• Tidak ada hasil yang ditemukan

seperti gambar berikut,

Dalam dokumen UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (Halaman 170-200)

Kalau pada klorofil

c

memiliki hanya kepala porfirin hidrofilik tanpa ekor fitol; klorofil

c

2 berbeda dengan klorofil

c

1

pada kedudukan grup vinyl (-CH=CH2), seperti terlihat di gambar berikut..

Gambar 10.4. Struktur Kimia Klorofil

c

Klorofil-

c

menurut serapan panjang gelombangnya (lihat grafik) itu dimiliki oleh alga berwarna agak kemerah-merahan, alga keemasan, serta diatom (Bacillariophyta).

Kemudian perbedaan dengan klorofil

d

hanya kedudukan C3 dalam struktur klorofil, dimana posisi C3 di ring I, yang sejatinya pada klorofil

a

posisi itu ditempati oleh gugus vinil. Klorofil-

d

dimiliki oleh alga merah (Rhodophyta). Untuk jelasnya, struktur kimia dan serapan panjang gelombang cahaya dapat dilihat pada gambar berikut.

Perbedaan antar klorofil

f

dengan klorofil

a

hanya kedudukan C2 halmana posisi C2 di ring I menggantikan posisi gugus vinil di klorofil

a

. Dalam kenyataan klorofil-

f

dimiliki oleh alga merah agak kecoklatan. Bentuk struktur kimia dan grafik panjang gelombang cahayanya disajikan pada gambar berikut.

Gambar 10.6. Struktur Kimia Klorofil

f

Menurut Barsanti and Gualtieri (2014) bahwa klorofil

a, b, dan c teridentifikasi di abad kesembilan belas, kalau klorofil d dilaporkan pada tahun 1943, ditemui pada sianobakteri,

Acaryochloris marina, namun baru diakui pada tahun 1996. Sedangkan klorofil

f

ditemukan untuk pertama kalinya pada tahun 2010, dimana teridentifikasi pada “stromatolite” di sianobakteri jenis Halomicronema hongdechloris.

Meskipun bervariasi, semua klorofil memiliki struktur kimia yang bermiripan, yaitu terdiri dari porfirin tertutup (siklik), suatu tetrapirol, dengan ion magnesium di pusatnya dan "ekor"

terpena. Kedua gugus ini adalah ”kromofor” (pembawa warna)

dan berkemampuan mengeksitasi elektron apabila terkena cahaya pada panjang gelombang tertentu.

Uraian diatas telah jelas bagi pembaca, bahwa proses pecepatan tumbuh fitoplakton sangat tergantung pada reaksi biokimia di pigmen atau klorofil serta jumlah radiasi sinar. Sedang dalam hal perbanyakan sel atau biakan sel di fenomena retaid seungguhnya tergantung pada sifat produksi setiap spesies. Reproduksi alga dapat terjadi melalui vegetatif satu sel atau fragmentasi dari koloni. Kalau proses ‘aseksual’ melalui

pemindahan spora tetapi cara seksual melalui gamet. Hakiki, rekombinasi genetik secara seksual melibatkan ‘plasmogamy’ (ada di sel), ‘karyogamy’ (ada di nukleo), kromosome dan meiosis (Bold and Wynne, 1978).

Pertumbuhan fitoplankton dapat berlangsung cepat, jika ketersediaan hara (N dan P) cukup, dan daya dukung sinar matahari. Dengan dukungn hara tersebut membuat fenomena biakan massal fitoplankton. Sering pada peristiwa retaid menimbulkan efek berbahaya bagi kesehatan biota dan manusia.

