• Tidak ada hasil yang ditemukan

RUANG 9 vol 2 refleksi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "RUANG 9 vol 2 refleksi"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

1 ruang | kreativitas tanpa batas

RUANG

KOMUNITAS VOL. 2

R E F L E K S I

(2)

2

(3)

3 ruang | kreativitas tanpa batas

RUANG #9:

KOMUNITAS

vol. 2: Refleksi

Dam Hee Kim

Ya Han Tu

Ahmad Nazmi

Ivan Nasution

Sigit Kusumawijaya

Yoppy Pieter

Andrea Fitrianto

Robert Dujmovic

Yusni Aziz

Kamil Muhammad

(4)

Setiap individu terlahir dalam sebuah kehidupan kolektif yang dikenal dengan nama “komunitas.” Secara eksplisit maupun implisit; ilmu, budaya, dan cara hidup sebuah komunitas akan tercetak dalam diri individu.

Komunitas terbentuk dari kesamaan latar belakang dan visi untuk mencapai tujuan bersama, dengan bergerak cepat dari bawah ke atas, kadang memangkas jalur birokrasi hirarkis yang berbelit. Kemudian, dialektik ruang maya kini hadir; memecah dan membentuk komunitas pada saat yang bersamaan. Individualisme meningkat, masyarakat makin acuh tak acuh dengan sekelilingnya. Di sisi lain, berkatnya, pembentukan komunitas tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu.

Dalam Ruang edisi 9 kategori “Releksi”, kami menyuguhkan serangkaian upaya para akademisi, praktisi,

pengamat, maupun mereka yang berada di tengah-tengah komunitas untuk memaknai kembali apa yang selama ini mereka catat, rekam, dan rasakan. Sembilan artikel yang akan kami terbitkan sepanjang bulan November ini akan mengantar kita untuk tidak hanya berpikir kembali, tetapi juga mengalami lebih dalam melalui sudut pandang tiap kontributor akan tantangan yang dihadapi komunitas dalam pemahaman mereka.

Yusni Aziz dalam artikelnya “Di Balik Pintu Surga Persia” yang dimuat di koran Tempo

mengawali wacana dengan pengalamannya mengamati fenomena yang ia amati pada masyarakat Persia dari sebuah bangunan arsitektural khas timur tengah: masjid. Kemudian Robert Dujmovic

mewacanakan hal serupa dalam pengamatannya tentang “Architecture and Community”,

menitikberatkan hubungan sebab-akibat antara keduanya. Sementara Yoppy Pieter memberi suguhan esai foto bertajuk “Teater Tribal Bumi Takpala” tentang suasana kampung tribal di

Alor, dan dinamika di dalam komunitas mereka di tengah arus modernitas. Di artikel “Arsitektur Rizoma”, Andreas Fitrianto membahas seluk-beluk arsitektur akar-rumput dengan pemaknaan dan pengemasan yang unik. Lalu Sigit Kusumawijaya menjabarkan perkembangan ruang publik di dunia maya sebagai wadah baru yang membentuk komunitas-komunitas dalam kategori sosial-budaya tertentu di artikel “Komunitas Online di Era Media Sosial dan Perannya di dalam Menciptakan Ruang Publik”. Ivan Nasution memberikan gambaran komunitas pendatang di negeri asing yang mengokupasi ruang publik dalam jumlah besar sehingga menimbulkan sebuah fenomena dan menghadirkan karakter ruang yang baru, dalam esai foto “Minggu Pagi di Victoria Park: Sebuah Fenomena Eksklusi dan Inklusi”. Pengamatan lebih lanjut tentang tarik-menarik komunitas di antara ruang publik maya dan isik dengan studi kasus di Jepang dilakukan oleh

Dam Hee Kim, Ya Han Tu, dan Ahmad Nazmi dalam artikel “From Cyberspace to Cityscape: Virtual Communities and the City”. Yusni Aziz berupaya mendapat jawaban akan pertanyaan mengenai peranan arsitek dalam komunitas pada “Wawancara dengan Johan Silas”. Di akhir wacana, Kamil Muhammad menutup volume kedua edisi Komunitas ini dengan artikel “Traces”, berisi pemikirannya seputar komunitas dalam pengalamannya menjadi sukarelawan di

komunitas Ciliwung Merdeka.

Kami berharap serangkaian artikel di atas akan membawa kita semua untuk mereleksikan dan meredeinisi pemahaman tentang “komunitas” dengan lebih bijak, bagaimanapun istilah tersebut

dimaknai dalam setiap konteks yang disuguhkan oleh setiap kontributor. Karena pada akhirnya, setiap kita terlahir dalam sebuah kehidupan kolektif yang merepresentasikan ilmu, budaya, dan cara hidup tertentu (dan terkadang, kontradiktif satu dan yang lain) dalam setiap gerak-gerik. Hingga kembali ke diri kitalah, kompromi antara apa yang kita pahami dan apa yang selama ini melatarbelakangi kehidupan kita harus diputuskan.

Selamat menikmati Ruang!

PEMBUKA

(5)

Di Balik Pintu Surga Persia Yusni Aziz.

Architecture: For Elites or Community? Robert Dujmovic.

Teater Tribal Bumi Takpala Yoppy Pieter

Arsitektur Rizoma Andrea Fitrianto

Komunitas Online di Era Media Sosial dan Perannya di Dalam Menciptakan Ruang Publik

Sigit Kusumawijaya

Minggu Pagi di Victoria Park: Sebuah Fenomena Inklusi dan Eksklusi Ivan Nasution

From Cyberspace to Cityscape: Virtual Communities and the City

Ahmad Nazmi, Dam Hee Kim, Ya Han Tu

Traces

Kamil Muhammad

Secangkir Teh Bersama Johan Silas: Peran Bisnis dan Komunitas Untuk Kota

Yusni Aziz.

ISI

vol.2: Refleksi

esai

esai

esai esai

esai

esai

esai

wawancara esai

7

19

29

41

53

65

73

85

(6)

1. YOPPY PIETER

Based in Jakarta, Indonesia. Yoppy Pieter is a photographer who documents social issues and travel. His interests led him to work as an advertising coordinator at a travel magazine in 2004. Three years later he began to pursue photography as a medium to channel his passion. He took some photography training in PannaFoto Institute, Permata Photojournalist Grant, and the Angkor Photo Workshop. Since 2010, he has been working as freelance photographer and also a travel writer. His works are published in www. yoppycture.com

2. YUSNI AZIZ

Alumnus dari double-degree bachelor program kerjasama antara ITS dan Saxion Hogeschool of Applied Sciences. Kemudian menyelesaikan riset di Berlage Institute pada tahun 2013. Saat ini menjadi pengajar di UPH, peneliti di RAW dan manager OMAH library.

3. IVAN NASUTION Setelah lulus dari arsitektur ITB, kemudian bekerja di Park+Associates Architect. Telah menyelesaikan riset di Berlage Institute Rotterdam pada tahun 2011. Saat ini menjadi research assistant di Centre for Sustainable Asian Cities, NUS.

K O N T R I B U T O R

3 2

4

5

6

4. DAM HEE KIM

She graduated with a bachelor of Architecture from Kyonggi University and had completed an internship at Iroje KHM Architects participating in projects in Korea which had won the ARCASIA AWARDS 2007-2008. She graduated from The Berlage Center for Advanced Studies in Architecture and Urban Design, TU Delft in the spring of 2014.

5. YA HAN TU

She graduated from the architecture department of National Cheng Kung University, Tainan, Taiwan where she studied architectural design, history and theory . After working for two years, she joined the postgraduate program at The Berlage, Center for Advanced Studies in Architecture and Urban Design, TU Delft from which she graduated in the spring of 2014.

6.ANDREA FITRIANTO Andrea Fitrianto bekerja pada bidang teknologi alternatif bambu, perencanaan komunitas, dan pembangunan urban. Andrea menempuh pendidikan Arsitektur di UNPAR (1994), perkotaan di IHS Rotterdam (2007), dan pengembangan permukiman di HDM Lund (2010). Dia pernah bekerja di Aceh pasca tsunami, di Kenya pada sektor rural, di Jakarta dan di Surabaya tentang advokasi hak atas kota, di Davao dan Yogyakarta untuk perbaikan kampung informal. Saat ini Andrea adalah salah satu koordinator pada Community Architects Network (CAN), sebuah forum bagi arsitektur komunitas dalam konteks Asia.

(7)

10. ROBERT DUJMOVIC Born in Paris, 1969. I have dedicate most of my life to aiming for improvement of world justice, protection of victims of war crimes, and the most vulnerable ones - women and children. I was actively involved in work of German humanitarian organization, Senegal Hilfe Verein (SHV), with which I contributed to numerous projects, building workshop compound, water towers, schools, kindergartens, hospitals and so on. After the civil war in Balkans has ended, I went back and joined the United Nation peace-keepers. After few years of service in Croatia and Kosovo, I moved to Dili, East Timor , opening a new UN mission, where i worked in the special Court for war crimes. Paralely, with few colleagues I held several workshops related to basic health, and local community empowering leading to faster neighborhood’s recovery. After 5 years, I returned to Europe and have been working for International Criminal Court for the last 8 years, mainly in the area of protection and safety of victims of war crimes.

