• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tori Kepentingan (Expactency Value Tori)

2.4 Sertfikasi Dan Labelisasi Produk Halal

terlepas dari sesuatu yang di haramkan begitu juga dengan proses dan cara mendapatkannya. Allah berfirman pada Al-Qur’an surah Al Baqoroh (2: 168) : Artinya :‘’ Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi ,dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. Dan di nyatakan dengan hadist Rasullah. “ Sesungguhnya yang halal itu sudah jelas, dan haram itupun sudah jelas sedangkan di antara keduanya terdapat sesuatu yang samar (syhubhat). Kata halalan, menurut bahasa Arab berasal dari kata, halla yang berarti “lepas” atau “tidak terikat”. Secara etimologi kata halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya.Allah memberikan batasan-batasan antara yang halal dan yang haram jelas tertera melalui Al-qur’an dan hadist. Untuk memberikan kejelasan yang jelas kepada umat terhadap hal-hal yang samar para ulama mengeluarkan fatwa. Fatwa berarti penjelasan menurut istilah penjelasan tentang hukum syara’.

Sistem produksi halal perlu di lakukan untuk menjamin kehalalan suatu produk. Setiap produk yang dikonsumsi harus memenuhi standar halal dapat dilihat dari bahan produksi, proses, fasilitas fisik, peralatan produksi,dan manajemen produksi harus memenuhi kriteria. Kehalalan setiap produk konsumsi dilihat baik dan halal secara zatnya ataupun cara memperolehnya.

2.4 Sertfikasi Dan Labelisasi Produk Halal

Produk konsumsi memerlukan fatwa MUI untuk mendapatkan labelisasi halal dan disahkan oleh Mentri Agama melalui pemeriksaan halal dengan

menyertakan sertifikat halal kepada pemohon dengan tembusan Badan Pengawas Obat Dan Makanan (BPOM). Sementara penetapan struktur biaya sertifikasi halal ditetapkan oleh Mentri Keuanagan terhadap permohon atas usul Menteri Agama. Sertifikasi halal berlaku selama 2 tahun dan diperbaharui sesuai dengan perundang-undangan, pengawasanya di lakukan oleh lembaga pemeriksa halal. Dan jika pada saat pemeriksaan ditemukan pelanggaran maka lembaga pemeriksaan halal berhak untuk menyabut sertifikasi halal.

Sertifikasi halal dan label halal merupakan dua kegiatan yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan satu sama lain. Sertifikasi halal dapat didefenisikan sebagai suatu kegiatan pengujian secara sistematik untuk mengetahui suatu barang yang diproduksi oleh suatu perusahaan telah memenuhi ketentuan halal. Hasil dari kegiatan sertifikasi halal adalah diterbitkannya sertifikasi halal, dan produk yang dimaksud telah memenuhi ketentuan sebagai produk halal. Sertifikasi halal dilakukan oleh lembaga yang mempunyai otoritas untuk melaksanakannya, Tujuan akhir dari sertifikasi halal adalah adanya pengakuan secara legal, formal, bahwa produk yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan syariat dan aman untuk dikonsumsi

Tidak semua produk konsumsi memiliki sertifikasi halal, dan untuk terdaftar dan memiliki jaminan labelisasi halal dari lembaga POM ada beberapa fase yang harus di lalui oleh perusahaan atas produknya. Seperti yang tertera dalam sebuah sekema struktur sisitem penerbitan sertifikasi halal sebagai berikut.

Gambar 2.1 Sruktur sistem penerbirtan sertifikasi Label Halal Sumber : Majelis Ulama Indonesia ( MUI )

UU Pasal 10 ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang memproduksi dan memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label. Sedangkan pasal 11 ayat 1 menyatakan bahwa untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 10 ayat 1, setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat-ayat tersebut mempertegas penjelasan dari UU pangan pasal 30 ayat 2 yaitu pencantuman keterangan atau tulisan halal pada label pangan merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan

pangan kedalam wilayah Indonesia menyatakan bahwa produknya halal bagi umat Islam.