Proses Terjadi Retaid dan Racun yang Ditimbulkan

Esensi, perubahan warna yang terjadi akibat kejadian retaid sebenarnya tidak hanya berwarna merah tapi juga dapat berwarna coklat, ungu, kuning, hijau dan lain-lainnya tergantung dari jenis alganya. Penyebab retaid ini umumnya dari kelompok Dinoflagellata yang ketika meledak populasinya tidak hanya menghabiskan oksigen terlarut dalam air tetapi juga mengeluarkan racun yang berbahaya. Racun inilah yang kemudian bersifat toksik dan dapat menyebabkan kematian bagi biota-biota yang hidup di laut. Kelompok Dinoflagellata yang berpotensi ‘blooming’ dan bisa mengeluarkan toksik, yaitu: Alexandrium spp, Gymnodinium spp, dan Dinophysis spp. Dari kelompok Diatom, yaitu Pseudonitszchia spp.

Racun yang ditimbulkan oleh mikroalga dan membahayakan telah diketahui yakni:  Paralytic Shellfish Poisoning (PSP);  Diarrhetic Shellfish Poisoning (DSP);  Neurotoxic Shellfish Poisoning (NSP);  Amnesic Shellfish Poisoning (ASP); dan  Ciguatera Fish Poisoning (CFP), lihat gambar 10.9.

Sesungguhnya, retaid adalah suatu pertumbuhan mikro alga/fitoplankton yang terjadi sangat cepat, di atas kelimpahan normal (di atas 1 juta/liter) dalam jangka waktu yang sangat singkat. Berlimpahnya alga ini menutupi permukaan laut pada malam hari dan turun tengelam ke bagian bawah pada siang hari, sehingga kenampakannya jarang terlihat secara visual pada siang hari. Arus permukaan laut berpengaruh juga pada penyebarannya, biasanya mengangkut limpahan alga ini membentuk sabuk memanjang mengikuti arah arus, namun jika

arus laut tidak cukup kuat, maka limpahan alga ini akan membentuk kawasan perairan dengan rona merah, kadang-kadang bercampur warna coklat atau hitam tergantung dari pigmen jenis alga dominannya. Gambar 10.7 memperlihatkan contoh fenomena retaid yang terjadi di di lepas pantai La Jolla San Diego, California.

Gambar 10.7. Retaid yang membahayakan HAB dapat terjadi karena melimpahnya nutrisi (terutama fosfat dan nitrogen) di laut serta cahaya matahari yang cukup. Nutrisi (hara) yang berlebihan tersebut umumnya berasal dari limbah domestik (antara lain deterjen), industri, maupun aktivitas budidaya (antara lain pertanian) di daerah aliran sungai yang masuk ke laut melalui sungai (proses eutrofikasi). Suatu perairan dikatakan eutrofik jika konsentrasi total phosphorus (TP) dalam air berada dalam rentang 35-100 µg/liter.

Selain itu, arus vertikal yang kuat dapat juga mengangkat nutrisi dan kista alga yang ada pada sedimen ke kolom air (upwelling), sehingga kista dan alga dapat tumbuh dengan baik. Retaid umumnya terjadi di perairan pantai dekat muara sungai, akan tetapi dapat juga terjadi di laut lepas.

Retaid pada perairan dangkal atau muara, merupakan akibat adanya banjir di muara sungai yang menimbulkan arus dasar laut sehingga dapat mengaduk endapan dasar laut. Teraduknya endapan dasar laut ini mengakibatkan kista-kista alga yang berada di dalam sedimen lumpur terangkat ke permukaan laut. Jika kandungan oksigen cukup dan temperatur perairan cukup hangat maka kista-kista tadi pecah dan sel alga berhamburan melayang pada kolom air laut. Zat hara yang terbawa aliran sungai ke laut mempercepat pertumbuhan sel alga ini sehingga menyebabkan ‘blooming’ alga secara berlimpah.

Berlimpahnya alga di permukaan laut akan menutup perairan atau menghalangi penetrasi sinar matahari yang mengakibatkan matinya alga di lapisan bawah diikuti oleh proses pembusukan yang mengakibatkan berkurangnya kandungan oksigen pada kolom air dibawahnya, sehingga biota laut lainnya akan mati kekurangan oksigen.