N A R A S U M B E R

11. JOHAN SILAS

Lulus dari jurusan arsitektur ITB di tahun 1963, dan kemudian menjadi pengajar dan pendiri Jurusan Teknik Arsitektur ITS Surabaya di tahun 1965. Pencetus KIP (Kampung Improvement Program)

ini memperoleh Habitat Scroll

of Honour dari UN Habitat atas “penelitian dan pengabdian dalam memberikan tempat bernaung bagi kaum miskin” di tahun 2005. 5. AHMAD NAZMI

He graduated from The Berlage, TU Delft with a thesis on generic architecture. After collaborating with the Brussels-based practice 51N4E, he is now based in Kuala Lumpur, Malaysia where he runs the research and design studio Normal Architecture and collaborates with Veritas Architects on their conceptual and research work. He is a visiting lecturer at the School of Architecture, Building & Design, Taylor’s University where he teaches undergraduate design studio.

8.SIGIT KUSUMAWIJAYA

Lahir di Jakarta pada 14 November 1981, Sigit Kusumawijaya lulus dari Delft University of Technology, Belanda, dan Jurusan Arsitektur dari Universitas Indonesia. Ia pernah bekerja di Ken Yeang; Andra Matin Architects; Mei Architecten & Stedenbouwers BV; dan PT MRT Jakarta. Saat ini Sigit adalah Principal Architect di perusahaan konsultan yang ia dirikan dengan nama sigit.kusumawijaya | architect & urbandesigner (www. sigitkusumawijaya.com). Dengan rekannya ia mendirikan komunitas Belajar Desain, dan menginisiasi Indonesia Berkebun. Ia pernah mendapatkan penghargaan Goggle Awards 2011: “Web-Heroes” dan

inalis untuk Ashoka Changemakers

2013 Saat ini menjadi Executive Steering Committee untuk Atap Jakarta – House Vision Indonesia..

9. M. INSAN KAMIL

(8)

R U A N G

Editorial Board : Ivan Kurniawan Nasution

Mochammad Yusni Aziz

Roianisa Nurdin

web : www.membacaruang.com

facebook : /ruangarsitektur

twitter : @ruangarsitektur

tumblr : ruangarsitektur.tumblr.com

email : akudanruang@yahoo.com segala isi materi di dalam majalah elektron-ik ini adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing penulis. penggunaan gambar untuk keperluan tertentu harus atas izin

pe-nulis.

(9)

DI BALIK PINTU

SURGA PERSIA

Sebuah tulisan tentang perjalanan arsitektur. Pencarian sisi lain masjid di Iran dalam keterkaitan-nya dengan politik penguasa.

Dua wanita menyusuri sepinya sore di bazar Isfahan. ©Yusni Aziz

ESAI INDONESIA

Arsitektur, Iran, Komunitas, Makna Arsitektur, Ruang Publik

(10)

S

ubuh sesampai di depan hotel, saya bergegas menuju medan Imam. Matahari masih enggan membagi seluruh sinarnya. Meski biasnya saja cukup membangunkan kawanan gagak yang ramai menyambut kami di langit pagi itu.

Letih sisa perjalanan dari Teheran tidak saya hiraukan lagi. Dengan ransel menggantung di pundak, langkah berlari kencang menuju monumen yang selama ini hanya saya kagumi lewat buku. Saya tidak ingin melewatkan menit saat kubah biru toskanya berubah keemasan oleh sinar matahari pagi. Saya tidak sabar untuk bertemu masjid Shah.

Tentu saja penjaga pintu masih tertidur. Saya hanya disambut oleh iwan1

raksasanya yang sangat ayu, bersama pintu gerbang kayu yang tenggelam di lautan keramik biru di sekujur dindingnya. Bibir seketika merekahkan senyum lebar. Kecantikannya langsung menghangatkan hati saya.

Hotel mungil kami di Isfahan hanya sekitar satu menit berjalan dari medan Imam, plasa di pusat kota Isfahan yang berdiri sejak abad ke-17. Pembimbing kami memilih tempat itu karena obyek riset kami banyak terletak di sekitarnya. Alhasil dengan mudah, saya kembali berkunjung di siang harinya.

Saya sendiri memilih fokus riset tentang masjid sebagai salah satu tipologi bangunan lokal Iran. Sebagai arsitek dari negara muslim terbesar di dunia, tentu masjid bukanlah bangunan asing. Namun melakukannya di Iran, salah satu dari empat republik Islam dunia, menjadi sangat menantang.

(11)

9 ruang | kreativitas tanpa batas

(12)

10

edisi #9: Komunitas

Esok pagi, saya ingin menengok untuk ketiga kalinya. Kedatangan kemarin siang belum membuahkan data yang saya harapkan. Kesalnya, saya harus mengalah kepada perayaan Ashura dari pemerintah. Masjid ditutup untuk umum. Reporter dan kamera televisi tersebar di segala penjuru, siap merekam. Bis parkir berbaris di sisi selatan maidan. “Mereka membawa

ratusan orang dari luar kota”, sahut

Golnar Abbasi, kawan Iran saya.

Ia lalu menambahkan, “Umumnya, banyak orang kota tidak mau hadir di perayaan Ashura, karena itu pemerintah membawa orang-orang dari kota kecil dengan bis. Namun tidak hanya terbatas di acara ini saja. Kebanyakan acara keagamaan pemerintah menjadi

seperti ini.”

Sederetan pertanyaan langsung timbul dalam benak saya.

Namun yang pasti, hari itu saya harus puas dengan memandangi gagahnya iwan masjid Shah dari jauh. Saya hanya bisa membayangkan kembali. Pelataran masjid yang banjir dengan keramik dan marmer biru di lantai, dinding, dan langit-langit lengkungnya. Taman cantik dengan pohon meranggas di dua sisi masjid. Kubah utama dengan patri pola

loral yang indah, yang menggemakan

suara saya ke seluruh penjuru masjid.

Jika diijinkan, saya ingin tidur semalam

di masjid Shah. Ia adalah rumah umat yang sangat mewah.

Namun, bayangan itu tetap tak dapat menghapus pertanyaan besar dalam pikiran saya. Mengapa masyarakat Iran membangun masjid secantik dan semegah ini? Haruskah? Apakah ada keterkaitannya dengan kepentingan penguasa jaman dulu, seperti yang saya saksikan di perayaan Ashura itu? Saya mencoba awali dari kata masjid itu sendiri.

Masjid berasal dari kata Sajada, yang

berarti “untuk bersujud”. Kata ini bisa

juga berarti ruang seseorang untuk bersujud atau beribadah. Sajada

(13)

11 ruang | kreativitas tanpa batas

juga digunakan untuk shalat, yang

membatasi area “masjid” dimanapun

seseorang ingin beribadah. Di dalam Al-Quran sendiri, ternyata tidak ada ayat yang secara khusus menuliskan karakteristik arsitektural dari bangunan masjid.

Kebutuhan pendirian masjid muncul di era nabi Muhammad SAW untuk mempersatukan umat. Ia mengawali dengan pembangunan masjid Quba, yang disusul oleh masjid Nabawi atau Masjid Nabi. Masjid terakhir menjadi embrio dari semua bangunan masjid di dunia.

Bentuknya sangat sederhana. Dinding lumpur mengelilingi sebuah ruang terbuka sebesar 50 x 50 m, dengan pilar dari batang kelapa yang menopang atap di sisi kiblat dan sisi utara. Ia memiliki tiga pintu di sisi utara, barat dan timur. Nabi dan keluarga juga tinggal didalam masjid ini. Ruang-ruang tinggal mereka menempel di sisi timur masjid.

Karen Armstrong dalam “Islam: A

Short History” menyampaikan bahwa

(14)

12

edisi #9: Komunitas

Kristiani yang mengkhususkan bangunannya untuk beribadah, masjid tidak melarang hadirnya aktivitas kemasyarakatan di dalamnya. Masjid Nabi saat itu menjadi rumah pemimpin dan pusat pemerintahan umat Islam. Ruang terbukanya menjadi area untuk beribadah, perundingan militer hingga tempat tinggal sementara para pengungsi.

Lalu, mengapa desain masjid Iran menjadi sangat berbeda dengan masjid Nabi ?

Arsitektur merupakan sebuah produk budaya. Seperti bentuk kebudayaan apapun saat dikenalkan di lokasi yang asing, Ia akan melebur bersama nilai, tradisi dan estetika lokal untuk membuatnya menjadi lebih ramah dan bisa diterima oleh lingkungan.

Begitu pula dengan masjid. Sejak embrionya tertanam di tanah Persia pada era masuknya Islam di abad ke-7, ia mulai berkembang dengan menyerap gaya arsitektur lokal. Masjid Tarik Khane, masjid tertua peninggalan dinasti Abbasid, menyimpan jejak transisi tersebut. Seperti masjid Nabi, Tarik Khane memiliki konstruksi atap yang ditopang barisan kolom, atau hypostyle, dan tanah lapang di tengah bangunannya. Yang membedakan adalah mulai hadirnya kubah, atau gonbad dalam bahasa Persia, dan iwan yang merupakan ciri khas arsitektur pra-Islam Persia.

Hal ini tidak lepas dari pengaruh penguasa. Seiring meluasnya ajaran Islam di Iran, peranan politis masjid

menjadi semakin penting. Agama menjadi tiga komponen simbol kekuasaan kerajaan Islam Persia, disamping perdagangan dan Shah. Semua menjadi jelas ketika saya menyaksikannya di medan Imam. Plaza cantik yang dikelilingi deretan toko setinggi dua lantai ini menggandeng tiga simbol itu di tiga sisinya.

