• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aku dan IPM Cover pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Aku dan IPM Cover pdf"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

M. Taufik Hidayat dkk

(2)

AKU DAN IPM

Penulis: M. Taufik Hidayat dkk Editor & Cover: M. Taufik Hidayat Copyright © 2013 by PD IPM Kab. Tegal

Penerbit PD IPM Kab. Tegal

Jalan Ahmad Yani Km 02 Procot, Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah

Phone (0283) 3320898

Diterbitkan melalui:

(3)

Ucapan Terimakasih:

Untaian kata syukur kami ucapkan pada

Allah SWT atas anugerah terindah ini,

untuk Ayah Ibu, keluarga besar, serta

sahabat-sahabat kami yang selalu

mendukung kami berjuang menegakkan

(4)

DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMA KASIH ~ 3 DAFTAR ISI ~ 4

AKU DAN IPM ~ 5 Oleh M. Taufik Hidayat IPM ... OH YEAH ~ 21 Oleh Indah Kharisah ASH-SHAFF ~ 23 Oleh Ismi Nur Amaliyah NEW SHIP ~ 26 Oleh Agung Subekti

SEPENGGAL CERITA ~ 31 Oleh Nurfahmi Fadlillah

WARNA WARNIKU DI IPM ~ 36 Oleh Syaefatul Awaliyah

SENYUM IPM DI LLA ~ 40 Oleh Fina Alfi Nur

KESAN YANG BURUK ~ 43 Oleh Arif Magribi H.

TAK KENAL MAKA TAK SAYANG ~ 46 Oleh Nurul Azmi Wahyuni

DARI RANTING HINGGA DAERAH ~ 50 Oleh Ferawati

PELAJARAN DARI LLA ~ 59 Oleh Putri Yuliani

ALLAH AKAN MENINGGIKAN DERAJAT ~ 61 Oleh Satriyo Miharso

IPM, CINTA DAN KENANGANKU ~ 66 Oleh Muhammad Alfi Husni

(5)

AKU DAN IPM

Oleh Ipmawan M. Taufik Hidayat

Saya mengenal IPM atau dulu masih menggunakan nama IRM sejak saya duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Kalau tidak salah, Muhammadiyah masuk ke desa saya (Desa Ketileng) sejak era 80-an dan PR IRM Ketileng berdiri sekitar tahun 1998. Pada tahun tersebut saya masih kelas IV SD.

Ketika saya masuk ke kelas V SD, PR IRM Ketileng (Irmawan Ibnu dkk) mulai mengajak saya dan teman sekelas saya untuk bergabung di IRM. Waktu itu saya pikir masih

sangat dini untuk ikut dalam kegiatan “pengajian” yang pastinya

sangat membosankan. Apalagi saat itu saya baru merasakan

“kebebasan” karena baru lulus Madrasah Diniyah Awaliyah

(MDA). Saya kira itu hal yang wajar, karena memang saya benar-benar masih anak-anak.

Saat masuk kelas VI, saya mulai risau karena beberapa teman sekelas sudah bergabung di IRM. Bahkan beberapa adik kelas yang tentunya lebih muda juga sudah mulai bergabung.

Ibu saya mulai “cerewet” menceramahi saya untuk bergabung

(6)

jadi semacam “anti-IRM”. Saya menjadi lebih malas (segan) untuk ikut dengan IRM.

Hingga kelas 2 SMP (2002) saya masih belum bisa terbujuk oleh Ibu, kakak, tante, sepupu dan aktivis IRM tentunya untuk ikut IRM. Karena saya sudah terlanjur malu walaupun sebenarnya saya semakin minat untuk bergabung. Sampai suatu ketika, saya ingat waktu itu liburan semester awal (ganjil), saya mendengar kabar kalau IRM akan mengikuti perkemahan IRM se-Kabupaten Tegal. Dalam hati saya sangat tertarik, karena memang sejak SD saya gandrung sekali dengan kegiatan Pramuka khususnya kegiatan berkemah. Bahkan saat itu saya merupakan pengurus Pramuka (Dewan Penggalang) di SMP. Namun rasanya tidak mungkin untuk ikut, karena saya bukan anggota IRM. Meski Irmawan Imam, tetangga dekat, mengatakan bahwa saya boleh saja ikut, tetapi seperti yang sudah saya jelaskan, saya sudah terlanjur malu karena terlalu

lama “menolak” IRM. Namun ego saya akhirnya terkalahkan

dengan keinginan saya untuk ikut berkemah. Apalagi Irmawan Imam dan Irmawan Furqon ternyata membaca peluang ini untuk membujuk saya lagi bergabung di IRM. Mereka dengan lembut menawari saya untuk ikut dan meminta izin pada ibu saya. Begitulah, saya terima tawaran mereka untuk berkemah, dengan catatan saya harus bergabung dengan IRM mulai sejak itu. Itu bukan masalah, pikir saya.

(7)

Secara fisik, Kemah Bakti ini cukup ekstrim bagi saya yang baru berusia 13 tahun. Pertama, medan Kemah Bakti (Buper Kalibakung) berupa perbukitan dengan udara sejuk, ini berat mengingat saya merupakan orang pesisir. Kedua, waktu yang cukup lama (4 hari 3 malam) apalagi hampir sepanjang hari diguyur hujan dan petir. Ketiga, walaupun saya sudah pernah empat kali mengikuti perkemahan, tapi baru di sinilah saya merasakan pengalaman mengusahakan konsumsi kami sendiri. Artinya kami benar-benar memasak makanan kami sendiri (karena tidak bisa mengandalkan Irmawati tentunya). Dan keempat, saat tafakur alam (wide game), dengan jarak yang cukup jauh dan medan yang sulit. Namun, hal ini justru menjadi tantangan dan kebanggaan bagi saya. Karena saya berkesempatan mendapatkan pengalaman berkemah yang luar biasa di usia yang masih muda (SMP).

Kemah Bakti membuat saya sedikit demi sedikit mengenal IRM. IRM ternyata organisasi yang besar dan hebat. Saat itu kurang lebih ada 35 PR IRM se-Kabupaten Tegal yang berpartisipasi. Sungguh semarak. Ini merupakan even tingkat kabupaten yang pertama kali saya ikuti. Disini saya belajar bagaimana seharusnya berorganisasi, serta menjalani kehidupan dan pergaulan sebagai seorang remaja muslim. Saya juga banyak belajar dari senior-senior saya dalam tim. Irmawan Furqon merupakan sosok yang paling saya kagumi. Selain dikenal cerdas, dia juga seorang yang lembut, santun dan takwa.

Saya yang saat itu memasuki tahap “pencarian jati diri” (puber) mulai menyadari ingin menjadi “sosok” seperti apa saya

nantinya. Mungkin saya ingin menjadi sosok pemuda yang cerdas, santun, berakhlak mulia dan bertakwa tentunya. Dan mungkin IRM adalah wadah yang tepat untuk mencapai visi tersebut.

Semarak Kemah Bakti benar-benar membangkitkan semangat seluruh peserta untuk ber-IRM. Rangkaian acara yang bermutu serta silaturahmi antar ranting IRM begitu berkesan di

(8)

Pulang dari Kemah Bakti, saya harus memenuhi janji saya untuk bergabung di IRM dan mengikuti kajian rutin IRM. Kajian rutin diadakan kamis malam jumat bada Isya. Saya sempat was-was di hari pertama saya (sebelum berangkat). Saya membayangkan malam itu saya harus memperkenalkan diri sebagai anggota baru di hadapan banyak anggota-anggota lama. Rasa takut dan malu menggelayut lagi di pikiran. Tapi bagaimanapun saya harus tetap hadir, saya pikir akan lebih malu lagi jika tidak menepati janji.

Tetapi ternyata keadaanya sangat berbeda. Tadinya saya berpikir, akan merasa asing dan minder di hadapan banyak anggota-anggota lama. Namun yang saya lihat, hanya

“segelintir” anak yang berangkat. Itupun semua mantan peserta

Kemah Bakti yang kurang lebih sudah saya kenal saat perkemahan.

Ternyata yang selama ini saya bayangkan salah, saya pikir IRM mempunyai anggota yang sangat banyak, minimal 20

lah. Tetapi kenyataannya IRM sedang mengalami “krisis

kader” begitulah istilah yang diberikan Irmawan Roma selaku

Ketua Umum PR IRM Ketileng saat itu. Hampir setiap kajian rutin, Irmawan Roma dalam sambutannya selalu menyinggung keprihatinannya terhadap IRM Ketileng yang anggotanya semakin berkurang. Menurutnya, remaja Ketileng sekarang

sudah tidak tertarik mengikuti kegiatan “pengajian”. Remaja

Ketileng lebih suka menghabiskan waktunya untuk bermain

play station, nongkrong sambil bermain gitar di pinggir jalan, serta berpacaran ngalor-ngidul (tidak tentu arah). Begitulah realitanya, kajian IRM semakin sepi. Saya sendiri sebagai

anggota baru yang belum “loyal” pada IRM juga harus selalu dijemput tiap kajian rutin. Kesadaran saya untuk ber-IRM masih

dalam tahap “membangun”. Alhamdulillah, senior-senior saya selalu mau melangkahkan kakinya untuk menjemput saya menghadiri kajian. Saya ingat, suatu hari kajian benar-benar semakin sepi dan dianggap kritis karena satu per satu anggota

lama merantau ke Jakarta. Kami sampai melakukan “kontrak” di

atas kertas demi keberlangsungan IRM Ketileng. Kontrak

tersebut berisi “janji” untuk selalu mengikuti kajian rutin

(9)

Kontrak ini ditandatangani oleh 8 anggota tetap (Saya, Ebi, Furqon, Luqman, Imam, Ghodi, Imas dan Miftah).

