• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seperti Seharusnya: Viva La Vida-nya Ariel CS? Album yang berisikan 10 lagu ini akhir-akhir in

Dalam dokumen Stairway To Heaven Esai Sosio Musikologi (Halaman 70-97)

BAB 7 Lima Album Indonesia Terbaik Tahun

E. Seperti Seharusnya: Viva La Vida-nya Ariel CS? Album yang berisikan 10 lagu ini akhir-akhir in

banyak dipromosikan di restoran cepat saji, di iklan dan dengan konser yang mendapatkan penghargaan dari MURI. Album pertama NOAH yang berjudul “Seperti Seharusnya” memang membuat daya tarik tersendiri bagi penggemar Ariel CS. Bahkan saya pun yang sedari SD sangat menggemari lagu-lagu Peterpan berharap yang besar pada materi album baru NOAH ini. Bercerita tentang lagu Peterpan, saya hampir semuanya hafal lagu-lagunya karena sejak dulu saya menggunakan lagu mereka untuk bermain gitar pada buku yang berisi kord dan lirik.

63

Ketika itu Senin tanggal (17/9) sedang panas- panasnya di Depok. Setelah konser 2 Benua 5 Negara tersebut, sontak membuat saya ingin membeli albumnya. Di iklan disebutkan albumnya tersedia di restoran cepat saji, maka dari itu dengan segenap uang yang pas-pasan, saya datang ke restoran cepat saji itu dengan alasan membeli CD dan sekalian mendinginkan badan. Kira-kira seharga Rp 40.000 album ini yang sangat menguras kantong mahasiswa perantauan.

Setelah di rumah, saya mencoba dengarkan apa yang telah mereka persiapkan selama dua tahun ini. Setelah mendengan hit single“Separuh Aku” yang sering diputar di radio dan televisi, saya juga masih bisa mendengar karya tersebut memang Peterpan banget. Bisa dibilang saya sangat sotoy dalam menilai musik, karena memang seperti ini yang saya dengarkan. Mungkin karena keterbatasan referensi musik yang saya dengarkan jadi harap dimaklumi. Bahkan antara Peterpan dan NOAH memiliki ciri khas nada dan gaya lirik yang hampir sama, bahkan malah tidak ada perubahan antara Peterpan dan NOAH.

Maka dari itu saya menyimpulkan bahwa perubahan dan ciri khas mereka tidak berubah. Bahkan saya sangat menginginkan hal ini terjadi. Untungnya

64

saja mereka hanya berganti nama dan bertambah perosonil baru. Penambahan personel baru David juga sangat membuat musik NOAH semakin megah dan saya mendengarkannya mirip dengan Coldplay. Suara piano yang merupakan ciri khas Coldplay ini membuat lagu mereka semakin megah. Simak saja lagu “Raja Negeriku” yang dibawakan secara menggema dengan tema nasionalisme melalui pertandingan olah raga.

Pada lagu yang diciptakan oleh Ariel dan Ryan

D‟masiv yang berjudul “Hidup Untukmu, Mati Tanpamu” juga sangat identik dengan musik-musik khas band yang dilabeli oleh Musica. Bahkan lagu NOAH pada track ini

sangat kental nuansa D‟masiv. Jadi saya pikir bahwa

label Musica merekrut band-bandnya dengan musik- musik dan nada vokal yang cukup identik. Selain itu, lagu terdengar seperti Nidji ketika membawakan “Jika Engkau” dan “Ini Cinta”. Terbersit di kepala saya jika Musica mengkiblatkan musiknya pada Coldplay.

Sembari mendengrakan NOAH, saya juga bergantian mendengarkan track Coldplay pada album Viva La Vida. Bahkan lagu Raja Negeriku sempatnya saya berpikir dapat disandingkan dengan lagu-lagu Speed of Sound pada album Coldplay yang lama. Penelitian terbatas saya ini terkesan sangatlah subjektif

65

sehingga artikel ini akan lebih mirip pada review album ketimbang analisa kritis. Selanjutnya, penelusuran saya berlanjut pada musik-musik anthemic Coldplay seperti

“Yellow” dan “Paradise”. Kemudian menemukan kalau NOAH ini menurut saya benar-benar mengkiblatkan kepada Coldplay.

