• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

G. Serat Pangan Total

Serat pangan (dietary fiber) merupakan suatu karbohidrat komplek didalam bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan manusia. Dietary fiber adalah komponen dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus halus. Secara kimia, dinding sel tersebut tersusun dari beberapa karbohidrat seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, dan lainnya (Astawan et al. 2004). Serat pangan total (total dietary fiber, TDF) terdiri dari komponen serat pangan larut (soluble dietary fiber, SDF) dan serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber, IDF) (Muchtadi 1989). Hasil analisis kadar serat pangan total adalah 11.20% (%bb), hasil analisis ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Chaidir (2007) yaitu 9.75% (%bb). Kandungan serat pangan total yang cukup tinggi dari hasil penelitian ini memiliki beberapa manfaat positif seperti yang disampaikan Astawan et al. (2001), yaitu untuk menghindari

14

kelebihan asam lemak jenuh, kolesterol, natrium, dan membantu mengontrol berat badan.

H. Iodium

Rumput laut Glacilaria sp. adalah salah satu jenis alga merah (Rhodophyceae) yang secara eksklusif ditemukan sebagai habitat laut. Winarno (1990) menyatakan, rumput laut jenis Rhodophyceae sangat kaya akan trace element terutama iodium. Muhilal dan Karyadi (1990) menambahkan, semua bahan pangan yang berasal dari laut terutama tumbuhan laut memiliki konsentrasi iodium lebih tinggi, hal ini disebabkan kemampuan dari organisme laut untuk menghimpun iodium yang berasal dari laut. Kadar iodium hasil analisis (54.27 mcg/g) dari penelitian ini sesuai dengan rentang nilai kadar iodium yang ditetapkan dari hasil analisis Ito dan Hori (1989) yaitu 9.4–72.7 mcg/g. Namun hasil analisis penelitian ini jauh lebih tinggi dibandingkan kandungan iodium hasil analisis Chaidir (2007), menurut Suwandi et al. (2002), perbedaan kandungan iodium dalam rumput laut dapat dipengaruhi oleh daerah asal rumput laut, umur panen, dan tingkat pertumbuhannya. Faktor lain yang menyebabkan kadar iodium hasil penelitian Chaidir (2007) lebih rendah dibandingkan hasil penelitian ini adalah karena adanya mineral (iodium) yang rusak dan hilang selama proses pemucatan dan pengeringan.

Terdapat perbedaan perlakuan pada proses pemucatan antara penelitian yang dilakukan dengan Chaidir (2007), yaitu pada proses perendaman dalam waktu yang cukup lama serta perlakuan pengeringan dengan cara dijemur dibawah sinar matahari yang menyebabkan kadar iodiumnya lebih rendah, sementara pada penelitian ini tidak dilakukan proses perendaman yang terlalu lama dan tidak adanya perlakuan penjemuran atau pengeringan ulang. Penelitian yang dilakukan Trisnowo (1992) menunjukkan bahwa iodium dapat larut dalam air mencapai 0.34 mcg/liter pada suhu 25 0C, dimana iodium dalam air akan mengalami hidrolisis sehingga kadarnya dapat berkurang. Hal ini juga yang memungkinkan kadar iodium pada hasil penelitian Chaidir (2007) lebih rendah dibanding hasil analisis proksimat penelitian ini.

Formulasi Pembuatan Bakso Daging Sapi Tinggi Serat dan Iodium

SNI 01-3818-1995 yang dimaksud bakso adalah produk makanan yang berbentuk bulatan atau lainnya yang diperoleh dari campuran daging ternak (tidak kurang dari 50%) dan pati. Proses pembuatan bakso dapat disertai dengan atau tanpa adanya bahan tambahan pangan yang diizinkan. Nama bakso sering diikuti dengan nama daging yang digunakan. Penelitian ini menggunakan daging sapi dalam proses pembuatan bakso, sehingga disebut dengan bakso daging sapi. Bakso adalah salah satu produk olahan daging yang sudah lama dikenal dan banyak digemari masyarakat Indonesia, baik anak-anak maupun dewasa. Bakso juga mengandung protein hewani, mineral, dan vitamin yang cukup tinggi, sehingga cukup memegang peranan penting dalam penyebarluasan protein, vitamin, dan mineral bagi masyarakat Indonesia.

