PEMIKIRAN PENDIDIKAN AKHLAK DALAM
PERSPEKTIF MUHAMMAD QURAISH SHIHAB
(Studi Analisis Buku Yang Hilang Dari Kita Akhlak)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh
NURUL ANIFAH
NIM 111 13 294
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
MOTTO
PERSEMBAHAN
Atas rahmat dan ridho Allah Swt. skripsi sederhana ini penulis persembahkan
untuk:
1. Kedua orang tuaku tercinta Bapak Sarbini dan Ibu Juwarti yang selalu
memberikan kasih sayang, dukungan, dan doa untuk kelancaran urusanku,.
Keempat kakakku (Umi, Ahmad, Siti, dan Maslikhan) serta seluruh
keluarga besarku yang selalu memberikan dukungan sehingga saya dapat
sampai pada titik ini.
2. Sahabat-sahabatku di mana pun berada yang tak jenuh mendengarkan
keluh kesahku dan memberikan motivasi untuk segera menyelesaikan
skripsi ini.
3. Saudara seperjuangan angkatan 2013 terkhusus kelas PAI. H, teman-teman
PPL, KKN, dan teman lainnya di IAIN SALATIGA yang telah
memberikan motivasi, inspirasi, hiburan, dan pengalaman baru sehingga
lebih bersemangat dalam belajar.
4. Seluruh dosen IAIN Salatiga yang telah memberikan ilmu wawasan serta
doa, khususnya untuk Bpk. Rasimin, M.Pd. selaku dosen pembimbing
skripsi saya ucapkan terimakasih untuk kesabaran, nasihat dan
dukungannya selama ini.
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Wr. Wb
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyanyang. Segala puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah Swt.
yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya. Sholawat serta salam
penulis sanjungkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad Saw. yang
telah menuntun umatnya ke jalan kebenaran dan keadilan, sehingga penyusunan
skripsi yang berjudul: “PEMIKIRAN PENDIDIKAN AKHLAK
PERSPEKTIF MUHAMMAD QURAISH SHIHAB (Studi Analisis Buku Yang Hilang Dari Kita Akhlak) dapat terlesaikan.
Penulisan skripsi ini tidak lepas dari berbagai pihak yang telah
memberikan dukungan moril maupun meteriil. Dengan penuh kerendahan hati,
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
IAIN Salatiga.
3. Ibu Siti Rukhayati M.Ag. selaku Ketua Jurusan PAI IAIN Salatiga.
4. Bapak Rasimin, M.Pd. selaku Dosen Pembimbing yang senantiasa
memberikan bimbingan, motivasi dan arahan sehingga skripsi ini dapat
terselaikan dengan baik.
5. Bapak M. Yusuf Khummaini, M.HI. selaku Dosen Pembimbing Akademik
6. Para dosen pengajar di lingkungan IAIN Salatiga, yang telah membekali
pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.
7. Keluarga, saudara, sahabat semua yang telah memberikan dukungan dalam
penyelesaikan skripsi ini
8. Berbagai pihak secara langsung dan tidak langsung yang telah membantu
baik moril maupun materiil dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat
penulis sebutkan satu-persatu.
Semoga amal mereka diterima sebagai amal ibadah oleh Allah SWT serta
mendapatkan balasan yang berlipat ganda. Penulis menyadari dan mengakui
bahwa dalam penulisan ini jauh dari kesempurnaan, semua itu dikarenakan
keterbatasan, kemampuan dan pengetahuan penulis. Sehingga masih banyak
kekurangan yang perlu untuk diperbaiki dalam skripsi ini.
Dengan kerendahan hati penulis mohon saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis pada khususnya maupun pembaca pada umumnya dan
memberikan sumbangan bagi pengetahuan dalam dunia pendidikan.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb
Salatiga, 28 Juli 2017
ABSTRAK
Anifah, Nurul. 2017. Pemikiran Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Muhammad Quraish Shihab (Studi Analisis Buku Yang Hilang Dari Kita Akhlak).
Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Rasimin, M.Pd.
Kata kunci: Pendidikan, Akhlak
Muhammad Quraish Shihab adalah seorang mufassir ternama di indonesia. Salah satu bukunya adalah Yang Hilang Dari Kita Akhlak, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pendidikan akhlak dalam pandangan M. Quraish Shihab dalam buku yang khusus membahas tentang akhlak itu. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah: (1) Bagaimana pendidikan menurut M. Quraish Shihab dalam buku Yang Hilang Dari Kita Akhlak (2) Bagaimana Relevansi relevansi pemikiran M. Quraish Shihab tentang pendidikan akhlak terhadap pendidikan di Indonesia saat ini.
Metode yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research). Data yang diperoleh bersumber dari literature. Sumber data primer adalah buku
Yang Hilang Dari Kita Akhlak, sumber sekundernya adalah buku-buku lain yang berkaitan dan relevan dengan tema penelitian ini. Adapun teknik analisis data menggunakan metode deskriptif, deduksi, dan induksi.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN LOGO ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN KELULUSAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... v
MOTTO... vi
PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
ABSTRAK ... x
DAFTAR ISI ... xi
BAB I. PENDAHULUAN……….. 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 3
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 4
E. Metode Penelitian ... 5
F. Penegasan Istilah ... 8
G. Sistematika Penulisan... 11
BAB II. BIOGRAFI MUHAMMAD QURAISH SHIHAB……… 11
A. Setting Sosial ... 12
C. Sekilas Tentang Buku... 22
D. Corak Pemikiran... 23
BAB III. PEMIKIRAN M. QURAISH SHIHAB TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK……… 26
A. Pendidikan Akhlak... ... 26
1. Pengertian Pendidikan ... 26
2. Pengertian Akhlak... ... 27
B. Pendidikan Akhlak Menurut Quraish Shihab ... 29
1. Baik dan Buruk... 30
2. Akhlak Luhur... ... 32
3. Cara Membentuk Akhlak... .... 40
BAB IV. ANALISIS PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT M. QURAISH SHIHAB DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN AKHLAK DI INDONESIA……….. 44
A. Analisis Pendidikan Akhlak Menurut M. Quraish Shihab ... . 44
B. Relevansi Pendidikan Akhlak menurut M. Quraish Shihab dengan Pendidikan Akhlak di Indonesia... 54
BAB V. PENUTUP………... 66
A. Kesimpulan... .. 66
B. Saran-saran ... .. 67
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam datang sebagai pencerahan atas gelapnya zaman yang
melanda kehidupan manusia. Jahiliyah merupakan sebutan bagi zaman
yang mengalami kebobrokan akhlak dan perilaku sosial lainnya. Allah
swt. mengutus Nabi Muhammad saw. untuk membawa risalah kenabian
yang mana satu pokok tujuan risalahnya adalah perihal akhlak. Beliau
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: “sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) semata-mata untuk
menyempurnakan kemuliaan akhlak”. (HR. Al-Bukhari,
al-Hakim dan al-Baihaqi)
Pendidikan merupakan sebuah jembatan bagi manusia untuk
mengetahui segala sesuatu, mengidentifikasi antara yang haq dan bathil.
Proses mencari tahu dan memberitahu merupakan hakikat manusia sebagai
makhluk Allah swt. yang dikaruniai akal. Mencari tahu dari diri sendiri,
orang lain dan alam sekitar. Menurut Sadulloh (2014:3-4) pendidikan
memiliki arti khusus dan arti luas. Dalam arti khusus pendidikan hanya
dibatasi sebagai usaha orang dewasa dalam membimbing anak yang belum
pendidikan merupakan usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan
hidupnya, yang berlangsung sepanjang hayat.
Pendidikan merupakan suatu kebutuhan pokok bagi manusia.
Karena hal ini potensi dididik dan mendidik (Daradjat,1996:16). Urgensi
pendidikan bagi manusia sudah tidak dapat dielakkan lagi. Selain sebagai
pelaku pendidikan, manusia juga sebagai sasaran pendidikan. Hal itu
dikarenakan manusia adalah makhluk istimewa yang memiliki
komplektifitas tinggi sehingga perlu untuk dipelajari. Adapun fokus utama
pendidikan agama islam adalah membentuk manusia yang berakhlak
mulia.
Para pakar Muslim menyatakan bahwa akhlak adalah sifat dasar
yang telah terpendam di dalam diri dan tampak ke permukaan melalui
kehendak dan terlaksana tanpa keterpaksaan oleh satu dan lain sebab
(Shihab,2016:4). Akhlak merupakan sifat yang dekat dengan iman. Baik
buruknya akhlak menjadi salah satu syarat sempurna atau tidaknya
keimanan seseorang. Orang yang beriman kepada Allah akan
membenarkan dengan seyakin-yakinnya akan ke-Esa-an Allah, meyakini
bahwa Allah mempunyai sifat sempurna dan tidak memiliki sifat kurang,
atau menyerupai sifat-sifat makhluq ciptan-Nya (Siroj,2004:3).
Untuk mengetahui bagaimana seseorang dapat berakhlak terpuji
atau tercela, Imam al-Ghazali mengemukakan gagasan bahwa,”Bila kondisi kejiwaan itu baik dan melahirkan perbuatan-perbuatan yang dinilai
Sebaliknya pun demikian”.(Shihab:2016,5). Begitu istimewanya sebuah akhlak bahkan menjadi lambang kualitas manusia terkhusus seorang
muslim. Hal ini patut menjadi renungan, bahwa manusia hendaklah
membangun akhlak pribadi semaksimal mungkin untuk mencapai
kesempurnaan sebagai makhluk sebagaimana tuntunan yang telah
diuswahkan oleh Nabi Muhammad saw.
Dalam buku yang berjudul “Yang Hilang dari Kita Akhlak”, M. Quraish Shihab mengupas tuntas tentang makna akhlak hingga akhlak
dinyatakan telah hilang dari dalam diri seorang muslim. Bahkan
akhlak-akhlak islami terlihat di Negara-negara yang mayoritas penduduknya
adalah pemeluk Non-Islam (Shihab,2016:xiii). Tidak jarang kita
mendengar dari orang Barat bahwa apa yang mereka baca tentang islam
jauh berbeda dengan apa yang dipraktikkan oleh yang “mewakili” Islam.
Demikian terlihat bahwa memang ada yang hilang dari kita atau tidak
banyak lagi dari kita yang mengamalkan Islam (Shihab,2016:xiv-xv).
Dengan pandangan yang sangat menarik ini, penulis terdorong
untuk mengangkat judul “Pemikiran Pendidikan Akhlak Menurut Muhammad Quraish Shihab (Studi Analisis Buku Yang Hilang Dari Kita Akhlak)”.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah:
2. Bagaimana relevansi pemikiran M. Quraish Shihab tentang pendidikan
akhlak terhadap pendidikan di Indonesia saat ini?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai tujuan:
1. Untuk mengetahui bagaimana konsep pendidikan akhlak menurut M.
Quraish Shihab.
2. Untuk mengetahui bagaimana relevansi pemikiran M. Quraish Shihab
tentang pendidikan akhlak terhadap pendidikan di Indonesia saat ini.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis
maupun praktis, yaitu:
1. Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif
bagi dunia pada umumnya dan pengembangan nilai-nilai pendidikan
akhlak islamiyah pada khususnya. Serta menambah wawasan tentang
pemikiran M. Quraish Shihab tentang pendidikan akhlak.
2. Praktis
Sebagai masukan yang membangun guna meningkatkan kualitas
lembaga pendidikan terutama pendidikan islam. Diharapkan dapat
menjadi bahan pertimbangan untuk diterapkan dalam dunia
pendidikan. Serta menambah wawasan bagi penulis untuk mengetahui
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat beberapa hal pokok yang mendasari
penelitian, yaitu: jenis penelitian, sumber data, metode pengumpulan data
dan analisis data.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat literer yang berfokus pada referensi buku
dan sumber-sumber yang relevan karena yang dijadikan objek kajian
adalah hasil pemikiran. Penelitian literer lebih difokuskan kepada studi
kepustakaan (Amirin,1995:135). Penelitian dilakukan dengan
mencermati sumber-sumber tertentu, mencari, menelaah buku-buku,
artikel atau yang lainnya yang berkaitan dengan pendidikan akhlak.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subjek darimana data
dapat diperoleh. (Arikunto,1997:107) Sedangkan data-data tersebut
dibagi menjadi dua bagian, yaitu primer dan sekunder.
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah sumber data yang paling utama
digunakan dan sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini.
Adapun sumber data primer adalah buku “yang hilang dari kita
AKHLAK” karya M.Quraish Shihab.
Sumber data sekunder didapatkan dari sumber-sumber
bacaan lain seperti Akhlak yang Mulia karya Humaidi
Tatapangarsa, dan buku-buku pendidikan akhlak lainnya dan
informasi lainnya yang berhubungan dengan judul skripsi ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan meode/teknik pengumpulan data
pustaka yaitu membaca, mencatat serta mengolah bahan penelitian dari
berbagai buku dan karya ilmiah yang mendukung penelitian skripsi ini.
Akan tetapi tetap mengutamakan data primer
4. Analisis Data
Untuk menganalisis data penulis menggunakan beberapa metode,
yaitu:
a. Metode Deskriptif
Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti
status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu
sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa
sekarang. Menurut Whitney yang dikutip oleh Nazir (1985:63)
metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang
tepat. Peneliti melakukan analisis data dengan deskriptif yang
menggambarkan pemikiran M. Quraish Shihab tentang pendidikan
akhlak.
Metode analisis yaitu penanganan terhadap suati
objek-objek penelitian yang satu dengan pengertian yang lain
(Suryabrata,1983:31). Dalam proses ini penulis menggunakan dua
cara yang saling bergantian, yaitu:
1) Proses Analisa Deduksi, yaitu analisa dari pengertian yang
umum kemudian dibuat eksplisitasi dan penerapan lebih
khusus. Yaitu dengan cara mengumpulkan data-data dalam
permasalahan umum kemudian mengerucut pada proses
pengambilan permasalahan-permasalahan yang bersifat khusus.
2) Proses Analisa Induksi, yaitu dari khusus ke umum. Induksi
pada umumnya disebut generalisasi, yaitu dengan cara
mengumpulkan data-data dalam jumlah tertentu, dan atas dasar
data itu menyusun suatu ucapan umum.
F. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahpahaman pembaca dalam menafsirkan
istilah-istilah yang digunakan dalam judul penelitian, maka penulis perlu
untuk memberikan sebuah penegasan istilah yang terdapat dalam judul
ini,antara lain:
1. Pendidikan Akhlak
Secara terminologi, pendidikan merupakan terjemahan dari
istilah Pedagogi yaitu berasal dari Bahasa Yunani Kuno Paedos dan
Akhirnya pedagogie diartikan sebagai budak yang mengantarkan anak
majikan untuk belajar (Jumali dkk,2004:17). Dinamakan pendidikan
apabila dalam kegiatan tersebut mencakup hasil yang rambahannya
(dimensi) pengetahuan sekaligus kepribadian. Dengan demikian
hakikat pendidikan adalah kegiatan formal yang melibatkan guru,
murid, kurikulum, evaluasi, administrasi yang secara simultan
memproses peserta didik menjadi bertambah pengetahuan, skill dan
nilai kepribadiannya dalam suatu keteraturan kalender akademik
(Jumali dkk,2004:19).
Sedangkan menurut UU No. 20 th 2003 tentang sistem
pendidikan nasional (Ra‟uf,2005:91), pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan
dengan budi pekerti, kelakuan. Sedangkan moral diartikannya sebagai
ajaran tentang baik dan buruk yang diterima umum mengenai
perbuatan, sikap, kewajiban, dsb. Akhlak juga diartikan dengan
kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat,
bergairah, berdisiplin, dan sebagainya, sebagaimana ia juga dipahami
dalam perbuatan. Sedangkan etika diartikannya dengan ilmu tentang
apa yang baik apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak) (Shihab,2016:3).
Secara etimologi, akhlak berasal dari Bahasa Arab adalah
bentuk jamak dari Khuluq ( ْ قُلُخ) yang pada mulanya bermakna ukuran,
latihan dan kebiasaan. Dari makna pertama (ukuran) lahir kata
makhluk, yaitu ciptaan yang memiliki ukuran, sedangkan dari makna
yang kedua (latihan) dan ketiga (kebiasaan) lahir sesuatu yang positif
maupun negatif (Shihab,2016:3). Makna-makna diatas mengisyaratkan
bahwa akhlak dalam pengertian budi pekerti maupun sifat yang mantap
dalam diri seseorang baru dapat dicapai setelah berulang-ulang latihan
dan dengan membiasakan diri melakukannya. baik pula akhlaknya). Yang pertama dapat dilihat dengan mata
kepala, sedang yang kedua karena bersifat batin “tidak terlihat substansinya”, tetapi terlihat dampak pada aktifitasnya. Hakikat
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menyimpulkan
bahwa pendidikan akhlak adalah tuntunan mengenai dasar-dasar
akhlak yang berkaitan dengan budi pekerti yang harus ditanamkan
pada seseorang sejak dini agar menjadi sebuah kebiasaan yang
menginternalisasi dalam dirinya dan lahir dalam perilaku dan etika
kehidupannya. Penanaman tersebut dapat dilakukan melalui
pendidikan formal, non formal dan informal sehingga dapat
mencapai tujuan yaitu manusia yang berakhlak mulia.
2. M. Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi
Selatan, tanggal 16 Februari 1944 (Iqbal dan Nasution,2013:252).
Beliau adalah salah seorang cendekiawan muslim Indonesia dalam
ilmu Al Qur‟an. Lahir membawa bakat keilmuan dari ayahnya yaitu
almarhum Prof. H. Abd. Rahman Shihab seorang guru besar ilmu
tafsir, mendorong nya untuk mengenal dan mendalami ilmu tafsir
dalam pendidikannya. Diantara karya terbesar beliau adalah Tafsir Al
Misbah, yang menafsirkan Al Quran dengan metode tahlili. M.
Quraish Shihab pernah menjadi Menteri Agama pada Kabinet
Pembangunan VII tahun 1998 (Iqbal dan Nasution,2015:253).
Berdasarkan uraian di atas, M. Quraish Shihab merupakan
Banyak karya atau pemikiran beliau yang menjadi sumber atau rujukan
para pendidik dalam dunia pendidikan saat ini.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika dapat dipahami sebagai suatu tata urutan yang saling
berkaitan, saling berhubungan, melengkapi, serta menjelaskan. Dalam
penyusunan skripsi ini secara menyeluruh terdapat lima bab, yaitu:
Bab I. Bab ini berisi tentang pendahuluan yang mencakup latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian
pustaka dan sistimatika penulisan skripsi.
Bab II. Bab ini berisi tentang biografi (meliputi biografi dan setting
sosial M. Quraish Shihab).
Bab III. Bab ini berisi tentang konsep pendidikan akhlak
berdasarkan pemikiran M. Quraish Shihab.
Bab IV. Bab ini berisi analisis tentang konsep pendidikan akhlak
berdasarkan pemikiran M. Quraish Shihab untuk menjawab tentang
pendidikan islam di Indonesia dewasa ini.
BAB II
BIOGRAFI QURAISH SHIHAB
A. Setting Sosial
1. Masa Kecil
Muhammad Quraish Shihab berasal dari keluarga ulama
berpengaruh di Ujungpandang (Makassar). Ayahnya, Abdurrahman
Syihab (1905-1954) adalah seorang guru besar dalam bidang tafsir.
Selain bekerja sebagai wiraswasta, ayahnya sejak muda juga
melakukan kegiatan berdakwah dan mengajar, terutama dalam bidang
tafsir (Iqbal dan Nasution,2010:252). Quraish Shihab lahir 16 Februari
1944 di Lotassalo, kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi
Selatan (Anwar,dkk,2015:XXII) yang berjarak sekitar 185 km dari
kota Makassar (Anwar dkk,2015:3).
Rappang adalah kampung halaman ibunda Quraish, Asma
Aburisy. Ibunya merupakan keturunan bangsawan, nenek Asma,
Puattulada, adalah adik kandung Sultan Rappang (Anwar,dkk,2015:5).
Darah Bugis mengaliri tubuhnya. Sedangkan ayahnya, Habib
Abdurrahman Shihab yang lahir di Makassar 1915, menitis darah
Arab. Abdurrahman adalah putera Habib Ali bin Abdurrahman Shihab,
seorang juru dakwah dan tokoh pendidikan kelahiran Hadramaut,
Shihab adalah marga yang sudah melekat pada leluhur Quraish
dari pihak ayahnya selama ratusan tahun. Shihab merujuk pada dua
ulama besar, Habib Ahmad Syahabuddin al-Akbar (wafat 946 H) dan
cucunya Habib Ahmad Syahabuddin al-Ashgar (wafat 1036 H). Kata
Syahabuddin kemudian disingkat menjadi Syahab. Hampir semua
keturunan Ahmad Syahabuddin al-Ashgar kemudian disebut bin
Syahab. Belakangan ada yang tetap menggunakan Syahab ada yang
Syihab termasuk keluarga Quraish (Anwar,dkk:9).
Dalam bahasa Arab, meski pengucapannya beda, arti syihab
atau syahab sebenarnya sama saja, yaitu suluh api atau bintang.
Ayahnya mengatakan kata syihab lebih tepat karena sesuai yang tertera
dalam ayat Al Qur‟an (Anwar,dkk:9). Pada namanya dituliskan sjihab, sesuai ejaan lama. Demikian juga pada nama Quraish saat ia
didaftarkan di SD Lomponattang, Makassar dan SMP Muhammadiyah
Malang; tertera nama Quraisj Sjihab. Tetapi setelah mengenyam
pendidikan di Kairo, Mesir, Ia mengganti huruf “SJ” dengan “SH”,
sesuai dengan ejaan bahasa Inggris (Anwar,dkk:10).
Aba Abdurrahman, selalu mengajak anak-anaknya untuk sholat
berjamaah, membaca wirid tasbih, tahmid, takbir dan tahlil,...kemudian
mengenalkan putra putrinya tentang Al Qur‟an dengan caranya
tersendiri. Petuah-petuah itu kemudian ditelaah oleh Quraish Shihab
sehingga diketahui bahwa sumbernya adalah Al-Qur‟an, Nabi, Sahabat
membimbingnya. Petuah dari Sang Ayah menumbuhkan benih-benih
kecintaan terhadap tafsir dalam jiwanya.
Quraish hanya 1 tahun mengenyam pendidikan di SMP
Muhammadiyah Makassar. Kemudian nyantri di Pesantren Dar
al-Hadits al Fiqhiyah Malang, Jawa Timur sekaligus melanjutkan
pendidikan SMP di Malang, Quraish meninggalkan Indonesia
merantau ke Mesir pada usia 14 tahun bersama adinya Alwi 12 tahun
(Anwar,dkk,2015:14). Ayahnya selalu menekankan pendidikan tinggi
untuk anak-anaknya. Bahkan Aba Adurrahman pernah menyatakan
“Kalau perlu Aba jual gigi” dan “jangan pulang sebelum doktor”
(Anwar,dkk,2015:12-13).
2. Nyantri di Malang
Quraish Shihab nyantri di Ma‟had (Pesantren) Dar al- Hadits al
Fiqhiyah Malang, Jawa Timur yang terletak di jalan Aris Munandar
pada tahun 1956. Habib Abdul Qadir Bilfaqih, pendiri sekaligus
pinpinan ma‟had memberinya izin untuk belajar di dua lembaga
pendidikan sekaligus, yaitu ma‟had dan SMP Muhammadiyah Malang
(Anwar,dkk,2015:43).
Quraish memang menjadi santri kesayangan Habib, bukan
karena anak dari Aba Abdurrahman melainkan ketekunan belajarnya
yang berbeda dengan santri yang lain. Di ma‟had al-Fiqhiyah inilah
Quraish belajar tentang keikhlasan adalah kunci utama proses belajar
mengamalkannya harus disertai kerendahan hati dan rasa takut kepada
Allah. Hal itu tidak hanya didengarnya sebagai petuah akan tetapi
tercermin dalam kehidupan guru-gurunya terutama sosok yang sangat
dicintainya yaitu Habib Abdul Qadir Bilfaqih. Seringnya menyertai
Habib dalam berdakwah di luar ma‟had secara tidak langsung Quraish
terlatih berdakwah (ceramah) di muka umum. Pernah beberapa waktu
Quraish diberikan kesempatan untuk memberikan ceramah sebelum
giliran Habib. Bahkan Quraish menyatakan,” Tapi dampak ajaran
Habib jauh lebih berarti dari belasan tahun masa studi saya di Mesir.”
(Anwar,dkk,2015:49).
3. Ke Kairo Berburu Doktor
Bersama 14 anak muda berbeasiswa utusan provinsi Sulawesi
Quraish berangkat menaiki kapal selama 16 hari. Baginya berangkat
ke Mesir adalah mewujudkan mimpi Aba Abdurrahman yang dulu
sangat ingin menuntut ilmu ke negeri piramida itu. Keberangkatan
studi ke Kairo, Mesir tercatat bulan November 1958. Ia berangkat ke
Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar ((Iqbal
dan Nasution,2010:252).
Hidup sederhana mengandalkan uang beasiswa berlangsung
lama karena memang ayahnya tidak mengirimi uang tetapi tidak putus
mengirimi nasehat (Anwar,dkk,2015:62). Bukan karena tidak punya
Quraish Shihab menemukan sosok idola seperti Habib Abdul
Qadir bilfaqih dulu. Yaitu Syeikh Abdul Halim Mahmud seorang
pengagum Al Ghazali, dosen Al-Azhar sufi rasional yang sangat
rendah hati, kepintarannya membuatnya digelari “Imam al-Ghazali
abad XX.” (Anwar,dkk,2015:75). Darinya Quraish belajar
kesederhanaan. Quraish pernah sangat sedih karena nilai bahasa
Arabnya tak mencukupi untuk masuk di Jurusan Tafsir Fakultas
Ushuluddin yang Syeikh Halim sebagai dekannya. Nilainya 5,5 sedikit
di bawah ambang batas masuk jurusan Ilmu Tafsir, nilai 6. Kegagalan
itu justru menjadi pintu untuk Quraish memasuki lebih dalam ranah
tasawuf. Ia tersadar, salah satu prinsip dasar sekaligus ajaran dalam
fakultas Ushuluddin adalah masalah manusia dan takdir
(Anwar,dkk,2015:69).
Masa setahun dikejar, lulus SMA ia mengantongi dua ijazah
sekaligus. Ijazah khusus siswa asing, Ma‟had al-Bu‟uts al-Islamiyah,
dan Ma‟had al-Qahirah, dengan tambahan mata pelajaran khusus
siswa Mesir. Semangatnya membaja dengan ditambah vitamin penguat
di saat lemah yaitu “ingin seperti Syeikh Abdul Halim Mahmud dan Habib Adurrahman Shihab.”(Anwar,dkk,2015:70).
Setelah 9 tahun di rantau orang, Quraish meraih sarjana Tafsir
dan Hdits. Hasil ujiannya dengan predikat “Jayyid Jiddan”
membuatnya dengan mudah masuk tingkat master. Hanya dua tahun,
sama. Tesisnya tak jauh dari Al Qur‟an. “Al-I‟jaz at-Tasyri‟i li al
-Qur‟an al-Karim”(Kemukjizatan al-Qur‟an al-Karim dari Segi
Hukum) (Anwar,dkk,2015:72).
4. Keluarga Shihab
Saat itu Quraish Shihab berusia 30 tahun dan menjabat sebagai
wakil rektor IAIN Alauddin, Makassar. Kelaurga mendesaknya agar
segera menikah. Sudah ada puluhan gadis dikenalkan padanya tetapi
tak kunjung kepincut. Sampai pada sahabat keluarga pengusaha asal
Surabaya, Hasan Assegaf, mengajaknya melihat gadis Solo. Gadis itu
keponakan Hasan. Namanya Fatmawaty Assegaf. Ia anak kedelapan
dari 15 bersaudara, putri pasangan Ali Abu Bakar Assegaf dan
Khadijah (Anwar,dkk,2015:94).
Sejak pertama bertemu mereka langsung klop dan saling cocok.
Akhirnya mereka menikah pada tanggal 2 Februari 1975. Ngunduh
mantu di Makassar pada tanggal 16 Februari 1975 tepat pada hari
ulangtahun Quraish. Sementara tinggal di rumah orang tua di Jl.
Sulawesi Lorong 194 Nomor 7 (Anwar,dkk,2015:103). Setelah dua
pekan bersama orang tua, pasangan ini pindah ke rumah kontrakan
yang berada di Jl. Bawakaraeng, persis di depan gedung SMA Negeri
I, hanya berjarak 15 menit dari rumah orang tuanya
(Anwar,dkk,2015:105)
Pada tanggal 17 Ramadhan bertepatan tanggal 11 September
(Elaa). Anak kedua lahir setahun berikutnya, 16 September 1977,
bertepatan dengan Hari Raya „Idul Fithri 1 Syawal. Kali ini melahirkan
di Rumah Sakit Pertiwi, Makassar. Bayi yang kulitnya putih bersih,
mata bundar, dan rambut hitam lebat ini diberi nama Najwa (Nana).
Setelah memiliki dua anak inilah Quraish memutuskan berangkat
kembali ke Mesir untuk mendapatkan gelar doktor.
Anak ketiga lahir di Solo, 29 Agustus 1982 yang diberi nama
Nasywa yang berarti puncak kebahagiaan karena sebagai pelengkap
kebahagiaan Quraish setelah meraih gelar doktor. Anak laki-laki yang
ditunggu lahir pada tanggal 1 Juli 1983 dengan diberikan nama
Ahmad, nama lain untuk Rasulullah saw.
Tahun 1984, dua tahun pulang dari Kairo, Quraish mendapat
tawaran langsung dari rektor, Harun Nasution untuk mengajar di IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta (Anwar,dkk,2015:112-113). Tawaran itu
diterimanya dan pindah ke Jakarta bersama keluarga. Pada tahun 1985,
Fatmawaty kembali hamil dan dikaruniai anak perempuan yang lahir
pada tanggal 30 Agustus 1986. Anak bungsunya ini debiri nama Nahla.
5. Pengabdian
Sepulangnya dari pengembaraan Ilmiah di Mesir, M. Quraish
Shihab memperoleh jabatn sebagai Pembantu Rektor Bidang
Akademik dan Kemahasiswaan IAIN Alauddin Ujungpandang. Ia juga
menjabat sebagai Kopertais (Koordinator Perguruan Tinggi Swasta)
Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang
pembinaan mental. Selama di Ujungpandang ini, dia juga sempat
melakukan berbagai penelitian; antara lain, penelitian dengan tema
“Penerapan Kerukunan hidup Beragama di Indonesia Timur” (1975) dan “Masalah Wakaf Sulawesi Selatan”
Merasa tidak puas dengan pendidikan Master, juga merasa
utang belum lunas pada 1980 an ia kembali berangkat ke
almamaternya dulu, Azhar, dengan spesialisasi studi tafsir
al-Qur‟an. Untuk meraih gelar doktor dalam bidang ini. Tekad yang kuat,
juga dorongan istri dan anak-anak, membuat Quraish meraih gelar
Doktor dalam waktu setengah tahun. Disertasinya berjudul “Nazm ad-Durar li al-Biqa‟i Tahqiq wa Dirasah, suatu kajian dan analisis
terhadap keotentikan Kitab Nazm ad-Durar karya al-Biqa‟i. Tidak main-main, hasilnya cemerlang. Ujian doktoralnya dianugrahi predikat
tertinggi, Mumtaz ma‟a Martabat al-Syaraf al-Ula. Summa cum laude
(Anwar,dkk,2015:75).
Sekembalinya ke Tanah Air, M. Quraish Shihab ditugaskan di
Fakultas Ushuluddin dan Program Pascasarjana IAIN (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Beberapa jabatan pernah diamanahkan
kepadanya, diantaranya Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) (sejak
1984), anggota Lanjah Pentashih Mushaf Al-Qur‟an Departemen Agama (sejak 1969) dan anggota Badan Pertimbangan Pendidikan
Muslim Indonesia (ICMI), Perhimpunan ilmu-ilmu Syari‟ah, Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Pada 1995, Quraish Shihab mendapat kepercayaan sebagai
Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, setelah sebelumnya menjabat
sebagai Pembantu Rektor Bidang Akademik. Lalu, pada 1998, Quraish
Shihab diangkat Presiden Soeharto sebagai Menteri Agama RI pada
Kabinet Pembangunan VII. Namun usia pemerintahan Soeharto ini
hanya dua bulanan saja, karena terjadi resistensi yang kuat terhadap
Soeharto. Akhirnya pada Mei 1998, gerakan reformasi yang dipimpin
oleh tokoh seperti M. Amien Rais, bersama para mahasiswa berhasil
menjatuhkan kekuasaan Soeharto yang telah berusia 32 tahun.
