Oleh leluhur Raja (Mata Lean) atau Jou Negeri Kian Darat yaitu Ratu Wawina yang bergelar Raja Tongkat Emas, dan suaminya Kapitan Pattinama ketika melalukuan perjalanan dari tempat asal mereka di Tanjung Sial (bagian barat dari wilayah Pulau Seram). Pada saat mereka melakukan perjalanan menuju Pulau Seram Bagian Timur dan me- nempati lokasi kediaman di Soabareta (tanjung kering pertama yang dijumpai) di Pulau Seram Bagian Timur. Dapat dikemukakan bahwa Orang Bati sejak awal memiliki kondisi masyarakat yang berciri ma- jemuk, karena leluhur mereka memiliki kaitan dengan asal-usul dari suku-suku lainnya di Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu).
Proses Integrasi Kelompok Siwa-Lima di Tana (Tanah) Bati
Pada tempat ini keturunan Alifuru atau Alifuru Ina yang mampun bertahan hidup mulai membangun kehidupan baru. Orang- orang yang berasal dari lima kerajaan besar yang bertahan hidup pada Luma Paki Siwa (Rumah Sembilan Tiang) yaitu mereka yang mampu bertahan hidup dalam menghadapi bencana. Ketika terbangunnya kehidupan baru, kemudian angka 5 dan angka 9 dianggap sakral se- hingga menjadi perekat untuk membangun kesatuan hidup bagi keturunan Alifuru Ina yang di-namakan Alifuru Seram atau Suku Alifuru. Mereka yang menyebut diri dengan nama Alifuru Seram, adalah Orang Basudara atau orang yang memiliki asal-usul dari ke- turunan yang sama yaitu anak cucu ke-turunan Manusia Awal (Alifuru) atau Alifuru Ina.
Proses pembentukan kehidupan awal dari keturunan Alifuru dalam kesatuan hidup Orang-Orang Siwa dan Orang-Orang Lima mulai mengalami perkembangan sejak mereka mendiami Samos
(tempat kering pertama) yang dijumpai pada wilayah Pulau Seram Bagian Timur saat itu. Perkembangan yang terjadi kemudian yaitu, lokasi kediaman ini makin hari makin penuh sesak karena per- tambahan penduduk (manusia) karena kelahiran. Proses pembentuk kehidupan bermasyarakat ke dalam dua kelompok besar Orang Seram yang dinamakan Orang Patasiwa (Sembilan Bagian) dan Orang Patalima (Lima Bagian) berlangsung di tempat tersebut. Perkembangan kemudian yaitu migrasi yang dilakukan oleh Alifuru Bati atau Orang Bati untuk meninggalkan wilayah kediaman awal untuk menempati lokasi sesuai pembagian masing-masing.
Keturunan Alifuru Seram yang ke luar meninggalkan lokasi Pulau Seram ke tempat-tempat lain adalah para kapitan (pemimpin perang) pada tingkat kelompok dengan tugas dan tanggung jawab untuk mengamankan Bumi Pulau Seram dari segala penjuru. Untuk itu Alifuru Bati atau Orang Bati yang ditugaskan ke luar Pulau Seram adalah orang-orang yang memiliki kemampuan luar biasa. Orang Bati mengemukakan bahwa:
Mereka yang mengikat berang di belakang artinya sudah tidak
mengingat pada tempat asal, karena mereka ke luar tidak kembali lagi, sedangkan yang mengikat berang dengan simpul berada di depan yaitu senantiasa masih mengingat tempat asal mereka. Tradisi ini hanya terdapat pada Orang Bati. Untuk itu Orang Bati dikenal sebagai orang yang menjaga, dan melindungi
Pulau Seram dan Kepulauan Maluku21
Makna yang terdapat dalam persepsi Orang Bati tersebut di atas yaitu, para kapitan (pemimpin perang) dalam kelompok yang telah ke luar dari induk Pulau Seram membawa segala kekuatan yang dimiliki dan terdapat pada simbol Parang dan Salawaku (Perisai) untuk men- jaga, melindungi Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) dari serangan pihak luar. Setelah para kapitan tersebut ke luar meninggalkan Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) kemudian berlangsung proses migrasi dari suku-suku lainnya secara perlahan-lahan karena diserahkan tugas tertentu oleh penguasa Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) untuk
).