Semua diawali pada abad ke-16, saat Shah Abbas ingin menjadikan Isfahan ibukota baru Persia yang kala itu terpecah-pecah. Ia mengusulkan restrukturisasi besar-besaran kota Isfahan, salah satunya dengan membangun medan Imam. Saat itu, medan menjadi tempat bertemunya Shah dengan rakyatnya. Karena guna dan letaknya yang strategis, ia juga menjadi panggung yang tepat untuk menunjukkan bulatnya kekuasaan sang Shah. Medan Imam akhirnya menjadi rantai yang mengikat ketiga simbol tersebut. Mulai dari bazar sebagai simbol perdagangan di utara, Istana Ali Qapu sebagai simbol Shah di barat, dan masjid Shah sebagai simbol agama di selatan.

(15)

13 ruang | kreativitas tanpa batas

Di dalamnya turut terlukis dekorasi yang menunjukkan keindahan dunia langit, pengingat betapa kecilnya rakyat di hadapan Allah dan kosmos ciptaan-Nya.

Di masjid Shah, kubah duduk dengan sangat megah. Konon kilau birunya dapat dilihat dari jauh oleh pedagang

yang sedang melewati jalur Sutra. Kemegahan ini juga menjadi simbol kekuasaan sang Shah lewat cipta karya berskala akbar. Setelah selesai dibangun, masjid Shah akhirnya menjadi masjid terbesar di kota Isfahan, hingga sekarang. Skala ini juga menjadi magnet

yang menarik jamaah shalat Jumat dari

masjid yang lama ke masjid Shah.

Masjid Nabi Masjid Tarik Khane

Tiga fase evolusi masjid Jame’ Isfahan

(16)

14

edisi #9: Komunitas

Iwan juga menjadi elemen pengikat masjid. Di era pra-Islam, Iwan mewadahi kegiatan pertemuan di istana raja, rumah bangsawan, atau bangunan religius. Ia kemudian bermutasi menjadi gerbang monumental yang memberi karakter kuat pada masjid Persia. Di dalam halaman masjid, Iwan berdiri di empat penjuru, menghadap pusat halaman yang diberi kolam wudhu. Komposisi sempurna yang melambangkan axis mundi, titik yang menghubungkan antara dunia fana dan nirvana.

Dalam riwayat Isfahan, masjid Shah ternyata tidak menjadi satu-satunya pusat demonstrasi kekuasaan. Masjid

Jame’ Isfahan, yang menjadi lokasi shalat Jumat sebelumnya juga bernasib

serupa. Bedanya, di sini aksi tidak dimonopoli oleh sang Shah. Penguasa lokal, baik individu maupun kolektif, yang berlomba untuk meninggalkan jejak politisnya melalui renovasi masjid.

Mereka selalu memberikan sesuatu yang berbeda, jika perlu, lebih baik dibanding renovasi sebelumnya. Setiap penguasa tentu tidak ingin kalah, bahkan ada yang menjadikannya lokasi pertarungan. Seperti Taj al-Mulk yang memandatkan konstruksi kubah di sisi utara demi menandingi rivalnya, Nizam al-Mulk, yang membangun kubah lain di sisi selatan. Alhasil, masjid ini menjadi sangat kaya. Desain empat Iwan-nya berbeda antara satu dengan yang lain. Lebar pilar bervariasi dari dua jengkal telapak tangan hingga dua rentang tangan -pria Iran dewasa. Langitnya pendek hingga sangat

(17)

15 ruang | kreativitas tanpa batas

tinggi, tampil polos hingga penuh dekorasi. Setiap lurus dan lengkung garis ruangnya seakan bercerita pada saya akan selera penguasa dan gaya arsitektur Persia di masa tertentu. Ia menyimpan rapi jejak-jejak sejarah arsitektur Persia.

Sekembalinya ke Teheran, saya segera mencari perbandingan. Saya menyambangi masjid kecil di bazar Tehran, yang dibangun oleh komunitas setempat pada abad ke-17. Seperti umumnya masjid Iran, masjid ini menyerap elemen-elemen yang dikenalkan penguasa. Yang membedakan, Ia jauh dari kemegahan atau kesempurnaan. Masjid melebur dengan lingkungan setempat.

Skalanya membaur, tidak lebih besar atau lebih tinggi dari bangunan sekitarnya.

Bahkan dari koridor bazar, ia hanya dibedakan oleh Iwan setinggi tiga meter.

Jika saya sibuk belanja mungkin tidak akan

tahu bahwa dibaliknya terdapat sebuah masjid. Tidak ada empat-pintu Iwan, hanya tiga pintu dengan reka bentuk tak seirama. Tidak ada dekorasi berlebih seperti masjid-masjid penguasa. Ia sangat rendah hati dan sederhana. Ia menjadi bagian dari komunitas.

Semua orang berhak bertamu ke masjid tersebut. Ia menyajikan ruang publik untuk semua. Serta kamar mandi dan tempat sembahyang bagi para pedagang, yang bekerja di ruang-ruang kecil di sepanjang sudut bazar. Seperti masjid Nabi, ia menjadi rumah umat yang sangat sederhana.

Kontras desain dua iwan masjid Jame Isfahan

(18)

16

edisi #9: Komunitas

Berbeda sekali dengan kunjungan saya ke masjid Sepahsalar, yang terletak di sebelah gedung parlemen Teheran. Saya sangat ingin mengunjunginya sejak awal perjalanan. Masjid dari abad ke-19 ini mulai menunjukkan pengaruh arsitektur Eropa dalam denahnya yang memiliki bentuk salib atau desain taman gaya eropa di tengah lapangannya. Ya, desain masjid terus berevolusi.

Sayangnya, grup riset kami dilarang masuk dengan alasan bukan warga asli Iran. Meski sudah berdebat panjang lebar, bahwa kami hanya ingin melihat dan tidak akan mengambil foto. Namun penjaga masjid tetap teguh bahwa masjid ini milik negara yang harus dilindungi dari pencuri kearifan arsitektur Iran. Masjid yang menjadi rumah umat tiba-tiba menjadi tertutup dan ekslusif.

Hal ini juga terjadi di Universitas Teheran. Lapangannya menjadi lokasi

utama shalat Jumat sejak Revolusi Islam

1979. Untuk memasukinya, setiap orang

harus melewati pemeriksaan tentara, pintu metal detektor dan pemeriksaan kartu identitas universitas. Pengunjung tidak diperbolehkan masuk, kecuali rela mengurus administrasi berbelit dengan pihak universitas. Arena shalat menjadi penuh ketegangan. Kenapa seseorang harus digeledah untuk menyembah-Nya ?

Saya akhirnya bertanya kembali ke

Golnar, rekan Iran saya. Jika masjid

dikontrol pemerintah sejauh ini, bagaimana reaksi anak muda di Iran. Dengan gamblang, Ia mengatakan, “Saya tidak pergi ke masjid sama sekali, seperti teman-teman saya yang lain. Saya tahu beberapa teman yang berangkat, tetapi mayoritas dari mereka tidak. Saya ingat kepergian ke masjid dalam 10 tahun terakhir adalah untuk pemakaman, menjemput nenek yang selesai sembahyang, menggunakan kamar mandinya, atau berkunjung karena mereka adalah

(19)

17 ruang | kreativitas tanpa batas

sia jika Ia malah dijauhi umatnya. Saya tidak ingin menyudutkan satu aliran agama tertentu. Tetapi melalui arsitektur, saya hanya mempertanyakan apa agama harus menjadi alat monopoli

penguasa. Jika akhirnya perbuatan

tersebut malah semakin menimbun dalam-dalam esensi dari agama.

Perdebatan mengenai apakah masjid harus megah atau tidak, berkubah atau tidak, berminaret atau tidak, saja seperti benang kusut yang belum bisa terurai. Padahal ‘masjid’ sesederhana meletakkan alas di tanah kosong untuk bersujud menyembah-Nya. Gerak kecil dan tutur kata lembut pasti tak luput dari sang Maha Bijaksana. Saya sendiri ingin mencintai-Nya dengan sederhana. “Kebanyakan masyarakat kelas

menengah tidak religus. Saya percaya ini datang dari ketidaksukaan mereka terhadap batasan ketat pemerintah yang diaplikasikan dibawah nama

Islam.”

“Hingga muncul pemikiran, yang tentu tidak sepenuhnya benar, bahwa menjadi religius diasumsikan sebagai tendensi politik. Saya tekankan lagi, tidak sepenuhnya benar! Saya tahu kawan yang sangat religius yang tidak

suka juga dengan pemerintah.”

Masjid adalah rumah umat. Dia lahir karena kebutuhan untuk mempersatukan umat. Namun masjid di Iran, yang begitu cantik dan megah, tidak dapat mempersatukan umat. Memang indahnya tidak lepas dari peran penguasa terdahulu. Tetapi di era penguasa masa kini, semua seakan

(20)

Jorge Anzorena

“Saya tidak ingin

menyudutkan

satu aliran agama

tertentu. Tetapi

melalui arsitektur,

saya hanya

mempertanyakan

apa agama

harus menjadi

alat monopoli

penguasa.”

(21)

ARCHITECTURE:

FOR ELITES OR

COMMUNITY?

Architecture has been used as a tool for control and manipulation by the elites. Yet in the other hand, there are acts showing that architecture can be build by and for the community. Thus, for whom we actually build?