Meski awalnya saya lebih sering tidur dalam kajian, tapi lambat laun saya menikmati dan merasa nyaman di komunitas ini. Banyak hal yang saya dapatkan selama kajian rutin IRM. Disini saya belajar untuk berbicara di hadapan forum, mulai dari menjadi pembawa acara (MC), membawakan khitobah (kultum), menyampaikan sambutan tuan rumah dan bertanya pada pemateri. Kelihatannya sepele, berbicara di hadapan forum ternyata bukan hal yang mudah. Perlu latihan yang cukup lama untuk bisa menguasai keterampilan ini.

Tidak hanya itu, ada hal yang lebih penting yang saya peroleh dari IRM selain hanya sekedar berorganisasi dan berkomunikasi. Dari IRM saya belajar arti “dakwah”. Di sini saya melihat bagaimana Irmawan senior-senior saya begitu gigih untuk mempertahankan eksistensi IRM dan selalu mengajak kami (remaja-remaja desa) untuk ikut mengkaji Islam dan memahami indahnya Islam. Hampir tiap kajian, mereka rela menjemput kami untuk sesuatu hal yang baik yang malah seharusnya kami jemput. Tiada perasaan lelah maupun putus asa meski tanggapan kami tidak selalu baik. Pernah suatu hari, ketika kajian diadakan di rumah Irmawan Ebi, hanya dihadiri oleh tiga anggota. Saya, Irmawan Gaso dan Ebi sendiri. Sampai-sampai semuanya menjadi petugas acara (MC, Khitobah dan sambutan tuan rumah). Saya kira akan ada kalimat putus asa yang akan terlontar, tetapi ternyata Irmawan Gaso mengatakan kalau hakikat kajian ilmu itu bukan ada pada banyaknya peserta. Dengan tiga orang pun kajian tetap bisa berjalan. Asal tujuan dan tata caranya benar.

Hari demi hari, saya semakin cinta dengan IRM. Tidak terasa sudah satu tahun setengah saya aktif dalam kajian IRM. Saat itu saya sudah menginjak kelas 3 SMP (2004). Banyak pengalaman menarik dan berkesan saya dapatkan. Akan saya ceritakan beberapa.

(10)

Allah SWT”. Kalau saya tidak salah, perkataan tersebut terdiri

dari 1) Berdusta, 2) Melaknat 3) Menggunjing dan sebagainya sampai 10. Karena materi tersebut disampaikan dengan ringan dan menarik, kami memperhatikan dengan antusias. Ternyata efeknya benar-benar mengejutan. Sejak khitobah tersebut, kami jadi saling menyerang. Jangan salah paham dulu, saling serang yang saya maksud adalah saling mengingatkan dengan nada menyerang tapi bercanda saat salah seorang dari kami melakukan satu dari 10 Perkataan itu. Misalnya saat Irmawan A sedang menggunjing, maka kami atau salah satu dari kami

langsung menyerang seperti ini: “Hayoo, perkataan nomer 3!!

Hehe.” Kontan saja Irmawan A akan tersipu malu dan

beristighfar. (Subhanallah). Tradisi saling serang ini terbawa sampai di luar kajian rutin antar sesama Irmawan dan tak terasa berlangsung sepanjang tahun.

Kedua, masih oleh Irmawan Luqman. Suatu ketika, kami dalam keadaan risau karena IRM Ketileng benar-benar tidak mempunyai calon penerus (anggota baru), sementara anggota lama satu per satu meninggalkan kampung halaman untuk bekerja atau kuliah. Irmawan Luqman mengatakan supaya kami tidak perlu risau. Dia yakin, ketika IRM Ketileng dalam keadaan terburuk (mati / vakum) sekalipun, pasti akan ada sosok yang akan membangun kembali dan mengulang kejayaannya. Kalimat ini beberapa kali dia lontarkan dalam beberapa

kesempatan. Dalam hati yang “pesimis” saya sering juga

membatin “Memang sosok siapa yang sanggup membangun

kembali IRM Ketileng kalau memang kelak benar -benar mati? Adakah sosok remaja sehebat itu di desa kami Saya benar-benar tidak bisa membayangkan hal semustahil itu.

Awal saya memasuki SMA (2005), keadaan terburuk menimpa IRM Ketileng. Kekhawatiran saya benar-benar terjadi

yaitu “vakum” atau “mati”. Saat itu saya benar-benar sedih dan

kecewa. Saya kecewa, kenapa mereka harus “pergi” dan

(11)

kembali IRM Ketileng sendirian seperti yang diungkapkan Irmawan Luqman. Saya akhirnya memilih untuk menyerah saja meski secara automatis (de facto) sebenarnya saya menjadi Ketua Umum PR IRM Ketileng yang baru karena menjadi anggota terakhir yang masih berdomisili di ranting.

Rasa kecewa dan sedih itu tidak sampai berlarut-larut terlalu lama. Karena saya sengaja untuk mulai menyibukkan diri dengan berbagai organisasi sekolah. Kebetulan sekolah baru saya (SMA N 1 Tegal) merupakan sekolah yang terkenal sangat berkembang berbagai organisasi kesiswaannya. Namun begitu, selalu masih ada rasa rindu untuk bisa berkumpul lagi dengan teman-teman IRM dan saling mengingatkan dalam kebaikan.

Rasa rindu itu sedikit terobati dengan beberapa kali “iseng”

mengikuti kajian Ikatan Pelajar Nahdatul Ulama (IPNU) di Ketileng, Pelajar Islam Indonesia (PII) di desa teman saya dan Ikatan Remaja Mushola Baitul Ilmi (IRMUBI) di sekolah. Sempat ada tanggapan miring ketika saya ikut kajian IPNU. Namun saya tidak ambil pusing. Saya pikir, selama masih dalam konteks Islam, sah sah saja saya mencari ilmu dalam kajian ini. Ini lebih baik daripada saya harus berkumpul dengan remaja-remaja yang tidak jelas pergaulannya.

Selama SMA (kevakuman), saya juga sebenarnya terus

menantikan “sosok” yang “diramalkan” oleh Irmawan Luqman.

Sosok yang akan membangun kembali IRM Ketileng dan mengulang kejayaannya. Di samping itu, saya juga berharap supaya ada lagi kegiatan Kemah Bakti IRM. Siapa tahu Kemah Bakti akan membantu kebangkitan IRM Ketileng dari kevakuman. Karena saya juga menjadi Irmawan berawal dari kegiatan ini. Mungkin dengan adanya Kemah Bakti, akan banyak bermunculan Irmawan-Irmawan baru seperti saya. Yang awalnya acuh, lalu berbalik menjadi cinta IRM. Namun itu hanya menjadi sebuah harapan yang tak kunjung terwujud. Bahkan saya sempat melupakan mimpi-mimpi saya tentang IRM Ketileng karena sudah lelah untuk berharap.

(12)

SNMPTN dan masuk universitas impian. Saya harus menghadapi kenyataan untuk tidak melanjutkan pendidikan saya

selama satu tahun. Dan ternyata menjalani kehidupan “tanpa kegiatan” tidak semudah yang saya bayangkan. Namun, di balik

segala sesuatu pasti ada hikmahnya. Memasuki bulan Ramadhan tahun 2007, saya dan teman-teman remaja seperti biasa mulai aktif dalam kegiatan tadarus Al-Quran di mushola di lingkungan kami. Saat itulah saya memikirkan ide gila, berencana untuk merintis IRM di Ketileng. Karena saat itu saya sudah mempunyai bekal dan optimisme yang cukup, yang saya peroleh dari pengalaman saya di organisasi-organisasi sekolah. Selain itu, kerinduan saya dengan IRM ternyata muncul lagi bahkan makin membesar. Saya dibantu teman-teman tadarus (Hevi, Ria, Ainul, Arif, Aisyah, Eri dan Ruroh) mulai merancang strategi merintis PR IRM Ketileng. Dimulai dengan mendata remaja-remaja lulusan MDA Muhammadiyah di desa kami yang masih duduk di bangku SMP dan SMA. Setelah itu, kami membuat undangan dan mengundang mereka dalam pertemuan IRM perdana. Alhamdulillah, semangat Ramadhan meringankan kerja kami dalam usaha merintis PR IRM yang Insya Allah diridhoi-Nya.

(13)

membuktikan optimisme dari Irmawan Luqman yang dulu saya pikir suatu hal yang mustahil.

Paska berdirinya kembali PR IRM Ketileng, bukan menjadi happy ending bagi saya. Justru inilah awal perjuangan sesungguhnya. Mempertahankan eksistensi IRM Ketileng ternyata jauh, bahkan amat jauh lebih berat daripada merintisnya. Minggu ke 1, 2, 3, 4 cukup lancar. Setidaknya ada belasan anak yang hadir. Minggu-minggu berikutnya mulai sepi. Sehingga harus ada upaya ekstra untuk merekrut anggota. Saya harus menghadapi kenyataan susahnya mengajak para remaja Muhammadiyah di desa saya. Dengan budget pribadi, saya mulai mencetak undangan lagi. Dari pintu ke pintu kami harus membagikan undangan tiap minggunya. Itupun juga tetap harus dijemput pada saat kajian berlangsung, dan kami tidak selalu mendapat tanggapan positif dari mereka maupun orang tua mereka.

(14)

Keadaan IRM Ketileng kembali memburuk. Apalagi ditambah dengan keadaan PC IRM Kemantran yang vakum. Ranting-ranting di Cabang Kemantran berguguran. Kami mulai khawatir dengan kelangsungan IRM Ketileng. Dalam keadaan tersebut, rasa kekecewaan saya terhadap senior-senior saya di IRM sempat muncul kembali. Kenapa mereka harus pergi? Kenapa mereka membiarkan saya berjuang sendirian di sini? Kadang saya merasa putus asa. Tapi keputusasaan itu tidak saya biarkan menggelayut lama. Saya kembali berharap akan ada lagi kegiatan Kemah Bakti. Ya, Kemah Bakti mempunyai kekuatan yang cukup untuk mendongkrak kemajuan ranting-ranting IRM. Selain itu, majalah atau buletin IRM (Al-Fata) yang dulu pernah diterbitkan PD IRM juga saya rasa cukup baik untuk meningkatkan semangat juang Irmawan-Irmawati. Dari majalah tersebut, kami dapat mengetahui perkembangan ranting-ranting IRM lain di Kabupaten Tegal, sehingga sedikit banyak akan menginspirasi kami untuk terus berjuang. Hal ini sempat saya aspirasikan dengan semangat saat mengikuti Musyawarah Daerah (Musyda) IRM Kabupaten Tegal dan Rapat Kerja Daerah pada tahun 2007.