Beberapa penelitian dan pengembangan produk bakso telah banyak dilakukan. Permatasari (2002) mengembangkan produk bakso daging sapi dengan

15 tambahan jamur tiram yang bertujuan untuk meningkatkan kandungan protein nabati yang berasal dari jamur tiram. Penelitian lain yang dilakukan Putra (2013) mengembangkan suatu produk bakso daging sapi dengan penambahan wortel untuk meningkatkan vitamin dan mineral pada produknya. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memperoleh suatu produk bakso daging sapi dengan kandungan serat dan iodium yang cukup tinggi agar dapat menjadi produk pangan alternatif untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan serat dan iodium anak sekolah.

Bahan utama yang digunakan dalam formulasi bakso daging sapi tinggi serat dan iodium ini adalah daging sapi segar dan bubur rumput laut Glacilaria sp. Persentase bubur rumput laut yang di tambahkan sebesar 30, 40, dan 50% dari berat adonan total. Persentase penambahan bubur rumput laut dalam formulasi bakso mengacu pada Trees (2003), yang melakukan penelitian serupa yakni penambahan bubur rumput laut dalam beberapa produk jajanan tradisional, dimana penambahan bubur rumput laut maksimum pada penelitian sebelumnya adalah 60%. Sedangkan untuk penggunaan daging sapi segar bagian gandik, tepung tapioka, lada bubuk, garam non-iodium, es batu, STPP, dan bawang putih bubuk yang digunakan untuk setiap formula jumlahnya sama.

Proses pembuatan bakso daging sapi ini diawali dengan mencuci dan membersihkan daging segar bagian gandik, kemudian memotongnya dalam ukuran yang lebih kecil, dan memasukannya kedalam food processor bersamaan dengan es batu, STPP, dan garam. Bahan-bahan kemudian digiling dan dicampurkan dalam food processor, selanjutnya ditambahkan tepung tapioka, lada bubuk, dan bawang putih bubuk, digiling dan diaduk kembali dalam food processor. Adonan yang sudah tercampur merata disimpan dalam lemari es selama 30 menit, kemudian ditambahkan bubur rumput laut sesuai dengan taraf yang telah ditentukan, diaduk merata dan adonan dibentuk bulatan-bulatan dengan tangan, dan direbus dalam air hangat bersuhu + 80 0C. Bakso yang sudah mulai terapung menunjukkan bahwa bakso sudah cukup matang dan siap untuk diangkat.

Tabel 2 Formulasi bakso daging sapi tinggi serat dan iodium

Komponen (g) Satuan Formulasi

F0 F1 F2 F3

Bubur RL Glacilaria sp. % adonan 0 30 40 50

Daging Sapi Segar Gram 250 250 250 250

Tepung Tapioka Gram 50 50 50 50

Garam Gram 8 8 8 8

Es Batu Gram 50 50 50 50

STTP Gram 1 1 1 1

Lada Bubuk Gram 2 2 2 2

Bawang Putih Bubuk Gram 2 2 2 2

Sumber : Dimodifikasi dari Anshori (2002)

Daging sapi yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi segar, hal ini berkaitan dengan mutu bakso yang dihasilkan. Jika digunakan daging yang sudah dilayukan atau tidak segar, menurut Sutaryo dan Mulyani (2004) tekstur dari daging tersebut sudah lemah, kurang kompak, kurang elastis, sehingga kemampuan daging untuk mengikat air semakin rendah. Hal lain yang mempengaruhi kualitas bakso adalah jumlah tepung pati (tapioka) yang ditambahkan. Penelitian ini menggunakan 20% tepung tapioka dari total daging

16

yang digunakan dalam satu kali produksi, hal ini telah sesuai dengan ketentuan SNI 01-3818-1995 yang menyatakan bahwa kadar daging dalam bakso tidak kurang dari 50%.