ESSAY ENGLISH

Architecture, Community, Con-sumerism, Religion, Politics

(22)

20

edisi #9: Komunitas

Architecture plays one of the most

inluential roles in the daily life of human

society as a tool of expression and as the only kind of art with real practical use. Its highest achievements are seen through history as a "sign of the time" and a measure of development of a civilization with the production of monuments. It is represented by size, height, capacity, construction and materials used.

Back in the days, someone build pyramids in Egypt, South America, Europe, and Asia. It is unknown who, how and when it is made, but the life span of these monuments equals to projects the eternity of the "Gods of lost civilizations". Today we still wonder about their builders, their original function, tools used in construction works. They stand in our world today, witnessing the fact that humanity today, similar with the old ages, aims to build towers reaching for the sky. Materials and techniques certainly have changed, but our goals stay the same - to get closer to the sky, closer to the old and the new Gods, to power and fame, by leaving a long lasting signature between the clouds.

Why do we build? To live, to enjoy, to earn. We need to remember that behind every curtain of architectural objects hides the creators and producers. While on the public stage, we see users and accidental viewers that give them alife and purpose.

Once users see an object, whether be in

plan, model or the inished building, they

immediately can relate with it. Positive or

negative emotions develop at irst glance.

After a while, they usually get used to

the constructed buildings and keep on utilizing the spaces. Users build their opinions; exchange them with friends and relatives. And often it causes little arguments between those who

ind positive and others who notice

more negative sides of the same pile of concrete. Should the opera house

have a dome or a lat roof? Should

(23)

21 ruang | kreativitas tanpa batas

source: http://www.csmonitor.com/World/Americas/Latin-America-Monitor/2014/0116/Brazil-shop-ping-malls-New-epicenter-for-social-protest

Tourists come and spend their money because they heard that the place is cool and famous. Local consumers also get a story through commercials and enjoy being a part of the show. They hang at certain places in the city to be seen, to be a part of THE crowd. Architecture's use in mass manipulation is huge yet mainly unnoticed. Visual art

builds the desired emotions – attractive or repelling – depending on the nature

of the building. Governmental buildings are usually made to trigger respect and

fear. In consequences, people would develop the same feeling and attitude towards the ruling power and reducing risks of civic disobedience. On the other hand, commercial objects are made to attract visitors and make them spend.

"There is no doubt whatever about the

inluence of architecture and structure

(24)

22

(25)

23 ruang | kreativitas tanpa batas

Elites can control and manipulate, use and abuse emotions and behaviour of common people using different mediums, including architecture. But

irstly, they have to understand how

a mind functioned. Shopping malls, for example, use the skills of architects and lighting designers to bring more

proit to the owners of the building

by manipulating the feelings of visitors offering gold and glitter in sight. It invites customers to spent their money in exchange for some feeling of “being

a part of the crowd who can afford”.

The appearance of malls automatically repels the poor but accept those who can spend. The more bags one carries, the better they feel. Feeling of power and ability to spend on products that are far from needed is comparable with drug abuse, and many people can’t control it. Knowing that, there’s

always “new offer” or “new model” “you must have”.

Individuals may get ‘high’ from an addictive behaviour like shopping. Meaning that endorphins and dopamine, naturally occurring opiate receptor-sites in the brain, get switched on, so the person feels good. And if it feels good, individual is more likely doing it. It is reinforced,” says Ruth Engs, EdD, a

professor of applied health science at Indiana University.

Apart from gathering places and practical resupplying locations, malls are practically legal-drug-distribution centres whereby people are invited to develop a spending addiction. The philosophical difference between the old-fashioned private shops randomly located in the city and shopping malls

is while the former attracts customers because of the NEED, the latter because of WANT. More over the latter encourage spending habit. Once individuals are inside the circles of spending, their social status is threatened by eventual stopping

– one may lose friends or role in

the community. Therefore, the social pressure maintains the spending habit. Sociological issues related to spending and gathering at commercial locations are numerous. However, they are just one fraction of manipulation by upper

layers that have only one goal – power

over commoners and their money. Aside from infrastructure, the most important objects are those of the biggest size, the religious ones. Both in

representing the centres of power –

locations from which the elites control

different spheres of life of society –

and their size and overall grandeur

relect the status of those paying for

the project.

Building of the temple of any religion around the globe costs money. These huge amounts come from the pockets of believers who willing to donate. Towers, roofs covered by pure gold,

expensive inishing should all relect

(26)

24

edisi #9: Komunitas

quality of temples do not relect “the power of god”, but the amount of

money the priests collected out of the pockets of followers.

Not all of the collected money is spent; some particular priests are ensuring their big share is safely kept in Switzerland. Although dressed in assigned clothes of spiritual leaders,

they are businessmen followed by bodyguards, drive expensive limos, enjoying the glitter and light of gold someone else worked for them. They act exactly the same way as the owners of shopping malls. The difference is in merchandise. In a mall, individuals buy something, put them

in a bag, and he/she will lash down

(27)

25 ruang | kreativitas tanpa batas

http://www.asce.org/CEMagazine/ArticleNs. aspx?id=23622324819#.VFs8RxzNomo

temple, we get invisible portion of magically given inner peace (or hatred

towards “the others” depending on

what’s popular today and what will bring more donations).

The truth is - people will always need something to believe in, and why not utilizing that? It is one of the oldest businesses. In the end, temples stay

merely as cultural monuments. Many of them being an expression of power of rulers from the time of building, the peak of the art expression, style,

and of course – peak of architectural

period.

---Architecture affects the quality of life of the community, regardless the use

of the inal products. It can inluence

social conditions simply by installing

object to where it is needed – or not.

There is always a huge difference in development of communities where we DO have or DON’T have roads, bridges, schools, hospitals.

Depending on the model of governing applicable in a certain country, region or a city, there are different ways of improving life conditions in the community. In open societies, communities can decide to

work together on ixing the problems

affecting their community crowd-funding becomes more popular and brings visible results. By agreeing on a target, community collects funds and proceeds with realization of the project. It can be a playground for children, a new park, bridge, school, etc. One of the interesting examples from Rotterdam (Netherlands) is the wooden bridge that has reconnected the city centre with the part that was for few decades cut-off by a very busy road.

(28)

26

edisi #9: Komunitas

the project interesting. Community is allowed to express their needs and ideas, choose a solution and collect the funds for the building. It is “from

people to people from A to Z”.

Luchtsingel Bridge consists of 17,000 wooden planks. Each donor was entitled to have a message inscribed on the plank he donated. The bridge is a true, public piece of collaborative architecture.

The bridge is just an example that

anyone can ind the community

needs, clean-up an unused plot of land in the neighbourhood and create a playground and/or a park, an open-air gym, or organize actions to clean the neighbourhood.

For any project, funding and keeping the costs of building, and future maintenance should be kept on realistic levels. So we come to the point of architecture and cooperation of the architects with local communities. Call them for help, many of them live right in our local communities - tell

them your ideas and ind a solution

together!

However, in some communities, people have no rights to organize their life even on a local scale. Government may claims private owned lands and displaces a village into new skyscrapers in the top-down manner. In this case, there’s practically nothing people could do to decide on their living conditions.

But in other countries, certain freedoms and decision-making powers are granted to citizens. People can express their interest and learn what they can do for their community. They can demand different material being used in building, decide on

power sources – natural (wind, solar) or classical – ire-made by more

polluting use of gas, oil, wood or coal. In the best case, with the help from local architects, people could get information and suggestions on how to build, what to build, and what to observe when building in cases when they decide to start own projects. To return to the earlier arguments, the systems of manipulation that elite

use to ensure their gain – we can’t

stop or control their eternal game

and there’s no point in stopping it – is

a part of social living that determines our society since the very beginning of civilization. Such levels of control are far too complicated for common people to understand, control and take part.

We need not only to build and enjoy the luxury as a status symbol, but also to teach about respect, appreciation, and value of what we leave to those to come.

(29)

27 ruang | kreativitas tanpa batas

environment, changes that count and will leave a trace on the quality of life of our community. One thing that doesn’t cost much is meeting with people, communicate the ideas, discuss and agree on what to do together.

There are always things to do to make our children recognize their parents. Things that their parents have made for them and will smile once they bring their children to the same place. Without any doubt, happy life of future generations should be our most important common goal. We

(30)

“We need not only

to build and enjoy

the luxury as a

status symbol,

but also to teach

about respect,

appreciation, and

value of what we

leave to those to

come.”

(31)

Teater Tribal

Bumi Takpala

Sebuah perjalanan ke desa kecil di Nusa Tenggara Timur. Menyaksikan perjuangan suku Abui dalam mempertahankan budaya nenek moyang di tengah gencarnya modernitas.

ESAI INDONESIA

Arsitektur, Alor, Komunitas, Tradisional, Nusa Tenggara Timur

oleh Yoppy Pieter

(32)

30

(33)

31 ruang | kreativitas tanpa batas

Cakrawala yang berganti jingga menjadi latar langkah saya menuju Kampung Adat Takpala di kabupaten paling timur gugusan Nusa Tenggara Timur. Mimpi yang sudah hadir sejak dua tahun lalu. Sejak saya terhipnotis oleh kesahajaan orang Abui dalam layar televisi.

Ragu yang berlomba dengan detak jantung menemani saya berjalan menanjak. “Sudah terlalu sore ini, semoga orang-orang Abui masih

mengizinkan saya untuk singgah,” ucap

saya dalam hati.