Seakan-akan mengulang sejarah yang sama, harapan tersebut tidak kunjung datang. Kemah Bakti dan Majalah IRM tidak pernah ada. Bahkan pada pertengahan tahun 2008, kajian rutin IRM Ketileng kembali vakum. Tetapi kami masih sempat mengikuti beberapa kegiatan yang diadakan PD IRM Kabupaten Tegal.

(15)

Di akhir Musyda, saya terpilih menjadi PD IPM Kabupaten Tegal periode 2009-2011 (IRM kembali menjadi IPM). Saya mendapat amanah menjadi personil bidang Apresiasi Seni, Budaya dan Olahraga (ASBO) bersama Irmawan Rizki (PC IPM Jatinegara), Ashar (PC IPM Jatinegara) dan Atrian dari satu cabang (PC IPM Kemantran). Konsekuensi yang harus saya hadapi menjadi PD IPM adalah beban saya menjadi lebih besar. Sekarang saya tidak hanya harus peduli pada ranting saya (IPM ranting Ketileng), namun juga harus peduli dan memperjuangkan ranting-ranting lain di Kabupaten Tegal.

Awalnya terasa amat berat amanah menjadi PD IPM. Bayangkan, untuk menghadiri rapat saja, saya harus menempuh jarak sekitar 20 Km dari rumah ke Gedung Dakwah Muhammadiyah di ibukota kabupaten. Bukan hanya masalah jarak, kadang saya kebingungan karena motor dalam keadaan tidak terisi bensin. Padahal untuk kuliah saja saya harus benar-benar prihatin. Penghasilan saya bekerja paruh waktu bahkan tidak cukup untuk membeli buku-buku kuliah. Yang pasti, di sini kami harus membagi waktu kami untuk pendidikan, pekerjaan dan IPM (ranting, cabang dan daerah). Dan saya yakin, tanpa dedikasi dan keikhlasan yang luar biasa, tidak akan mungkin kami dapat bertahan dalam perjuangan di PD IPM. Saya memaklumi, pada pertengahan periode kepemimpinan, hanya ada sekitar 10 personil PD yang masih eksis dari 33 personil yang dilantik. Di samping beberapa personil terpaksa meninggalkan Tegal untuk meraih cita-cita mereka masing-masing.

Selama menjadi PD IPM di tahun 2009-2011, Alhamdulillah semakin banyak ilmu dan hikmah yang saya dapatkan. Ada banyak pengalaman berharga yang menambah kedewasaan saya. Namun mungkin hanya beberapa saja yang akan saya ceritakan di sini.

(16)

akhirnya terwujud pada tahun 2010 setelah saya sendiri menjadi PD IPM. Hanya bermodalkan tekad dan pengalaman menjadi redaktur di majalah SMA, saya jatuh bangun menyusun majalah ini. Saya rela memakai dana pribadi untuk menyewa komputer untuk mengetik selama berhari-hari dan mencetak majalah. Setelah itu, meski agak tersendat karena kesibukan personil PD lain dan masalah dana tentunya, Alhamdulillah Majalah IPM dapat kami gandakan dan distribusikan pada bulan Agustus

2010 dengan nama “Al-Qolam”. Meski hanya sebuah majalah sederhana, tetapi saya bangga dan berharap Al-Qolam mampu menjadi sarana komunikasi, penyalur aspirasi serta sarana kreativitas bagi Ipmawan-Ipmawati di daerah saya.

Kedua, Kemah Bakti. Seperti halnya Majalah IPM, Kemah Bakti yang menjadi harapan saya untuk memberi angin segar pada ranting-ranting juga dapat terwujud setelah saya sendiri menjabat sebagai ketua bidang ASBO PD IPM. Saya dengan teman-teman panitia yang hanya segelintir Alhamdulillah mampu mewujudkan acara Kemah Bakti yang cukup wah di tengah berbagai keterbatasan dan rintangan. Mulai dari minimnya dana serta minimnya tenaga panitia. Walaupun demikian, kami jalani dengan ikhlas dan penuh semangat. Sungguh luar biasa rasanya. Nikmat Allah yang tiada terkira. Satu hal yang membuat saya terharu adalah ketika saya sadar bahwa saya lahir di IPM berawal dari Kemah Bakti, dan ternyata hari itu saya telah berhasil mewujudkan kembali Kemah Bakti sebagai seorang ketua panitia. Subhanallah. Dari Majalah IPM dan Kemah Bakti, ada satu pelajaran yang saya

petik, “Janganlah kita menunggu seseorang untuk mewujudkan harapan-harapan kita, tapi wujudkanlah sendiri harapan tersebut, bagaimanapun kemampuan kita dan entah apapun hasilnya”.

(17)

memang ini agenda wajib tiap periode yang bagaimanapun harus tetap diperjuangkan. Saya ingat, pada pagi hari kedua kegiatan, Ipmawati Fera ketar-ketir. Ternyata dia kebingungan karena dana panitia sudah habis, sementara peserta harus mendapat konsumsi pada siang harinya. Karena kebetulan saya membawa cukup uang, saya berikan lima puluh ribu rupiah untuk menambah biaya untuk membeli konsumsi. Saya bahagia, uang yang saya bawa bisa bermanfaat. Lalu saya menjelaskan bahwa uang itu adalah keuntungan dari penjualan Majalah Al-Qolam (bidang ASBO), jadi pada hakikatnya itu adalah uang bidang Ipmawati juga. Toh, bidang Ipmawati juga turut andil dalam penerbitannya. Saya tidak bermaksud pamer, saya hanya ingin menggambarkan kebahagian kami karena bisa saling melengkapi dan membantu dalam perjuangan kami di PD IPM.

Pengalaman bergaul dan bekerjasama dengan teman-teman personil PD IPM juga tidak kalah berharga. Mereka adalah sosok luar biasa yang banyak saya teladani. Ipmawan Satriyo selaku ketua umum adalah pemimpin yang sabar, dia selalu menghadapi berbagai masalah dan kritikan dengan kepala dingin. Pernah ada sebuah pesan SMS menyebar pada PD IPM yang mengabarkan bahwa dirinya terlibat dalam organisasi Islam terlarang. Kami sempat agak terpengaruh dan merasa curiga, namun dengan sabar dan bijaksana Ipmawan Satriyo mampu meyakinkan kami bahwa kabar itu adalah fitnah belaka. Kami merasa malu dan meminta maaf padanya.

Ipmawati Fera (Kabid Ipmawati) adalah sosok yang lemah lembut dan bijaksana. Dia sering menjadi penengah dan penentram ketika ada konflik atau perdebatan antar personil PD IPM. Pernah suatu hari, saya merasa prihatin dan putus asa memikirkan nasib IPM Ketileng dan IPM di Cabang Kemantran. Bertahun-tahun saya perjuangkan namun tidak ada kemajuan yang berarti. Sementara itu, teman-teman seperjuangan saya yang bahkan lebih muda dari saya satu per satu juga mulai

pergi. Yang saya pikirkan, “Kalau terus begini, kapan waktunya

bagi saya untuk melepas IPM? Sementara IPM tidak pernah cukup kuat untuk saya tinggalkan? Padahal usia saya sudah

(18)

dakwah ibarat pohon, ada saja daun-daun yang berjatuhan. Tapi pohon dakwah itu tak pernah kehabisan cara untuk menumbuhkan tunas-tunas barunya, sementara daun-daun berguguran tak lebih akan menjadi sampah dalam sejarah. Jangan pernah menyalahkan jalan ini. Jangan menyerah karena lelah atau lemah. Biarlah lemah mengajarimu sampai lelah. Tetap istiqomah, semoga beratnya amanah menjadi satu titian menuju surga Allah. Hidup itu indah, jika semuanya karena

Allah….”

Rasanya tidak akan cukup jika harus saya ceritakan satu per satu pengalaman dan keteladanan dari masing-masing personil PD IPM Kabupaten Tegal maupun rekan-rekan saya personil PC IPM Kemantran dan PR IPM Ketileng. Yang pasti, saya sangat beruntung dan berterima kasih pada akhi dan ukhti fillah di IPM karena telah mengajarkan saya indahnya persaudaraan dalam Islam.

Bagi saya, IPM adalah wadah yang telah mendidik saya untuk mengenal apa arti Islam, dakwah, perjuangan, persaudaraan, kepemimpinan, organisasi, kemandirian, kearifan, keikhlasan, istiqomah, keberanian, kesabaran, dan harapan. Jika pemerintah baru akhir-akhir ini menggalakan “pendidikan

karakter”, maka IPM sejatinya telah melaksanakannya jauh-jauh hari. IPM adalah salah satu wahana pendidikan karakter terbaik yang saya kenal.

Perjalanan PD IPM Kabupaten Tegal 2009-2011 berakhir di Musyda VIII Balapulang. Saya mendapat amanah lagi di bawah kepemimpinan sahabat saya Ipmawan Husni (2011-2013). Kini, tak terasa perjalanan periode kedua ini pun hampir berakhir. Namun, amanah baru di PW IPM Jawa Tengah sudah menanti. Kalau harus saya ceritakan juga perjuangan periode kedua, tentu membutuhkan berlembar-lembar halaman lagi. Mungkin saya hanya akan berbagi SMS bagus yang pernah Ipmawan Husni berikan: Berbahagialah jika kau rela dengan yang lain! Disaat yang lain acuh dengan umat, kau curahkan pikiran, waktu dan tenaga untuk umat. Jika ada yang bertanya

(19)

indahnya dakwah. Sukses dunia dan akhirat. Teruslah berjuang, dengan keimanan yang kokoh, dengan amal ihsan karena -Nya!! Karena takkan tersisa sedetik, bahkan sebesar dzarrah-pun apa yang kau lakukan, Allah-lah yang menjadi saksi!! Ini

langkahku…

Akhirnya, saya berharap sepenggal kisah perjalanan saya bersama IPM dapat bermanfaat. Semoga tidak terbersit riya dalam hati, karena sungguh sangat rugi ketika tulisan ini hanya menjadi ajang riya bagi saya. Mohon maaf bila ada banyak kesalahan dalam kata-kata yang saya rangkai. Wahai pejuang dakwah, La Tahzan! Mantapkan niat, janganlah kau gusar dan ragu. Sadarilah bahwa hakikatnya kau lebih kaya dari hartawan, lebih kuat dari orang terkuat, serta lebih mulia dari seorang amir. Karena jalan dakwah hanya untuk orang yang luar biasa ikhlas, sabar, serta peduli pada umat.

Nuun Wal Qolami Wamaa Yasthuruun.

(Dedicated to Ipmawan-Ipmawati di seluruh Indonesia) M. Taufik Hidayat

(20)

IPM … OH YEAH

Oleh Ipmawati Indah Kharisah

Ngaji???!! Aku kan sudah SMA, sudah besar. Buat apa ngaji???? Di sekolah juga dapat pelajaran agama.

Itulah yang pertama kali terlintas di dalam benakku

ketika Ibuku mengatakan “Ini ada undangan pengajian IRM (waktu itu masih bernama IRM), nanti malam di madrasah.”

Sebelumnya aku tidak tahu apa itu IRM. Padahal aku tumbuh di tengah-tengah Muhammadiyah. Bapak di pengajian Muhammadiyah, Ibu di Aisyiyah dan kakak di Nasyiyatul Aisyiyah.

Ah, tapi apapun itu, bagiku pengajian adalah sesuatu yang membosankan. Aku memutuskan untuk tidak berangkat. Tapi ternyata itu tidak semudah yang aku bayangkan. Kalau sudah menyangkut urusan agama, bapak dan ibu tidak mau

tinggal diam. “Tidak ada alasan untuk tidak berangkat ngaji!”

kata mereka.

Tapi aku juga tidak mau kalah sebelum berperang

hehehe. Aku mencoba merayu Ibu, “Teman-teman di rumah tidak ada yang mau berangkat ke pengajian IRM, masa aku harus berangkat sendirian? Pokoknya aku tidak mau berangkat

(21)

“Ya sudah. Kalau tidak ada temannya, biar Bapak yang nganterin” bapak angkat bicara.

“Iya, aku berangkat sendirian saja.” jawabku akhirnya mengalah. Kalau bapak yang bicara, aku tidak berani membantah.

Berawal dari keterpaksaan aku memasuki dunia IRM. Awalnya aku kira kegiatan di IRM hanya mengkaji masalah agama. Tapi ternyata tidak, di sana ada kegiatan drumband, wisata dakwah, buka bersama Ramadhan, kemah bersama Tunas Islam (calon penerus IRM), dan masih seabreg kegiatan menarik lainnya.

Alhamdulilah lambat laun aku jatuh cinta juga dengan IRM. Teman-teman yang welcome and friendly membuat aku betah berlama-lama bersama mereka.

IRM telah memberiku banyak teman, banyak pengalaman dan pelajaran yang tidak aku dapatkan di sekolah

formal. Terimakasih IRM …

Jangan pernah ragu memaksa seseorang untuk melakukan kebaikan, dan lakukanlah kebaikan walaupun dengan terpaksa.

Indah Kharisah PR IPM Wangandawa

(22)

ASH-SHAFF

Oleh Ipmawati Ismi Nur Amaliyah

Ash-Shaff adalah buletin baru, garapan PC IPM Adiwerna. Saat itu, meski jabatan saya sebagai sekertaris bidang (sekbid) IPMawati, namun PC mengamanahi saya sebagai sekretaris redaksi karena memang sekbid PIP tidak menyanggupi.

Memang tidak mudah berada di posisi itu, apalagi saat deadline, serba salah. Buletin Ash-Shaff terbit tiap bulan, itu juga kalau lancar. Terkadang banyak sekali halangan atau kendala dalam tiap prosesnya. Koordinasi redaksi buletin Ash-Shaff tak sejalan dengan yang direncanakan. Artikel yang seharusnya dikumpulkan tiap bidang tak jua saya terima. Bahkan kadang karena tidak ada bahan artikel lagi, saya sering

gembar-gembor dengan teman-teman supaya mengirim artikel untuk meramaikan buletin Ash-Shaff. Pimpinan redaksi secara terbuka memberikan kesempatan saya untuk mencari referensi yang cocok dengan tema bulan itu sebagai solusinya.

Ash-Shaff memang buletin sederhana. Bentuknya berupa fotokopian tetapi dengan cover tebal dari sablonan.

(23)

menambah rubrik-rubrik yang baru dan menarik seperti Quiz, LKI Corner dan lain-lain..

Edisi 1, 2, 3 masih berjalan lancar, tapi menjelang edisi berikutnya buletin Ash-Shaff mampet tidak terbit-terbit. Saya benar-benar disibukkan dengan pekerjaan menumpuk. Jujur, untuk mengetik buletin dan mengatur-mengatur tampilan buletin itu tidak mudah. Saya tidak mau mengecewakan Ketua umum (ketum) dan yang lainnya. Karena saya kapok, sebelumnya saya pernah mengetik buletin dengan tampilan asal-asalan. Sebuah teguran kecil tapi meresap sampai ke sanubari dilayangkan pada saya dan itu juga yang menjadi alasan buletin tidak juga saya garap, saya jadi was-was dan mesti teliti. Saat itu saya ingin sekali posisi sekretaris redaksi buletin Ash-Shaff dialihkan sementara ke Sekretaris umum, tapi sama sekali tak ada tanggapan. Karena merasa tidak enak hati dengan Ketum dan pimpinan redaksi serta teman-teman lainnya, saya pun mencoba sengaja lembur garap buletin Ash-Shaff, dan ternyata saya selesaikan dalam semalam, Subhanallah.

Apalagi saat menggarap buletin Ash-Shaff edisi MUSYDA PD IPM Kab. Tegal. Di sini kesabaran saya diuji. Saat itu data saya sudah terkumpul dan diketik. Konsep buletin sudah diprint out, tinggal di Acc Ketum. Tapi mendadak konsep hilang tak tahu raib kemana. Lebih parahnya lagi datanya hanya disimpan di flashdisk dan flashdisk tersebut terkontaminasi virus karena masuk ke komputer teman. Walhasil data buletin di flashdisk hilang, saya menyesal sekali tidak menyimpan di komputer. Saat itu saya langsung lemes ndedes kaya deles saya sengaja tidak cerita ke teman-teman, ini sudah resiko saya. Saya

kebut lagi, lembur lagi, mengetik lagi dan akhirnya buletin dapat selesai dalam H-2. Nikmatnya… Lebih nikmat lagi saat MUSYDA PD IPM Kab. Tegal, saya senang luar biasa, buletin Ash-Shaff bisa GO KAB. TEGAL, hehe… Alhamdulillah…

Kini, buletin Ash-Shaff belum terbit lagi. Saya disibukkan dengan kegiatan baru. Kegiatan di PC IPM

Adiwerna pun jarang saya ikuti. Apa daya Ya Allah… di

(24)

Cabang IPM Adiwerna Agustus kemarin, buletin Ash-Shaff tidak terbit. Saya takut buletin Ash-Shaff tidak terbit lagi dengan adanya pimpinan baru ini. Saya selalu mengatakan kepada teman-teman pimpinan baru, saya siap apabila memerlukan bantuan dalam buletin Ash-Shaff.

Semoga dengan adanya buletin Ash-Shaff dapat

menjadi salah satu wadah dakwah dan amar ma’ruf nahi

mungkar serta dapat terus memberikan manfaat untuk semua. Dan semoga perjuangan dakwah kami selalu diridhoi oleh Allah SWT. Amiin.

IPM Jaya... Ismi Nur Amaliyah

PR IPM Pesarean, Adiwerna

(25)

NEW SHIP

Oleh Ipmawan Agung Subekti

My name is Agung, Agung Subekti. Entah memulai dari sisi mana kehidupan remaja ini, ku habiskan bersama orang-orang hebat yang lahir dari seberkas cahaya fajar sang

surya. “IPM”. Ya, mereka menamakan dirinya “Ikatan Pelajar

Muhammadiyah”, organisasi yang tak hanya mendidik pelajar

tapi juga mengajak remaja untuk belajar. Belajar tak selamanya dari sebuah sekolah ataupun bimbingan belajar, karna ilmu Allah terlalu banyak menyebar di sudut alam ini. Semenjak MTs aku mulai mengenal organisasi ini, dan semenjak MTs pula aku mulai menggenggam tangan hebat para pelajar Muhammadiyah. Keberadaanku pada ikatan ini telah melekat, mungkin layaknya pheryphyton yang melekat erat pada substrat berbatu yang enggan melepaskan jari microscopisnya. Hingga pada naungan langit awal tahun 2012 aku mendapat amanat besar

untuk menjadi “Kapten” pada bahtera ini “PR IPM

(26)

hanya tersisakan Hadi, Sigit, Adi dan Irin, yang benar-benar masih bertekat untuk berlayar.

Taiyou mulai berganti setiap harinya, namun baru kutemukan jawabannya menjelang akhir bulan ini. Para remaja di desa ini cukup penakut menghadapi hamparan laut yang penuh keindahan ini, yang mereka inginkan hanya sebuah kebahagiaan dan kebebasan yang tak bermanfaat. Inilah tugasku dan tugas kita: meyakinkan mereka bahwa di IPM mereka juga dapat memperoleh kebahagiaan dan kebebasan yang lebih dari yang mereka tahu diluar sana.