Penambahan garam dalam proses pembuatan bakso memiliki beberapa fungsi yaitu, selain untuk menambah cita rasa, juga sebagai pelarut protein, pengawet, dan meningkatkan daya ikat air dari protein daging (Sutaryo dan Mulyani 2004). Sementara, penambahan es batu berfungsi untuk menjaga agar suhu adonan selama proses penggilingan tetap rendah. STPP (sodium tripolyphosphate) adalah salah satu bahan tambahan pangan yang diizinkan untuk digunakan. Penambahan STPP dalam proses pembuatan bakso maksimum sebanyak 5g/kg daging. Hal ini sesuai dengan SNI 01-0222-1995, karena dalam penelitian penggunaanya hanya 4g/kg daging sapi. Sams (2001) menjelaskan kegunaan STPP yaitu, meningkatkan daya ikat air, memelihara juiciness, memelihara warna produk, mempertahankan flavor daging, dan menghambat oksidasi yang tidak diinginkan. Bawang putih dan lada bubuk adalah bumbu tambahan untuk meingkatkan cita rasa bakso yang dihasilkan.

Uji Organoleptik Bakso Daging Sapi Hasil Formulasi

Pengujian sifat organoleptik dilakukan kepada panelis agak terlatih sebanyak 35 orang dengan dua kali ulangan. Panelis adalah mahasiswa departemen gizi masyarakat. Penilaian dilakukan melalui uji mutu hedonik dan hedonik (kesukaan) panelis terhadap atribut warna, rasa, aroma, tekstur, dan aftertaste bakso daging sapi dengan tingkat penambahan rumput laut sebesar 0% (F0), 30% (F1), 40% (F2), dan 50% (F3). Metode penilaian menggunakan skala skor, dengan skala penilaian berkisar dari 1-7. Penilaian pada uji hedonik (kesukaan), semakin tinggi nilai yang diberikan panelis menunjukkan semakin suka panelis tersebut terhadap produk bakso daging sapi. Sementara, pada uji mutu hedonik, nilai tengah dari rentang 1-7 yaitu nilai 4 menunjukkan penilaian terbaik yang diberikan panelis, karena nilai 4 menunjukkan karakteristik bakso menyerupai bakso pada umumnya dan telah sesuai dengan karakteristik sifat bakso yang ditetapkan SNI 01-3818-1995.

Panelis dianggap menerima sampel bakso yang disajikan apabila nilai hedonik (kesukaan) yang diberikan lebih besar atau sama dengan 4. Hasil modus uji hedonik disajikan pada Tabel 3 dan hasil modus uji mutu hedonik pada Tabel 4.

Tabel 3 Nilai modus hasil uji hedonik (kesukaan)

Atribut Modus F0 (0%) F1 (30%) F2 (40%) F3 (50%) Warna 3 (27.1%)a 5 (48.6%)b 5 (41.4%)b 5 (40.0%)b Aroma 5 (41.4%)a 5 (38.6%)a 5 (47.1%)a 5 (37.1%)a Rasa 5 (38.6%)a 4 (37.1%)b 5 (31.4%)b 2 (27.1%)c Tekstur 4 (35.7%)a 4 (32.9%)a 3 (31.4%)b 3 (31.4%)b Aftertaste 5 (34.3%)a 4 (37.1%)a 4 (31.4%)a 4 (34.3%)b Keterangan : Skala 1=sangat tidak suka, 2=tidak suka, 3=agak tidak suka, 4=cukup suka, 5=suka, 6=sangat suka, 7=sangat suka sekali. Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

17 Tabel 4 Nilai modus hasil uji mutu hedonik

Atribut Modus F0 (0%) F1 (30%) F2 (40%) F3 (50%) Warna 6 (37.1%)a 5 (40.0%)b 4 (35.7%)c 3 (35.7%)c Aroma 5 (47.1%)a 4 (54.3%)b 4 (50.0%)b 4 (44.3%)b Rasa 4 (52.9%)a 5 (31.4%)a 4 (25.7%)a 2 (30.0%)b Tekstur 6 (40.0%)a 2 (37.1%)b 2 (38.6%)c 2 (41.4%)d Aftertaste 5 (45.7%)a 5 (47.1%)a,b 5 (48.6%)a,b 5 (28.6%)b Keterangan : Warna: 1=abu-abu kecoklatan sangat pucat 7=abu-abu kecoklatan sangat pekat, Aroma: 1=sangat tidak tercium sekali 7=sangat kuat tercium sekali, Rasa : 1=sangat hambar 7= Sangat masam rumput laut, Tekstur: 1=sangat lembek 7=keras, Aftertaste: 1=sangat tidak terasa sekali 7=sangat terasa sekali. Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

