• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEPENGGAL CERITA

Dalam dokumen Aku dan IPM Cover pdf (Halaman 30-35)

Oleh Ipmawan Nurfahmi Fadlillah

Semarang, 19 Juni 2013, perjuangan saya untuk mendapatkan universitas yang baik dimulai. Detik demi detik yang kuisi dengan belajar dan belajar akhirnya terbayarkan sudah, entah bagaimana hasilnya nanti, itu urusan Sang Kuasa seperti yang sering ku dengar dari mulut para pengisi yang

mengisi ta’lim kami. Matahari mulai berada di atas kepala, saya

pun langsung mempersiapkan pulang kembali ke Tegal. Kereta Api rasanya sangat tidak bersahabat pada hari itu, tiketnya ludes tidak tersisa. Akhirnya bus pun menjadi kendaraan yang kami

pakai. “Selamat Datang di Kota Tegal”, tugu itu menyambut

kedatangan kami di malam itu. Malam semakin petang, petang pun berganti dengan mentari.

Keesokan harinya PR IPM ku mendapat undangan untuk mengirim utusannya dalam Torseni (Temu Olahraga, Seni

dan Ilmiah) PD IPM Kabupaten Tegal. “Wow, sudah lama

sekali tidak ada kegiatan IPM, akhirnya muncul lagi”, pikirku. Ranting kami sebenarnya penuh dengan bakat. Paduan suara kami juara I, tenis meja juara II, hasta karya juara I, catur juara I dalam Torseni IPM se-Cabang Dukuhturi. Tapi apa daya, lokasi kegiatan Torseni ini terlalu jauh, uang hanya akan habis untuk perjalanan. Tapi dari sekian banyak lomba ada lomba yang

cukup menarik. Lomba menulis cerita dengan tema “Aku dan IPM”. Ya, mungkin itu satu-satunya lomba yang bisa kami ikuti,

keterbatasan tidak mengurangi semangat kami untuk ikut berpartisipasi mengikuti Torseni yang diselenggarakan oleh PD IPM Kabupaten Tegal.

“Aku dan IPM”, selarik judul yang singkat tapi penuh

arti buat saya, mengingatkan pertama kali pertemuan saya dengan IRM ketika belum berganti nama menjadi IPM. Fahmi, begitulah sehari-hari saya dipanggil oleh teman-teman. Ipmawan kelahiran Tegal, 12 Februari 1995. Sejak kecil saya memang dibesarkan dari keluarga dan lingkungan Muhammadiyah, jadi tidak asing dengan hal-hal berbau Muhammadiyah. Pendidikan saya juga di perguruan Muhammadiyah, dari taman kanak-kanak di TK ABA kemudian sekolah dasar di MI Muhammadiyah Debong Wetan. Pertemuan saya dengan IPM dimulai ketika IPM di ranting kami yang vakum akan di hidupkan kembali. Saya memang pada waktu itu masih kelas 4 MI dan masih belum tahu apa itu IPM dan bagaimana cara untuk menjalankannya kembali. Namun, bapak selalu menyuruhku untuk masuk ke IPM. Kenapa tidak PII? Ya itulah bapakku, penuh perhitungan ketika menyuruh sesuatu kepada anaknya. Di dalam pikirannya, IPM masih di atas PII, jadi tidak ada ruginya memasukkan anaknya ke IPM sekaligus agar bisa menghidupkan kembali IPM Debong Wetan.

Ta’lim pertama pun tiba, malu kesan pertama yang

saya rasakan. Bagaimana tidak malu? Saya Irmawan termuda saat itu. Oh ya saya bergabung dengan IPM ketika masih bernama IRM sebelum kembali ke IPM lagi. Karena masih sangat kecil, saya belum nyambung dengan obrolan mereka, apa itu bidang SDI, PIP dan masih banyak lagi. Yang bisa saya lakukan hanya mengangguk-ngangguk dan mendengarkan saja. Masih teringat di benak saya, apa tugas pertama yang saya lakukan. Saya diberi tugas membaca Al-Quran, ya walaupun saya tahu kapasitas saya dalam membaca Al-Qur’an. Ta’lim pertama sangat berkesan di hidupku.

Setahun berlalu, saya duduk di bangku kelas lima MI Muhammadiyah Debong Wetan. Rasanya cepat sekali setahun berlalu dan tentunya masa periode kepemimpinan harus beralih kepada yang muda, pemimpin yang lebih muda, dan tentunya

dengan anggota yang lebih muda pula. Malam pelantikan pun menghampiri. Saat itu jabatan saya naik kasta, yang dulunya anggota, menjadi sekretaris SDI. Senang rasanya ditonton bapak dan ibu dari Muhammadiyah dan Aisyiyah untuk melanjutkan

tonggak perjuangan mereka. “Mungkin ini perjuangan saya

untuk menegakkan Islam melalui IPM dimulai”, pikirku. Tugas saya sekarang sebagai sekretaris SDI adalah antar-mengantar surat layaknya pak pos. Hehe.

Pada suatu hari di sekolah, saat jam istirahat, Pak Aziz, guru matematika saya menghampiri dengan menggenggam sebuah surat. Tentunya bukan surat cinta yah, hahaha.

“Mi, ini ada surat dari PD IPM, meminta perwakilan untuk mengikuti taruna melati II”, ujar Pak Aziz.

“Taruna Melati sihapa pak?”, jawabku

“Ya semacam pelatihan kepemimpinan, pesertanya juga paling seumurmu kok mi”, sahutnya

“Oh ya sudah pak. Kalau memang pesertanya sebayaku, berarti nggak masalah. Yang penting jangan

sendirian”, lanjutku

“Iya tenang saja, nanti pasti ada temannya”, lanjutnya Percakapan kami diakhiri dengan bel masuk. Saya melanjutkan kegiatan belajar di sekolah. Bunyi bel kedua mengakhiri aktivitas saya di sekolah. Kemudian pak Aziz kembali menghampiriku menyebutkan anak yang akan berjuang bersama saya di kegiatan Taruna Melati II nanti. Pertama Muhammad Zaky Pratama, partner saya di IPM Debong Wetan. Kedua Kurniawan Sya’bani atau Bani teman sekelas saya. Ketiga Muhammad Rizal Faqih adik kelas saya dan yang terkahir, paling muda Khafidul Ilmi masih duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga.

Hari pelaksanaan tiba. Kami berangkat menggunakan angkot. Surprise sekali ketika tiba di Gedung Dakwah Muhammadiyah, ternyata yang ikut sudah kumisan semua, atau kalau bahasa Tegalnya mungkin bujang-bujang semua. Namun, mau apalagi, raga sudah sampai di medan perang, masa iya mau

mundur ? Ya tentu tidak, seperti yang sering di dengar di Hizbul

Wathan, ”Siapa yang gentar, pulang saja!”. Karena saya dan

teman saya bukan termasuk golongan orang yang mudah gentar dan cemen, hanya karena melihat tampang mereka yang lebih tua dari kami.

Diskusi, Shalat malam, interview di pasar Trayeman merupakan sebagian kecil kegiatan yang paling memorable bagi saya. Diskusi, dari acara inilah awal mula saya berani berbicara di depan umum, berani mengemukakan pendapat saya. Ya, walaupun selalu dibantah oleh kakak-kakak yang lebih senior, tetapi setidaknya keberanian mengemukakan pendapat saya tumbuh disini dan itu sangat bermanfaat ketika saya SMP dan SMA, saya jadi bisa dengan mudah berbicara di depan umum.

Setelah acara diskusi berakhir pukul 23.00 wib, acara selanjutnya yaitu mimpi indah. Namun, baru saja mimpi indah, jam 02.00 sudah dibangunkan kembali untuk shalat malam. Selayaknya anak kecil baru tidur tiga jam, ya jelas rasa kantuk masih sangat membebani untuk shalat malam. Benar saja, baru sujud rokaat pertama saja saya tertidur, tidak bangun sampai salam dan ketika saya tersadar langsung salam, jadi shalat cuma satu rakaat hehe. Lain cerita dengan Zaki, dia tertidur saat ruku rakaat kedua. Sama seperti saya, Zaki juga tertidur sampai salam.

Sekarang saya sudah berusia 18 tahun dan sudah lulus SMA, tentunya masih aktif di IPM. Sangat tidak fair sekali ketika masa indah di IPM selama delapan tahun hanya dituliskan dalam tiga lembar kertas berukuran A4. Delapan tahun ini IPM mengajarkan saya menjadi anggota, sampai menjadi pucuk pimpinan yang baik, dari mengantarkan undangan sampai mencari pengisian, dan dari penggembira sampai jadi juara. Delapan tahun sudah saya berkecimpung di IPM, prestasi kami yang hanya juara paduan suara, tenismeja, hasta karya memang tidak terlalu berarti, tapi IPM membuat itu semua menjadi berarti bagi kami. Proses menuju puncak itu yang harus kami lalui, dan IPM mengajarkan itu, kekompakan,

passion dan segalanya. Terima kasih IPM, kisahku denganmu tidak akan berakhir seperti cerita ini yang hanya bisa dituliskan

dalam beberapa lembar kertas. IPM jaya!! Inilah cerita “Aku

dan IPM”, bagaimana dengan ceritamu?

Nurfahmi Fadlillah PR IPM Debong Wetan

Juara II Lomba Menulis Cerita “Aku dan IPM” PD IPM Kab. Tegal 2013

Dalam dokumen Aku dan IPM Cover pdf (Halaman 30-35)

Dokumen terkait