21)Wawancara dengan bapak AKil (68 tahun) Kepala Dusun Bati Kilusi (Bati Awal),
menduduki tempat-tempat tertenti sehingga mereka dapat menjaga dan melindungi Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram dari serbuan orang luar.
Orang-Orang Alifuru yang ke luar pertama kali dari Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram adalah para kapitan yaitu orang-orang yang memiliki keperkasaan sehingga dipercaya mampu untuk menjaga dan melindungi Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram dari serbuan orang luar. Para kapitan yang ke luar meninggalkan Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram waktu membawa parang dan salawaku (perisai) dan mengikat kepala dengan kain merah (berang) dan simpulnya berada di belakang. Makna ikatan simpul di belakang yaitu mereka telah meninggalkan daerah asal tidak boleh kembali. Bagi keturunan Alifuru Seram yang tetap tinggal untuk menjaga dan melindungi Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram menggunakan simbol parang dan tombak, maupun parang dan panah dengan ikat kepala berwarna merah (berang) dengan simpul di be-lakang.
Orang Bati yang terdiri dari kelompok Patasiwa dan Patalima yang ditugaskan untuk menjaga dan melindungi Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram menggunakan parang dan tombak, panah dan panah dengan ikat kepala berwarna merah (berang) dan ikatan simpulnya berada di depan. Makna ikatan simpul di depan yaitu mereka tidak me- lupakan daerah asal. Untuk itu dalam tradisi Alifuru Bati atau Orang Bati apabila melakukan upacara adat Esuriun Orang Bati, maka Kapitan Esuriun Orang Bati menggunakan parang dan salawaku (perisai). Maknanya yaitu simbol parang dan salawaku tersebut berasal dari Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram, tetapi saat ini simbol tersebut sudah di bawa ke luar oleh leluhur Alifuru.
Pandangan mengenai simpul atau ikatan berang adat di belakang yaitu mereka sudah tidak ingat lagi pada tempat asal. Mereka yang tetap tinggal menjaga Pulau Seram menggunakan tombak dan parang, serta panah dan parang, dengan ikat kepala berwarna merah (berang), tetapi simpulnya berada di bagian depan adalah penjaga dan pelindung Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram. Artinya, mereka tetap ingat pada daerah asal, dan ini hanya ada pada Orang Bati. Ciri yang pertama
dapat ditemukan pada Orang Maluku yang mendiami negeri-negeri adat di Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Buru, dan daerah lainnya di Maluku, sedangkan ciri yang kedua hanya terdapat pada Orang Bati di Pulau Seram Bagian Timur.
Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa mengenai penggunaan sebutan kapitan yang digunakan oleh Orang Bati adalah ciri khas dari keturunan AlifuruIna atau Alifuru Seram di Bumi Seram karena istilah ini sejak dahulu kala sebelum kedatangan orang luar sudah digunakan oleh Orang Seram. Secara logika dapat dikatakan bahwa kedatangan orang luar untuk mencari kepulauan rempah-rempah (cengkih dan pala) menurut Orang Bati yaitu dari Cina dan Arab, kemudian me- nyusul bangsa lain yang pertama yaitu Portugis di permulaan abad XVI atau tahun 1512, kemudian Spanyol, Inggris, Belanda, maupun Jepang mereka tidak menemukan Orang Bati.