Jatuhnya Soeharto sekaligus membubarkan kabinet yang baru
dibentuknya tersebut, termasuk posisi Menteri Agama yang dipegang
oleh Quraish Shihab.
Tidak berapa lama setelah kejatuhan Soeharto, Quraish
mendapat kepercayaan dari Presiden B.J. Habibie sebagai Duta Besar
RI di Mesir, merangkap untuk negara Jibouti dan Somalia. Ketika
menjadi duta besar inilah Quraish Shihab menulis karya
monumentalnya Tafsir al-Misbah, lengkap 30 juz sebanyak 15 jilid
satu set.
Sepulang dari “kampung halaman” keduanya, Quraish Shihab
studi tentang Al-Qur‟an bernama Pusat Studi Al-Qur‟an (PSQ) di Jakarta. Selain itu, untuk menerbitkan karya-karyanya, ia juga
mendirikan penerbit Lentera Hati (nama yang diambil dari salah satu
judul bukunya).
Dalam pengantar bukunya (Shihab,2016:xvi), Quraish Shihab
menyampaikan penhormatannya atas jasa-jasa yang diberikan oleh
guru dan dosen-dosennya yang telah memberikan ilmu sekaligus
keteladanan tentang akhlak. Sebagian dari mereka dirujuk kembali
oleh Quraish Shihab buku-bukunya tentang akhlak yang pernah
menjadi buku wajib ketika menimba ilmu di al-Azhar Mesir pada
tahun enam puluhan, seperti Syaikh Abdul Halim Mahmud, Syaikh
Muhammad Sayyid Nu‟aim, Syaikh Ahmad al-Kumy, Syaikh Abu
Bakar Zikra, Syaikh Abdul Aziz Ahmad, dan Habib Abdul qadir
Bilfaqih, ulama yang menjadi penuntunnya ketika mondok di Ma‟had Dar al-Hadits al-Fiqhiyah, Malang.
B. Karya-karya M. Quraish Shihab
Quraish Shihab dengan keilmuan yang dimilikinya telah
menghasilkan banyak karya ilmiah berupa buku, artikel, maupun
kumpulan artikel yang dihimpun menjadi buku. Kurang lebih ada sekitar
40 karyanya yang telah tercetak dan tersebar ke berbagai tempatm
1. Menyingkap Tabir Ilahi: Asma al-Husna dalam Perspektif al-Qur‟an (Jakarta: Lentera Hati, 1998)
2. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, dalam Pandangan Ulama dan
cendekiawan Kontemporer (Jakarta: Lentera Hati, 2004)
3. Menabur Pesan Ilahi; al-Qur‟an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006)
4. Sunnah-Syi‟ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?; Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, Maret 2007)
5. Membumikan al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1994)
6. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an (15 jilid, Jakarta: Lentera Hati, 2003)
Ia adalah seorang ulama tafsir kontemporer Indonesia. Sepanjang
kariernya sebagai dosen, guru besar, dan ulama, Quraish Shihab tetap
konsisten pada jalur tafsir Al Qur‟an (Iqbal dan Nasution,2015:251).
C. Buku Yang Hilang dari Kita Akhlak
Buku karya M.Quraish Shihab ini diterbitkan oleh Lentera Hati
Tangerang cetakan pertama, Agustus 2016. Memiliki 320 halaman dengan
ukuran 15 x 23 cm. Buku ini pada mulanya merupakan kumpulan dari
enam ceramah lisan yang disampaikan oleh Quraish Shihab pada akhir
tahun 2015. Hal itu bermula ketika heboh-hebohnya kasus yang kemudian
dikenal secara bercanda dengan istilah “Mama minta pulsa,” yakni adanya
anggota-anggotanya digelari dengan “Anggota Terhormat” mengatasnamakan Presiden dan Wakil Presiden meminta saham dari satu
perusahaan asing yang berlokasi di Indonesia (Shihab,2016:xiii).
Ketika kasus itu menggelinding, berkembang diskusi tentang
kewajaran hal di atas ditinjau dari segi hukum dan akhlak, lebih-lebih
setelah Majelis Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat “turun tangan”
membahasnya. Ketika itu, banyak yang berkesimpulan bahwa ada sesuatu
yang hilang dari masyarakat kita, termasuk dari orang-orang yang
mestinya menjadi teladan. Yang Hilang itu adalah Akhlak. Quraish Shihab
sependapat dengan kesimpulan tersebut walau tanpa menghadirkan dalam
benak dan ataun memberi penilaian wajar atau tidak kasus di atas. Di
sinilah bermula ceramah-ceramah Quraish Shihab tentang akhlak secara
umum dan dari sini pula sekian banyak hadirin yang mengharapkan
Quraish Shihab membukukannya dan inilah yang terhidang dari buku ini
(Shihab,2016:xiv).
D. Corak Pemikiran M. Quraish Shihab
1. Bidang Teologi
M. Quraish Shihab dapat menyelaraskan antara akal dan
wahyu, maka dari itu dikenal sebagai sosok yang moderat. Hal ini
dapat dilihat dalam bukunya yang berjudul Membumikan Al Qur‟an,
dikatakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah swt. dengan
a. Kemampuan untuk mengetahui sifat-sifat, fungsi, dan kegunaan
segala macam benda.
b. Akal dan pikiran serta panca indera, dan kekuatan positif untuk
mengubah corak kehidupan dunia ini.
c. Potensi untuk terjerumus dalam godaan hawa nafsu dan setan.
d. Ditundukannya bumi, langit, dan segala isinya oleh Allah swt.
kepada makhluk.
Di samping itu manusia juga memiliki banyak masalah yang
tidak dapat dijangkau oleh pikirannya, khususnya menyangkut diri,
masa depan, serta banyak hal menyangkut hakikat manusia, seperti:
fenomena kehidupan akhirat, pengetahuan tentang di daerah mana dia
akan mati, dan kemungkinan manusia menyukai sesuatu padahal hal
tersebut jelek baginya (Shihab,1996:233). Dari keterangan di atas dapat
diambil dua kesimpulan yaitu: pertama, Ada suatu hal yang tidak dapat
dirubah dalam situasi dan kondisi apapun. Hanya satu yang dapat
menjangkaunya yaitu wahyu. Kedua, ada suatu hal pula yang manusia
diberi wewenang untuk memikirkannya.
2. Bidang Syariat islam
Dalam hal syariat, M. Quraish Shihab sependapat dengan para
ulama yang mengatakan “bahwa ulama yang hanya mengajukan satu pendapat saja bisa menimbulkan kesan hanya pendapat itu saja yang
benar.” dan beliau jika ditanya paling suka menjawab bahwa si-A
karena itu sering dinilai kebanyakan orang sebagai seseorangrang yang
bukan pengikut faham organisasi tertentu.
3. Bidang Tasawuf
Dalam bidang tasawuf, M. Quraish Shihab lebih cenderung
kepada Al Qur‟an dan Hadis. Dalam hal ini dapat dilihat dari beberapa
konsepnya tetang tasawuf, misalnya konsep tawakal, menurut Quraish
adalah menyertakan segala urusan kepada Allah setelah mendatangkan
hukum sebab akibat. Konsep ini beliau ambil dari Al-Qur‟an yang menurutnya bahwa kata tawakal dalam Al-Qur‟an diulang kurang lebih 11 kali yang semuanya didahului oleh perintah melakukan usaha baru
kemudian disusul dengan perintah tawakal.
4. Bidang Tafsir
Dalam bidang tafsir, M. Quraish Shihab lebih cenderung
menggunakan metode tahlili (analitis) yaitu dengan menjelaskan ayat
demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan susunannya yang terdapat
dalam mushaf. Namun di sisi lain Quraish Shihab mengemukakan
bahwa metode tahlili memiliki kelemahan, maka dari itu beliau juga
menggunakan metode maudhu‟I (tematik) yang menurutnya metode ini
dinilai dapat menghidangkan pandangan dan pesan Al Qur‟an secara
mendalam dan menyeluruh menyangkut tema-tema yang
BAB III
PEMIKIRAN M. QURAISH SHIHAB TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK
A. Pendidikan Akhlak
1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan merupakan terjemahan dari istilah Pedagogi yaitu
berasal dari Bahasa Yunani Kuno Paedos dan agoo. Paedos artinya
“budak” dan agoo artinya “membimbing”. Akhirnya pedagogie
diartikan sebagai budak yang mengantarkan anak majikan untuk
belajar (Jumali,dkk,2004:17).