“Halo, selamat sore,” sapa seorang pria

berambut putih dan berperawakan kurus kekar. Ia kemudian mengenalkan diri sebagai Martinus.

“Bermalam saja di sini, besok ada tamu dan kita ada tari penyambutan,“ tegasnya sambil mengunyah sirih. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya untuk bisa bermalam di sini. Untuk merebahkan diri di lantai-lantai bambu fala foka, rumah adat Alor, yang sesekali berdernyit mengikuti gerakan tubuh saya.

Malam begitu menyita kesunyian. Takpala memang sebuah kampung yang tidak terlalu dipenuhi penduduk. Melonjakknya jumlah keluarga telah memaksa sebagian besar dari mereka berpindah ke kampung-kampung di bawah bukit yang lebih luas.

Menyambut pagi, seorang perempuan muda menyeduh sejumput kopi pada gelas bermotif bunga. Saya duduk tertegun di tepian fala foka memandang saujana biru di atas laut Flores.

“Selamat pagi,” sapa Martinus

dengan senyum ramah. Kami mulai membicarakan jati diri mereka sebagai orang Abui dan kampung adat Takpala, tempat lahirnya para ksatria.

Lima tahun sebelum Indonesia

merdeka, Piter Kailkae, ayah Martinus

mewakafkan tanahnya sebagai lahan berdirinya kampung adat Takpala. Eksodus tersebut dilatarbelakangi sebuah aturan kerajaan tentang balsem, atau pajak kerajaan. Tidak mudah bagi raja untuk menerapkannya ke suku Abui yang tinggal di pegunungan Alor. Akhirnya ia menetapkan pemindahan ini untuk mempermudah pelaksanaan kebijakan tersebut.

Menurut Martinus, eksodus tidak sontak mengubah tatanan hidup suku Abui yang hidupnya bersandar pada alam. Meski tidak bisa dipungkiri bahwa pergeseran zaman juga membawa dampak pada hidup mereka. Walaupun babi hutan masih banyak tersedia di hutan, orang-orang Abui akan berpikir ulang untuk hidup seutuhnya dari berburu. Mereka sudah mendapatkan bekal bagaimana menghasilkan uang dari sektor pertanian, dan sektor pariwisata dengan memberdayakan seluruh kerabat Abui di Kampung Adat Takpala.

Jajaran bangku tamu menghadap mesbah.

(34)

32

(35)

33 ruang | kreativitas tanpa batas

Fala foka, rumah adat suku Abui ©Yoppy Pieter

(36)

34

edisi #9: Komunitas

Kiri: Perempuan Abui di sebuah Fala Foka miliknya dilatari oleh jerami yang menjadi atap dan dinding bangunan ©Yoppy Pieter Kanan: Menyalakan cahaya temaram pelita

(37)

35 ruang | kreativitas tanpa batas

Saya berdiri di lantai dua. Di dalam ruangan yang tidak teraba dimensinya tanpa bantuan pelita. Saat ia dinyalakan, kedua mata saya mulai dapat menangkap detail-detail kayu dan rumbia yang saling bersimpul, jajaran piring di lantai, sebuah tikar dengan selimut di dekat tungku api. Suasana tempat di mana perempuan menghabiskan waktu mereka saat malam, juga memasak.

Saya mengadahkan kepala ke lantai tiga yang ukurannya menyempit. Di dalam terlihat tumpukan jagung masih terbungkus kulit bernoda asap, dan tumpukan pusaka pemilik rumah tersemat di ruang paling atas. Pengapnya asap dan cahaya yang temaram mendekap saya dengan pengap, saya kemudian memutuskan keluar untuk menyambangi rumah tetangga.

Walau tidak begitu luas, Takpala sangat kaya dalam tatanan kehidupan sosial Abui. Kristen Katolik dan Protestan mendominasi kartu identitas penduduk, meski kepercayaan terhadap alam masih mengalir deras di diri mereka. Tidak sepenuhnya konsep trinitas dipandang sebagai pegangan hidup.

Fala foka sendiri tidak didirikan tanpa aturan. Mereka berdiri mengelilingi sebuah situs peninggalan zaman Megalitikum yang disebut mesbah. Sebuah mikro kosmik dalam kepercayaan nenek moyang yang diamini Abui.

Tidak ada yang tahu pasti kapan Takpala berganti nama menjadi kampung adat Takpala, sebuah kampung yang menampung hajat hidup yang secara perlahan mengalami pergeseran fungsi sebagai tujuan wisata.

Penambahan kampung adat semakin menegaskan bahwa Takpala mentasbihkan dirinya sebagai destinasi kultural di zaman yang sudah modern. Hal ini tidak dipandang sebagai ancaman, bahkan perannya telah memberikan sumbangsih kepada kekayaan nusantara sebagai living museum.

(38)

36

(39)

37 ruang | kreativitas tanpa batas

(40)

38

edisi #9: Komunitas

Mesbah kini dikelilingi putaran perempuan yang membentuk simpul lingkaran Lego-lego. Gemerincing gelang kaki, gigi-gigi mereka yang berwarna burgundi, rambut keriting, serta tangan yang saling bertautan membentuk simbol eratnya persaudaraan , lembut, dan kokoh. Lantunan syair Abui tidak henti-hentinya membahana.

Ketulusan mereka mengisi udara yang semakin hangat. Walau menari di hadapan tamu kerap mendapat cibiran miring sebagai pentas eksploitasi, atau penistaan autentitas adat leluhur. Namun tidak adil jika kita tetap mengamini cibiran tersebut, mereka hanya mempertahankan hidup lama di tengah dunia yang semakin tidak menghargai masa lalu. Kompromi mempertahankan ajaran leluhur dan menyambung hidup adalah pilihan mutlak suku Abui di bumi yang melahirkan mereka, Alor.

Perempuan-perempuan Abui dalam formasi lego-lego yang melambangkan persatuan ©Yoppy Pieter

Udara hangat mengiringi kerabat yang datang. Para perempuan telah berbalut kain tenun dengan rambut yang dibiarkan mengembang, disusul kerabat lelaki dengan rangkaian senjata sebagai identitas kesatria. Takpala yang sunyi kini berubah menjadi panggung pertunjukan, sebuah teater tribal. Tali diikatkan pada batang-batang pohon asam, dan kain-kain tenun berkibar dihembus angin dari laut Flores. Dalam sekejap, pasar tradisional hadir di samping teater itu. Para perempuan berkumpul menggelar dagangan. Cendramata khas Alor, kerajinan tangan dan kain tenun menggoda saya untuk berbelanja.

Ketika saya kembali melihat Martinus, ia sudah mengenakan pakaian ksatria Abui, lengkap dengan pedang dan perisai perang. Ia bukan lagi sosok yang sama seperti beberapa menit lalu.

(41)
(42)

“Namun tidak adil jika kita

tetap mengamini cibiran

tersebut, mereka hanya

mempertahankan hidup

lama di tengah dunia yang

semakin tidak menghargai

masa lalu. Kompromi

mempertahankan ajaran

leluhur dan menyambung

hidup adalah pilihan

mutlak suku Abui di bumi

yang melahirkan mereka,

Alor.”

(43)

ARSITEKTUR RIZOMA

Rizoma adalah struktur yang menyediakan

elemen kekagetan dan ketakterdugaan.

Elemen-elemen tersebut menghidupkan sifat regeneratif,

menyediakan ruang-ruang bagi proses kreatif.

Komunitas adalah simpul pada Rizoma. Demikian,

komunitas yang tumbuh secara organik pada

saat momen kegagalan pembangunan monolitis

terencana.

ESAI INDONESIA

Arsitektur Komunitas, Akar Rumput, Kolektivitas

(44)

42

edisi #9: Komunitas

Di bawah permukaan. Rebung tumbuh dari indung, indung tumbuh dari nenek, nenek tumbuh dari buyut, dan seterusnya. Demikian akar rizoma berkembang jalin-menjalin membentuk labirin di bawah tanah, berlika-liku seperti novel Kafka; jalinan yang tidak memiliki awal maupun akhir, tidak ada pusat ataupun tepi, tidak ada pintasan Ariadne, juga tidak ada Minotaur. Dengan demikian tak ada singularitas, tanpa hirarki, non-otoriter secara elementer maupun sebagai kolektif. Labirin yang ideal seperti Tlön dalam cerita pendek

Jorge Luis Borges.

Awal musim hujan. Tunas menyeruak, membuncah pecah tanah. Rebung bambu tumbuh tegak penuh percaya diri. Seruas rizoma lahir dari indungnya, batang bambu yang sudah mencapai ketinggian dan sudah berdaun penuh. Pada dedaunan sari pati diolah dengan sinar matahari, fotosintesis, di dalam mesin-mesin yang otonom, automata, sehingga sari pati menjadi nutrisi bagi pertumbuhan. Pada irisan rebung jumlah keseluruhan ruas bambu terekam sebagai kode untuk pertumbuhan yang teleskopis; hampir satu meter dalam 24-jam, tinggi menjulang dalam hitungan empat bulan.

”Seruas rizoma tanpa henti

menciptakan hubungan di antara

rantai semiotik, organisasi kuasa, dan

keadaan sekitar terkait seni, sains, dan

perjuangan sosial.”