Warna

Penentuan mutu bahan pangan pada umumnya sangat tergantung pada beberapa faktor diantaranya cita rasa, warna, tekstur, dan kandungan gizinya. Sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor warna lebih dulu mempengaruhi penerimaan dari suatu produk (Winarno 2008). Pernyataan ini didukung oleh Setyaningsih (2010) yang menjelaskan bahwa, warna paling cepat dan mudah dalam memberikan kesan, tapi agak sulit dalam pengukurannya. Hasil uji hedonik (kesukaan) yang bersifat subjektif menunjukkan nilai modus penilaian panelis berada pada nilai 5 (suka) untuk F1, F2, dan F3. Sementara, modus penilaian untuk F0 berada pada nilai 3 (agak tidak suka). Hasil Uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan penambahan jumlah rumput laut sebesar 30% (F1), 40% (F2), dan 50% (F3) tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap penerimaan panelis pada warna bakso daging. Sementara F0 (0%) atau tidak adanya penambahan rumput laut pada adonan bakso daging menunjukkan nilai yang berbeda nyata (p<0.05) dibandingkan formula lainnya, hal ini disebabkan, penggunaan daging segar yang berwarna kemerahan memberikan efek warna gelap terhadap produk bakso daging sapi F0, sehingga warna bakso dari formula ini kurang disukai oleh panelis dibandingkan warna bakso formula lainnya.

Hasil uji mutu hedonik menunjukkan nilai modus penilaian untuk atribut warna yaitu 6 (abu-abu kecoklatan pekat) untuk bakso tanpa penambahan rumput laut (F0), hal ini mungkin disebabkan penggunaan daging segar berwarna kemerahan memberikan efek warna bakso yang cenderung lebih gelap dibandingkan warna bakso dengan penambahan rumput laut. Sementara, nilai modus penilaian atribut warna untuk F1 adalah 5 (abu-abu kecoklatan agak pekat), F2 adalah 4 (abu-abu kecoklatan khas produk), dan F3 adalah 3 (abu-abu kecoklatan agak pucat). Hasil uji nonparametrik Kruskal Wallis menunjukkan adanya pengaruh nyata (p<0.05) penambahan rumput laut antara produk bakso F0, dengan F1, F2, dan F3. Namun tidak ada perbedaan nyata (p>0.05) penambahan rumput laut 40% (F2) dengan 50% (F3) terhadap penilaian panelis untuk atribut warna.

18

Aroma

Aroma adalah suatu penilaian terhadap bau yang ditimbulkan oleh makanan dan dapat mempengaruhi selera seseorang untuk memakannya Aroma dapat diterima oleh sistem olfaktori melalui substansi yang ada didalam mulut dan biasanya disebabkan oleh senyawa folatil yang terkandung dalam produk tersebut (Meilgaard et al. 2006). Berdasarkan atribut aroma, nilai modus penilaian untuk semua formula (F0, F1, F2, F3) adalah 5 (suka). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan jumlah penambahan bubur rumput laut kedalam setiap formula tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap penerimaan panelis pada atribut aroma bakso daging sapi. Artinya, panelis memiliki penilaian yang hampir sama atau suka terhadap aroma dari semua formula bakso yang disajikan.

Winarno (1997) menjelaskan aroma dalam suatu makanan biasanya di pengaruhi oleh adanya penambahan bumbu-bumbu atau bahan tertentu yang memiliki bau khas dan bersifat folatil. Semua formulasi bakso daging sapi menggunakan bahan berupa daging sapi dan bumbu-bumbu dalam jumlah yang sama, hal ini yang mungkin menyebabkan penerimaan panelis terhadap atribut aroma memiliki nilai yang sama dan tidak adanya pengaruh nyata (p>0.05) penambahan rumput laut terhadap aroma bakso yang dihasilkan.