“Kalian jangan takut masuk di IPM, disini kami juga tak hanya mengaji dan berorganisasi, tapi disini kita

membentuk persahabatan layaknya saudara”, itu sepenggal sambutanku saat pengajian di rumah ipmawan Alvian, aku menyampaikan ini saat pengajian bulanan karena saat pengajian bulanan para pembelajar baru akan terlihat batang hidungnya. Kemudian ku lanjutkan “jangan menganggap IPM itu gak asik, gak gaul dan sebagainya. Jika kalian suka nongkrong, IPM juga suka nongkrong bahkan tongkrongan kami lebih gaul dan lebih berkelas yaitu di MMC (Maju Milk Center)”. Mereka bahkan tak tahu MMC yang sebenarnya kedai susu murni ini telah menjadi tongkrongan anak muda di Tegal. Maybe karena mereka terlalu sering nongkrong di pinggir jalan yang tiada

guna. “Dan jika kalian suka menghabiskan malam dengan secangkir kopi, IPM pun sering mengadakan lek-lekan (begadang), dan tak hanya secangkir kopi, tapi terkadang ayam

bakar menjadi suguhanya”. Telinga mereka mendengar semua yang ku katakan tentang kegiatan di IPM selain mengaji, dari hal kecil sampai hal yang mereka tak pernah tau sebelumnya, tapi yang ku sayangkan, mereka seakan ragu dan tak yakin. Tapi aku yakin ada rasa penasaran pada hati mereka untuk membuktikan ucapan lisan ini.

(27)

tak ingin melewatkan kesempatan ini, aku tak perlu menghitung P (x) karna tak harus 100% itu sudah cukup memuaskan. Seusai pengajian, aku suruh Hadi atau “Ciun” sapaan akrabnya agar mengajak para pembelajar baru untuk sekedar menikmati malam

jum’at bersama. Ternyata dia jago dalam hal ini, setidaknya

sebagian dari mereka menyetujuinya. Dan diselingi musik

reggae, dengan 2 liter susu murni dan kacang yang akan menimbulkan jerawat, kami bermain catur dan berbicang ringan mencoba menghabiskan malam ini.

Yah, tak perlu menggunakan ilmu politik dengan berbagai teori yang mengajarkan cara mendapatkan sesuatu, mereka terlihat tak mengecewakan untuk sesuatu yang awal. Dan itulah remaja masa kini, lebih menyukai hal yang santai dan menyenangkan daripada harus ditekan untuk mengaji dan dilarang itu ini. Aku rasa tak mengapa, meskipun setiap kali kita berkumpul bermain bersama, sedikit sekali membahas agama ataupun sekedar mengajarkan IPM, karena tujuanku membuat mereka nyaman bersama anak IPM. Maka setelah semua terasa nyaman barulah kita sedikit demi sedikit mengajarkan mereka tentang hal yang menjadi tujuan IPM.

Sekian lama kita menghabiskan waktu untuk sekedar pergi ke MMC untuk minum susu dan bermain ikan, nonton

“dua dunia” bersama, bakar-bakaran, bersepeda ria, main bola, main catur, hingga kegiatan MABIT, pengajian cabang, bahkan pengajian daerah dan banyak kegiatan lain yang telah dinikmati bersama. Aku rasa anggota baru ini mulai tertarik pada ikatan ini, sinar sang surya mulai terlihat di dada mereka meski belum terang sempurna. Aku dan sahabat IPM terus berusaha mempertahankan pembelajar baru meski terkadang W=0. Tapi rumus itu tidak konstan dalam ilmu fisika.

(28)

ini. Antusiasme mereka aku yakin tak mengharapkan medali,

terkhusus saat pawai ta’aruf dan bazar. Kita membuka usaha

jagung bakar dan tela-tela sebagai menu utama, es marimas dan bakso bakar hanya sebagai pelengkap saja. Tak pernah mengira akan ramai pembeli, tapi pada realnya keuntungan yang di dapat lebih dari 4X lipat modal yang dikeluarkan. Jelas jagung bakar kami murah dan ueenak, kalian tahu kenapa enak? Karena jagungnya dibakar dengan kobaran api cinta anggota IPM yang luar biasa. “Berjuang di IPM jangan pernah mengharap

imbalan, sekalipun perjuangan ini berupa bisnis seperti ini”,

aku katakan demikian karena hasil penjualan tak mungkin kita bagikan, dan sekarang mereka adalah IPM karena mereka ternyata tahu akan hal itu. Yah, sekedar syukuran atas keberhasilan ini kita bisa makan bakso bersama.

Kini hatiku sediri mulai mengagumi IPM Wangandawa ini, seketika ku tengok kebelakang ada bayangan perjuangan yang luar biasa yang memberatkan hati untuk pergi meningalkan IPMku. Saat pendidikan harus memisahkan aku dengan orang-orang hebat itu, aku merasa tak mampu, tetapi ini adalah amanat lain dari Allah. Aku ingin menghabiskan masa-masaku di kota ini dengan IPMku yang luar biasa, tadarus bersama setiap selepas tarawih, bersepeda menunggu buka puasa bersama tunas IPM, berbuka bersama, tetap ke MMC, dan mengikuti TORSENI se-cabang Kramat, Talang, dan Suradadi. Akhirnya kami dapat menyandang predikat juara umum di ajang ini, kalian memang luar biasa kawan I’m so proud with u.

(29)

menuju pulau impian. Selamat bergabung kawan, perjuangan baru dimulai dan inilah kapal kalian.

Dan aku akan tetap mensuport kalian pada bahtera lain, suatu saat kita bertemu di tengah samudra aku akan tetap mampir sekedar minum teh bersamamu. Aku tak menyangka, kalian yang dulu tak pernah peduli dengan IPM, terlalu kaku saat bersama ku, kini kau mulai menyebut namaku dengan gaya candaanmu. Memang harus penuh usaha yang keras untuk merubah dunia, dan tak mampu jika sendiri, topangan tangan-tangan hebat sangat diperlukan dalam hal ini. Tak perlu medali untuk sebuah kebaikan, cukup kepuasan hati yang menjadi penghargaan. Semangat kawan, jaga dirimu dan kapalmu tak ada yang boleh tenggelam sia-sia. Ganbatte!!!

Agung Subekti

PR. IPM Wangandawa

(30)

SEPENGGAL CERITA

Oleh Ipmawan Nurfahmi Fadlillah

Semarang, 19 Juni 2013, perjuangan saya untuk mendapatkan universitas yang baik dimulai. Detik demi detik yang kuisi dengan belajar dan belajar akhirnya terbayarkan sudah, entah bagaimana hasilnya nanti, itu urusan Sang Kuasa seperti yang sering ku dengar dari mulut para pengisi yang

mengisi ta’lim kami. Matahari mulai berada di atas kepala, saya

pun langsung mempersiapkan pulang kembali ke Tegal. Kereta Api rasanya sangat tidak bersahabat pada hari itu, tiketnya ludes tidak tersisa. Akhirnya bus pun menjadi kendaraan yang kami

pakai. “Selamat Datang di Kota Tegal”, tugu itu menyambut

kedatangan kami di malam itu. Malam semakin petang, petang pun berganti dengan mentari.

Keesokan harinya PR IPM ku mendapat undangan untuk mengirim utusannya dalam Torseni (Temu Olahraga, Seni

dan Ilmiah) PD IPM Kabupaten Tegal. “Wow, sudah lama

sekali tidak ada kegiatan IPM, akhirnya muncul lagi”, pikirku. Ranting kami sebenarnya penuh dengan bakat. Paduan suara kami juara I, tenis meja juara II, hasta karya juara I, catur juara I dalam Torseni IPM se-Cabang Dukuhturi. Tapi apa daya, lokasi kegiatan Torseni ini terlalu jauh, uang hanya akan habis untuk perjalanan. Tapi dari sekian banyak lomba ada lomba yang

(31)

keterbatasan tidak mengurangi semangat kami untuk ikut berpartisipasi mengikuti Torseni yang diselenggarakan oleh PD IPM Kabupaten Tegal.

“Aku dan IPM”, selarik judul yang singkat tapi penuh

arti buat saya, mengingatkan pertama kali pertemuan saya dengan IRM ketika belum berganti nama menjadi IPM. Fahmi, begitulah sehari-hari saya dipanggil oleh teman-teman. Ipmawan kelahiran Tegal, 12 Februari 1995. Sejak kecil saya memang dibesarkan dari keluarga dan lingkungan Muhammadiyah, jadi tidak asing dengan hal-hal berbau Muhammadiyah. Pendidikan saya juga di perguruan Muhammadiyah, dari taman kanak-kanak di TK ABA kemudian sekolah dasar di MI Muhammadiyah Debong Wetan. Pertemuan saya dengan IPM dimulai ketika IPM di ranting kami yang vakum akan di hidupkan kembali. Saya memang pada waktu itu masih kelas 4 MI dan masih belum tahu apa itu IPM dan bagaimana cara untuk menjalankannya kembali. Namun, bapak selalu menyuruhku untuk masuk ke IPM. Kenapa tidak PII? Ya itulah bapakku, penuh perhitungan ketika menyuruh sesuatu kepada anaknya. Di dalam pikirannya, IPM masih di atas PII, jadi tidak ada ruginya memasukkan anaknya ke IPM sekaligus agar bisa menghidupkan kembali IPM Debong Wetan.

Ta’lim pertama pun tiba, malu kesan pertama yang

saya rasakan. Bagaimana tidak malu? Saya Irmawan termuda saat itu. Oh ya saya bergabung dengan IPM ketika masih bernama IRM sebelum kembali ke IPM lagi. Karena masih sangat kecil, saya belum nyambung dengan obrolan mereka, apa itu bidang SDI, PIP dan masih banyak lagi. Yang bisa saya lakukan hanya mengangguk-ngangguk dan mendengarkan saja. Masih teringat di benak saya, apa tugas pertama yang saya lakukan. Saya diberi tugas membaca Al-Quran, ya walaupun saya tahu kapasitas saya dalam membaca Al-Qur’an. Ta’lim pertama sangat berkesan di hidupku.

