• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. BIOGRAFI MUHAMMAD QURAISH SHIHAB

A. Setting Sosial

Muhammad Quraish Shihab berasal dari keluarga ulama berpengaruh di Ujungpandang (Makassar). Ayahnya, Abdurrahman Syihab (1905-1954) adalah seorang guru besar dalam bidang tafsir. Selain bekerja sebagai wiraswasta, ayahnya sejak muda juga melakukan kegiatan berdakwah dan mengajar, terutama dalam bidang tafsir (Iqbal dan Nasution,2010:252). Quraish Shihab lahir 16 Februari 1944 di Lotassalo, kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan (Anwar,dkk,2015:XXII) yang berjarak sekitar 185 km dari kota Makassar (Anwar dkk,2015:3).

Rappang adalah kampung halaman ibunda Quraish, Asma Aburisy. Ibunya merupakan keturunan bangsawan, nenek Asma, Puattulada, adalah adik kandung Sultan Rappang (Anwar,dkk,2015:5). Darah Bugis mengaliri tubuhnya. Sedangkan ayahnya, Habib Abdurrahman Shihab yang lahir di Makassar 1915, menitis darah Arab. Abdurrahman adalah putera Habib Ali bin Abdurrahman Shihab, seorang juru dakwah dan tokoh pendidikan kelahiran Hadramaut, Yaman yang kemudian hijrah ke Batavia (Anwar,dkk:5).

Shihab adalah marga yang sudah melekat pada leluhur Quraish dari pihak ayahnya selama ratusan tahun. Shihab merujuk pada dua ulama besar, Habib Ahmad Syahabuddin al-Akbar (wafat 946 H) dan cucunya Habib Ahmad Syahabuddin al-Ashgar (wafat 1036 H). Kata Syahabuddin kemudian disingkat menjadi Syahab. Hampir semua keturunan Ahmad Syahabuddin al-Ashgar kemudian disebut bin Syahab. Belakangan ada yang tetap menggunakan Syahab ada yang Syihab termasuk keluarga Quraish (Anwar,dkk:9).

Dalam bahasa Arab, meski pengucapannya beda, arti syihab atau syahab sebenarnya sama saja, yaitu suluh api atau bintang. Ayahnya mengatakan kata syihab lebih tepat karena sesuai yang tertera dalam ayat Al Qur‟an (Anwar,dkk:9). Pada namanya dituliskan sjihab, sesuai ejaan lama. Demikian juga pada nama Quraish saat ia didaftarkan di SD Lomponattang, Makassar dan SMP Muhammadiyah Malang; tertera nama Quraisj Sjihab. Tetapi setelah mengenyam

pendidikan di Kairo, Mesir, Ia mengganti huruf “SJ” dengan “SH”,

sesuai dengan ejaan bahasa Inggris (Anwar,dkk:10).

Aba Abdurrahman, selalu mengajak anak-anaknya untuk sholat berjamaah, membaca wirid tasbih, tahmid, takbir dan tahlil,...kemudian

mengenalkan putra putrinya tentang Al Qur‟an dengan caranya

tersendiri. Petuah-petuah itu kemudian ditelaah oleh Quraish Shihab sehingga diketahui bahwa sumbernya adalah Al-Qur‟an, Nabi, Sahabat

membimbingnya. Petuah dari Sang Ayah menumbuhkan benih-benih kecintaan terhadap tafsir dalam jiwanya.

Quraish hanya 1 tahun mengenyam pendidikan di SMP Muhammadiyah Makassar. Kemudian nyantri di Pesantren Dar al-Hadits al Fiqhiyah Malang, Jawa Timur sekaligus melanjutkan pendidikan SMP di Malang, Quraish meninggalkan Indonesia merantau ke Mesir pada usia 14 tahun bersama adinya Alwi 12 tahun (Anwar,dkk,2015:14). Ayahnya selalu menekankan pendidikan tinggi untuk anak-anaknya. Bahkan Aba Adurrahman pernah menyatakan

“Kalau perlu Aba jual gigi” dan “jangan pulang sebelum doktor”

(Anwar,dkk,2015:12-13). 2. Nyantri di Malang

Quraish Shihab nyantri di Ma‟had (Pesantren) Dar al- Hadits al Fiqhiyah Malang, Jawa Timur yang terletak di jalan Aris Munandar pada tahun 1956. Habib Abdul Qadir Bilfaqih, pendiri sekaligus

pinpinan ma‟had memberinya izin untuk belajar di dua lembaga

pendidikan sekaligus, yaitu ma‟had dan SMP Muhammadiyah Malang (Anwar,dkk,2015:43).