Tulisan ini hanyalah pandangan pertama saya saat mendengar album NOAH ini. Jadi, metode penulisan artikel ini sebenarnya, saat cakram padat ini saya putar, saya sembari menulis dan mendengarkan musik Coldplay yang waktu itu terbersit di kepala saya. Setelah itu, saya dengarkan sampai selesai album NOAH ini, dengan di HP saya memutar full album Viva La Vida. Dan saya melihat keidentikan album ini dan pencapaian yang telah dibuat Ariel CS ini sangatlah mirip. Menurut saya, eskplorasi musik dan berkembangnya sound yang mereka pilih bisa diibaratkan kalu album “Seperti Seharusnya” ini adalah Viva La Vida-nya Ariel CS.

Terlepas dari cara penjualan album mereka yang melalui restoran cepat saji, saya melihat bahwa untuk saat ini, mereka bisa diibaratkan sebagai upaya penyegaran musik Indonesia. Meskipun berbagai pandangan optimis dan pesimis banyak ditujukan pada band ini, tapi setidaknya mereka masih bisa bertahan

66

dengan nama baru. Dan kira-kira sampai kapan karir dan ketenaran mareka?. Daripada memikirkan hal tersebut, lebih baik saya mendengarkan CD yang sudah terlanjur saya beli ini.

67

BAB 8

68

Awalnya saya mengetahui dan mulai mendengar band dari Inggris yang bernama Pink Floyd adalah saat teman saya memasang DP BBM tentang band itu pada awal tahun 2012. Memang sangat telat sekali bagi saya untuk tahu band yang terkenal ini, bahkan saat kuliah tingkat dua pun saya baru mendengarkan salah satu lagu secara utuh milik mereka. Waktu itu teman saya memajang DP BBM dengan gambar segitiga yang membiaskan sinar dan membentuk pelangi. Dengan background yang berwarna hitam, sehingga memperlihatkan bentuk sampul yang sederhana tapi tegas. Setelah itu, saya lantas melihat teman sekampus saya ada yang memakai kaos dengan logo seperti segitiga itu dan banyak dari teman jurusan saya menggunakan logo itu untuk wallpaper laptop mereka.

Karena penasaran, saya mencari gambar tersebut. dan hasilnya saya menemukan bahwa gambar tersebut merupakan salah satu album yang dimiliki Pink Floyd. Dark Side Of The Moon, terlihat seperti mahakarya bagi mereka yang menyukai musik mereka. Terlepas dari lagu di album itu yang sama sekali waktu itu belum saya dengar, saya malah berpikir jauh tentang sampul itu. Saya jadi teringat sewaktu di buku ensiklopedia fisika, terdapat gambar Sir Issac Newton

69

sedang memperagakan terbiasnya sinar yang berasal dari cahaya putih. Cahaya putih apabila terbiaskan maka akan tercipta berbagai warna.

Saya pikir dan berandai bahwa lagu-lagu dalam album Dark Side Of The Moon tersebut mencerminkan kondisi seperti itu. Musik-musik mereka seperti menunjukkan kejeniusan Sir Issac Newton sebagai bapak matematika. Yah, mau pikiran ngelantur saya tersebut tidak berbuah apa-apa jika saya tidak mendengarkan lagunya secara langsung. Dan alasan mereka memilih judul Dark Side Of The Moon juga membuat saya tidak mengerti apa maksudnya. Maka dari itu, saya minta lagu mereka dari teman jurusan, karena penasaran kenapa orang-orang begitu mengelu- elukan band bernama Pink Floyd ini.

Setelah tiga hari berselang setelah teman saya memajang DP BBM Dark Side Of The Moon, teman saya

mengganti PM mereka menjadi “Dengerin 1 album Darkside, langsung Giting”. Pikiran saya langsung

menyeruak tentang kedasyatan album ini. Maka dari itu, saya mulai memindahkan album yang masih dalam flashdisk itu ke laptop dan mulai menganalisanya. Ada dua album yang diberikan teman saya, yaitu Dark Side Of The Moon dan The Wall yang berisikan 26 lagu.