Hasil uji mutu hedonik terhadap atribut aroma menunjukkan bahwa, nilai modus penilaian adalah 5 (kuat tercium) untuk F0 dan nilai 4 (normal khas daging) untuk F1, F2, dan F3. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan tidak adanya pengaruh nyata (p>0.05) penambahan rumput laut sebesar 30% (F1), 40% (F2), dan 50% (F3) terhadap atribut aroma, panelis menilai bahwa ketiga formula bakso daging tersebut memiliki aroma khas bakso daging. Hal ini disebabkan proses pencucian dan perendaman yang baik akan menghasilkan rumput laut yang tidak berbau amis (Chaidir 2007; Ubaedillah 2008).

Rasa

Rasa adalah suatu penilaian terhadap suatu yang dirasakan melalui indera pengecap, yaitu lidah. Penginderaan cecapan dapat dibagi menjadi empat cecapan utama yaitu asin, asam, manis, dan pahit. Rasa makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup-kuncup cecapan yang terletak pada papilla yaitu bagian noda merah jingga pada lidah. Adanya penambahan bahan-bahan tertentu pada suatu produk dapat mempengaruhi apa yang dirasakan (Winarno 2008). Rentang nilai yang digunakan dalam penilaian hedonik (kesukaan) berkisar dari 1 (sangat tidak suka) sampai 7 (sangat suka).

Berdasarkan atribut rasa, nilai modus penilaian panelis berada pada nilai 5 (suka) untuk F0 dan F2, 4 (cukup suka/biasa) untuk F1, dan nilai 2 (tidak suka) untuk F3. Hasil uji nonparametrik Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan jumlah penambahan bubur rumput laut pada F1 (30%) dan F2 (40%) tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap penerimaan rasa bakso oleh panelis. Namun pengaruh yang nyata (p<0.05) ditemukan pada penilaian panelis untuk atribut rasa bakso dengan penambahan bubur rumput laut 50% (F3) dibandingkan formula lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh, semakin banyak jumlah rumput laut yang ditambahakan pada adonan bakso daging sapi, menyebabkan rasa khas daging sapi semakin berkurang, sehingga penambahan bubur rumput laut sebanyak 50% (F3) mendapatkan nilai 2 (tidak suka).

19 Uji nonparametrik Kruskal Wallis menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (p>0.05) bakso dengan penambahan 0% (F0), 30% (F1), dan 40% (F2) rumput laut Glacilaria sp. terhadap penilaian panelis untuk atribut rasa mutu hedonik. Nilai modus penilaian atribut rasa mutu hedonik untuk F0 dan F2 adalah 4 (gurih khas produk bakso), sementara untuk F1 adalah 5 (agak masam rumput laut). Namun perbedaan nyata (p<0.05) penilaian panelis terhadap F3 dibandingkan bakso formula lainnya, dengan rata-rata nilai modus yang diberikan untuk atribut rasa F3 adalah 2 (Hambar). Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya penambahan rumput laut sebanyak 50% dari total adonan bakso yang membuat rasa gurih khas bakso berkurang sehingga panelis memberikan penilaian bahwa bakso F3 memiliki rasa yang hambar.

Tekstur

Tekstur adalah penilaian atau penginderaan yang dihasilkan melalui sentuhan atau rabaan. Secara tidak langsung, tekstur dari suatu produk dapat mempengaruhi citra makanan bila dilihat secara fisik. Winarno (2008), menjelaskan bahwa salah satu faktor penting dalam penentuan mutu bahan pangan adalah tekstur dari pangan tersebut. Tekstur bersifat kompleks dan terkait dengan struktur bahan yang terdiri dari tiga elemen yaitu mekanik (kekerasan, kekenyalan), geometrik (berpasir, beremah), dan mouthfeel (berminyak, berair) (Setyaningsih et al. 2010). Berdasarkan atribut tekstur, nilai modus penilaian untuk F0 dan F1 adalah 4 (cukup suka/biasa), sementara nilai modus penilaian untuk F2 dan F3 bernilai 3 (agak tidak suka). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan jumlah penambahan bubur rumput pada bakso F0 dan F1 memberikan pengaruh yang tidak nyata (p>0.05) terhadap penilaian panelis pada atribut tekstur bakso. Sementara, perbedaan jumlah penambahan bubur rumput laut pada F2 dan F3 menunjukkan hasil yang tidak memberikan pengaruh nyata (p>0.05) terhadap penilaian panelis pada tekstur bakso F2 dan F3.