Dinamakan pendidikan apabila dalam kegiatan tersebut
mencakup hasil yang rambahannya (dimensi) pengetahuan sekaligus
kepribadian. Dengan demikian hakikat pendidikan adalah kegiatan
formal yang melibatkan pendidik, anak didik, kurikulum, evaluasi,
administrasi yang secara simultan memproses peserta didik menjadi
bertambah pengetahuan, skill dan nilai kepribadiannya dalam suatu
keteraturan kalender akademik (Jumali,dkk,2004:19).
Sedangkan menurut UU No. 20 th 2003 tentang sistem
pendidikan nasional (Depdiknas,2003:91), pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
2. Pengertian Akhlak
Secara etimologi, akhlak berasal dari Bahasa Arab adalah
bentuk jamak dari Khuluq ( ْ قُلُخ) yang pada mulanya bermakna ukuran,
latihan dan kebiasaan. Dari makna pertama (ukuran) lahir kata
makhluk, yaitu ciptaan yang memiliki ukuran, sedangkan dari makna
yang kedua (latihan) dan ketiga (kebiasaan) lahir sesuatu yang positif
maupun negatif (Shihab,2016:3). Makna-makna diatas mengisyaratkan
bahwa akhlak dalam pengertian budi pekerti maupun sifat yang mantap
dalam diri seseorang baru dapat dicapai setelah berulang-ulang latihan
dan dengan membiasakan diri melakukannya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan
dengan budi pekerti, kelakuan. Sedangkan moral diartikannya sebagai
ajaran tentang baik dan buruk yang diterima umum mengenai
perbuatan, sikap, kewajiban, dsb. Akhlak juga diartikan dengan
kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat,
bergairah, berdisiplin, dan sebagainya, sebagaimana ia juga dipahami
dalam arti isi hati atau keadaan perasaan, sebagaimana terungkap
dalam perbuatan. Sedangkan etika diartikannya dengan ilmu tentang
apa yang baik apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
Masih dalam buku yang sama yaitu yang Hilang dari Kita
Akhlak oleh M. Quraish Shihab (Shihab,2016:5) Imam al-Ghazaly
mengemukakan bahwa:
Khuluq dan khalaq adalah dua kata yang dapat ditemukan dalam satu kalimat...Al Ghazali lebih jauh menjelaskan bahwa khuluq (akhlak) merupakan kondisi kejiwaan yang mantap, yang atas dasarnya lahir aneka kegiatan yang dilakukan dengan mudah, tanpa harus dipikirkan terlebih dahulu. Nah, bila kondisi kejiwaan itu baik dan melahirkanperbuatan-perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan agama baik, pemiliknya dinilai memiliki akhlak mulia. Sebaliknya pun demikian.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa
pendidikan akhlak adalah tuntunan mengenai dasar-dasar akhlak yang
berkaitan dengan budi pekerti yang harus ditanamkan pada seseorang
sejak dini agar menjadi sebuah kebiasaan yang menginternalisasi
dalam dirinya dan lahir dalam perilaku dan etika kehidupannya.
Penanaman tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan formal, non
formal dan informal sehingga dapat mencapai tujuan yaitu manusia
yang berakhlak mulia.
Pendidikan akhlak merupakan suatu proses mendidik,
memelihara, membentuk, dan memberikan latihan mengenai akhlak
dan kecerdasan berfikir baik yang bersifat formal maupun informal
yang didasarkan atas ajaran Islam. Pada sistem pendidikan Islam ini
khusus memberikan pendidikan tentang akhlak dan moral yang
B. Pendidikan Akhlak Menurut Quraish Shihab
Quraish Shihab dalam bukunya membagi akhlak menjadi dua
macam, yaitu sebagai berikut (Shihab,2016:4) :
Manusia memiliki akhlak yang bersumber dari tabiat manusia dan juga akhlak yang dikaitkan dengan aktivitasnya yang lahir oleh dorongan kehendaknya. Karena itu, ada yang dinamai akhlak diri manusia dan juga yang merupakan akhlak kegiatannya, yakni aktivitas yang lahir dari kehendaknya. Yang pertama (akhlak diri) lahir bersamaan dengan fithrah/asal kejadian manusia. Ia dinamai akhlak karena ia merupakan makhluq, yakni sesuatu yang tercipta sejak kelahiran.
Dipaparkan bahwa akhlak diri tersebut adalah yang dinamakan
sebagai tempramen. Yakni gejala karakteristik dari sifat emosi seseorang
yang antara lain menjadikannya terbuka atau tertutup, mudah atau tidak
terangsang emosinya (marah). Menurut Quraish Shihab tempramen tak
jarang dipengaruhi oleh faktor keturunan, juga zat-zat tertentu dalam tubuh
seseorang. Jadi, pendidikan atau lingkungan tidak mempengaruhinya
(Shihab,2016:4).
Di samping akhlak diri ada pula yang dinamai akhlak masyarakat.
Masing-masing negara memiliki akhlak tersendiri tak terkecuali Indonesia.
Setiap negara memiliki kebiasaan yang berbeda dengan masyarakat lain.
Quraish Shihab menyatakan “Ia adalah adat kebiasaan yang telah diterima
dan dianggap baik oleh masyarakat tertentu walaupun itu tidak diterima
oleh masyarakat lain.”(Shihab,2016:5).
Menurut Quraish Shihab (Shihab,2016:123) akhlak adalah sifat
seseorang dan yang tampak ke permukaan melalui kehendak/kelakuan dan
itu terlaksana dengan sangat mudah, tanpa keterpaksaan oleh satu dan lain
sebab.
Quraish Shihab juga mengatakan bahwa akhlak jika ditinjau dari
tujuannya merupakan sekumpulan nilai yang harus diindahkan manusia
dalam aktivitasnya demi tercipta hubungan harmonis dengan selainnya,
bahkan demi meraih kebahagiaan pribadi dan masyarakat (Shihab,2016:6).
Adapun nilai-nilai yang berkaitan dengan akhlak adalah sebagai berikut:
1. Baik dan Buruk
Quraish Shihab mengutip pendapat dari beberapa filusuf
terdahulu. Kelompok rasional (Mu‟tazilah) menegaskan bahwa yang baik adalah apa yang dianggap akal baik dan yang buruk adalah yang
buruk dalam pandangan akal. Sedangkan kelompok kedua
menekankan bahwa yang baik adalah apa yang ditetapkan oleh Allah
melalui tuntunan agama sebagai sesuau yang baik dan yang buruk apa
yang dinilai-Nya buruk (Shihab,2016:55).
Untuk mempertemukan dua pandangan di atas Quraish Shihab
menyatakan bahwa ketetapan Allah menyangkut baik dan buruk
sesuatu adalah karena akal menilainya baik/buruk. Tidak ada yang
dinilai Allah baik, kecuali dinilai juga oleh akal yang sehat/baik, begitu
juga sebaliknya (Shihab,2016:55).
Menurutnya ada kebaikan yang bersifat mutlak seperti hikmah,
seperti baik kalau digunakan dengan cara dan tujuan yang baik dan
buruk bila tidak. Ini seperti harta, kedudukan, kecantikan, dan
kekuatan.
Quraish Shihab menyimpulkan bahwa kebaikan adalah segala
sesuatu yang mengantar pada perolehan apa yang diharapkan atau
raihan tujuan yang disenangi selama itu mendapat penilaian positif
oleh agama/masyarakat (Shihab,2016:60). Akan tetapi syarat utama
untuk menilai sesuatu itu baik adalah bahwa kebaikan itu dilakukan
atas dorongan kepatuhan kepada Allah atau dalam istilah agama
lillah/demi karena Allah ( Shihab,2016:14).
Mengapa ada kejahatan dan keburukan? Quraish Shihab
menyatakan ( Shihab,2016:57 ), berikut:
Keburukan/kejahatan adalah lawan dari kebaikan. Ia mencakup dua hal pokok: pertama, sakit/perih, baik jasmani maupun ruhani, katakanlah seperti musibah kebakaran/tenggelam, dan yang kedua adalah yang mengantar pada sakit atau perih, seperti kebodohan dan kedurhakaan. Keburukan dan kejahatan itu bisa jadi bersumber dari pihak lain dan bisa juga akibat ulah yang mengalaminya sendiri.