70

Banyak sekali, ternyata dalam 1 album The Wall terdapat 2 CD. Saya mendapatkan lagu tersebut bukan membeli kasetnya atau mengunduh secara legal. Melainkan, saling transfer via bluetooth atau copas ke flashdisk.

Saya dengarkan seluruh album Dark Side Of The Moon secara menyeluruh pada malam hari sambil mengerjakan tugas kuliah. Dominasi suara gitarnya mirip blues yang dibuat dalam format yang berbeda. Mereka memainkan musiknya dengan detail dan sangat bersih. Sembari saya mendengarkan, saya juga googling tentang kapan dibuatnya album tersebut. ternyata mereka hampir seluruh albumnya dikerjakan dalam waktu yang berdekatan. Menurut saya mereka juga cukup produktif di masa mudanya, karena gambar yang saya temukan di google saat mereka sudah beruban dan cukup tua.

Karena banyaknya lagu yang termasuk dalam album The Wall, jadi saya mengengarkannya sambil tidur. Mungkin karena kuping saya belum bisa menikmati musik kualitas internasional, jadi mendengar mereka bernyanyi jadi mengantuk. Pada lima lagu awal saya masih mengikuti lagu mereka, dan sisanya sampai selesai si David Gilmour membawa saya ke alam mimpi.

71

Keesokan harinya saya kuliah pagi, dan tersadar ternyata headset masih menempel di kuping saya. Saat saya bangun ternyata Pink Floyd yang teracak-acak di playlistnya itu masih menyala. Setelah selesai kuliah, saya makan siang di fakultas sebelah bersama kawan saya. Karena dosen saya selanjutnya tidak bisa mengajar, maka saya bersama teman menghabiskan waktu dengan berdiskusi tentang banyak hal di kantin sampai tengah siang. Setelah lelah berdiskusi dan ketawa tidak jelas, kami pulang dari kantin menuju asal fakultas saya, di FISIP UI.

Saat perjalanan pulang, kami melihat teater dari FIB UI dan mencoba menontonnya. Meskipun ketinggalan cerita, saya cukup antusias menontonnya. Bahkan karena terlambat menonton, saya tidak tahu ceritanya mengenai apa. Yang pasti ada salah satu backsound musik yang tiba-tiba teringat di kepala. Tiba- tiba saya teringat akan album Pink Floyd yang saya dengarkan semalam itu. Intro lagu Another Brick In The Wall menjadi latar suara teater tersebut. Dan secara serempak, peserta teater tersebut melakukan tarian dan gerakan seperti tentara. Belum selesai menonton, teman saya ada yang pulang ke kosan karena ada urusan.

72

Teman saya yang pulang terlebih dahulu, membuat saya juga kembali ke FISIP karena sedang urusan yang harus dikerjakan. Seperjalanannya saya kembali ke FISIP, saya masih terngiang-ngiang dengan lagu intro Pink Floyd tersebut. kalau tidak salah, itu lagu yang pertama kali saya dengar di album The Wall saat saya masih ada tenaga untuk menikmatinya. Sambil mengerjakan tugas, saya juga mencari tahu lirik lagu tersebut, dan mengunduh kembali lagu Another Brick In The Wall.

Saya menemukan lirik yang termuat antara lain seperti ini.

We don't need no education We don't need no thought control No dark sarcasm in the classroom Teachers leave them kids alone Hey teacher leave them kids alone All in all it's just another brick in the wall All in all you're just another brick in the wall

Menurut artian saya, jadi sistem pendidikan yang ada kekerasan dalam kelas memang harusnya dihapuskan. Maka dari itu, guru yang bersikap kasar tidak sepantasnya melakukan kekerasan terhadap murid. Sistem konservatif ini ternyata juga terjadi di Inggris, dan Pink Floyd mengangkatnya menjadi tema lagu.

73

Sumber yang saya baca ini karena penelusuran di internet selama dua jam di kampus dengan memanfaatkan fasilitas WiFi yang ada.