Sertifikasi dan penandaan kehalalan baru menjangkau sebagian kecil produsen di Indonesia. Data Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia pada tahun 2005 menunjukan bahwa tidak lebih dari 2000 produk yang telah meminta pencantuman halal kepada MUI menunjukkan bahwa permohonan sertifikasi halal selama 11 tahun terakhir tidak lebih 8000 produk dari 870 produsen di Indonesia. Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, bahan pangan diolah melalui berbagai teknik pengolahan dan metode pengolahan baru dengan memanfaatkan kemajuan teknologi sehingga menjadi produk yang siap dipasarkan untuk dikonsumsi masyarakat di seluruh dunia. Sebagian besar produk industri pangan dan teknologi pangan dunia tidak menerapkan sistem sertifikasi halal.

Barang-barang produksi mengalami persaingan ketat dengan barang-barang produksi negara asing seperti Malaysia dan Singapura yang telah merambah ke pasar Indonesia dan memiliki sertifikasi yang di akui keabsahanya. Hal ini mengancam produksi domestik, masyarakat akan di hadapi pilihan dengan lebih banyak macam produk yang bersifat homogen dari berbagai merek dan asal produksi negara domestik dan asing. Selain kualitas produk-produk konsumsi domestik perlu meningkatakan kualitas dan sertifikasi yang baik untuk dapat bersaing dengan produk asing. Label halal yang ada pada kemasan produk yang beredar di Indonesia adalah sebuah logo yang tersusun dari huruf-huruf Arab yang membentuk kata halal dalam sebuah lingkaran.

Gambar 2.2 Logo Halal MUI Sumber : Majelis Ulama Indonesia

Peraturan pelabelan yang dikeluarkan Dirjen POM (Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan) Departemen Kesehatan Republik Indonesia, mewajibkan para produsen-produsen produk makanan untuk mencantumkan label tambahan yang memuat informasi tentang kandungan (ingredient) dari produk makanan tersebut. Budi fitriadi( 2004:04).

Aturan tentang Label dan iklan pangan kemudian diperinci didalam peraturan pemerintah no 69 tahun 1999 tentang label dan iklan pangan pada pasal 3 ayat 2, persyaratan minimal keterangan yang harus tercantum dalam label tidak lagi mencantumkan keterangan halal sebagai salah satu persyaratan sebagai mana yang tercantum dalam UU pangan pasal 30 ayat 2. Didalam peraturan pemerintah ini aturan tentang label halal termaktuk didalam pasal 10 dan pasal 11.

Keputusan Mentri Agama (KMA) Nomor 518 Tahun 2000 tentang pedoman dan tata cara pemeriksaan produk Halal, KMA Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi dan menggunakan produk halal merupakan tantangan yang perlu di respon oleh pemerintah dan pelaku usaha

Indonesia. Hal ini berkaitan dengan adanya keputusan pemerintah dan produsen terkait dan berpengaruh kepada sikap atau perilaku konsumen terhadap produk konsumsi tersebut.

Pada umumnya konsumen muslim lebih selektif dalam memilih produk berkualitas baik dengan disertai labelisasi dan sertifikasi halal yang terakreditasi secara baik dan dapat di pertanggung jawabkan. Labelisasi halal yang secara prinsip adalah label yang menginformasikan kepada pengguna produk yang berlabel tersebut, bahwa produknya benar-benar halal dan nutrisi-nutrisi yang dikandungnya tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan secara syariah sehingga produk tersebut boleh dikonsumsi. Dengan demikian produk-produk yang tidak mencantukam label halal pada kemasannya dianggap belum mendapat persetujuan lembaga berwenang (LPPOM-MUI) untuk diklasifikasikan kedalam daftar produk halal atau dianggap masih diragukan kehalalannya. Ketidak adaan label itu akan membuat konsumen Muslim berhati-hati dalam memutuskan untuk mengkonsumsi atau tidak produk-produk tanpa label halal tersebut.

Produk pangan, obat, kosmetika, dan produk lain berasal dari luar negeri yang di impor di Indonesia berlaku sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagai mana di atur dalam keputusan MUI Indonesia. Sertifikasi halal yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi luar negri dapat di akui setelah melakukan perjanjian saling pengakuan yang berlaku timbal balik (re-ciprocal), penilaian terhadap lembaga sertifikasi, dan tempat proses produksi. Perjanjian tersebut di lakukan oleh Mentri Agama dan badan yang berwenang di luar negeri sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dokumen terkait