(32)

dengan anggota yang lebih muda pula. Malam pelantikan pun menghampiri. Saat itu jabatan saya naik kasta, yang dulunya anggota, menjadi sekretaris SDI. Senang rasanya ditonton bapak dan ibu dari Muhammadiyah dan Aisyiyah untuk melanjutkan

tonggak perjuangan mereka. “Mungkin ini perjuangan saya

untuk menegakkan Islam melalui IPM dimulai”, pikirku. Tugas saya sekarang sebagai sekretaris SDI adalah antar-mengantar surat layaknya pak pos. Hehe.

Pada suatu hari di sekolah, saat jam istirahat, Pak Aziz, guru matematika saya menghampiri dengan menggenggam sebuah surat. Tentunya bukan surat cinta yah, hahaha.

“Mi, ini ada surat dari PD IPM, meminta perwakilan untuk mengikuti taruna melati II”, ujar Pak Aziz.

“Taruna Melati sihapa pak?”, jawabku

“Ya semacam pelatihan kepemimpinan, pesertanya juga paling seumurmu kok mi”, sahutnya

“Oh ya sudah pak. Kalau memang pesertanya sebayaku, berarti nggak masalah. Yang penting jangan

sendirian”, lanjutku

“Iya tenang saja, nanti pasti ada temannya”, lanjutnya Percakapan kami diakhiri dengan bel masuk. Saya melanjutkan kegiatan belajar di sekolah. Bunyi bel kedua mengakhiri aktivitas saya di sekolah. Kemudian pak Aziz kembali menghampiriku menyebutkan anak yang akan berjuang bersama saya di kegiatan Taruna Melati II nanti. Pertama Muhammad Zaky Pratama, partner saya di IPM Debong Wetan. Kedua Kurniawan Sya’bani atau Bani teman sekelas saya. Ketiga Muhammad Rizal Faqih adik kelas saya dan yang terkahir, paling muda Khafidul Ilmi masih duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga.

(33)

mundur ? Ya tentu tidak, seperti yang sering di dengar di Hizbul

Wathan, ”Siapa yang gentar, pulang saja!”. Karena saya dan

teman saya bukan termasuk golongan orang yang mudah gentar dan cemen, hanya karena melihat tampang mereka yang lebih tua dari kami.

Diskusi, Shalat malam, interview di pasar Trayeman merupakan sebagian kecil kegiatan yang paling memorable bagi saya. Diskusi, dari acara inilah awal mula saya berani berbicara di depan umum, berani mengemukakan pendapat saya. Ya, walaupun selalu dibantah oleh kakak-kakak yang lebih senior, tetapi setidaknya keberanian mengemukakan pendapat saya tumbuh disini dan itu sangat bermanfaat ketika saya SMP dan SMA, saya jadi bisa dengan mudah berbicara di depan umum.

Setelah acara diskusi berakhir pukul 23.00 wib, acara selanjutnya yaitu mimpi indah. Namun, baru saja mimpi indah, jam 02.00 sudah dibangunkan kembali untuk shalat malam. Selayaknya anak kecil baru tidur tiga jam, ya jelas rasa kantuk masih sangat membebani untuk shalat malam. Benar saja, baru sujud rokaat pertama saja saya tertidur, tidak bangun sampai salam dan ketika saya tersadar langsung salam, jadi shalat cuma satu rakaat hehe. Lain cerita dengan Zaki, dia tertidur saat ruku rakaat kedua. Sama seperti saya, Zaki juga tertidur sampai salam.

Sekarang saya sudah berusia 18 tahun dan sudah lulus SMA, tentunya masih aktif di IPM. Sangat tidak fair sekali ketika masa indah di IPM selama delapan tahun hanya dituliskan dalam tiga lembar kertas berukuran A4. Delapan tahun ini IPM mengajarkan saya menjadi anggota, sampai menjadi pucuk pimpinan yang baik, dari mengantarkan undangan sampai mencari pengisian, dan dari penggembira sampai jadi juara. Delapan tahun sudah saya berkecimpung di IPM, prestasi kami yang hanya juara paduan suara, tenismeja, hasta karya memang tidak terlalu berarti, tapi IPM membuat itu semua menjadi berarti bagi kami. Proses menuju puncak itu yang harus kami lalui, dan IPM mengajarkan itu, kekompakan,

(34)

dalam beberapa lembar kertas. IPM jaya!! Inilah cerita “Aku

dan IPM”, bagaimana dengan ceritamu?

Nurfahmi Fadlillah PR IPM Debong Wetan

(35)

WARNA WARNIKU DI IPM

Oleh Ipmawati Syaefatul Awaliyah

Awal kisah perjalananku dengan IPM bisa dibilang cukup panjang dan mungkin lumayan mengherankan. Karena aku yang lahir di tengah-tengah keluarga yang semuanya aktif dalam organisasi Muhammadiyah, tapi aku tak sedikitpun tahu apalagi mengerti apa itu IPM.

(36)

contoh). Saat itu aku hanya berfikir untuk berkumpul dengan teman-teman lama, bukan mencari teman-teman baru.

Kejadian itu bukan akhir dari segalanya. Aku masih sering mengikuti pengajian rutin IPM Pegirikan tanpa sepengetahuan orang tuaku (yang ini juga jangan dicontoh). Sampai suatu malam saat aku berpamitan pergi, orangtuaku melarang. Kontan saja aku langsung mengambek dan mengurung diri di kamar. Di dalam kamar, aku berfikir, mengapa orangtuaku melarang? Padahal ini kegiatan yang bermanfaat. Apa bedanya ranting Bedug dan ranting Pegirikan? Satu persatu pertanyaan melintas silih berganti di fikiranku. Sampai aku sadar dan faham dengan kata-kata yang diucapkan oleh umi ku.

“Bergaulah terlebih dahulu dengan orang terdekat

disekitar kamu, karena kelak saat kamu mengalami kesusahan,

orang terdekatlah yang akan menolongmu pertama kali.”

Dari situ aku sadar dan akhirnya aku keluar dari kamar dan berangkat pengajian rutin IPM. Tapi tujuanku kali ini bukan ke Pegirikan, melainkan ke desaku tercinta, desa Bedug. Awalnya aku memang merasa sangat asing, maklum saja, walaupun aku mengenal mereka tapi aku tidak terlalu akrab dengan mereka. Ditambah lagi aku jarang berada di rumah. Aku banyak menghabiskan waktuku di sekolah, dari mulai SD, SMP dan sekarang SMK.

(37)

Perjalanan yang bila ku ingat sekarang sering membuat aku tertawa sendiri.

Selain itu aku juga pernah mengikuti pelatihan menulis dear diary yang diadakan oleh bidang PIP PD IPM Kabupaten Tegal tanggal 26 Februari 2012 di SMA Muhammadiyah Tarub. Aku banyak mendapatkan ilmu seputar dunia kepenulisan dan yang pasti teman-teman baru. Saat itu mas Taufik, menunjuk salah satu peserta untuk ditanyai tentang apa itu sodaqoh, dan peserta itu adalah aku. Bagi orang lain mungkin itu hal yang biasa, tapi bagiku itu pengalaman yang sangat luar biasa dan tak terlupakan (terima kasih untuk pertanyaannya waktu itu mas). Saat itu, aku juga sempat bertanya kepada mba Shinta selaku pembicara, tentang bagaimana suka duka berkutat dengan dunia kepenulisan. Maklum, aku sangat menggemari bidang ini, Jadi kesempatan bertanya tidak akan aku sia-siakan (terimakasih mba, atas jawabannya, atas ilmu yang ditularkan. Terimakasih juga buku dan motivasinya).

Jika satu persatu aku menjabarkan pengalamanku bersama IPM, takkan ada kertas yang mampu memuat panjang tulisan yang aku buat. Sampai saat ini, menjadi salah satu pimpinan IPM Bedug, adalah suatu kebanggaan dan ketakutan untukku. Kebanggaan karena aku telah dipercaya untuk mengemban amanat ini. Ketakutan karena aku sendiri takut jika aku tak bisa menjalankan amanat ini dengan baik, karena seberat-berat tugas adalah mengemban amanat. Di IPM aku belajar untuk bertanggung jawab dan amanah. IPM itu bukan organisasi kolot. Tapi IPM adalah tempat kita untuk berekspresi, berprestasi dan berkarya. Tak ada kata menyesal untuk aktif di IPM.

(38)

Syaefatul Awaliyah PR IPM Bedug

(39)

SENYUM IPM DI LLA

Oleh Ipmawati Fina Alfi Nur

IPM di desa ku baru di bentuk 2 tahun silam, awal pembentukan jumlah anggota ada 40 anak, itu hanya Ipmawati.

“Subhanallah”, ungkapanku atas rasa takjub saat pertama kali aku bergabung dengan IPM, saat melihat pemuda bangsa generasi Muhammadiyah sangat banyak. Namun seiring berjalanya waktu, ungkapanku itu rasanya hanya omong kosong belaka. Entah dimana letak konsistensi mereka? Dari yang awalnya ada 40 anggota, hanya menjadi 10 anggota. Itu pun masih mending, terkadang hanya 7 atau 5 anak yang mengikuti kajian rutin. Alasan mereka terlalu bervariasi saat di tegur, salah satunya karena kajian rutin yang dilakukan pada malam sabtu, Tapi apa boleh buat, jika diubah menjadi malam minggu, sudah ada kajian Ipmawan.

(40)

Hari H pun tiba. Saat tinggal beberapa jam lagi berangkat menuju tempat lokasi perlombaan, ada 1 anggota reguku yang belum di ketahui kepastiannya. Aku mulai panik karena jika salah satu regu anggotanya kurang, maka tidak bisa mengikuti lomba. Tapi akhirnya, anggota tersebut bersedia untuk ikut.