Ada beberapa mikroalga pada saat ‘blooming’ yang mengandung toksin. Jika alga tersebut dimakan oleh biota, maka biota yang memakan alga ini juga ikut teracuni, biasanya akan mengalami lumpuh dan bahkan mati beberapa saat kemudian. Racun ini bisa terakumulasi di dalam tubuh biota yang memakannya. Selanjutnya, apabila manusia mengkonsumsi biota yang sudah teracuni maka akan mengancam kesehatan manusia dan bahkan mengakibatkan kematian.

Retaid termasuk fenomena alam yang sangat jarang terjadi dan kalau terjadi biasanya pada saat pergantian musim dari musim kemarau ke musim hujan.

Kasus retaid banyak terjadi dibelahan dunia (Furuya dkk, 2010) termasuk di Indonesia, seperti yang terjadi di muara-muara sungai teluk Jakarta tahun 1992, 1994, 1997, 2004, 2005, 2006; Ambon tahun 1994 dan 1997; perairan Cirebon-Indramayu tahun 2006 dan 2007, Selat Bali dan muara sungai di perairan pantai Bali Timur tahun 1994, 1998, 2003, 2007; Nusa Tenggara Timur tahun 1983, 1985, 1989.

Pada gambar 10.8 disajikan jenis-jenis mikroalga pencetus retaid di Asia. Terlihat ada jenis mikroalga yang dapat menyebabkan retaid tetapi tidak berbahaya (kelompok A), dan ada jenis yang dapat menurunkan oksigen di perairan (B) serta ada jenis mikroalga yang berbahaya karena mengandung toksin. Sedang pada gambar 10.9 ditampilkan beberapa jenis mikroalga penyebab racun.

155

Gambar 10.8. Mikroalga Penyebab Retaid di Asia (diterbitkan seizin Prof. Yasuwo Fukuyo)

Gambar 10.9. Mikroalga Penyebab Racun di Perairan

CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 O O O O O O O P P P S S CH30 CH30 CH30 CH30 CH30 CH30 NO2 NO2 NO2 NO2 NO2 NO2 H0 H0 H0 H H FENITROTHION FENITROOXON Desmethyl fenitrothion Desmethyl fenitrooxon 3-Methyl-4-nitrophenol Glucoside O CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 O O O O O O O P P P S S CH30 CH30 CH30 CH30 CH30 CH30 NO2 NO2 NO2 NO2 NO2 NO2 H0 H0 H0 H H FENITROTHION FENITROOXON Desmethyl fenitrothion Desmethyl fenitrooxon 3-Methyl-4-nitrophenol Glucoside O CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 O O O O O O O P P P S S CH30 CH30 CH30 CH30 CH30 CH30 NO2 NO2 NO2 NO2 NO2 NO2 H0 H0 H0 H H FENITROTHION FENITROOXON Desmethyl fenitrothion Desmethyl fenitrooxon 3-Methyl-4-nitrophenol Glucoside O CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 O O O O O O O P P P S S CH30 CH30 CH30 CH30 CH30 CH30 NO2 NO2 NO2 NO2 NO2 NO2 H0 H0 H0 H H FENITROTHION FENITROOXON Desmethyl fenitrothion Desmethyl fenitrooxon 3-Methyl-4-nitrophenol Glucoside O CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 O O O O O O O P P P S S CH30 CH30 CH30 CH30 CH30 CH30 NO2 NO2 NO2 NO2 NO2 NO2 H0 H0 H0 H H FENITROTHION FENITROOXON Desmethyl fenitrothion Desmethyl fenitrooxon 3-Methyl-4-nitrophenol Glucoside O CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 O O O O O O O P P P S S CH30 CH30 CH30 CH30 CH30 CH30 NO2 NO2 NO2 NO2 NO2 NO2 H0 H0 H0 H H FENITROTHION FENITROOXON Desmethyl fenitrothion Desmethyl fenitrooxon 3-Methyl-4-nitrophenol Glucoside O CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 CH3 O O O O O O O P P P S S CH30 CH30 CH30 CH30 CH30 CH30 NO2 NO2 NO2 NO2 NO2 NO2 H0 H0 H0 H H FENITROTHION FENITROOXON Desmethyl fenitrothion Desmethyl fenitrooxon 3-Methyl-4-nitrophenol Glucoside O

Sudut pandang biokimia mekanisme kerja toksin di tubuh organisme membutuhkan pemahaman secara detail tentang struktur kimia toksin itu. Contoh kimia racun dari beberapa jenis mikroalga dan struktur kimianya.