Kenyataannya, Esuriun Orang Bati yang dilakukan oleh leluhur Orang Bati jauh sebelum kedatangan orang luar, sehingga istilah Kapitan Esuriun Orang Bati yang digunakan pada saat Orang Bati turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukar). Untuk itu istilah kapitan yang digunakan oleh Alifuru Seram maupun Alifuru Bati atau Orang Bati adalah istilah khas yang berasal dari Seram. Istilah kapitan sama sekali bukan diadopsi dari bahasa orang lain, tetapi itu adalah istilah khas Alifuru Seram. Berdasarkan pemahaman tentang Bumi Seram dan Manusia Batti, mitologi, maupun kosmologi Alifuru Bati atau Orang Bati sebagai kearifan lokal telah berfungi dan berperan untuk menata kehidupan manusia maupun masyarakat agar meng- hormati alam semesta dan manusia sebagai kesatuan.
Dalam kosmologi Siwa-Lima oleh keturunan Alifuru Ina atau Alifuru Seram, khususnya Alifuru Bati atau Orang Bati dapat di- kemukakan bahwa Patasiwa dan Patalima merupakan struktur sosial dasar. Pada awalnya kedua kelompok sosial ini sendiri-sendiri dengan wilayah dan budaya masing-masing. Namun melalui Esuriun Orang Bati, ternyata mereka terintegrasi sehingga kehidupan Orang Patasiwa dan Patalima di Tana (Tanah) Bati menyatu dalam adat-istiadat, bahasa, budaya, teritorial, dan lainnya adalah tipe integrasi kultural yang
dicapai melalui adat Esuriun Orang Bati sehingga mereka hidup dalam etar sebagai teritorial genealogis atau wilayah roina kakal.
Tipe integrasi seperti yang dicapai Orang Bati untuk me- nyatukan kelompok sosial Patasiwa dan Patalima yang mendiami Pulau Seram belum ditemukan pada suku-suku lainnya karena secara umum kelompok Patasiwa dan Patalima pada suku atau subsukubangsa lainnya hidup dengan teritorial genealogis atau wilayah roina kakal yang terdapat dalam watas nakuasa atau daerah kekuasaan menurut budaya esuriun. Bumi Seram maupun dalam wilayah Kepulauan Maluku. Mekanisme lokal yang digunakan Orang Bati sehingga ke- lompok sosial Patasiwa dan Patalima dapat terintegrasi secara baik sebagai roina kakal yang mendiami etar dan watas nakuasa sebagai teritorial genealogis karena Orang Bati berpersepsi bahwa sejak awal mereka memiliki pertalian darah.
Untuk itu pandangan tentang kewajiban untuk saling menjaga dan melindungi (mbangat nai tua malindung) menjadi simpul untuk mengikat lebih erat terhadap seluruh proses integrasi sosial, kultural, eksistensial, ekonomi, dan sebagainya yang baru mereka bangun melalui adat Esuriun Orang Bati sehingga identitas Bati tetap solid. Esuriun terdapat simpul yang kuat di mana proses integrasi antar kelompok Patasiwa dan kelompok Patalima di Tana (Tanah) Bati dibangun pada saat itu telah menghasilkan kehidupan baru pada Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa di bumi Seram Bagian Timur. Strategi menyatukan kekuatan Orang Bati tersebut dapat dikatakan sukses atau berhasil karena mereka lakukan sesuai dan di dasarkan pada adat Esuriun Orang Bati. Pada lingkungan masyarakat Maluku yang kental dengan relasi sosial antar orang basudara dalam per- sekutuan pela, gandong, bongso, adik-kaka, ain nin ain, duan lola, laham, maupun sebutan lainnya karena ikatan teritorial genealogis yang memiliki makna tidak berbeda dengan roina kakal yang di- gunakan oleh Orang Bati atau Suku Bati. Roina kakal yaitu orang yang berasal dari satu rahum atau kandungan ibu, dan memiliki hubungan saudara dengan orang-orang yang berasal dari keturunan Alifuru atau Alifuru Ina di Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram.