3 = Asma alergi + Antihistamin generasi III 3(1-5)

K4 = Asma Alergi + Propolis I 2(2-3)

K5 = Asma Alergi + Propolis II 2(2-3)

Sumber: Data primer, 2011

Hasil hitung sel mast masing-masing kelompok disajikan pada gambar

berikut ini :

Gambar 6. Histogram Hitung Sel Mast Intestinal Tikus Masing-Masing Kelompok Perlakuan

B. Analisis Hasil

Data yang diperoleh dari hasil penelitian, pertama kali diuji apakah data

yang ada memenuhi syarat uji parametrik One-Way ANOVA. Analisis data

dilakukan dengan menggunakan program komputer Statistical Product and

Service Solution (SPSS)17.0 for Windows.

Syarat menggunakan uji parametrik One-Way ANOVA:

1. Hanya dapat digunakan dengan masalah skala pengukuran numerik. 1

3 3

2 2

Jumlah Sel Mast

(50)

2. Skala variabel numerik harus memiliki sebaran data normal, yang

dibuktikan dengan uji normalitas data metode analitik yaitu uji

Kolmogorov-Smirnov atau Saphiro-Wilk. Pada sebaran data normal, nilai

p lebih besar daripada nilai α. Misal, α = 0,200 maka nilai p untuk uji

sebaran data normal harus p > 0,200.

3. Varians data, untuk jumlah kelompok lebih dari dua, harus sama. Hal ini

dapat diketahui dengan menggunakan uji homogenitas varians yaitu

Levene’s Test of Varians. Varians data yang sama akan memiliki nilai p

lebih besar daripada nilai α. Misal, α = 0,05 maka nilai p untuk uji varians

data normal harus p > 0,05.

4. Jika salah satu dari ketiga syarat di atas tidak terpenuhi, dilakukan

transformasi data untuk menormalkan data. Apabila hasil transformasi

data tidak berhasil menormalkan data maka digunakan uji hipotesis

alternatifnya yaitu uji non parametrik Kruskall-Wallis.

Uji normalitas data metode analitik yang dapat digunakan untuk

menentukan sebaran data normal atau tidak adalah uji Kolmogorov-Smirnov

(sampel > 50) atau uji Saphiro-Wilk (sampel ≤ 50) (Dahlan, 2007). Penelitian

ini menggunakan 35 sampel, maka digunakan uji Saphiro-Wilk untuk

menentukan apakah sebaran data normal atau tidak.

Hasil uji Saphiro-Wilk menunjukkan distribusi data tidak normal karena

ada nilai p = 0,032 dan p = 0,150. Syarat kedua untuk menggunakan uji

One-Way ANOVA tidak terpenuhi sehingga perlu dilakukan normalisasi data

dengan cara transformasi data.

(51)

Setelah dilakukan transformasi data, ternyata data tetap tidak memenuhi

syarat untuk uji Anovakarena meskipun varians data sama tetapi sebaran data

tidak normal (p < 0,05), sehingga data dianalisis menggunakan uji

alternatifnya, yaitu Kruskal-Wallis untuk membandingkan perbedaan mean

lebih dari dua kelompok, dilanjutkan uji Mann-Witney untuk

membandingkan perbedaan mean antar kelompok menggunakan program

SPSS for Windows Release 17.0.

Hasil uji Kruskal-Wallis diperoleh nilai 0,371. Jadi nilai tidak signifikan,

tidak terdapat perbedaan bermakna antar kelompok. Hasil perhitungan uji

sebaran data, uji varians, dan uji Kruskal-Wallis selengkapnya dilihat pada

lampiran 1.

Gambar 7. Sel Mast pada Kelompok Kontrol dilihat dengan Mikroskop Perbesaran 40x

Gambar 8. Sel Mast pada Kelompok Asma Alergi dilihat dengan Mikroskop Perbesaran 40x

(52)

Gambar 9. Sel Mast pada Kelompok Asma Alergi + Antihistamin Generasi III dilihat dengan Mikroskop Perbesaran 40x

Gambar 10. Sel Mast pada Kelompok Asma Alergi + Ekstrak Propolis Dosis 100 mg/kg BB dilihat dengan Mikroskop Perbesaran 40x

Gambar 11. Sel Mast pada Kelompok Asma Alergi Ekstrak Propolis Dosis 200 mg/kg BB dilihat dengan Mikroskop Perbesaran 40x

(53)

43 BAB V PEMBAHASAN

Menurut Zukesti (2003), alergi merupakan reaksi imunologik spesifik yang

ditimbulkan oleh alergen baik berupa pertahanan selular maupun humoral dari

organisme terhadap benda asing.

Penelitian ini menggunakan ovalbumin (OVA) sebagai alergen. Hasil

penelitian didapatkan peningkatan jumlah sel mast pada kelompok asma (tabel 3),

tetapi tidak bermakna dibandingkan kelompok kontrol (p = 0,337), sedangkan

pada penelitian Prihantiny (2010) dengan petanda asma hitung sel mast

didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok kontrol dan asma (p < 0.001).

Hal ini sesuai dengan pernyataan Busse dan Lemanske (2001) bahwa OVA akan

mengaktivasi sel mast serta sel CD4+ Th2 sebagai reaksi terhadap alergi. Sel CD4+

Th2 yang teraktivasi akan memproduksi mediator-mediator inflamasi seperti

histamin, leukotriene, serta sitokin-sitokin seperti IL-4, IL-5 (Busse dan

Lemanske, 2001), IL-10, dan IL-13 (Abbas dan Lichtman, 2003). IL-4 dan IL-10

dapat merangsang pertumbuhan sel mast (Li-Weber dan Krammer, 2003).

Sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh sel CD4+ Th2 berperan dalam hiperplasi sel

mast (Blease et al., 2000; Temann, 2002; Abbas dan Lichtman, 2003) dan sangat

berpengaruh pada respon alergi (Hohlfeld, 2001). Tidak didapatkannya perbedaan

yang bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok asma pada penelitian ini

kemungkinan disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh setiap individu bervariasi,

(54)

Pemberian antihistamin generasi III (fexofenadine) pada tikus model asma

alergi diharapkan dapat menekan reaksi inflamasi akibat alergi pada kelompok K2

(kelompok asma alergi) sebagai kontrol positif, sehingga dapat menurunkan

hitung sel mast. Dari hasil penelitian, antihistamin generasi III (fexofenadine)

tidak dapat menurunkan hitung sel mast. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh

efek obat yang belum mencapai jaringan intestinal.

Propolis mengandung flavonoid, kandungannya antara lain Cafeic-Acid

Phenethyl Ester (CAPE), chrysin, galangin dan kuersetin. Flavonoid yang

berpengaruh dalam penurunan hitung sel mast pada penelitian ini yaitu CAPE,

dan kuersetin. Menurut Fitzpatrick et al. (2001) CAPE memiliki aktivitas biologis

sebagai penghambat poten dan spesifik terhadap aktivasi NF-kB, sehingga

sebagai Ca-antagonis yang akan menghambat degranulasi sel mast. Menurut

Kimata et al. (2000) dan Kempuraj et al. (2005) kuersetin memiliki aktivitas

biologis yang akan memperkuat membran sel mast sehingga membran sel mast

tidak mudah terdegranulasi dan menghambat pelepasan histamin, TNF-α dan

IL-6. Selain itu propolis juga memiliki efek antileukotrien, antihistamin, dan

antiprostaglandin sehingga dapat mencegah stres oksidatif yang dapat

menimbulkan reaksi inflamasi. Pada penelitian ini propolis dosis 100 dan 200

mg/kgBB/hari dapat menurunkan hitung sel mast pada intestinal tikus putih tetapi

penurunannya tidak bermakna. Saat tikus diberi dosis propolis yang lebih tinggi

(200 mg/kg BB/hari) efek terapinya sama dengan propolis dosis 100 mg/kg

BB/hari. Hal ini dapat disebabkan oleh dosis yang diberikan belum mencapai

(55)

Penelitian ini juga tidak terlepas dari adanya kekurangan yang bisa

mempengaruhi hasil penelitian. Dosis ekstrak propolis yang diberikan

kemungkinan belum mencapai kadar optimal sehingga tidak menimbulkan efek

yang diharapkan.

(56)

46 A. Simpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan pemberian ekstrak propolis dosis 100 dan 200

mg/kg BB/hari dapat menurunkan hitung sel mast intestinal pada tikus putih (Rattus

norvegicus) model asma alergi namun secara statistik penurunannya tidak bermakna.

B. Saran

Penelitian lebih lanjut dalam pengembangan terapi untuk asma alergi dengan

menggunakan propolis dapat dilakukan dengan memberikan dosis yang berbeda

sehingga didapatkan dosis yang optimal untuk digunakan dalam terapi.

Gambar

Tabel 3. Hitung Sel Mast (Jumlah Sel/Lapang Pandang) Masing-Masing
Tabel 1. Kandungan Kimia Propolis
Tabel 2. Nama-Nama Beberapa Flavonoid dan Aktivitas Biologisnya
Gambar 1. Struktur Molekul Chrysin (diambil dari Harris et al., commit to user 2006)
+7

Referensi

Dokumen terkait

SAINGAN SEMAKIN BANYAK, RADIO HARUS PAHAM KEINGINAN PENDENGAR Sahabat MQ/ Saat ini pamor radio sebagai salah satu sumber informasi dan hiburan/ memang tidak setenar

“Optimization of a Savonius Rotor Vertical-Axis Wind Turbine For Use in Water Pumping System in Rural Honduras”.. Departement of Mechanical Engineering,

Simpulannya adalah ciri-ciri yang paling menonjol bahwa data berstatus sebagai frasa yaitu bersifat renggang/longgar/terbuka, memiliki makna sebenarnya di kedua unsurnya, di

Berdasarkan hasil yang diperoleh, genotip Talaga Bodas pada kondisi tumpangsari dan monokultur lebih efisien digunakan sebagai sorgum penghasil nira dan biji

Metode analisis importance dan performance (IPA) dilakukan melalui pengukuran tingkat kesesuaian, yang merupakan perbandingan skor kinerja dari pihak perusahaan agar

Yang dimaksud dengan reaksi atau tindak preventif adalah tindak pencegahan agar kejahatan tidak terjadi. Artinya segala tindak-tindak pengamanan dari

Dalam Program Studi Teknologi Industri Pertanian, tidak semua pengetahuan dapat diberikan melalui tahap perkuliahan. Mahasiswa dituntut untuk mengenal bagaimana

dosen pembimbing skripsi bapak Soni AgusIrwandi, SE,M.Si., yang telah banyak membantu dan andil dalam pembuatan skripsi saya, banyak sekali hal” yang tidak saya