Paralytic shellfish poisoning (PSP)

Toksin PSP adalah produk retaid dan tersebar meluas di perairan dunia. Sudut pandang kimia, racun ini terdiri dari rangkaian guanidin-heterosiklik sering disebut ‘saxitoxin’. Membedakan struktur kimia saxitoxin terletak pada molekul hidroksil dan sulfat. Sejatinya saxitoxin terbago ke dalam empat grup, yakni: racun karbamat, racun sulfo-karbamoyl, dekarbamoyl dan racun deoksidekarbamoyl. Dari ke 4 jenis racun ini, jenis sangat toksik sedang racun dekarbamoyl agak toksik dan sulfo-karbamoyl umumnya kurang beracun.

Sesungguhnya PSP disebabkan oleh ‘gymnodinioid dinoflagellata’ semisalnya, Alexandrium, Gymnodinium dan Pyrodinium dan kalau di perairan tawar sianofita. Racun yang ditimbulkan oleh dinoflagellata sangat tergantung pada peran bakteri endosimbiotik, dan produk racun sangat bervariasi tergantung pada spesies dinoflagellata. Lazimnya pada dinoflagellata terdapat turunan sulfokarbamoyl, halmana secara alamiah hasil biosintetis dinoflagellata terbentuk kelompok N-sulfat. Dari beberapa referens mengatakan dalam racun saxitoxin yang diproduksi oleh dinoflagellata ditemui enzim N-sultransferase dan N-oxidase.

Sejatinya, kerja racun ini menghambat distribusi Na+ di membran sel, yang akhirnya menganggu kerja saraf dan kerja otot, sehingga mengakibatkan organisme mati.

Saxitoxin memiliki afinitas tinggi untuk megikat natrium (Na) di dalam membrane, artinya Na mampu menghambat aktivitas neurotransmisi yakni: synapsis di otak dan alur ke neuromuscular.

Diarrhetic Shellfish Poisoning (DSP)

Toksin ini diproduksi oleh dinoflagellata, tergolong racun “acidic polyether”, biasanya masuk ke tubuh manusia setelah terkontaminasi pada makanan, seperti pada kerang-kerangan kemudian manusia makan kerang tersebut menyebabkan sakit. Kelompok DSP termasuk senyawa asam okadaik, Pectenotoxin, yessotoxin struktur kimianya disajikan pada gambar 10.11.

Pertamakali diketahui racun ini pada tahun 1970-an di Jepang, halmana terjadi dimasyarakat banyak yang jatuh sakit setelah makan kerang, ternyata pencetus racun adalah dinoflagellata jenis Dinophysis fortii, oleh penemu saat itu menyimpulkan toksin yang terjadi adalah ‘dinophysistoxin

Kejadian di Amerika utara racun DSP bersumber dari bentik dinoflagellata, Prorocentrum lima. Jenis racun yang diproduksi oleh dinoflagellata adalah asam okadaik. Sejatinya ada sejumlah spesies Prorocentrum memiliki potensi besar memproduksi asam okadaik, seperti: Prorocentrum maculosum, Prorocentrum concavum dan Prorocentrum hoffmanianum.

yessotoxin (YTX)

Gambar 10.11. Struktur Kimia Pectenotoxin-2; yessotoxin dan Asam Okadaik

Kalau toksin ‘pecteno’ bersumber dari dinoflagellata genus Dinophysis, sedang toksin ‘Yesso’ diproduksi oleh dinoflagellata jenis: Proceratium reticulatum dan Lingulodinium polyedrum. Semua jenis racun ini tidak langsung mematikan manusia, tetapi membuat orang sakit karena diare, muntah-muntah, mual, kram perut dan panas-dingin.

