• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sesudah Jepang Menyerah Pemulihan Kedaulatan

Dalam dokumen Hukum Acara Pidana 004 (Halaman 48-55)

Di Indonesia terdapat 2 macam pengadilan : 1. Di daerah RI

2. Di daerah Indonesia yang diduduki kembali oleh pemerintah Hindia Belanda. Susunan pengadilan RI hampir tidak mengubah susunan sebelumnya (masa Jepang),

hanya nama dan istilahnya saja yang diubah. 1. Pengadilan Kewedanan

2. Pengadilan Kabupaten 3. Pengadilan Negeri 4. Pengadilan Tinggi 5. MA.

Dasar konstitusi susunan pengadilan jaman pemulihan kedaulatan diatur dalam pasal 24 dan 25 UUD 1945.

UU No. 19 / 1948 untuk daerah yang tidak diduduki Belanda tidak pernah dilaksanakan karena ada Agresi Militer II Oleh Belanda.

Pengadilan Banding :

Jawa dan Madura : UU No.20 / 1947 yang juga menghapuskan pengadilan swapraja. Pengadilan mengadili atas nama RI.

Hukum acaranya menggunakan ketentuan HIR Stb.1941 No.44.

Susunan Peradilan Di Indonesia Yang Diduduki Belanda

Berbeda dengan RI

Belanda menyadari bahwa dualistis dalam peradilan harus dihapuskan. Sistem peradilan diunifikasikan sehingga pengadilan lainnya terdiri dari :

1. Landrechter secara baru perkara pidaana

Yang mengadili adalah hakim tunggal yang mengadili dengan ketentuan HIR.

Pada perkara pidana tidak diperkenankan banding, karena wilayah pendudukan Belanda dan RI selalu berubah-ubah.

2. Apelraad (banding) perkara perdata

Hanya mengadili perkara perdata yang sudah diputus. Lanrechter secara baru yang meminta banding.

Hanya berada di beberapa kota saja : Medan, Jakarta, Surabaya, Makasar. 3. Hogeerechtschopt (kasasi).

Pengadilan tertinggi, namun tidak mengadili perkara pada tingkat provinsi. Hanya mengadili kasasi untuk kepentingan hukum (lebih luas)

Sebelumnya mengadili pada tingkat kasasi demi UU Pasal 144 – 163 Konstitusi RIS :

Seluruh negara bagian diberi wewenang untuk mengatur, membuat, peradilan sendiri sehingga pengadilan yang semula sudah diunifikasikan tidak seragam lagi. Namun disadari bahwa diperlukan suatu peradilan yang berlaku bagi semua

golongan bangsa. 17 Agustus 1950 :

Kembali menjadi negara kesatuan RI dimana cita-cita mendirikan pengadilan dapat diwujudkan dengan dikeluarkannya UU Darurat No.1 / 1951.

LN 1951 No.9 13 Januari 1951 dan mulai berlaku 14 Januari 1951 diberi nama tindakan – tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara pengadilan : sipil.

UU No.1 / 1961 : menyatakan bahwa semua UU Darurat dan peraturan pemerintah yang ada sebelum itu dinyatakan menjadi UU.

Maka UU Darurat ini selalu dituliskan dengan UU Ng 51 / Drt No.1 untuk mengingatkan bahwa UU ini asalnya hanya UU Darurat.

Susunan pengadilan diubah menjadi 3 : 1. Pengadilan Negeri

Pengadilan tingkat 1 yang mengadili untuk semua golongan di wilayah Indonesia.

Berwenang mengadili baik perdata maupun pidana.

UU No. 14 Tahun 1970 tentang Hukum acara di PN (sipil).

Ketentuan HIR harus digunakan sebelum menggunakan ketentuan pidana (pasal 6 UU tahun 51 Drt No.1)

Yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dengan majelis (sejak tahun 1951) adalah PN yang berada di Ibukota propinsi.

Pengadilan Negeri ada di tiap ibukota kabupaten dan ibukota DT.II 2. Pengadilan Tinggi.

3. Mahkamah Agung. Wewenang MA :

1. Melakukan pengawasan terhadap sejumlah lingkungan peradilan di seluruh wilayah Indonesia.

2. Memberikan keringanan, petunjuk baik dengan surat edaran untuk kepentingan negara.

3. Melakukan pengawasan tertinggi.

4. MA berwenang membereskan sengketa mengadili antara pengadilan, namun tidak dalam satu wilayah.

5. Mengadili pada tingkat kasasi.

Pasal 53 : MA memberikan keterangan, petunjuk tentang hal – hal yang berhubungan bila dimintakan oleh hakim.