Tekstur merupakan salah satu atribut penting dalam penilaian produk bakso yang dihasilkan. karena tekstur kenyal merupakan ciri khas bakso. Hasil uji mutu hedonik atribut tekstur menunjukkan nilai modus penilaian untuk F0 adalah 6 (agak keras), sementara penambahan rumput laut dengan taraf berbeda menyebabkan penurunan tingkat kekenyalan yang dinilai secara subjektif oleh panelis. Nilai nilai modus untuk F1, F2, dan F3 adalah 2 (lembek), hal ini berkaitan dengan penambahan rumput laut dengan kadar air yang cukup tinggi menyebabkan bakso yang dihasilkan agak lembek. Winarno (1990) menjelaskan bahwa, kandungan air dalam rumput laut cukup tinggi yaitu 80-90%. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan terdapat perbedaan nyata (p<0.05) untuk setiap formula bakso terhadap penilaian panelis untuk atribut tekstur.

Aftertaste

Aftertaste adalah sensasi yang tertinggal setelah makanan tertelan seluruhnya (Setyaningsih 2010). Aftertaste yang terbentuk pada uji organoleptik memfokuskan pada aftertaste masam khas rumput laut yang mungkin tertinggal yang berasal dari bubur rumput laut yang ditambahkan dibandingkan dengan aftertaste khas daging yang timbul setelah makan bakso. Berdasarkan atribut aftertaste dari produk bakso daging sapi maka nilai modus penilaian untuk F0 memiliki nilai 5 (suka), sementara nilai modus penilaian untuk F1, F2, dan F3

20

memiliki nilai 4 (agak suka/biasa). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan jumlah penambahan bubur rumput laut F1 (30%), F2 (40%), dan F3 (50%) tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap penerimaan panelis pada aftertaste bakso daging sapi.

Hasil uji mutu hedonik untuk atribut aftertaste menunjukkan nilai nilai modus untuk semua formula bakso adalah 5 (terasa agak masam rumput laut). dengan persentase modus yang dihasilkan berbeda-beda mulai 28.6% - 48.6%. Hasil uji nonparametrik Kruskal Wallis menunjukkan tidak ada pengaruh nyata (p>0.05) penambahan jumlah rumput laut produk bakso F0, F1, dan F2 serta F1, F2, dan F3 terhadap penilaian panelis untuk atribut aftertaste mutu hedonik. Namun terdapat perbedaan nyata (p<0.05) penilaian panelis untuk produk bakso F0 dengan F3 pada atribut aftertaste mutu hedonik.

Berdasarkan sebaran hasil uji hedonik dapat diketahui persentase penerimaan panelis terhadap produk bakso yang disajikan. Persentase penerimaan panelis merupakan perbandingan jumlah panelis yang memberi nilai dengan skala 4 (agak suka), 5 (suka), 6 (sangat suka), dan 7 (sangat suka sekali) terhadap total panelis. Persentase penerimaan panelis terhadap produk bakso disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Persentase penerimaan panelis terhadap produk bakso

Formula Persentase penerimaan (%)

Warna Aroma Rasa Tekstur Aftrertaste

F0 (0%) 48.6a 82.9a 82.9a 72.9a 70.0a

F1 (30%) 84.3b 82.9a 74.3a 57.1a 75.7a

F2 (40%) 82.9b 80.0a 67.1a 40.0a 65.7a

F3 (50%) 75.7b 70.0a 44.3b 31.4a 52.9a

Keterangan: F0 = 0% penambahan bubur rumput laut (kontrol), F1 = 30% penambahan bubur rumput laut, F2 = 40% penambahan bubur rumput laut, dan F3= 50% penambahan bubur rumput laut. Huruf yang beda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).

Secara umum, persentase penerimaan panelis terhadap warna bakso daging sapi berada pada rentang nilai 48.6-84.3 %. Warna bakso yang paling tinggi persentase penerimaannya adalah F1 (penambahan 30%), sementara warna bakso yang paling rendah persentase penerimaannya adalah F0 (kontrol), hal ini mungkin disebabkan oleh penggunaan daging sapi segar yang berwarna merah kuat sehingga mempengaruhi warna bakso yang cenderung lebih gelap warnanya dibandingkan bakso lain dengan adanya penambahan bubur rumput laut pada taraf yang berbeda. Berdasarkan hasil sidik ragam diketahui bahwa penambahan bubur rumput laut dengan taraf yang berbeda pada F1, F2, dan F3 tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) pada persentase penerimaan panelis terhadap atribut warna bakso, namun tidak adanya penambahan rumput laut pada F0 (kontrol) memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap persentase penerimaan panelis pada atribut warna bakso.