Neurotoxic Shellfish Poisoning (NSP)

Toksin NSP bersifat lipofilik, menyebabkan ikan mati jika memakannya. Kalau toksin ini masuk ke manusia biasanya melalui kontaminan pada biota perairan, seperti kerang-kerangan (moluska). Pengalaman yang terjadi di teluk Meksiko dan di Selandia Baru, berdampak pada manusia mengakibatkan

beberapa orang meninggal. Penyebab retaid dan berakibat toksin adalah fitoplankton, Gymnodinium breve. Sedang peristiwa yang terjadi di teluk Kao, Ambon tahun 1994, penyebab retaid adalah jenis Karenia brevis. Kedua mikroalga ini memproduksi ‘brevetoxin’, struktur kimianya sebagai berikut.

Struktur kimia brevetoxin (PbTx)

Gambar 10.12. Struktur Kimia Racun Brevetoxin

Amnesic Shellfish Poisoning (ASP)

Racun ‘ASP’ bersifat hidrofilik, struktur kimianya berbentuk asam domoik, [(2S,3S,4S)-3-(carboxymethyl)-4-[(1Z,3E,5R)-6-hydroxy-1,5-dimethyl-6-oxo-hexa-1,3dienyl] pyrrolidine-2-carboxylic acid] Halmana asam ini berasal dari diatom, Pseudo-nitzschia multiseries, yang sesungguhnya semula jenis ini sebagai adalah Nitzschia pungens f. multiseries. Asam

domoik memilki potensi glutamat, dimana glutamate ini dapat mengganggu transmisi saraf.

Alga merah, Digenea simplex, memproduksi racun kainik (struktur kimia lihat gambar). Reaksi toksin sama dengan asam domoik.

Struktur Kimia Asam Domoik

[(2S,3S,4S)-3-(carboxymethyl)-4-[(1Z,3E,5R)-6-hydroxy-1,5-dimethyl-6-oxo-hexa-1,3-dienyl]pyrrolidine-2-carboxylic acid]

Asam Kainik Asam glutamik

Gambar 10.13. Struktur Kimia Asam Domoik

Apabila toksin ini terkontaminasi ke tubuh manusia berakibatkan gangguan kesetimbangan tubuh, semisalnya: saluran perncarnaan terganggu (mual, muntah-muntah, diare) dan gangguan pada otak ( ‘dizziner’; hilang kesetimbangan tubuh; rasa lesu; kejang dan hilang ingatan).

Asam domoik mengikat dengan afinitas tinggi pada reseptor glutamat. Aktivasi persiten dari reseptor glutamat kainate sangat tinggi oleh adanya Ca2+ melalui asosiasi dengan

NMDA dan non-NMDA glutamat (sebagai subtipe) dan sangat tergantung kanal kalsium. Adanya racun asam domoik, aliran kalsium ke saraf otak terhambat menyebabkan kesetimbangan tubuh hilang.

Ciguatera Fish Poisoning (CFP)

Toksin CFP sering terjadi di perairan dimana fenomena retaid terjadi, secara biokimia racun ini berefek pada serabut saraf dan memperlebar saluran natrium (Na+). Apabila ikan memakan atau terkontaminasi dapat mematikan, tetapi racun ‘ciguatera’ dan ‘maitoxin’ tidak mengakibatkan kematian massal ikan, tetapi terjadi secara individu.

Struktur Kimia Racun Ciguatera

Struktur Kimia Maitotoxin (larut dalam lipida)

Sumber toksin berasal dari dinoflagellata seperti : Gambierdiscus toxicus, Prorocentrum concavum, Prorocentrum hoffmannianum, Prorocentrum lima, Ostreopsis lenticularis, Ostreopsis siamensis, Coolia monotis, Thecadinium dan Amphidinium carterae. Sifat racun yang di produksi oleh mikroalga ini dapat larut dalam air.