Dalam perjalanan menuju balapulang dengan menggunakan mobil pick up, langit yang awalnya cerah berubah menjadi gelap, rintik air dari langit pun perlahan mulai berjatuhan dan mulai membasahiku dan kawan-kawan IPM. Tak hanya itu, kedinginan tak mau kalah menusuk-nusuk kulitku dan kawan kawan yang lainya. Kami berhenti sejenak untuk mencari perlindungan. Saat hujan mulai reda, kami melanjutkan perjalanan. Saat mobil kami berjalan melewati tanjakan, tiba tiba mobil itu terhenti dan perlahan mulai mundur kebelakang. Kami berteriak ketakutan, kemudian satu persatu kawanku turun dari mobil dengan cepat dan bergegas menahan mobil supaya mobil tidak mundur ke belakang. Mobil tetap mundur ke belakang, tetapi Alhamdulillah kami semua selamat. Mesin mobil di starter namun tak mau menyala, padahal sayup-sayup adzan maghrib mulai terdengar. Rintik air hujan mulai turun, hawa dingin menyelimuti kami. Rasanya ingin sekali berlindung di rumah warga yang ada di sekitar. Namun di sekitar yang terlihat hanyalah pohon-pohon rindang dan kabut malam. Kami tidak menyerah,,kami terus mencari bantuan seolah-olah tak peduli dengan rasa lelah. Akhirnya ada mobil yang kebetulan lewat dan bersedia membantu kami. Akhirnya kami menumpang sampai tempat tujuan.

(41)

meski dari pihak pembina Ipmawan tidak menyetujui. Tapi hal ini harus dlakukan agar IPM di desa kami bisa hidup kembali. Kajian rutin dilakukan pada malam minggu sehingga waktu belajar pun tak terganggu. Sampai sekarang IPM di desaku masih tetap berjalan, semoga sampai kapanpun IPM akan tetap jaya bukan hanya di desaku tapi juga di seluruh penjuru dunia. Itulah sedikit cerita pengalamanku, apabila ada salah salah kata mohon di maklumi.

Fina Alfi Nur

(42)

KESAN YANG BURUK

Oleh Ipmawan Arif Magribi H.

Awal mengikuti IPM, hanya sekedar ikut-ikutan saat saya masih kelas 3 SMP. Waktu itu sedikit sekali anggota yang berasal dari SMP, kebanyakan sudah bujang. Setelah vakum kira-kira hampir 3 tahun lebih, baru sekitar awal tahun 2007 (saya kelas 1 SMA), diadakan lagi pengajian rutin dan dipilihlah Zia sebagai Ketua Ranting IPM Tembok Luwung. Setelah beberapa kali pengajian dan diselenggarakan Musyawarah Ranting, terpilihlah saya sebagai ketua Ranting Periode 2008-2010.

Karena masih baru, dulu mau saja ikut acara yang diadakan di tingkat atasnya, Pimpinan Cabang. Waktu itu acara LGT (Leader Generation Training) kalau tidak salah. Saya belum pernah mengikuti kegiatan seperti itu sebelumnya. Saya ingat, setelah isya dan kegiatan sampai jam 10 malam, kami disuruh tidur, sholat Tahajud, dan kegiatan malam. Nah, pada saat kegiatan malam, kami berjalan menuju beberapa pos. Agak lupa waktu itu ada pos apa saja, namun kurang lebih ada 3 pos. Di sana kami diminta bercerita tentang pengalaman organisasi di sekolah, atau organisasi yang pernah di ikuti sebelum masuk ke IPM.

(43)

waktu itu saya memang belum mengerti sholat jenasah, maka saya katakan tidak bisa. Ternyata saya dihukum melakukan push up. Kejadian Itu benar-benar memberi kesan mendalam, karena ini pertama kali saya mengikuti kegiatan IPM di luar IPM ranting. Dan dihukum push up karena tidak bisa melakukan apa yang diperintahkan, menjadi kesan pertama yang buruk. Dalam pikiran saya waktu itu, inikah pembelajaran di IPM, sebuah organisasi Islam? Saya berpikir, untuk seterusnya saya tidak akan ikut IPM lagi, karena masalah ini.

Sesudah shubuh dan kajian pagi, sebenarnya ada kegiatan lagi, yaitu debat. Namun saya meminta izin pada ketua LGT untuk pulang lebih dulu. Saya memang berniat izin dari awal, karena memang waktu itu ada acara di SMP pagi harinya. Ditambah lagi setelah ada insiden “push up”, rasanya sudah tidak bersemangat lagi mengikuti kegiatan selanjutnya. Kesan pertama yang buruk ketika itu.

Awal 2009, diselenggarakan MUSYCAB IPM Adiwerna. Karena semua ranting wajib mengutus peserta, dengan terpaksa saya mengikuti acara itu. Lagi-lagi, karena belum pernah mengikuti MUSYCAB sebelumnya, saya dijadikan kandidat ketua. Karena saya mengatakan bahwa saya masih mempunyai kegiatan diluar IPM, saya akhirnya hanya dijadikan Ketua Bidang ASBO, bukan Ketua Umum. Tapi dari sini, akhirnya saya bisa mengikuti perkembangan IPM di Cabang Adiwerna.

Awal kegiatan saya menjabat Bidang ASBO yaitu bersepeda keliling Kecamatan Adiwerna. Dari SMK Muhammadiyah Adiwerna, ke Desa Lawatan, ke Desa Pedeslohor, dan kembali ke tempat start. Acara kedua yaitu TORSENI (Temu Olahraga dan Seni) Cabang. Dari ranting Tembok Luwung menjadi juara lomba menggambar logo, Pidato Bahasa Tegal dan memasak sehingga mengantarkan ranting saya meraih Juara 2 Umum TORSENI Cabang. Itu adalah sebuah penghargaan bagi ranting, untuk memacu semangat kader ber-IPM.

(44)

melanjutkan keluar kota, ranting kami minim anggota. Sampai akhirnya, saat akhir jabatan saya habis, Februari 2010, kami vakum kembali. Tidak ada kegiatan ranting, kegiatan cabang pun tidak pernah kami ikuti. Waktu itu saya sudah bekerja, walaupun masih di Tegal, tapi jam kerja yang seminggu full, pagi atau siang, menghalangi saya menghidupkan ranting lagi.

Menjelang bulan Ramadhan 2012, kami mulai lagi kegiatan pengajian rutin. Dengan wajah-wajah baru, karena kebanyakan anak-anak SD-SMP, hanya beberapa saja anak-anak SMA dan yang sudah lulus SMA. Sempat 1 kali pengajian di bulan Ramadhan diisi dengan Buka Puasa Bersama dan Tarawih bersama. Anggota saat itu cukup banyak, kurang lebih ada 50 anak. Setelah Ramadhan, kegiatan dilanjutkan dengan pengajian bergilir setiap 2 minggu sekali. Karena kebanyakan masih SD dan SMP, banyak yang belum berani tampil di depan umum, contohnya saat diminta menjadi pembawa acara. Masih banyak yang masih malu-malu. Tapi saya yakin, nantinya mereka bisa melanjutkan amanah ini. Insya Allah kami para pimpinan yang sudah habis masa periodenya masih siap mangayomi anggota-anggota baru. Selain pengajian rutin, kami (Ipmawan) juga sering bermain futsal setiap tanggal merah. Kegiatan ini diharapkan dapat memperakrab kekerabatan di luar pengajian yang barangkali terlalu monoton. Untuk Cabang sendiri, karena saya masih merasa dibutuhkan, saya diberi kepercayaan untuk menjadi salah satu anggota bidang setelah vakum 1 tahun karena pekerjaan. Ini saja dari saya, semoga bermanfaat.

IPM BERJAYA!!! Arif Magribi H.

(45)

TAK KENAL

MAKA TAK SAYANG

Oleh Ipmawati Nurul Azmi Wahyuni

Aku seorang gadis kecil yang mulai tumbuh dewasa. Setahun lalu, aku telah menyelesaikan sekolahku di salah satu SMA ternama di Tegal. Sejak SMP, jarak rumah ke sekolah yang jauh selalu menjadi alasan kenapa aku tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Ya akhirnya seperti ini, menyesal. Aku tidak punya tabungan untuk terjun ke dunia yang lebih luas,

lebih “penuh resiko”. Aku selalu merasa tidak percaya diri saat

berbicara di depan umum, saat berkomunikasi dengan dunia luar. Aku tidak punya wadah untuk mengasah kemampuanku. Remaja macam aku sangat membutuhkan komunitas yang positif agar tidak terjerumus pergaulan bebas yang marak di zaman sekarang. Bukan fans club yang diikuti kebanyakan remaja, tapi komunitas yang memberi ilmu, memberi banyak manfaat, yang mewadahi anggotanya agar menjadi manusia yang lebih berguna dan yang membuat remaja lebih mengenal Allah.

Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Aku pernah

menanyakan ini kepada temanku, lantas dia menjawab “Gak tautau banget sih, organisasi Islam ya? Pasti ngebeteinbanget tuh, dengerin ceramah, pengajian, denger ceramah lagi, pengajian terus haha.” Jujur aku dulu pernah berfikir begitu,

(46)

telinga panas dan bermacam-macam hal jelek lainnya dalam fikiranku. Tapi memang benar kata pepatah, Tak Kenal Maka Tak Sayang. Aku mengenal IPM karena ayahku, beliau yang selalu aktif menjadi alarm-ku. Aku lupa kapan awal kiprahku di IPM. Awalnya aku menjalani ini dengan setengah hati, aku tak ikhlas. Niatnya karena ayahku. Tapi lambat laun, perlahan tapi pasti aku mulai berbaur, menyampur, melebur di dunia IPM.