Pengadilan tertinggi untuk seluruh pengadilan berkedudukan di ibukota negara. Kekuasaan tertinggi didasarkan pada UU MA tahun 1950 No. 1 LN 1950 No. 30

yang dikeluarkan 6 Mei dan berlaku 9 Mei 1950. Susunan peradilan terdiri dari :

1. Ketua 2. Wakil ketua

3. Para Hakim Agung 4. Panitera Pidana 5. Perdata

Peradilan Militer

Dalam praktek, kesempatan untuk mengajukan permohonan ke MA jarang dilakukan oditur militer. Karena ada satu kesatuan komando.

Tidak selalu di Mahmil (Mahkamah Militer) tergantung kesepakatan. Hakim yang mengadili pangkatnya harus lebih tinggi dari terdakwa. Pada peradilan militer juga berlaku asas oportunitas dan legalitas.

Bermula dari diserahkannya perkara dengan SK penyalahgunaan disertai dengan surat dakwaan yang dibuat oleh Oditur militer.

Saat pertama menerima perkara dari PamRad di pengadilan, ketua MA pertama memeriksa apakah sudah sesuai dengan ketentuan UU no. 5 / 1960 Ps. 3 menyangkut Justiable (kewenangan) :

1. Seseorang yang pada waktu itu adalah anggota ABRI.

2. Seseorang yang pada waktu itu dengan UU / PP ditetapkan sama dengan anggota ABRI.

3. Seseorang yang pada waktu itu adalah anggota suatu golongan / jawatan yang dipersyaratkan / dianggap sebagai anggota ABRI berdasarkan UU.

4. Seseorang yang tidak termasuk golongan 1, 2 dan 3, tapi berdasarkan keputusan Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh Mahkamah di lingkungan Peradilan Militer.

Pengadilan koneksitas harus dilengkapi dengan SK bersama apabila akan diperiksa di lingkungan peradilan militer.

Mahkamah Militer Daerah

Pengadilan militer pada Mahkamah Militer Daerah tingkat I, perkara – perkara kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota ABRI atau angkatan perang yang berpangkat Klapel ke bawah, dengan ketentuan bahwa pelaku itu termasuk ke dalam satu pasukan yang berada dalam wilayah.

Surat penetapan hari sidang harus memuat perintah selambat-lambatnya pemberitahuan surat keputusan itu kepada tersangka dalam waktu 3 x 24 jam sebelum sidang dimulai.

Pemanggilan Saksi – saksi : jika saksinya adalah anggota ABRI, dilaksanakan melalui atasan masing – masing dan atasan yang bersangkutan wajib memerintahkan bawahannya untuk menghadiri persidangan.

Mahkamah Militer mengadili dengan hakim majelis (3 orang).

Jika anggota ABRI diancam hukuman mati maka mahkamah harus menunjuk pembela, penunjukkannya ditetapkan dalam SK tersendiri.

Untuk perkara – perkara yang kelengkapan syaratnya sudah cukup, dapat segera disidangkan oleh mahkamah.

Persidangan Mahkamah Militer : serangkaian kegiatan yang dilakukan badan peradilan dalam menjalankan fungsinya yaitu melaksanakan kekuasan kehakiman di lingkungan peradilan militer.

Kekuasaan kehakiman : sesuai dengan pasal 1 UUPKK (Undang-undang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman)

Peradilan militer terdiri dari : a. Hakim militer

Seorang hakim militer yang ahli hukum. Biasanya mereka ditunjuk sebagai ketua majelis pangkat : perwira menengah, minimal bintara menengah.

b. Hakim perwira.

Tidak dipersyaratkan seorang yang ahli hukum, namun mempunyai satu keahlian khusus. Misalnya masalah mengenai seni tempur.

Mahkamah militer ini diambil dari berbagai kesatuan. Harus ada : 2 orang hakim perwira

1 penuntut / oditur militer

1 panitera (mencatat segala sesuatu yang terungkap dalam persidangan/ menyelesaikan administrasi persidangan mahkamah).

Setelah pemeriksaan dilakukan, perkara diputus harus secara lisan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dilakukan dihadapan terdakwa.