Pernyataan yang berarti “semua dalam semua itu hanyalah batu bata di dinding” yang masih belum saya mengerti. Karena pemahaman saya mengenai perpolitikan di dunia amatlah sempit, maka saya cari sendiri arti dari pernyataan tersebut. Saya juga menghubungkan antara lirik ini dengan gaya tentara saat teater yang saya lihat tadi, apakah terdapat korelasi atau tidak.

Karena penemuan jawaban tidak terealisasi, maka saya melakukan penelusuran ke berbagai artikel yang menjelaskan bahwa kita bagaikan batu bata dalam sistem sosial yang ada. Kita adalah batu bata, dan sistem sosial adalah sebuah tembok. Maka dari itu, seharusnya sistem dihancurkan apabila ditemukan ketiadaan signifikansi. Hal ini adalah temuan yang saya rangkum menjadi kesimpulan yang sangat sok tahu mengenai pencarian dari arti sebuah lirik Another Brick In The Wall.

Tidak puas dengan definisi lirik dari wikipedia dan berbagai blog yang memaparkan hal tersebut, saya beralih mengunduh official video Another Brick In The

74

Wall di youtube. Dan inilah yang saya cari selama ini, pemaparan dengan menggunakan film lebih menjelaskan makna dari lirik yang ada. Seperti yang saya duga, di video klip itu terdapat anak-anak yang diajarkan disekolah secara kasar, diperlakukan seperti robot, dan dominasi oleh guru yang mengejek muridnya. Anak-anak yang berjalan dengan berbaris-baris tersebut mengingatkan saya pada teater yang pernah saya tonton di FIB UI tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang ada hanyalah sebuah industri dan mencetak anak- anak menjadi bubur sosis. Terlihat dalam video klip tersebut anak-anak digiring ke dalam mesin penggiling daging. Fenomena ini menunjukkan adanya sebuah industrialisasi anak di dalam pendidikan. Sehingga maksid dari lirik Another Brik In The Wall adalah bahwa sistem pendidikan adalah dinding, dengan murid-murid sebagai batu batanya. Penjelasan sederhana ini yang saya tafsirkan setelah melihat lirik, artian lirik, dan video klip yang ada.

Di akhir video klip lagu Another Brick In The Wall, terlihat upaya menghancurkan dinding yang dianggap sebagai sistem pendidikan. Guru yang mengajar akhirnya dikeroyok oleh murid-murid yang

75

juga membakar sekolah. Sekali lagi, bahwa sekolah yang terdapat tindak kekerasan memang ditentang oleh lagu ini. Ini lagu bagi saya yang menentang terhadap sistem pendidikan yang mencetak murid-murid bagaikan bubur sosis atau produk belaka. Selain, lagu “Sarjana Muda” oleh Iwan Fals yang secara terang-terangan menunjukkan bahwa pendidikan tidak menjamin pekerjaan.

Setelah mengikuti kuliah teori sosiologi, saya menjadi tahu mengenai sosiologi pendidikan. Pendidikan yang dipandang dari perspektif materialisme akan mencetak murid bagaikan komoditi. Selain itu komersialisasi akan marak juga akibat kapitalisme. Jadi, menurut saya konsep yang diatur dalam lirik lagu Another Brick In The Wall dengan video klip yang ada adalah konsep industrialisasi pendidikan. Untuk konteks Inggris, mungkin yang dijadikan sasaran adalah pengajaran anak-anak yang terlalu konservatif. Konsep industrialisasi pendidikan untuk konteks Indonesia menurut saya saat ini adalah upaya komersialisasi pendidikan. Keduanya memiliki konsep yang sama karena dipandang dari sudut pandang materialisme. Dan seperti yang kita ketahui bahwa tujuan akhir dari

76

semuanya adalah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.

Perkembangan kompleksitas perekonomian pada abad ini menjadi hal yang dikejar-kejar manusia. Hasrat untuk mendapatkan kecukupan dan bahkan kelebihan ekonomi merupakan tolak ukur kesuksesan manusia. Selain karena kebutuhan manusia semakin meningkat dengan perkembangan teknologi, terdapat juga budaya populer prestis agar tidak terlihat miskin ataupun sederhana. Layaknya rantai makanan dalam kelompok manusia, kita berlomba-lomba dalam mencapai kemapanan ekonomi dalam arena kapitalisasi.