Salah satu kegiatan IPM yang sangat berkesan di hatiku adalah Kemah Bhakti IPM Kabupaten Tegal di Jatinegara sekitar 3 tahun lalu. Jika ada yang bertanya perasaanku

mengikuti Kemah Bhakti IPM, pasti akan aku jawab “seneng

bingiiiiiiiiiit.” (Haha demam sinetron). Karena memang pada dasarnya aku sangat mencintai aktifitas bermain–main dengan alam. Tapi maaf nih ya, aku tidak bisa menceritakan ini secara detail karena pasti akan menghabiskan ratusan halaman hehe. Di sinilah aku menemukan hal baru dalam IPM, pelajaran penting dan berharga yang tak bisa aku temukan di bangku sekolah. Dan aku mulai menghapuskan segala fikiran jelek, segala omongan– omongan jelek tentang IPM. Aku mulai bersahabat dengan IPM. Tapi saat masa–masa bahagiaku bersama IPM, aku harus vacum

karena ada sesuatu hal. Sedih rasanya tanpa IPM, tanpa teman– teman IPM, tanpa keceriaan, tanpa kajiannya. Rasanya aku pelurusan agar aku tak salah jalan. Selalu di jalan yang di ridhai Allah SWT.

(47)

alamat yang akan kita tuju pula, ya akhirnya mobil sering berhenti untuk tanya ke sana ke sini. Alhasil sampai ke tempat tujuan sudah mau masuk waktu Isya. Fiuuuh. Tapi itu semua sama sekali tidak mempengaruhi mood-ku. Aku tetap ceria menyambut esok pagi. Bermain dengan alam sangat menyenangkan, naik turun bukit, keluar masuk hutan, menyebrangi sungai, melintasi jalan setapak, jalan penuh batu dan kerikil, jalan menanjak, menuruni jalan. Aaaaah, itu benar-benar menyenangkan. Sekali lagi, aku tidak akan menceritakan panjang lebar tentang ini. Memang sih, rantingku tidak keluar sebagai juara, yah namanya juga perlombaan, kalah menang sudah hasil akhir. Kepuasan batin yang tidak akan pernah terbayar oleh uang sekalipun. Meskipun setelah itu, kaki rasanya tidak mampu lagi menjadi tumpuan, tidak mampu menapak lagi.

Dan satu lagi, ini kegiatan di IPM Ranting Ketileng menggunakan sepeda tanpa rem. Silahkan bayangkan sendiri, rasakan sendiri bagaimana takutnya aku, seperti apa raut wajahku. Bayangan–bayangan buruk banyak melintasi fikiranku, tapi Alhamdulillah aku selamat. Ketakutanku terbayar lunas karena aku merasa sangat puas bisa bersepeda sejauh ini tanpa rem tentunya. Dan terakhir aku katakan, aku tidak akan menceritakannya kata per kata, kalimat per kalimat. Yang jelas aku bahagia, pulang membawa banyak cerita. Ini semua juga tidak terlepas dari teman–teman yang turut membantu aku.

Terima Kasih yaa. Hanya di IPM aku menemukan “pelajaran”

ini. Rasanya ingin setiap tahun ada kegiatan semacam ini, berinteraksi dengan alam. Merasa lebih dekat dengan ciptaan Allah, semakin mengagumi kebesaran Allah SWT.

(48)

akan aku ceritakan kepada anak–anakku, cucu–cucuku? Apa yang akan kuwariskan kepada mereka? Dan untungnya aku berada di sini menjadi keluarga besar IPM. Sejauh ini aku merasa siap menghadapi dunia luar yang penuh tantangan. Karena bersama IPM, aku mendapatkan banyak sekali ilmu. Memperoleh banyak hal positif yang membangun. Merasa lebih dekat dengan Allah. Bersama IPM aku merasa lengkap. Ini bukan omongan lebay, bukan. Tapi ini kejujuran, aku jujur. Kalau di luar sana masih ada yang beranggapan bahwa mengaji itu gak gaul, kuno, aneh. Mereka yang tidak “gaul” dengan tidak menjadi anggota IPM, dan itu tugas kita sebagai generasi penerus. Percayalah, menjadi bagian dari IPM tidak akan membuat bangkrut, justru akan membuat semakin kaya, kaya ilmu, kaya hati. Salam IPM, JAYA!!!

(49)

Dari Ranting Hingga Daerah

Oleh Ipmawati Ferawati

Perkenalanku dengan IRM

Sebetulnya bingung ingin memulai tulisan ini dari mana. Tak pandai merangkai kata dan sudah sekian lama tak pegang keyboard rasanya jadi canggung. Tapi aku ingin berbagi sepenggal kisah perjalananku dengan IRM.

Aku berasal dari ranting Kademangaran, Kecamatan Dukuh Turi. Tepat ketika aku mulai SMA, aku putuskan untuk bergabung dengan organisasi ini. Awalnya tak ada yang istimewa, IPM itu biasa saja. Mungkin ini karena rasa cinta itu belum tumbuh, tapi lambat laun aku begitu menyayanginya.

Ranting kami ini pernah mengalami krisis kader seperti halnya ranting lainnya. Terutama Ipmawatinya. Teringat ketika setiap pengajian hanya 5-6 ipmawati yang datang, rasanya sedih sekali, akankah seperti ini terus? Tapi dengan semangat kebersamaan kami mulai mencari kader baru, membagi undangan sana sini kepada remaja-remaja di desa kami. Hingga ranting kami mengalami masa-masa “kejayaan” (hihihi,,,, 70-an orang sudah menjadi kebanggaan bagi kami waktu itu), cara yang kami tempuh memang lucu, setiap berangkat IRM kami

(50)

remaja-remaja yang suka tongkrongan di pinggir jalan untuk ngaji bareng. Alhamdulillah tak sia-sia hasilnya.

Ketika masih di ranting, yang paling berkesan bagi ku adalah ketika mengikuti acara-acara di luar pengajian seperti Kemah Perkaderan, Semalam Bersama IPM (SBI), outbond, dan mengikuti acara-acara yang di adakan oleh kakak-kakak di daerah. Bagiku acara-acara seperti itu sangat penting agar kita tidak mengalami kejenuhan.

Dari kegiatan-kegiatan itu, materi Retorika memang sangat terasa manfaatnya menurutku. Aku adalah tipe orang yang tidak pandai mengemukakan pendapat di depan umum,

Antara IPM dan tuntutan berprestasi di sekolah

(51)

Pengajian IRM kala itu diadakan setiap hari jumát malam sabtu. Padahal besok paginya di sekolahku adalah pelajaran akuntansi dengan guru super killer. Tiap akan mulai pelajaran biasanya ada murid yang ditunjuk secara acak untuk menjawab soal yang diberikan, Kadang hitung-menghitung, tapi tak jarang juga ternyata soal hafalan. Senam jantung rasanya. Hal itu membuat aku harus menghafal tiap malamnya dan sekedar mengulang pelajaran yang telah diberikan sebelumnya. Tiap kali aku belajar malah keesokan harinya aku tak pernah ditunjuk sama sekali, justru ketika aku tidak belajar itulah tiba-tiba mendapat pertanyaan. Huft,,,

Selain aku, teman-teman yang lain juga banyak yang membawa buku pelajaran ketika di pengajian. Biasanya ketika jam istirahat banyak yang mulai mengerjakan PR yang mereka tidak bisa untuk dibantu oleh yang lain, jadi walaupun berangkat pengajian tapi PR tetap terselesaikan, dari yang tadinya tidak bisa jadi bisa mengerjakan. Dan alhasil prestasi di sekolah pun memuaskan disertai IPM kami yang semakin maju.

Berjilbab? Haruskah???

Dulu ketika masih duduk di bangku SMP, aku memang belum berjilbab, tapi ketika aku mulai masuk di bangku SMA, aku putuskan untuk berjilbab. Eits, tapi hanya tiap sekolah ya. Kalau di rumah atau pergi-pergi masih sama kaya dulu.

Hehehe.... Kesadaran untuk berjilbab itu belum aku miliki sepenuhnya, sekedar ikut-ikutan teman-teman SMP-ku yang masuk ke SMA 3 Tegal hampir semua memutuskan untuk berjilbab.

Setelah bergabung di IRM memang sering ada teman-teman yang datang ke rumah, karena saat itu aku di amanahi untuk menjadi bendahara menggantikan Irmawan Tomi yang melanjutkan study di Jogjakarta. Mau tak mau kalau ada urusan keuangan, mereka harus datang kerumahku. Awalnya aku cuek

(52)

Tapi mau bagaimana lagi, aku sendiri tidak punya baju-baju muslimah, jumlah jilbabku juga tak banyak. Putih dan coklat saja, ya, jilbab SMA. Lagian, ribet rasanya jika harus berjilbab tiap hari, apalagi aku kan sering membantu emak menggoreng gorengan untuk jualannya.

Awalnya aku sudah putus asa untuk berjilbab, tapi ketika aku menceritakan hal ini pada guru ngaji di SMA, beliau memberi saran padaku. Seperti sarannya, aku kumpulkan uang saku untuk mencicil membeli jilbab langsung pakai (tanpa peniti) agar aku lebih simple dalam berjilbab walau saat memasak sekalipun. Lisa juga mendukungku, tak jarang dia meminjamkan aku baju muslimnya ketika aku membutuhkan.

Kesadaran memakai jilbab mulai ditularkan pada Irmawati lainnya. Lambat laun mereka yang belum berjilbab akhirnya mau berjilbab juga ketika keluar rumah.

Memutuskan bergabung dengan Cabang Dukuhturi

Hasil dari Musyawarah Cabang memutuskan aku masuk dalam salah satu anggota dewan formatur. Mau tak mau, itu membuatku harus ikut bergabung dengan PC IRM Dukuhturi. Mendapat amanah Kabid Irmawati saat itu. Ah, rasanya banyak waktu yang aku sia-siakan, aku masih terlalu disibukkan dengan ranting, hingga lupa akan tanggung jawab di cabang.

Masalah yang dialami PC IRM Dukuhturi bukanlah sedikit. Ketua terpilih yaitu Ipmawan Muh. Syifa, harus merantau ke luar kota sehingga membuat jabatan Ketua kosong hingga vakum beberapa saat. Akhirnya posisi itu di isi oleh Irmawan Iwan Saputra hingga akhir periode.

Referensi

Dokumen terkait