Gilles Deleuze & Felix Guattari,

A Thousand Plateaus, 1987. Hal. 7

“Pohon adalah ilial, namun rizoma adalah aliansi unik. Pohon

menyertakan kata kerja ‘menjadi,’ namun jalinan rizoma adalah

konjungsi, ‘dan…dan…dan.’ Konjungsi ini mengandung cukup daya

untuk mengguncang dan mencabut akar kata kerja ‘menjadi’…”

(45)

43 ruang | kreativitas tanpa batas

Baik atau buruk hanyalah hasil dari seleksi aktif dan sesaat, maka kesempatan harus terus diperbaharui, dan dengan demikian tak ada tempat bagi dualisme Manichaean [1] yang hitam-putih.

Metaisika rizoma adalah tataran yang imanen, membedakannya dengan yang transenden. Pada tataran tersebut berlaku sebuah proses yang disebut misapropriasi, yang digambarkan seperti pencurian tanpa akuisisi. Tidak seperti prosesi pencurian konvensional yang melibatkan akuisisi, perpindahan kepemilikan untuk meningkatkan akumulasi kapital, proses misapropriasi menjelaskan suatu proses ekstraksi yang sementara dari sebuah konteks ke konteks lainnya, dari milieu ke milieu. Demikian dinamika internal menciptakan kapasitas baru untuk menghasilkan. Inilah proses kreatif rizomatis, seperti ribuan bengkel kerja, ribuan dataran tinggi, ribuan plato.

Rizoma adalah struktur lorong prosesi yang lebih banyak memiliki pintasan dan putar-balikan daripada jalur yang lurus dan langsung. Ia adalah sistem lorong yang menyediakan ceruk-ceruk bagi tabir-tabir, bagi ruang kontingensi, bagi pertemuan-pertemuan tak-terduga. Koneksi dan heterogenitas adalah prinsip. Ia adalah ruang multiplisitas yang melipat-ganda, mencerap stimuli, merespon tantangan, di tengah susutnya kausalitas.

Tanpa desain sistem terbuka atau mutasi, evolusi tidak akan berlangsung. Tanpa pertemuan tak-terduga, kejutan, surprise, atau kekagetan, maka tidak akan ada peluang untuk regenerasi. Dengan demikian elemen kekagetan menjadi krusial dalam menjaga inersia sistem untuk terus menyediakan potensi penuhnya; ruang-ruang bagi proses kreatif. Tetapi, dia juga lantas menghadirkan paradoks dan situasi ambigu; dia bisa menghasilkan kesepahaman, juga ketidaksepahaman.

Now you see, now you don’t. Stereogram hutan bambu di Nankin, Cina.

(46)

44

edisi #9: Komunitas

milieu lain; prinsip dekalkomania [2]. Proses ini melibatkan transgresi antar teritorial, dalam melintasi batas-batas konvensional. Maka proses deteritorialisasi dan reteritorialisasi menggerakkan arus material, sosial, dan mikropolitis secara terus-menerus, konstan; sebuah lux. Seperti pengalaman imajiner saat

membaca biograi seorang pengelana

muka bumi, sebagaimana alur pikiran orang nomaden; nomadologi.

Arus perpindahan menemukan

relevansi pada geograi dan demograi.Tercatat lebih dari separuh

penghuni bumi termasuk dalam kategori urban. Kampung kota, yang seringkali digusur, adalah kemenangan atas individualisme yang melazim di kota, ia menjadi benteng terakhir bagi kemandirian, nilai-nilai lokal, kultural, tentang identitas, kolektivitas, modal sosial, dan lain-lain. Pembenaran moral akademiknya ada pada traktat Setiap plato adalah sebuah orkestrasi

yang terdiri dari elemen-elemen layaknya kepingan batu bata yang diekstrak dari setiap situs-situs reruntuhan, sumber informasi, pengetahuan, dan pengalaman lain. Dia adalah sebuah rakitan, brikolase, yang di dalam dirinya terkandung vektor-vektor dan segala bentuk potensi untuk terus hidup, berkembang, dan mengorganisasi diri. Sebagaimana halnya sebutir telur, dia adalah Tubuh tanpa Organ (TtO) dalam proses menjadi. TtO bukan sebuah organisme, juga bukan sebuah organisasi, melainkan sebuah ruang bagi eksperimen organ yang berlainan dan organisasi yang berlainan.

Kinerja moda berpikir rizomatis berkaitan dengan cara-cara mentransfer satu konsep ke konsep lain, dari satu disiplin ke disiplin lain. Dengan demikian suatu fungsi dapat dicangkokan ke konteks atau

(47)

45 ruang | kreativitas tanpa batas

Hak atas Kota dan Keadilan Spasial. Dan perlawanan dari kampung kota, klaimnya atas ruang kota, sudah menjadi fenomena global; Claiming the City.

Seperti halnya kampung miskin kota, sebagai komunitas akar rumput, menjadi sebuah simpul pada sistem rizoma. Demikianlah cara entitas sosial bernavigasi di kota-kota pada masa kini. Kampung kota yang miskin, padat, dan informal hadir dan akan selalu hadir. Mereka terus dan terus berkembang biak, melipat ganda, dan bertukar posisi dengan eksterioritasnya; konstan tanpa akhir. Dalam setiap kampungada kohesi yang dinamis dengan kota sebagai lingkungannya. Kampung kota adalah sebuah plato.

Kampung kota adalah ruang berkreasi seorang arsitek, seniman, warga, guna menjadi manusia pembuat, si tukang, homo faber. Maka, perlu pengetahuan tersendiri untuk bekerja di ruang rizoma, seperti studi tentang gerak, tentang menanti, dan etos dalam mengantisipasi. Karenanya, peta lokal akan lebih berguna dibanding peta global. Prosesi adalah lazim dan perubahan adalah sebuah kepastian, maka untuk menentukan arah perlu mata-ketiga, intuisi, atau mata batin; kontemplasi.

Komunitas tumbuh secara organik di setiap momen kegagalan pembangunan terencana. Hunian-hunian ad-hoc, spontan, irregular, atau informal terbentuk atas dasar kebutuhan. Misalnya, oleh mereka yang mengisi relung-relung kosong,

seperti ruang-ruang sisa di kota-monumen Chandigarh, The White Building di Phnom Penh, The Walled City di Kowloon, atau konstruksi pencakar langit yang tidak selesai, karena pemodalnya keburu bangkrut terinterupsi oleh resesi ekonomi, Torre David di Caracas.

Di Torre David, kaum miskin kota mengokupasi lantai-lantai pencakar langit dengan meletakkan dan menata sekat-sekat, memberi kehidupan di antara kerangka kolom-lantai beton yang usang. Kampung miskin memenuhi kebutuhan dasarnya untuk bertahan hidup di kota. Rancangan dan penataan mereka jauh dari sempurna. Karenanya tidak

jarang mereka menyertakan maia,

meminggirkan akuntabilitas, institusi, dan demokrasi pada kategori utopia, bersama-sama dengan negara serta segala rezim perencanaannya. Maka, kegagalan perencanaan dan arsitektur adalah kejayaan populer atau kemenangan rakyat dan sama sekali bukan anomali. Maka, Rem Koolhaas membawa serombongan mahasiswa Harvard berkunjungan-belajar ke Lagos, Nigeria demi menyaksikan kegagalan kota-terencana dengan perspektif helikopter yang sinis-nyaris-fatalis; membaca Lagos dari ketinggian sebagai sebentuk ketangguhan, kesempatan, inspirasi, bagi masa depan yang spekulatif.

Lewat sebuah percakapan, Nenek Dela, warga kampung kota, tampil

sebagai tokoh sentral pada ilm

dokumenter Jakarta Disorder karya

(48)

46

edisi #9: Komunitas

Potongan sekolah alam di Bogor. (Andrea Fitrianto, 2013)

sudah tiga kali digusur selama berada

Jakarta. Rasdullah, penarik becak

yang di tahun 2002 mencalonkan

diri sebagai gubernur Jakarta, bahkan

sudah tujuh kali digusur. Di sini kita mesti cermat: bertahan hidup adalah prinsip, sedangkan digusur adalah konsekuesi. Bersama kaumnya, Nenek Dela dan Rasdullah tinggal di bantaran sungai, bantaran kanal, waduk, rel kereta, di bawah sutet, di kolong tol, di lahan terlantar, di lahan spekulasi, yang semuanya merupakan tataran, strata, khusus

bagi kampung miskin di Jakarta.

Terkait kelangkaan lahan sebagai sumber daya kota yang paling krusial, Nenek Dela, Rasdullah, dan keluarga termiskin kota umumnya hidup nomaden. Setiap saat mereka harus siap berhadapan, bertukar teritori, bertukar penguasaan dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP),

aparat rezim keindahan dan ketertiban sekaligus aparatus otoritas formal kota.

