• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seruas rizoma tanpa henti menciptakan hubungan di antara

Dalam dokumen RUANG 9 vol 2 refleksi (Halaman 44-49)

rantai semiotik, organisasi kuasa, dan

keadaan sekitar terkait seni, sains, dan

perjuangan sosial.”

–Gilles Deleuze & Felix Guattari,

A Thousand Plateaus, 1987. Hal. 7

“Pohon adalah ilial, namun rizoma adalah aliansi unik. Pohon

menyertakan kata kerja ‘menjadi,’ namun jalinan rizoma adalah

konjungsi, ‘dan…dan…dan.’ Konjungsi ini mengandung cukup daya

untuk mengguncang dan mencabut akar kata kerja ‘menjadi’…”

43 ruang | kreativitas tanpa batas

Baik atau buruk hanyalah hasil dari seleksi aktif dan sesaat, maka kesempatan harus terus diperbaharui, dan dengan demikian tak ada tempat bagi dualisme Manichaean [1] yang hitam-putih.

Metaisika rizoma adalah tataran yang imanen, membedakannya dengan yang transenden. Pada tataran tersebut berlaku sebuah proses yang disebut misapropriasi, yang digambarkan seperti pencurian tanpa akuisisi. Tidak seperti prosesi pencurian konvensional yang melibatkan akuisisi, perpindahan kepemilikan untuk meningkatkan akumulasi kapital, proses misapropriasi menjelaskan suatu proses ekstraksi yang sementara dari sebuah konteks ke konteks lainnya, dari milieu ke milieu. Demikian dinamika internal menciptakan kapasitas baru untuk menghasilkan. Inilah proses kreatif rizomatis, seperti ribuan bengkel kerja, ribuan dataran tinggi, ribuan plato.

Rizoma adalah struktur lorong prosesi yang lebih banyak memiliki pintasan dan putar-balikan daripada jalur yang lurus dan langsung. Ia adalah sistem lorong yang menyediakan ceruk-ceruk bagi tabir-tabir, bagi ruang kontingensi, bagi pertemuan-pertemuan tak-terduga. Koneksi dan heterogenitas adalah prinsip. Ia adalah ruang multiplisitas yang melipat-ganda, mencerap stimuli, merespon tantangan, di tengah susutnya kausalitas.

Tanpa desain sistem terbuka atau mutasi, evolusi tidak akan berlangsung. Tanpa pertemuan tak-terduga, kejutan, surprise, atau kekagetan, maka tidak akan ada peluang untuk regenerasi. Dengan demikian elemen kekagetan menjadi krusial dalam menjaga inersia sistem untuk terus menyediakan potensi penuhnya; ruang-ruang bagi proses kreatif. Tetapi, dia juga lantas menghadirkan paradoks dan situasi ambigu; dia bisa menghasilkan kesepahaman, juga ketidaksepahaman.

Now you see, now you don’t. Stereogram hutan bambu di Nankin, Cina.

44

edisi #9: Komunitas

milieu lain; prinsip dekalkomania [2]. Proses ini melibatkan transgresi antar teritorial, dalam melintasi batas-batas konvensional. Maka proses deteritorialisasi dan reteritorialisasi menggerakkan arus material, sosial, dan mikropolitis secara terus-menerus, konstan; sebuah lux. Seperti pengalaman imajiner saat

membaca biograi seorang pengelana

muka bumi, sebagaimana alur pikiran orang nomaden; nomadologi.

Arus perpindahan menemukan

relevansi pada geograi dan demograi.Tercatat lebih dari separuh

penghuni bumi termasuk dalam kategori urban. Kampung kota, yang seringkali digusur, adalah kemenangan atas individualisme yang melazim di kota, ia menjadi benteng terakhir bagi kemandirian, nilai-nilai lokal, kultural, tentang identitas, kolektivitas, modal sosial, dan lain-lain. Pembenaran moral akademiknya ada pada traktat Setiap plato adalah sebuah orkestrasi

yang terdiri dari elemen-elemen layaknya kepingan batu bata yang diekstrak dari setiap situs-situs reruntuhan, sumber informasi, pengetahuan, dan pengalaman lain. Dia adalah sebuah rakitan, brikolase, yang di dalam dirinya terkandung vektor-vektor dan segala bentuk potensi untuk terus hidup, berkembang, dan mengorganisasi diri. Sebagaimana halnya sebutir telur, dia adalah Tubuh tanpa Organ (TtO) dalam proses menjadi. TtO bukan sebuah organisme, juga bukan sebuah organisasi, melainkan sebuah ruang bagi eksperimen organ yang berlainan dan organisasi yang berlainan.

Kinerja moda berpikir rizomatis berkaitan dengan cara-cara mentransfer satu konsep ke konsep lain, dari satu disiplin ke disiplin lain. Dengan demikian suatu fungsi dapat dicangkokan ke konteks atau

Balai warga di Kampung Jatimulyo, Yogyakarta. (Andrea Fitrianto, 2012)

45 ruang | kreativitas tanpa batas

Hak atas Kota dan Keadilan Spasial. Dan perlawanan dari kampung kota, klaimnya atas ruang kota, sudah menjadi fenomena global; Claiming the City.