Quraish memang menjadi santri kesayangan Habib, bukan karena anak dari Aba Abdurrahman melainkan ketekunan belajarnya

yang berbeda dengan santri yang lain. Di ma‟had al-Fiqhiyah inilah Quraish belajar tentang keikhlasan adalah kunci utama proses belajar mengajar serta jalan yang ditempuh dalam mencari ilmu dan

mengamalkannya harus disertai kerendahan hati dan rasa takut kepada Allah. Hal itu tidak hanya didengarnya sebagai petuah akan tetapi tercermin dalam kehidupan guru-gurunya terutama sosok yang sangat dicintainya yaitu Habib Abdul Qadir Bilfaqih. Seringnya menyertai

Habib dalam berdakwah di luar ma‟had secara tidak langsung Quraish

terlatih berdakwah (ceramah) di muka umum. Pernah beberapa waktu Quraish diberikan kesempatan untuk memberikan ceramah sebelum giliran Habib. Bahkan Quraish menyatakan,” Tapi dampak ajaran Habib jauh lebih berarti dari belasan tahun masa studi saya di Mesir.”

(Anwar,dkk,2015:49). 3. Ke Kairo Berburu Doktor

Bersama 14 anak muda berbeasiswa utusan provinsi Sulawesi Quraish berangkat menaiki kapal selama 16 hari. Baginya berangkat ke Mesir adalah mewujudkan mimpi Aba Abdurrahman yang dulu sangat ingin menuntut ilmu ke negeri piramida itu. Keberangkatan studi ke Kairo, Mesir tercatat bulan November 1958. Ia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar ((Iqbal dan Nasution,2010:252).

Hidup sederhana mengandalkan uang beasiswa berlangsung lama karena memang ayahnya tidak mengirimi uang tetapi tidak putus mengirimi nasehat (Anwar,dkk,2015:62). Bukan karena tidak punya uang melainkan ayahnya menanamkan sikap mandiri sejak dini.

Quraish Shihab menemukan sosok idola seperti Habib Abdul Qadir bilfaqih dulu. Yaitu Syeikh Abdul Halim Mahmud seorang pengagum Al Ghazali, dosen Al-Azhar sufi rasional yang sangat rendah hati, kepintarannya membuatnya digelari “Imam al-Ghazali

abad XX.” (Anwar,dkk,2015:75). Darinya Quraish belajar kesederhanaan. Quraish pernah sangat sedih karena nilai bahasa Arabnya tak mencukupi untuk masuk di Jurusan Tafsir Fakultas Ushuluddin yang Syeikh Halim sebagai dekannya. Nilainya 5,5 sedikit di bawah ambang batas masuk jurusan Ilmu Tafsir, nilai 6. Kegagalan itu justru menjadi pintu untuk Quraish memasuki lebih dalam ranah tasawuf. Ia tersadar, salah satu prinsip dasar sekaligus ajaran dalam fakultas Ushuluddin adalah masalah manusia dan takdir (Anwar,dkk,2015:69).

Masa setahun dikejar, lulus SMA ia mengantongi dua ijazah sekaligus. Ijazah khusus siswa asing, Ma‟had al-Bu‟uts al-Islamiyah,

dan Ma‟had al-Qahirah, dengan tambahan mata pelajaran khusus siswa Mesir. Semangatnya membaja dengan ditambah vitamin penguat

di saat lemah yaitu “ingin seperti Syeikh Abdul Halim Mahmud dan Habib Adurrahman Shihab.”(Anwar,dkk,2015:70).