Persentase penerimaan panelis pada atribut aroma dari bakso daging sapi berada pada kisaran nilai 70.0-82.9 %, yang berarti hampir semua panelis dapat menerima bakso daging sapi berdasarkan atribut aroma. Persentase penerimaan tertinggi adalah untuk F0 dan F1, yang dianggap memiliki aroma khas bakso daging sapi yang baik. Hasil sidik ragam menunjukkan dengan atau tanpa adanya

21 penambahan bubur rumput laut, tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terdapat persentase penerimaan panelis pada atribut aroma bakso. Atribut rasa menjadi salah satu bagian penting yang harus diperhatikan dalam persentase penerimaan karena pada akhirnya akan menentukan apakah produk bakso rumput laut dapat dikonsumsi atau tidak. Persentase penerimaan panelis terhadap rasa yaitu pada kisaran 44.3-82.9 %. F0 menjadi produk dengan persentase penerimaan yang paling tinggi, diikuti oleh F1 (74.3%) dan F2 (67.1%).

Hasil sidik ragam menunjukkan nilai yang tidak signifikan (p>0.05) untuk produk bakso F0, F1, dan F2 yang artinya, tidak terdapat pengaruh nyata terhadap persentase penerimaan panelis untuk atribut rasa bakso F0, F1, dan F2. Sementara, jumlah penambahan rumput laut sebanyak 50% dari total adonan (F3) menunjukkan adanya pengaruh nyata (p<0.05) terhadap persentase penerimaan panelis untuk atribut rasa. Sama halnya dengan atribut aroma, hasil sidik ragam untuk atribut tekstur dan aftertaste menunjukkan tidak adanya pengaruh nyata (p>0.05) persentase penerimaan panelis terhadap atribut tekstur dan aftertaste bakso daging sapi untuk semua formula.

Penentuan Formula Bakso Daging Sapi Terpilih

Hasil uji hedonik dan mutu hedonik bakso daging sapi dijadikan sebagai salah satu pertimbangan untuk menentukan formula bakso terpilih yang akan digunakan dalam penelitian selanjutnya. Kedua uji yang digunakan menunjukkan hasil yang tidak signifikan, sehingga tahap penentuan formula bakso terpilih adalah dengan menggunakan penilaian berdasarkan atribut keseluruhan. Atribut keseluruhan diperoleh dengan cara pembobotan yang dibuat oleh peneliti dengan mempertimbangkan aspek terkait penerimaan panelis dan sasaran terhadap produk yang dihasilkan. Nilai keseluruhan dihitung dengan menjumlahkan kontribusi dari masing-masing atribut penilaian. Bobot yang diberikan untuk setiap atribut berbeda yaitu 30% untuk rasa dan tekstur, 15% untuk aroma dan aftertaste, dan 10% untuk warna. Berdasarkan hasil pembobotan, dapat diketahui bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap produk bakso untuk setiap formulasi (Gambar 4).

22

Gambar 4 menunjukkan bahwa berdasarkan atribut keseluruhan tingkat kesukaan panelis tertinggi adalah bakso tanpa adanya penambahan bubur rumput laut (F0 = kontrol). Semakin banyak jumlah penambahan bubur rumput laut dalam adonan bakso, maka tingkat kesukaan berdasarkan atribut keseluruhan adalah semakin rendah. Hasil sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh nyata (p<0.05) penambahan bubur rumput laut terhadap kesukaan panelis berdasarkan atribut keseluruhan. Tiga formula bakso yang memiliki penilaian tertinggi adalah F0, F1, dan F2. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perbedaan jumlah penambahan bubur rumput laut pada F1 (30%) dan F2 (40%) tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap tingkat kesukaan panelis berdasarkan atribut keseluruhan. Sehingga, dengan mempertimbangkan faktor besar persentase penambahan bubur

Dokumen terkait