Kalau melihat jenis mikroalga penyebab toksin ciguaetra tidak hanya fitoplankton yang sering biakan massal pada peristiwa retaid, tetapi ada juga berasal bentik dinoflagellata, seperti Gambierdiscus toxicu, di kawasan daerah tropis mikroalga ini hidup menempel pada terumbu karang. Mikroalga ini dimakan oleh ikan-ikan kecil pemakan tumbuhan (herbivora), selanjut ikan ini dimakan oleh ikan karnivora, seperti ikan sunu, bass merah, ikan kembung, yang pada akhirnya racun itu akan tiba pada manusia.

Menurut Burkholder dan Glasgow (1995), ada terdapat

400 spesies bisa sebagai penyebar atau pembawa racun

tersebut, semisalnya; kerapu, barakuda, snapper, kembung dan sebagainya. Umumnya toksin tertampung dibagian saluran cerna (perut ikan) dan di kepala atau pusat saraf ikan.

Umumnya efek toksin ini di tubuh manusia terjadi di saluran pencernaan, kardiovaskular dan saraf otak. Kesetimbangan fisiologi tubuh terganggu, semisalnya: diare, muntah-muntah, mules dilambung; kalau di sistem saraf terganggu: nyeri otot, mudah pemarah, pusing, gatal, kegelisahan, tubuh panas-dingin, berkeringat, mati rasa dan perasaan nyeri di mulut (Bernstein dan Safferman, 1973; Burkholder, 1996).

Azaspiracid Shellfish Poisoning (AZP)

Toksin AZP jarang terjadi pada peristiwa retaid, namun peluang muncul toksin ini cukup besar, racun ini berbahaya bagi manusia sebab bisa mengakibatkan efek fatal (meninggal).

Racun ini pernah di temui di negera Belanda, dimana masyarakat memakan kerang hijau yang diimpor dari Irlandia. Halmana kerang tersebut telah terkontaminasi dengan racun

asam azaspir berasal dari mikroalga, Protoperidinium crassipes. Struktur kimia racun disajikan pada gambar 10.15 .

Struktur Kimia Azaspiracid

Gambar 10.15. Struktur Kimia Racun Azaspiracid Gejala-gejala terkena racun ini seperti pada racun DSP, dimana perut merasa kram, mual, muntah-muntah dan diare, tetapi jika tidak cepat tangani bisa berakibat fatal.

ⓖ Sianotoksin

Racun ini disebabkan oleh sianobakteri yang tumbuh pada saat fenomena retaid. Sianobakteri adalah filum bakteri yang dapat berfotosintesa. Kata cyan (sian) berasal dari bahasa Yunani (κύανoς) yang artinya senyawa biru kehitaman (dark blue), kalau diterah dengan spektrofotometer, spectrum cahayanya ada diantara biru-hijau. Olehnya ilmuan sepakat sianobakteri disebut sebagai alga “blue-green”. Racunya berpotensi mematikan organisme (hewan dan ikan) dan manusia. Kalau ancaman manusia, biasanya melalui (vector) kerang-kerangan dan ikan yang telah terkontaminasi sianotoksin.

Namun sianobakteri bisa dimanfaatkan sebagai bahan sediaan farmasetika, sebab memiliki potensi senyawa bioaktif untuk kepentingan sebagai antitumor, antibiotik, antivirus dan anti jamur (Tibbetts, 1996) .

Struktur Kimia Micocystin

Struktur Kimia Nodularin

Sumber dari sianobakteri Nodularia spumigena.

Gambar 10.16. Struktur Kimia Racun Micotoksin dan Nodularin Ada beberapa sianotoksin di alam bersifat racun akut, halaman bisa menghambat proses pernafasan. Sejatinya, berpotensi sebagai racun otak, racun hati (hepatotoksin), sitotoksin dan endotoksin. Kalau terjadi toksin ke otak bisa berakibat penyakit parkinson dan alzheimer.