Setelah 9 tahun di rantau orang, Quraish meraih sarjana Tafsir

dan Hdits. Hasil ujiannya dengan predikat “Jayyid Jiddan” membuatnya dengan mudah masuk tingkat master. Hanya dua tahun, Quraish sudah meraih gelar Master of Art (M.A) pada jurusan yang

sama. Tesisnya tak jauh dari Al Qur‟an. “Al-I‟jaz at-Tasyri‟i li al

-Qur‟an al-Karim”(Kemukjizatan al-Qur‟an al-Karim dari Segi Hukum) (Anwar,dkk,2015:72).

4. Keluarga Shihab

Saat itu Quraish Shihab berusia 30 tahun dan menjabat sebagai wakil rektor IAIN Alauddin, Makassar. Kelaurga mendesaknya agar segera menikah. Sudah ada puluhan gadis dikenalkan padanya tetapi tak kunjung kepincut. Sampai pada sahabat keluarga pengusaha asal Surabaya, Hasan Assegaf, mengajaknya melihat gadis Solo. Gadis itu keponakan Hasan. Namanya Fatmawaty Assegaf. Ia anak kedelapan dari 15 bersaudara, putri pasangan Ali Abu Bakar Assegaf dan Khadijah (Anwar,dkk,2015:94).

Sejak pertama bertemu mereka langsung klop dan saling cocok. Akhirnya mereka menikah pada tanggal 2 Februari 1975. Ngunduh mantu di Makassar pada tanggal 16 Februari 1975 tepat pada hari ulangtahun Quraish. Sementara tinggal di rumah orang tua di Jl. Sulawesi Lorong 194 Nomor 7 (Anwar,dkk,2015:103). Setelah dua pekan bersama orang tua, pasangan ini pindah ke rumah kontrakan yang berada di Jl. Bawakaraeng, persis di depan gedung SMA Negeri I, hanya berjarak 15 menit dari rumah orang tuanya (Anwar,dkk,2015:105)

Pada tanggal 17 Ramadhan bertepatan tanggal 11 September 1976 di Solo lahirlah anak pertama mereka yang diberi nama Najeela

(Elaa). Anak kedua lahir setahun berikutnya, 16 September 1977,

bertepatan dengan Hari Raya „Idul Fithri 1 Syawal. Kali ini melahirkan

di Rumah Sakit Pertiwi, Makassar. Bayi yang kulitnya putih bersih, mata bundar, dan rambut hitam lebat ini diberi nama Najwa (Nana). Setelah memiliki dua anak inilah Quraish memutuskan berangkat kembali ke Mesir untuk mendapatkan gelar doktor.

Anak ketiga lahir di Solo, 29 Agustus 1982 yang diberi nama Nasywa yang berarti puncak kebahagiaan karena sebagai pelengkap kebahagiaan Quraish setelah meraih gelar doktor. Anak laki-laki yang ditunggu lahir pada tanggal 1 Juli 1983 dengan diberikan nama Ahmad, nama lain untuk Rasulullah saw.

Tahun 1984, dua tahun pulang dari Kairo, Quraish mendapat tawaran langsung dari rektor, Harun Nasution untuk mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Anwar,dkk,2015:112-113). Tawaran itu diterimanya dan pindah ke Jakarta bersama keluarga. Pada tahun 1985, Fatmawaty kembali hamil dan dikaruniai anak perempuan yang lahir pada tanggal 30 Agustus 1986. Anak bungsunya ini debiri nama Nahla. 5. Pengabdian

Sepulangnya dari pengembaraan Ilmiah di Mesir, M. Quraish Shihab memperoleh jabatn sebagai Pembantu Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan IAIN Alauddin Ujungpandang. Ia juga menjabat sebagai Kopertais (Koordinator Perguruan Tinggi Swasta) Wilayah VII Indonesia Bagian Timur, maupun di luar kampus seperti

Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujungpandang ini, dia juga sempat melakukan berbagai penelitian; antara lain, penelitian dengan tema