Pada ruang komunitas, organisasi setempat, arsitek, dan warga bersekutu untuk mengadakan eksperimen kreatif, seringkali dengan bahan lokal dan organik, dengan teknik-teknik yang juga bagian dari tradisi. Misalnya, pada sekolah yang dirancang Diébédo Francis Kéré di Gando, Mali; pusat interpretasi Mapungubwe di Afrika Selatan rancangan Peter Rich yang menggunakan teknik kubah yang merupakan warisan kultural berumur 600 tahun; museum yang dibangun dari puing-puing karya Wang Shu

di Cina; redeinisi arsitektur bambu

(49)

47 ruang | kreativitas tanpa batas

“Kadangkala kami bekerja secara

ilegal, bukan untuk menyakiti

seseorang. Kebalikannya, justru

kami lakukan untuk menolong

banyak orang. Keputusan untuk

bekerja secara ilegal berarti

bekerja dengan pendekatan lain”

- Santiago Cirugeda

Santiago Cirugeda mendapat julukan arsitek pembangkang dan subversif. Ia tergabung dalam sebuah kolektif arsitektural Recetas Urbanas di Sevilla. Mereka berarsitektur lewat aksi langsung, salah satunya dalam merancang-bangun ruang seni sirkus kultural independen La Carpa dengan

proil-proil baja yang diekstrak dari

bangunan lain. Saat ada yang mencibir La Carpa sebagai arsitektur yang Hunnarshala di India dan Yasmeen

Lari di Pakistan, dan banyak lagi arsitektur dengan kompleksitas, arsitektur yang peka-konteks.

Sedangkan yang bebal-konteks juga ada; di London, sebuah gedung baru menjelma menjadi suryakanta raksasa dan melelehkan mobil-mobil yang parkir di bawahnya; di Dubai, di balik kemilau arsitektur mewah, terungkap eksploitasi terhadap pekerja bangunan migran. London dan Dubai mungkin sudah terlanjur menjadi poros bagi rezim Arsitektur yang hirarkis, singular, monolitik, dan

totaliter yang tujuan akhirnya deinit;

akumulasi kapital adalah eskatologi. Di sana, moda kreativitas ditandai dengan kecintaan akan permukaan, mekanisasi proses yang mengebiri arsitektur menjadi sebentuk ritual digitasi prosedural.

Araña, sirkus dan ruang seni pos-apokaliptis La Carpa di Sevilla.

(50)

48

edisi #9: Komunitas

menarik tapi juga buruk rupa, Santi menjawab ”Siapa yang gak punya teman buruk rupa? Setiap orang punya teman buruk rupa.” Mereka sudah tinggalkan estetisasi obsesif kaum pemodal, untuk arsitektur yang ekonomis dan fungsional. Di Sevilla, La Carpa adalah antitesis bagi Metropol Parasol, sebuah folly dari kayu laminasi yang menguras biaya $130 juta dari kantung para pembayar pajak di tengah situasi resesi.

(51)

49

edisi #9: Komunitas

semalam di kota-kota di Turki.

Di Davao, Mindanao, warga kampung informal membangun jembatan pedestrian sepanjang 23 meter. Dana terkumpul dari kelompok tabungan para ibu di tiga kampung. Lantas mereka meminjam $10.000 untuk membiayai pembangunan jembatan pedestrian dengan teknologi alternatif; bambu. Setelah setahun menabung sekaligus menggalang

kolektivitas, relawan warga bekerja membangun jembatan lewat arahan Suyadi dan Sunarko (alm.), dua perajin bambu asal Cebongan, Yogyakarta. Sepanjang April 2011, tujuh hingga sepuluh relawan warga bekerja enam hari dalam seminggu. Pada satu akhir pekan, lebih dari seratus-lima-puluh warga kampung dikerahkan untuk menghela rangka utama menuju posisi pondasi beton; bayanihan paralel dengan gotong-royong. Sekurangnya

Bayanihan Power: gotong-royong menghela rangka jembatan di Davao.

(52)

50

edisi #9: Komunitas

Architects Network (CAN) menjadi platform bagi kelompok-kelompok arsitek komunitas di tujuh-belas negara Asia.

Arsitek-arsitek dan kolektif arsitektural tersebut tumbuh sporadis, trans-nasional, nomaden, melampaui batas-batas teritorial, dan berjarak kritis dengan aparatus kekuasaan. Maka, wilayah kerja mereka tidak ditentukan oleh konvensi: apa yang boleh, tapi oleh intensi: apa yang harus, dalam pengetian masing-masing. Maka, tidak akan kita temukan agenda-agenda besar, melainkan etos dan disiplin berkarya yang realistis, taktis, dan penuh improvisasi. Maka, apapun sebutannya, arsitek komunitas, arsitek sosial, pembangkang, visioner, revolusioner, pada prakteknya adalah arsitek yang menanggapi perkara-perkara sosial dan lingkungan di sekelilingnya. Mereka bekerja secara militan, kadang bergerilya dengan penekanan pada proses. Ini akan melibatkan polinasi-lintas antar-elemen yang heterogen, teknis, sosial, kultural, ekologis, dan mikropolitis; sehingga tiba pada capaian-capaian arsitektural yang tak-terduga.

duaratus bambu petung dan seratus bambu legi dan bambu ori, dirangkai menjadi jembatan bambu modern pertama di Filipina. Pembangunan inklusif/partisipatif dan teknologi alternatif merupakan paralelisasi dua strata yang membentuk rizoma.

(53)

51 ruang | kreativitas tanpa batas

”Jadi apa itu

Tubuh tanpa Organ

? Tapi kamu sudah

di dalamnya, menggeliat seperti kutu, meraba-raba

seperti orang buta, atau berlari seperti orang sinting;

pengelana gurun dan nomaden stepa. Di dalamnya kita

tidur, menghidupi hidup yang terbangun, melawan-lawan

dan melawan-mencari tempat bagi kita, mengalami

kebahagiaan tak terbilang dan kekalahan hebat;

didalamnya kita menerobos dan diterobos; di dalamnya kita

mencinta… TtO: ia datang saat tubuh telah berkelebihan

organ dan dia ingin menanggalkan, ingin melepaskan.”

Deleuze & Guattari, ibid, hal. 150

Dari ribuan teritori, ribuan plato, tentunya ada cukup daya untuk mengguncang, mencabut, menerobos ruang-ruang berruam, menjadikannya ruang-ruang mulus bagi Tubuh tanpa Organ dalam rangka mengantisipasi arsitektur yang akan hadir.

[1] Manichaeism adalah paham yang percaya dengan dualisme dalam kosmologi, pertarungan antara baik dan buruk.

[2] Delcacomania atau decalcomanian (Perancis) adalah sebuah teknik dekoratif yang mentransfer desain yang tercetak di atas medium kertas yang dilipat ke medium kaca atau porselen.

[3] Gecekondu (Turki) secara hariah berarti “dibangun semalam” adalah pemukiman

(54)

Gilles Deleuze & Felix Guattari

“Pohon adalah ilial,

namun rizoma adalah

aliansi unik. Pohon

menyertakan kata

kerja ‘menjadi,’ namun

jalinan rizoma adalah

konjungsi, ‘dan…

dan…dan.’ Konjungsi

ini mengandung

(55)

Komunitas Online di Era

Media Sosial dan Perannya

dalam Menciptakan Ruang

Publik

Perkembangan informasi dan teknologi komunikasi

mempengaruhi pola interaksi sosial antar individu,

juga dalam pembentukan sebuah komunitas.

Lebih jauh lagi, hal ini juga telah mengubah cara

pembentukan ruang-ruang publik di kota oleh

komunitas urban.

ESAI INDONESIA

Komunitas Online, Media Sosial, Ruang Publik

(56)

54

edisi #9: Komunitas

terbuka, jalan kendaraan, area pejalan kaki, atau segudang ruang outdoor dan indoor lainnya yang memiliki kesamaan kegunaan publik. Prinsip-prinsip tersebut yaitu:

1. Komunitas atau masyarakat lokal adalah ahli

2. Menciptakan tempat, bukan merancangnya

3. Mencari mitra untuk bekerja sama

4. Melakukan pengamatan secara mendalam

5. Mempunyai sebuah visi jangka pendek, menengah, dan panjang 6. Mulai dengan hal-hal yang mudah,

cepat, dan murah

7. Triangulate: menyediakan peluang bagi orang yang sama-sama asing untuk melakukan kontak dan berbicara dengan memberi stimulus eksternal, misalnya, penempatan bangku taman, tempat sampah, dan telepon umum yang berdekatan

8. Mulai dengan skala kecil komunitas/warga secara bersama untuk memelihara perbaikan

”tempat”

9. Bentuk yang mendukung fungsi ruang publik tersebut

10. Uang bukan masalah

11. Kelestarian ruang publik karena tidak pernah berujung

Menurut Jurgen Habermas, ruang

publik memiliki peran yang berarti dalam proses berdemokrasi. Ruang publik merupakan wadah diskursus masyarakat, tempat warga negara dapat menyatakan opini, kepentingan, dan kebutuhan mereka secara diskursif. Sifatnya harus bebas, terbuka, transparan, dan tidak ada intervensi pemerintah di dalamnya; dengan kata lain otonom. Ruang publik harus mudah diakses oleh semua orang. Melalui ruang publik ini masyarakat atau warga dapat menghimpun solidaritas dan kekuatan untuk melawan mesin-mesin pasar atau kapitalisme dan mesin-mesin politik.