Seperti halnya kampung miskin kota, sebagai komunitas akar rumput, menjadi sebuah simpul pada sistem rizoma. Demikianlah cara entitas sosial bernavigasi di kota-kota pada masa kini. Kampung kota yang miskin, padat, dan informal hadir dan akan selalu hadir. Mereka terus dan terus berkembang biak, melipat ganda, dan bertukar posisi dengan eksterioritasnya; konstan tanpa akhir. Dalam setiap kampungada kohesi yang dinamis dengan kota sebagai lingkungannya. Kampung kota adalah sebuah plato.

Kampung kota adalah ruang berkreasi seorang arsitek, seniman, warga, guna menjadi manusia pembuat, si tukang, homo faber. Maka, perlu pengetahuan tersendiri untuk bekerja di ruang rizoma, seperti studi tentang gerak, tentang menanti, dan etos dalam mengantisipasi. Karenanya, peta lokal akan lebih berguna dibanding peta global. Prosesi adalah lazim dan perubahan adalah sebuah kepastian, maka untuk menentukan arah perlu mata-ketiga, intuisi, atau mata batin; kontemplasi.

Komunitas tumbuh secara organik di setiap momen kegagalan pembangunan terencana. Hunian-hunian ad-hoc, spontan, irregular, atau informal terbentuk atas dasar kebutuhan. Misalnya, oleh mereka yang mengisi relung-relung kosong,

seperti ruang-ruang sisa di kota-monumen Chandigarh, The White Building di Phnom Penh, The Walled City di Kowloon, atau konstruksi pencakar langit yang tidak selesai, karena pemodalnya keburu bangkrut terinterupsi oleh resesi ekonomi, Torre David di Caracas.

Di Torre David, kaum miskin kota mengokupasi lantai-lantai pencakar langit dengan meletakkan dan menata sekat-sekat, memberi kehidupan di antara kerangka kolom-lantai beton yang usang. Kampung miskin memenuhi kebutuhan dasarnya untuk bertahan hidup di kota. Rancangan dan penataan mereka jauh dari sempurna. Karenanya tidak

jarang mereka menyertakan maia,

meminggirkan akuntabilitas, institusi, dan demokrasi pada kategori utopia, bersama-sama dengan negara serta segala rezim perencanaannya. Maka, kegagalan perencanaan dan arsitektur adalah kejayaan populer atau kemenangan rakyat dan sama sekali bukan anomali. Maka, Rem Koolhaas membawa serombongan mahasiswa Harvard berkunjungan-belajar ke Lagos, Nigeria demi menyaksikan kegagalan kota-terencana dengan perspektif helikopter yang sinis-nyaris-fatalis; membaca Lagos dari ketinggian sebagai sebentuk ketangguhan, kesempatan, inspirasi, bagi masa depan yang spekulatif.

Lewat sebuah percakapan, Nenek Dela, warga kampung kota, tampil

sebagai tokoh sentral pada ilm

dokumenter Jakarta Disorder karya

46

edisi #9: Komunitas

Potongan sekolah alam di Bogor. (Andrea Fitrianto, 2013)

sudah tiga kali digusur selama berada

Jakarta. Rasdullah, penarik becak

yang di tahun 2002 mencalonkan

diri sebagai gubernur Jakarta, bahkan

sudah tujuh kali digusur. Di sini kita mesti cermat: bertahan hidup adalah prinsip, sedangkan digusur adalah konsekuesi. Bersama kaumnya, Nenek Dela dan Rasdullah tinggal di bantaran sungai, bantaran kanal, waduk, rel kereta, di bawah sutet, di kolong tol, di lahan terlantar, di lahan spekulasi, yang semuanya merupakan tataran, strata, khusus

bagi kampung miskin di Jakarta.

Terkait kelangkaan lahan sebagai sumber daya kota yang paling krusial, Nenek Dela, Rasdullah, dan keluarga termiskin kota umumnya hidup nomaden. Setiap saat mereka harus siap berhadapan, bertukar teritori, bertukar penguasaan dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP),

aparat rezim keindahan dan ketertiban sekaligus aparatus otoritas formal kota.

Pada ruang komunitas, organisasi setempat, arsitek, dan warga bersekutu untuk mengadakan eksperimen kreatif, seringkali dengan bahan lokal dan organik, dengan teknik-teknik yang juga bagian dari tradisi. Misalnya, pada sekolah yang dirancang Diébédo Francis Kéré di Gando, Mali; pusat interpretasi Mapungubwe di Afrika Selatan rancangan Peter Rich yang menggunakan teknik kubah yang merupakan warisan kultural berumur 600 tahun; museum yang dibangun dari puing-puing karya Wang Shu

di Cina; redeinisi arsitektur bambu

yang modern lewat tangan dingin Simón Vélez di Kolombia; dan taktik menghidupkan kembali tradisi sekaligus mitigasi bencana à la

47 ruang | kreativitas tanpa batas

“Kadangkala kami bekerja secara

Dalam dokumen RUANG 9 vol 2 refleksi (Halaman 44-49)

Dokumen terkait