Setelah putusan, diberitahukan kepada terdakwa tentang hak-haknya : 1. Berpekara

2. Menerima putusan

4. Penangguhan eksekusi grasi

MahMilTi (Mahkamah Militer Tinggi/ Pengadilan Tingkat Tinggi)

Berbeda dengan pengadilan tinggi biasa.

Di lingkungan pengadilan militer dapat memeriksa dan memutus untuk tingkat pertama perkara – perkara kejahatan dan pelanggaran dimana terdakwanya atau salah seorang terdakwanya pada waktu melakukan tindak pidana berpangkat mayor ke atas (minimal bintang satu).

Pengadilan tingkat ini memeriksa dan mengadili tingkat 2 dimana perkaranya dapat banding.

Wewenang mengadakan tingkat pemeriksaan di tingkat banding yang dilakukan oleh pengadilan harus memenuhi beberapa ketentuan :

1. Permohonan banding dapat diajukan baik secara tertulis maupun lisan oleh tersangka ataupun oditur militer atau mengkuasakan kepada orang lain dengan surat khusus kepada ketua mahkamah militer ini.

2. Harus disampaikan dalam waktu 14 hari sejak putusan dijatuhkan.

3. Panitera membuat akta banding atas permohonan tersebut yang telah ditandatangani oleh pemohon dan panitera.

4. Bila yang mengajukan banding adalah oditur militer, maka harus segera diberitahukan kepada terpidana.

Permohonan sidang ini sewaktu – waktu dapat dicabut kembali selama putusan belum diputus.

Untuk permohonan yang pernah dicabut tidak boleh diajukan lagi. Permohonan diajukan 14 hari ke Mahmilti sejak permohonan diajukan.

Tujuh hari sebelum perkara dikirim, kepada pihak yang mengajukan banding diberi kesempatan untuk memeriksa berkas perkara.

Dengan adanya permohonan banding maka wewenang kepada terdakwa beralih kepada Mahkamah Tinggi.

Perkara yang diterima di Mahmilti dan memenuhi syarat selanjutnya dikirim pada ketua Mahmilti yang akan mengajukan persidangan.

Mahmilti bersidang dengan seorang ketua atau ketua pengganti dan 2 orang hakim perwira (sebagai asisten) ditambah 1 orang panitera / panitera pengganti.

Putusan Mahmilti dapat berupa :

1. Menguatkan putusan mahkamah pertama apabila alasan/ dasar hukumnya dibenarkan.

2. Memperbaiki putusan bila terdapat kesalahan dalam putusannya.

3. Membatalkan putusan mahkamah yang pada tingkat pertama dibatalkan sehingga Mahmilti memberi putusan sendiri.

Misal pertimbangan – pertimbangan yang tidak sesuai dengan Mahmilti. Masalah kompetensi misalnya bila Mahmilda tidak berhak menangani

perkara dalam hal kemudian.

Perkara berikut surat – suratnya harus dikirimkan kepada anggota (majelis) yang dianggap mengadili.

Putusan ditandatangani oleh hakim majelis, panitera.

Isi putusan segera harus diberitahukan kepada terdakwa oleh panitera Mahmil. Eksekusi dilaksanakan oleh oditur militer.

Barang – barang bukti diperlakukan sesuai dengan putusannya.

Eksekusi dijalankan sebelum ada putusan presiden tentang eksekusi, untuk hukuman mati, hakim harus meminta persetujuan kepala negara dulu.

Pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan cara ditembak.

Tempat pelaksanaan (ditentukan oleh Menhankam / Pangab) di daerah Mahkamah yang menjatuhkan sanksi.

Pangda bertanggungjawab mengenai pelaksanaan eksekusi setelah mendengar saran dari oditur militer yang menentukan hari dan tanggal pelaksanaan eksekusi.

Eksekusi dilaksanakan oleh satu regu, bila si terpidana adalah wanita yang sedang hamil maka eksekusi ditangguhkan sampai anak itu lahir.

Eksekusi pidana dalam pelaksanaannya harus diberitahukan 3 x 24 jam sebelum dilaksanakan.

Tidak dilakukan di muka umum.

Penguburan jenazah diserahkan pada keluarganya / kenalannya. Tidak boleh dilakukan secara demonstratif.

Dalam pelaksanaannya oditur harus membuat berita acara sesuai UU No.5 / 1960, UU Drt No 1 /1958.

Dalam dokumen Hukum Acara Pidana 004 (Halaman 48-55)

Dokumen terkait