Ruang publik kreatif dapat bekerja dengan baik jika dapat

mengakomodasi ekspresi komunitas-komunitas. Ada sebelas

prinsip untuk menciptakan sebuah ruang komunitas (ruang bersama) yang baik yang dirangkum oleh Project for Public Space (PPS). Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini ruang publik akan bertransformasi menjadi sebuah ruang bersama yang kaya dan hidup, tempat taman, plaza, lapangan

RUANG KREATIF PUBLIK

(57)

55 ruang | kreativitas tanpa batas

Intervensi ruang publik oleh Cepot dan kawan-kawan, Jakarta. (Foto: Sigit Kusumawijaya)

Sejalan dengan perkembangan jaman, ruang publik telah meluas

melampaui ranah isik dan geograis

yang dapat dinikmati secara langsung. Informasi dan teknologi komunikasi telah berkembang pesat di kota-kota besar di Indonesia dalam dua dekade terakhir. Saat ini, dengan kecanggihan teknologi, ruang publik juga hidup di dunia maya. Hal ini membuat perubahan

dalam berkegiatan sosial-budaya ekonomi, sosial, dan kelembagaan terutama di perkotaan. Terciptakah bentuk konektivitas baru antar manusia yang tidak lagi terbatas oleh

kehadiran isik dan letak geograis.

Muncullah fenomena komunitas yang semakin umum dikenal sebagai komunitas jejaring.

Kemudahan mengunduh aplikasi di internet mempermudah penggunanya untuk membentuk komunitas online berdasarkan

KOMUNITAS

ONLINE

DI

(58)

56

edisi #9: Komunitas

Fenomena adiksi penggunaan gadget dan media sosial di kota-kota besar di Indonesia. (Foto: internet)

kesamaan kepentingan dan ketertarikan. Komunitas online adalah kumpulan orang

(masyarakat) yang melakukan kegiatan dalam bentuk pertukaran informasi dan pengetahuan dengan bantuan Information and Communications Technology (ICT). Komunitas online dapat dibentuk dengan hanya beberapa orang atau anggota yang terbatas. Beberapa contoh komunitas online misalnya komunitas alumni atau hobi.

Komunitas ini menjadi contoh bahwa konektivitas tidak terbatas

oleh pertemuan secara isik, bisa

juga melalui dunia maya. Ini adalah fenomena menarik untuk dikaji karena jenisnya beragam, walaupun pada kenyataannya, kegiatan ini

masih memerlukan pertemuan

isik secara real time dan ruang.

Keberadaan komunitas online ada yang bertahan lama atau hanya sementara. Minat yang mendorong pembentukan komunitas online adalah representasi dari aktualisasi diri manusia yang tidak cukup dengan memenuhi kebutuhan primer dan sekunder di dunia nyata (Maslow dalam Williams, 1995). Kecenderungan terhadap penggunaan facebook, twitter, path, mailing list, whatsapp, dan lainnya memperlihatkan bahwa anggota kelompok online tidak tunggal, namun bisa terdiri dari berbagai macam latar belakang.

(59)

57 ruang | kreativitas tanpa batas

Penyebaran beberapa jejaring komunitas Indonesia Berkebun di seluruh Indonesia.

(Grais: Sigit Kusumawijaya)

Indonesia Berkebun

komunitas-komunitas yang menggunakan teknologi media sosial untuk berkomunikasi dan berinteraksi, kemudian melakukan pertemuan secara langsung untuk menciptakan ruang publik kreatif yang baru untuk menciptakan kota yang lebih nyaman dan layak huni.

Indonesia Berkebun adalah komunitas yang bergerak melalui jejaring sosial (baik itu twitter, facebook atau blog) untuk menyebarkan semangat positif agar lebih peduli terhadap lingkungan dan perkotaan dengan program urban farming. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan lahan tidur di kawasan perkotaan yang diubah fungsi menjadi lahan

pertanian/perkebunan produktif dengan peran serta masyarakat sekitar. Semangat ini berawal dari media sosial twitter @Idberkebun yang disambut baik oleh para netizen yang menginginkan kota yang lebih sehat, lebih hijau, dan lebih membawa manfaat. Dengan semangat untuk berbagi, para

”sahabat berkebun” menjadi

buzzers dan inluencers, baik di twitter maupun jejaring sosial lainnya. Sehingga saat ini Indonesia Berkebun sudah berkembang di lebih dari 31 kota & 9 kampus di Indonesia, tergabung dalam jejaring Indonesia Berkebun yang memiliki visi dan tujuan yang sama.

(60)

58

edisi #9: Komunitas

Indonesia Berkebun bercita-cita untuk menularkan semangat urban farming ini kepada warga lainnya untuk lebih peduli terhadap lingkungan perkotaan. Agar kota menjadi lebih hijau, bersih, sehat nyaman dan mempunyai nilai dan kualitas yang tinggi untuk ditinggali oleh generasi penerus, dan memiliki kemandirian pangan.

Keuken adalah festival makanan sehari yang membahas isu pemanfaatan ruang publik kota melalui kebijaksanaan budaya yang terinspirasi dari jalanan. Keuken adalah gabungan dari beberapa komunitas yang mencintai kuliner lokal dan sebuah upaya untuk memecahkan kemonotonan Indonesia Berkebun mengembangkan

kelas @akademiberkebun untuk belajar berkebun dan bisnis tentang agrikultur yang diberikan kepada publik secara cuma-cuma. Kelas ini biasa dilakukan secara

ofline di beberapa tempat yang

membutuhkan edukasi, seperti kelompok masyarakat, perusahaan maupun sekolah-sekolah TK ataupun SD.

Indonesia Berkebun sudah banyak mendapatkan apresiasi, baik dari media ataupun penghargaan berskala nasional hingga internasional, seperti

Google Asia Paciic Awards 2011 (kategori: ”Web Heroes”), Nutrifood

Inspiring Movement 2014, ataupun shortlisted di Ashoka Changemakers

2013.

Keramaian acara Keuken Bandung. (Foto: internet)

(61)

59 ruang | kreativitas tanpa batas

telah memfasilitasi berbagai gerakan

sosial. Beberapa ”Buzz” gerakan sosial memiliki jangkauan yang luas, namun langsung dan personal.

Menurut Pontoh (2012), seorang pakar media sosial, Indonesia adalah

satu-satunya ”negara maritim kepulauan terbesar di dunia”. Ini menentukan

perilaku sosial masyarakatnya yang unik yang berbeda dari seluruh dunia. Masyarakat Indonesia memiliki perilaku orang maritim yang sangat ramah dan terbiasa saling membantu orang di sekitarnya serta berkolaborasi dalam keragaman yang damai. Itulah sebabnya masyarakat Indonesia cenderung senang untuk berkumpul. Ini dapat dilihat melalui warisan kearifan lokal seperti pada arisan, pengajian, atau sekedar nongkrong di warung kopi. Seperti halnya keramahan dan sambutan selamat datang untuk tamu yang tercermin melalui pembagian dapur yang kering dan dapur yang basah pada rumah-rumah masyarakatnya. Dengan alasan tersebut, masyarakat Indonesia cenderung sangat mudah untuk dikumpulkan atau diminta bantuan jika ada sesuatu yang menarik, yang lain pun ikut bergabung, dengan kata

lain sering disebut ”latah”. Fenomena

ini juga yang timbul di era media sosial sekarang ini, yang membuat pembentukan komunitas online dan mengumpulkan anggotanya untuk

bertemu secara isik sangatlah mudah

di Indonesia. Hal ini juga menunjukkan bahwa aktivitas komunitas online telah membawa konektivitas baru manusia. kehidupan perkotaan dengan cara

mereklamasi ruang publik. Komunitas ini mempertanyakan kembali peran kota dan kejujuran kota di dalam kehidupan sehari-hari. Keuken juga berusaha mengungkapkan kesenjangan yang hilang di antara dua hal menarik antara kenikmatan nafsu makan sehari-hari dan kebutuhan ruangnya pada waktu yang sama. Keuken merayakan perebutan ruang kota dengan kemeriahan kebutuhan dasar manusia, yaitu makan. Keuken berusaha mengumpulkan kaum muda kota dengan memangaatkan potensi laten dari budaya nongkrong dalam masyarakat Indonesia dikombinasikan dengan atraksi makanan jalanan. Keuken mempertemukan masyarakat lokal dan komunitas kreatif untuk berkomu

Referensi

Dokumen terkait

pertanyaan awal kepada siswa secara lisan yang diarahkan pada anak tema: Healthy Foods dengan gambar; Guru menyampaikan tujuan pembelajaran; Guru menyajikan

Walaupun mereka mampu, kebanyakan dari mereka kurang cepat dan tepat untuk membantu persoalan penambahan serta pengurangan, maka dengan adanya pembelajaran

Gagasan utama yang direpresentasikan melalui Batu dan Täbä adalah pemeliharaan Allah dalam sejarah masyarakat setempat.. Menghidupkan kembali makna inilah yang

Melatih anak sejak dini dengan bekerja sebenarnya hal yang positif agar anak tidak terbiasa bergantung kepada orang tua seperti di Negara-negara maju contohnya Jepang

Secara umum, beberapa tanaman sayuran indigenous menunjukkan pertumbuhan (tinggi, diameter, panjang daun, lebar daun, panjang cabang dan panjang tangkai daun), persentase edible

Gambaran mengenai kondisi transportasi khususnya berjalan kaki di kawasan Pendidikan Yogyakarta sebagaimana yang telah dijelaskan di atas menjadi dasar perlunya dilakukan

Meskipun pemupukan NPK nyata mempengaruhi bobot kering polong dibanding kontrol, namun penambahan pupuk hayati pada dosis N yang lebih rendah (1/4–1/2 N), meningkatkan hasil

Dari hasil penelitian ini, didapatkan bahwa setelah melakukan penelitian terhadap implementasi media promosi online melalui aplikasi instagram pada Alter Ego