Pada hakikatnya, keburukan/kejahatan diizinkan Allah terjadi
agar manusia tahu makna kebaikan. Bahkan dapat dikatakan bahwa
sebenarnya keburukan itu tidak ada atau paling tidak pandangan
manusia yang parsiallah yang melihatnya sebagai
keburukan/kejahatan. Dinyatakan bahwa keburukan adalah akibat
keterbatasan pandangan, ia sebenarnya tidak buruk tetapi nalar
Dalam pandangan Islam, Allah adalah sumber Kebaikan dan
Allah yang memerintah dan melarang (Shihab,2016:14).
2. Akhlak Luhur
Akhlak luhur sangat dibutuhkan karena selain sebagai makhluk
individu manusia juga merupakan makhluk sosial. Ada kalanya diri
sendiri harus mengorbankan ego demi terciptanya hubungan yang
harmonis dengan orang lain dan sekitar. Pengorbanan itu melahirkan
moral dan akhlak terpuji, demikian juga kesediaan
berkorban/pengorbanan merupakan manifestasi dari akhlak luhur.
Lebih diperjelas dalam bukunya (Shihab,2016:18), berikut: “Semakin
besar pengorbanan, semakin luhur pula akhlak.”
Akan tetapi tidak semua kewajiban membutuhkan
pengorbanan. Sebelum melangkah untuk berkorban hendaknya
dipertimbangkan dulu manfaat dan madharatnya. Mana yang lebih
besar diantara keduanya.
Lebih dari itu, akhlak luhur dibutuhkan dengan menegakkan
norma-norma yang mengatur hubungan dengan berbagai pihak.
Dinyatakan dalam bukunya (Shihab,2016:23) : “Tali yang kuat adalah
tali agama.” Karena itu, akhlak harus bersumber dari ajaran agama.
Lebih lanjut dinyatakan (Shihab,2016:27): “Kehidupan itu hanya dinikmati oleh yang mengasah dan mengasuh jiwanya dengan akhlak
Quraish Shihab menyimpulkan bahwa pengetahuan tentang
akhlak sebagai ilmu, demikian juga mempelajarinya dengan cara yang
benar akan mengantar seseorang kepada pemahaman yang benar
tentang hidup dan kehidupan, baik sebagai makhluk individu dan
sosial. Hal itu memberikan kemampuan berganda, yaitu dalam hal
ketelitiannya tentang baik dan buruk dan potensi mendorong seseorang
untuk melakukan yang baik dan menghindari yang buruk.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan kaitannya dalam akhlak.
Quraish Shihab menyatakan (Shihab,2016:39), berikut:
Apabila manusia menyadari 3 hal yaitu pandangan baik dan buruk, kebebasan kehendak, dan ilmu. Serta mengharmoniskan ketiganya dengan menjadikan akal sebagai pengendali yang adil/moderat sehingga tidak mengakibatkan lumpuhnya emosi dan syahwat, tidak juga membiarkan larut memenuhi keinginan keduanya, maka akan membuahkan akhlak yang luhur.
a. Potensi
Quraish Shihab mengungkapakan dalam konteks akhlak,
sekian banyak pemikir Muslim menyatakan bahwa ada 4 potensi
diri yang harus bergabung dan menyatu secara seimbang dalam diri
manusia untuk mencapai puncak akhlak (akhlak luhur secara
sempurna). tapi kalau hanya sebagian saja, maka ia dapat dinamai
“relatifberakhlak luhur” (Shihab,2016:62-65), sebagai berikut:
1) Potensi ilmu
Aktualisasi dari potensi ilmu adalah sesorang mampu
dan yang batil dalam kepercayaan, serta yang indah dan yang
buruk dalam kelakuan. Jika ini terpenuhi maka lahirlah hikmah
sebagai puncak dari akhlak mulia.
2) Potensi amarah
Potensi ini harus digunakan dalam batas tuntunan
hikmah. Dan apabila terpenuhi maka dinamakan keberanian,
apabila berlebihan maka dinamakan kecerobohan. Apabila
kurang maka dinamakan ketakutan atau kelemahan.
Keberanian yang dimaksudkan adalah berani melangkah
dengan perhitungan yang teliti, walaupun hasil yang
diharapkan belum sepenuhnya pasti.
3) Potensi syahwat/keinginan
Syahwat atau keinginan harus digunakan sesuai dengan
tuntunan hikmah, yaitu petunjuk agama dan akal. Bila
terpenuhi maka dinamakan „iffah/kesucian diri. Kalau berlebih
dinamakan syarih/hiperseks dan yang kurang ia menjadi under
sex atau impoten.
4) Potensi adil
Adil bisa diartikan sama, seimbang dan juga dalam arti
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Keadilan mewujud
dalam diri manusia kalau berhimpun dalam dirinya hikmah,
Jadi, kesimpulannya manusia memiliki akal, emosi dan
syahwat. Apabila manusia menyadari dan mengetahui cara untuk
mengharmoniskan tiga hal tersebut, serta menjadikan akal sebagai
pengendali yang adil sehingga tidak mengakibatkan lumpuhnya
emosi dan syahwat, tidak juga membiarkan larut dalam menuruti
keinginannya maka secara otomatis akan lahir akhlak luhur pada
diri manusia tersebut (Shihab,2016:39).
b. Cakupan Adab Sopan Santun
Menurut Quraish Shihab (2016:123) akhlak melahirkan
sopan santun. Sedangkan adab merupakan sikap, ucapan, perbuatan
dan aneka tingkah yang ditampakkan ke permukaan oleh seseorang
dan yang bisa jadi bersangkutan dengan memaksakan diri demi
tampil sesuai norma umum pergaulan. Norma umum tersebut dapat
bersasal dari norma agama ada pula yang dihasilkan oleh budaya
masyarakat (Shihab,2016:124). Norma yang telah membudaya
digunakan sebagai pedoman dalam bermasyarakat dan bersifat
relatif. Dapat berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain.
Norma yang sesuai dengan ajaran Islam disebut ma‟ruf dan yang
bertentangan dinamakan munkar.
Adat budaya Indonesia contohnya (Shihab, 2016:124),
berbicara dengan orang tua/dituakan/dihormati sambil meletakkan
tangan di pinggang bukanlah sikap sopan bagi masyarakat
cium pipi kiri) antara pria dan wanita yang bukan mahram,
tidaklah direstui dalam masyarakat beragama Islam, termasuk di
Indonesia. Hal yang lebih umum dalam masyarakat adalah
basa-basi. Basa-basi yang dibenarkan (Shihab, 2016:126) adalah
bersikap lemah lembut pada pihak lain dengan harapan lahirnya
simpati sehingga yang dihadapi dapat menerima kebenaran tak
ubahnya seperti dokter yang menghadapi pasien penderita luka
borok, dokter tersebut dengan perlahan dan lemah lembut
membersihkan luka serta mengatakan bahwa luka tersebut
baik-baik saja dan akan segera sembuh.
Quraish Shihab mengambil beberapa nilai akhlak terpenting
yaitu: keikhlasan, rahmat, ilmu, membaca, kesabaran,
Ash-Shidq/kebenaran, amanah, kesetiaan, kekuatan, kelapangan dada,
toleransi, kemuliaan dan harga diri, kedisiplinan, hidup sederhana,
Al-Haya‟/malu, dan tabayyun (Check dan recheck).
Dalam Agama Islam terkandung berbagai tuntunan secara
gamblang tentang aktivitas manusia sehari-hari (Shihab,2016:212)
mulai dari bangun tidur hingga menjelang tidur. Sampai pada
berinteraksi dengan aneka objek yang dihadapi manusia di dunia
ini. Dapat dirinci sopan santun yang diajarkan Islam mencakup
(Shihab,2016:213-214):
Allah adalah wujud yang teragung, maka tempatkan
Allah pada “tempat” yang semestinya. Yang paling utama
dalam konteks akhlak kepada Allah adalah menisbatkan segala
yang baik kepada-Nya dan menafikan segala yang buruk.
(Shihab,2016:217). Yang paling utama yang harus dihindari
dari aneka keburukan adalah mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu. Bahkan bukan hanya dengan mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu sedikitpun tetapi berucap melahirkan kesan
adanya sekutu/sebanding dengan-Nya tidaklah wajar
(Shihab,2016:218).