KEPUSTAKAAN

AckmDalam fasean, Robert G. and C.A. Eaton, 1970. Biochemical

Implication of Seasonal Trends in Iodine Values and Free Fatty Acid Levels of Commercially Produced Atlantic Coast Herring Oils. J. Fish.

Res. Board Can. 27: 1669-1671.

Ackman Robert G. 1981. Algae As Sources for Edible Lipids, In New Sources of Fats and Oils. E. H. Pryde; L.H. Princen and K.D.Mukherjee (Eds). American Oil Chemical Society. P 189-267.

Ackman Robert G. (Edt). 1989. Marine Biogenic Lipids, Fats and Oils,Vol. 1 CRC Press Inc, Florida. 462 p.

Ackman, R.G.; C.S. Tocher and J. McLachlan, 1968. Marine Phyto-

plankter Fatty Acid. J. Fish. Res. Board Can. 25: 1603-1605.

Ackman Robert G., 1989. Fatty Acids. In Marine Biogenic Lipids, Fats and

Oils,Vol. 1 CRC Press Inc, Florida. P 103-173.

Ackman Robert G. (Edt). 1989. Marine Biogenic Lipids, Fats and Oils, Vol. 2 CRC Press Inc, Florida. 495 p.

Ackman Robert G. and F. Lamothe, 1989. Marine Mammals. In Marine Biogenic Lipids, Fats and Oils. Vol.II. CRC Press. p 179-382 Agarwal P.K, Geist A and Gorin A., 2004. Protein dynamics and enzymatic

catalysis: investigating the peptidyl-prolyl cis-trans isomerization activity of cyclophilin A. Biochemistry 43 (33): 10605–10618

Agarwal P.K., 2005. Role of protein dynamics in reaction rate enhancement by

enzymes. J. Am. Chem. Soc. 127 (43): 15248–15256

Alberts, Bruce; Alexander Johnson; Julian Lewis; Martin Raff; Roberts Keith and Peter Walters, 2002. Molecular Biology of the Cell; Fourth Edition. New York and London: Garland Science. 724p.

Allen, M.B; L. Fries; T.W. Goodwin and D.M. Thomas. 1964. The

Carotenoids of Algae: Pigments From Some Cryptomonads, A Heterokont, and Some Rhodophycea. J. Gen. Microbiol. 34:

259-261

Anderson, R.; B.P. Livermore; M.Kates and B.E. Volcani. 1978. The

Lipid Composition of the Nonphotosynthetic Diatom Nitzschia alba.

Biochim. Biophys. Acta. 528:530.

Anonimous,2009. Sistem koordinasi pada hewan vertebrata. http //free. vlsm. Praweda /biologi. diakses tanggal 14 maret 2016. Araki, S.; Y. Komai dan M. Satake, 1980. A. Novel Sphingophosphonoglyco-

lipid Containing 3-O-methylgalctose Isolated From the Skin of the Marine Gastropoda Aplysia kurodai. J. Biochem. 87: 503-505.

Barsanti, L and P. Gualtieri, 2014. Algae: Anatomy, Biochemistry, and

Biotechnology (2nd Edit). CRC Press. 326p.

Beach, D.H.; G.W.Harrington and G.G. Holz, Jr., 1970. The

Polyunsaturated Fatty Acid of Marine and Fresh Water Cryptomonads. J. Protozool. 17: 501-503.

Beer, S.; M. Bj¨ork and J. Beardall, 2014. Photosynthesis in the

Marine Environment. JohnWiley & Sons, Ltd. 208 p.

Belsare, D.K. and S.D.Belsare, 1976. Liver Phospholipid Distribution in

Hypophysectomised Catfish, Clarias batrachus and Heteropneustes fossils. Endokrinologie. 67: 365-368.