“Penerapan Kerukunan hidup Beragama di Indonesia Timur” (1975) dan “Masalah Wakaf Sulawesi Selatan”

Merasa tidak puas dengan pendidikan Master, juga merasa utang belum lunas pada 1980 an ia kembali berangkat ke almamaternya dulu, Azhar, dengan spesialisasi studi tafsir

al-Qur‟an. Untuk meraih gelar doktor dalam bidang ini. Tekad yang kuat, juga dorongan istri dan anak-anak, membuat Quraish meraih gelar Doktor dalam waktu setengah tahun. Disertasinya berjudul “Nazm ad-Durar li al-Biqa‟i Tahqiq wa Dirasah, suatu kajian dan analisis terhadap keotentikan Kitab Nazm ad-Durar karya al-Biqa‟i. Tidak

main-main, hasilnya cemerlang. Ujian doktoralnya dianugrahi predikat tertinggi, Mumtaz ma‟a Martabat al-Syaraf al-Ula. Summa cum laude

(Anwar,dkk,2015:75).

Sekembalinya ke Tanah Air, M. Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Program Pascasarjana IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Beberapa jabatan pernah diamanahkan kepadanya, diantaranya Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) (sejak 1984), anggota Lanjah Pentashih Mushaf Al-Qur‟an Departemen

Agama (sejak 1969) dan anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (1989), Ia juga aktif di kepengurusan Ikatan Cendekiawan

Muslim Indonesia (ICMI), Perhimpunan ilmu-ilmu Syari‟ah,

Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pada 1995, Quraish Shihab mendapat kepercayaan sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, setelah sebelumnya menjabat sebagai Pembantu Rektor Bidang Akademik. Lalu, pada 1998, Quraish Shihab diangkat Presiden Soeharto sebagai Menteri Agama RI pada Kabinet Pembangunan VII. Namun usia pemerintahan Soeharto ini hanya dua bulanan saja, karena terjadi resistensi yang kuat terhadap Soeharto. Akhirnya pada Mei 1998, gerakan reformasi yang dipimpin oleh tokoh seperti M. Amien Rais, bersama para mahasiswa berhasil menjatuhkan kekuasaan Soeharto yang telah berusia 32 tahun. Jatuhnya Soeharto sekaligus membubarkan kabinet yang baru dibentuknya tersebut, termasuk posisi Menteri Agama yang dipegang oleh Quraish Shihab.

Tidak berapa lama setelah kejatuhan Soeharto, Quraish mendapat kepercayaan dari Presiden B.J. Habibie sebagai Duta Besar RI di Mesir, merangkap untuk negara Jibouti dan Somalia. Ketika menjadi duta besar inilah Quraish Shihab menulis karya monumentalnya Tafsir al-Misbah, lengkap 30 juz sebanyak 15 jilid satu set.

Sepulang dari “kampung halaman” keduanya, Quraish Shihab

studi tentang Al-Qur‟an bernama Pusat Studi Al-Qur‟an (PSQ) di

Jakarta. Selain itu, untuk menerbitkan karya-karyanya, ia juga mendirikan penerbit Lentera Hati (nama yang diambil dari salah satu judul bukunya).

Dalam pengantar bukunya (Shihab,2016:xvi), Quraish Shihab menyampaikan penhormatannya atas jasa-jasa yang diberikan oleh guru dan dosen-dosennya yang telah memberikan ilmu sekaligus keteladanan tentang akhlak. Sebagian dari mereka dirujuk kembali oleh Quraish Shihab buku-bukunya tentang akhlak yang pernah menjadi buku wajib ketika menimba ilmu di al-Azhar Mesir pada tahun enam puluhan, seperti Syaikh Abdul Halim Mahmud, Syaikh

Muhammad Sayyid Nu‟aim, Syaikh Ahmad al-Kumy, Syaikh Abu Bakar Zikra, Syaikh Abdul Aziz Ahmad, dan Habib Abdul qadir Bilfaqih, ulama yang menjadi penuntunnya ketika mondok di Ma‟had

Dar al-Hadits al-Fiqhiyah, Malang.

Dokumen terkait