Apalagi untuk jenjang pendidikan perguruan tinggi yang sangat terlihat sekali upaya komersialisasinya. Menurut saya, kapitalisme dalam pendidikan sudah terhegemoni sampai dalam keluarga. Pola pengajaran dan pemberian saran ke anak akan cenderung mengarahkan ke perbaikan pendidikan untuk anak. Yang terpenting anak bisa sekolah sampai perguruan tinggi, lulus, dapat ijazah dan bisa dapat pekerjaan bagus. Dengan kata lain, pendidikan adalah upaya mendapatkan ijazah saja, tanpa mengetahui esensi utama dari pendidikan yang sesuai dengan tri dharma.

77

Sejak kecil kita telah diarahkan prospek kedepannya sesuai dengan cita-cita masing-masing, meskipun banyak yang tidak memiliki juga. Hal ini merupakan langkah awal penuntutan kita agar dapat bersaing kedepannya di masa depan dalam usaha mencapai kecukupan ekonomi. Pendidikan yang sesuai dengan bakat kita dinilai dapat mensukseskan kita di masa depan dalam arena persaingan ekonomi. Untuk itu, di ranah pendidikan formal lah sebagian besar harapan peluang sukses dalam perekonomian diletakkan. Pada kenyataannya memang benar, budaya peradaban kita saat ini menuntut akan hal tersebut. Sebuah rasionalisasi yang tidak mudah dirubah hanya dengan revolusi.

Dunia pendidikan kita saat ini terutama di Indonesia sejak awal dibentuknya memang digunakan sebagai sarana pencerdasan anak bangsa. Anak bangsa yang memiliki kesempatan memperoleh pendidikan cenderung akan memiliki posisi penting di dalam masyarakat, karena zaman awal tersebut masihlah sedikit yang menekuni dunia pendidikan. Hal ini mengakibatkan, kesempatan untuk memperoleh pendidikan ini digunakan sesuai dengan keadaan waktu itu, yaitu mencari cendekiawan dan ahli dari negeri

78

sendiri untuk mengalihkan imperialisasi dari ahli luar negeri. Meskipun, asal-usul adanya cendekiawan dalam negeri masih di bawah kekuasaan orang asing.

Saat ini setelah milenium 2000, dunia pendidikan di Indonesia berkembang dengan banyaknya wadah- wadah infrastruktur pendidikan. Menjamur, dan berkembang sesuai dengan upaya pembangunan bangsa. Program-program pemerintah untuk menggalakkan pendidikan merupakan angin segar dalam era kita saat ini. Namun, setelah mengetahui harapan terbesar mencukupi ekonomi adalah dengan pendidikan, masyarakat dengan segala upaya agar masuk ranah pendidikan untuk mengejar status pendidikannya. Nantinya, status pendidikan inilah yang akan digunakan sebagai alat untuk menciptakan uang. Dengan bermodalkan catatan legal hitam di atas putih dari instansi, siapapun berhak mendapatkan kesempatan posisi dalam jabatan. Selanjutnya, muara yang sama juga akan mengalir pada ekonomi.

Kembali lagi pada masalah kecenderungan persaingan. Menjamurnya instansi pendidikan yang dapat mengeluarkan catatan legal hitam di atas putih, akan memunculkan kembali bentuk upaya segala cara agar dapat memilikinya. Dalam hal ini, masalah-masalah

79

di dalam dunia pendidikan dalam era industrialisasi muncul. Masyarakat memiliki kecenderungan agar dapat memiliki gelar pendidikan untuk bekerja mencari uang. Tidak peduli bagaimana pola persaingan secara pendidikan, yang terpenting adalah mendapatkan catatan hitam di atas putih instansi pendidikan yang nantinya akan berguna untuk proses mendapatkan pekerjaan. Layaknya robot-robot yang diprogram untuk mengikuti keinginan situasi, gejala kolektif tidak akan berbeda dengan pola kehidupan sebelumnya secara nilai.