Bergmann, W. and A. Swift, 1951. Contribution to the Study of Marine

Product. XXX. Component Acids of Sponges. J.Org. Chem.,

16:1206 In Joseph, J., 1989. Distribution and Composition of

Lipids in Marine Invertebrate. In Marine Biogenic Lipids, Fats

and Oils. Vol.II. CRC Press. p 49-144

Bernstein, I. L. and R. S. Safferman. 1973. Clinical sensitivity to green algae

demonstrated by nasal challenge and in vitro tests of immediate hypersensitivity. J. Allergy 51: 22.

Pharmaceuticals. Nova Pub. New York. P 1-56.

Blomenröhr M.; H. Goos; J. Bogerd; K. Eidne and G. Willars., 2005.

GnRH Receptors in Fish: Differences in Structure-Function Relations between Mammalian and Non-mammalian GnRH Receptors. In

Hormones and their Receptors in Fish Reproduction. (P. Melarmed and N. Sherwood (Edts). Molecular Aspects of Fish and Marine Biology – Vol.4. World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd. Singapore. P 40-75.

Bold, H. C. and Wynne, M. J., 1978. Introduction to the Algae—Structure

and Reproduction. Prentice-Hall, Englewood Cliffs, NJ. 645p.

Borst P and R.Sabatini, 2008. Base J: discovery, biosynthesis, and possible

functions. Annual review of microbiology 62: 235–51.

Bottino, N., 1975. Lipid Composition of two Speciess of Antarctic Krill

Euphasia superba and E. crystallorophias. Comp. Biochem.

Physiol. B., 50:479-481

Bouerneister, A.E.M. and J.R. Sargent, 1979. Biosynthesis of Triacylglycerols

in the Intestines of Rainbow trout (Salmo gairdnerii) fed Marine Zooplankton Rich in Wax Esters. Biochim. Biophys. Acta. 575

(3). P 358-360.

Bowszyc, J. 1966. Redfeed dermatitis. A professional disease of workers in the

fishing industry caused by Baltic herring and mackerel [Polish].

Przegl. Derm. 53: 39.

Brettel K. and W. Leibl., 2001. Electron Transfer in Photosystem I. Biochimica Biophysica Acta, 1507, 100–114.

Brotowidjoyo, M. 1989. Zoologi Dasar. Penerbit Erlangga: Jakarta Brettel K. and W. Leibl, 2001. Electron transfer in photosystem I.

Biochimica Biophysica Acta, 1507, 100–114.

peptides in milligram amounts for research to multi-tons quantities for drugs of the future. Current Pharmaceutical Biotechnology 5 (1):

29–3.

Burkholder, J. M. and H. B. Glasgow. 1994. The enriched life of an ambush

predator: a new ichthyotoxic dinoflagellate in eutrophic estuaries. In:

Proceedings, 12th Biennial International Estuarine Research Federation Conference. Hilton Head, South Carolina. (p. 16). Burkholder, J. M. and H. B. Glasgow. 1995. Effects on fisheries and human

health linked to a toxic estuarine dinoflagellate. Toxicon, 34 (3): 308.

Burkholder, J. M. 1996. Role of toxic algae in fish and human health. Presented at the AAAS Annual Meeting and Science Innovation Exposition: The 162nd National Meeting of the American Assoc. for the Advancement of Science, Baltimore. 162: A79.

Bushaw-Newton, K.L and K.G. Sellner, 1999 (on line). Harmful

Algal Blooms. In: NOAA’s State of the Coast Report. Silver

Spring, MD: National Oceanic and Atmospheric Administration. Http://state-of-cost.noaa.gov/bulletins/ html/hab_14/hab.html (diakses tanggal 4 Mei 2016).

Butler John M., 2001. Forensic DNA Typing. Elsevier. . 215.p

Campbell, N.A.; J.B.Reece; L.G.Mitchell, 2002. Biologi. Jilid 1, Edisi ke 5, diterjemahkan oleh R. Lestari dkk. Jakarta: Erlangga

Dalam dokumen UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (Halaman 170-200)

Dokumen terkait