Dengan mengatasnamakan pendidikan, industrialisasi dapat muncul dimanapun selama manusia membutuhkan uang untuk hidup. Bahkan jika melihat kondisi ini, sebuah perubahan pencerdasan pun tidak begitu dipahami nilainya, karena uanglah yang membuat kita bersaing, bukan dalam pendidikan. Industri pendidikan ini hanyalah contoh nyata bahwa dalam dunia pendidikan ini juga bukanlah tempat sebenarnya mencari ilmu. Hal ini dikarenakan peradaban kita saat ini menuntut agar perkembangannya di dasarkan kepada industri pendidikan, masih dengan uang sebagai bahan bakarnya. Pada dasarnya, ilmu tercipta dalam usaha manusia mencari kebutuhan hidup, seperti modal dan

80

uang. inilah hasil analisa secara sederhana yang terinspirasi dari lirik lagu Another Brick In The Wall.

81

BAB 9

82

Berbagai media mungkin sudah beribu kali mengulas tentang kebaikan Radiohead dan tak jarang beberapa kelompok menganggap mereka tak pernah salah dalam dunia musik. Pada majalah Rolling Stone edisi ke dua di Indonesia yang berjudul The Immortals: 100 artis sepanjang massa tersebut memasukkan nama Radiohead. Saya mendapatkan majalah bekas itu pada tukang jual koran alun-alun kota Kendal. Awalnya saya mau mencari kumpulan lagu-lagu baru yang ada kunci gitarnya agar saya bisa latihan dirumah.

Majalah yang waktu itu bekas seharga Rp 5.000 itu saya baca, dan bahkan dari 100 artis tersebut yang saya ketahui dan tahu persis lagunya hanyalah Gun n Roses dan Bob Marley. Ke 98 artis yang lainnya saya hanya baca sekilas. Sewaktu itu saya entah kenapa menjadi membaca kolom Radiohead. Pada kolom yang menceritakan tentang Radiohead tersebut, dikatakan bahwa awalnya Radiohead agak disinggung mengenai album alternatif yang menurut wartawan musik sangat aneh.

Keadaan berubah ketika album alternatif tersebut laris akan pujian, dan sebagian besar (mungkin) ada yang latah menganggap mereka progresif. Karena penasaran, saya pun meminta lagu Radiohead ke kawan

83

saya, dan kebetulan tidak ada yang punya. Keadaan ini membuat saya tertarik untuk mendengarkan Radiohead dan mencari informasi tentang mereka. Saya saat itu masih duduk di SMA kelas 2 ketika mendengarkan Radiohead, karena informasi tentang musik di tempat saya sangatlah terbatas. Sebagai penikmat musik yang sangat awam saya mengakui keterbatasan referensi musik yang saya dengarkan.

Setelah mendapatkan album Radiohead di toko kaset daerah Kendal, saya ingat waktu itu seharga Rp 15.000 sepulang sekolah. Di toko kaset tersebut tersedia dua album kaset Radiohead yaitu OK Computer dan The Bends. Saya memilih OK Computer karena sampulnya terlihat lebih bagus dibandingkan The Bends. Jadi, album yang saya dengarkan adalah OK Computer dan setelah saya dengarkan, agak aneh dikuping karena sewaktu SMA saya mendengarkannya musik pop Indonesia dan musik melayu saat itu sedang booming. Maka dari itu, saya merasa ada penolakan dalam diri saya terhadap musik kualitas internasional tersebut. Karena sudah terbeli, saya setel di radio setiap pagi hari sebelum sekolah, dan lama-lama kuping saya mulai terbiasa.

84

Saya dengarkan secara terus menerus setiap hari dalam waktu enam bulan, dan akhirnya cukup kena di kepala saya. Tanggapan saya tentang album ini mungkin sangatlah mainstream dan terlalu awam buat warga masyarakat biasa. Akan tetapi, saya akan coba memberikan gambaran apa yang saya ketahui dan rasakan terhadap album OK Computer ini. Setelah khatam OK Computer, saya mencoba mencari album

Dalam dokumen Stairway To Heaven Esai Sosio Musikologi (Halaman 70-97)

Dokumen terkait