Selanjutnya: Jangan berprasangka buruk/menisbahkan
yang buruk kepada Allah. Dosa pertama manusia yang
dibisikkan setan kepada Adam dan pasangannya adalah snagka
buruk kepada Allah. Yaitu berprasangka bahwa Dia enggan
kamu berdua menjadi malaikat atau kamu berdua termasuk
mereka yang kekal hidup. Hal itu dapat mengakibatkan
keputusasaan, seakan-akan yang berputus asa menganggap
bahwa Allah swt. tidak kuasa menyingkirkan kesulitannya
(Shihab,2016:220).
Kesimpulannya (Shihab,2016:222) adalah: (1)
membenarkan informasi-Nya; (2) melaksanakan perintah-Nya
dengan tulus; dan (3) menerima takdir-Nya dengan syukur,
2) Sopan santun terhadap Rasul saw.
Rasulullah lebih utama bagi orang-orang mukmin
daripada diri pribadi masing-masing. Sopan santun terhadap
Nabi saw.menuntut sikap menempatkan beliau pada tempat
yang semestinya. Jasa beliau sebagai nabi dan rasul yang
membimbing umat manusia tidak dapat dibalas oleh umat
manusia. Karena itu Allah memerintahkan seluruh manusia
untuk bermohon kepada Allah dengan bershalawat
(Shihab,2016:222-224).
Dalam konteks penghormatan dan balas jasa kepada Nabi
saw., turun berbagai tuntunan Allah, seperti tidak berucap
dengan suara yang melebihi suara beliau ketika berdialog dan
tidak mengeraskan suara dihadapan beliau ketika
menyampaikan sesuatu. Juga diperintahkan agar menghormati
dan mencintai keluarga beliau (Shihab,2016:224).
3) Sopan santun terhadap sesama manusia, masing-masing sesuai
dengan kedudukannya, misalnya ayah, ibu, saudara, pasangan,
anak didik, pendidik, tetangga, tamu, teman, lawan, dan
lain-lain.
4) Sopan santun terhadap binatang. Binatang hendaknya
dipelihara dengan kasih sayang dan persahabatan agar
menyembelih/membunuh binatang dengan penuh rahmat dan
kasih sayang (Shihab,2016:290-292).
5) Sopan santun terhadap tumbuh-tumbuhan.tugas manusia
sebagai khalifah untuk memelihara tanah dan tidak
merusaknya, tidak wajar memetik bunga yang belum mekar
atau bahkan daun kecuali untuk hal yang di sahkan, tidak
membuang air di sekitar pohon yang menjadi tempat berteduh,
dan menebang pohon sembarangan (Shihab,2016:296).
6) Sopan santun terhadap lingkungan alam dan benda-benda tak
bernyawa. Dalam pandangan akhlak Islam, apa yang dianggap
tak bernyawa itu dinilai/diperlakukannya sebagai bernyawa
yaitu dengan kasih sayang dan persahabatan (rahmat)
(Shihab,2016:297).
Sebagai mana sebuah pohon kehidupan, akhlak luhur/sopan
santun pun memiliki puncak. Menurut Quraish Shihab (2016:214)
norma utama yang menggambarkan akhlak/sopan santun Islam
secara keseluruhan yaitu adil. Menurutnya (Shihab, 2016:214)
seorang yang adil adalah yang berjalan lurus dan sikapnya selalu
menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Dalam
bahasa sederhana dapat dikatakan bahwa adil adalah menempatkan
segala sesuatu sesuai pada tempat dan kadarnya.
Quraish Shihab (2016: 214) juga mengatakan bahwa tidak
seorang ayah yang tidak dituntut untuk membiayai dengan sama
rata kedua anaknya yang sedang menempuh pendidikan di
universitas dan sekolah menengah.
3. Cara Membentuk Akhlak
Menurut Quraish Shihab akhlak dapat dibentuk melalui
beberapa cara, diantaranya adalah:
a. Pembiasaan
Akhlak lahir dari kebiasaan. Kebiasaan lahir dari
pembiasaan (Shihab,2016:90). Pembiasaan dalam konteks akhlak
mutlak adanya. Pembiasaan itu dalam bahasa agama dinamai
takhalluq yang seakar dengan kata akhlak. Takhalluq adalah
memaksakan diri dan membiasakannya untuk melakukan sesuatu
secara berulang-ulang”. Quraish Shihab mengutip hadis Nabi saw. (Shihab,2016:91) sebagai berikut:
Ilmu diperoleh dengan belajar (memaksakan diri dan mengulang-ulangi belajar). Kelapangan dada melalui pembisaaan melapangkan dada. Siapa yang selalu berusaha mencari kebaikan, ia akan dianugerahi dan siapa yang senantiasa berusaha menghindarkan diri dari keburukan, ia akan dihindarkan darinya (HR. Al-Khathib).
Perbuatan yang telah menjadi kebiasaan akan dilakukan
dengan mudah, tanpa banyak berpikir, dan ketika itu menjadi
Pentingnya pembiasaan dalam pembelajaran atau kegiatan
belajar mengajar juga harus diperhatikan. Quraish Shihab
menyatakan dalam bukunya (Shihab,2016:29), berikut:
Ilmu akhlak penting dipelajari bukan sekedar bertujuan mengetahui apa yang baik dan yang buruk, tetapi untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Perlu digarisbawahi bahwa kegagalan ilmu akhlak dalam
mewujudkan akhlak mulia bagi para “pelajar”nya
disebabkan karena kekeliruan mengajarkan atau mereka karena mereka tidak memahaminya dengan baik dan yang lebih penting lagi karena mereka tidak mendorong untuk melakukannya. Kalaupun mendorong itu tidak cukup untuk menjadikan kebajikan sebagai kebiasaan.
Ajaran Islam banyak menggunakan cara pembisaaan guna
meraih akhlak mulia atau meninggalkan akhlak buruk. Kebiasaan
buruk seringkali tidak disadari, kecuali setelah menjadi sifat yang
melekat pada diri seseorang (Shihab,2016:93). Hal ini pula yang
diajarkan Rasulullah saw. Memerintahkan orang tua untuk
menyuruh anak-anaknya shalat sejak umur 7 tahun, meskipun
shalat belum menjadi kewajiban bagi si anak. Quraish Shihab
menyatakan (Shihab,2016:93) bahwa para pakar dari Timur
Tengah banyak yang berpendapat hendaknya pembisaaan itu
dilakukan secara berkesinambungan selama 40 hari.
Menurut Quraish Shihab agaknya hikmah dari puasa
Ramadhan selama satu bulan penuh dan disusul dengan enam hari
puasa Syawal adalah pembisaaan untuk mengendalikan nafsunya
b. Meniru Keteladanan
Quraish Shihab menjelaskan tentang keutamaan. Setelah
banyak pendapat yang beliau rangkum seperti akhlak adalah
kekuatan bukan sebuah kelemahan dan akhlak yang baik dengan
kata kemaslahatan. Akan tetapi menurutnya pandangan yang paling
tepat dan jitu adalah memandang bahwa manusia harus
berkembang menuju ketinggian dan keluhuran, dan untuk itu harus
diletakkan di pelupuk mata hatinya satu “contoh ideal dan kekal”
yang mencapai puncak kesempurnaan, keluhuran, dan kesucian,
bahkan puncak segala puncak (Shihab,2016:77).
Dalam konteks membentuk akhlak ini ditemukan riwayat
yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw. (Shihab,2016:79)
Artinya: “latihlah diri kalian berakhlak dengan akhlak/sifat-sifat Allah”
Allah sebagai Dzat yang Maha Sempurna merupakan
sumber keteladanan yang utama. Dunia dan alam semesta adalah
tanda wujud-Nya Allah. Dengan mengenal, menghayati dan
mengamalkan sifat-sifat Allah (tentunya sesuai kedudukan manusia
sebagai makhluk) secara maksimal akan mngarahkan manusia ke
dalam akhlak luhur. Tentu saja hal tersebut membutuhkan
mujahadah, yakni upaya sungguh-sungguh yang bermula dengan
Selain dua cara di atas, Quraish Shihab menekankan
perlunya menggarisbawahi beberapa hal dalam konteks meraih
akhlak luhur (Shihab,2016:93), sebagai berikut:
(a) Melakukan introspeksi, (b) Menyibukkan diri dengan hal positif, (c) Memperhatikan dampak buruk ketiadaan akhlak, (d) Berada di lingkungan yang baik, (e) Membaca yang bermanfaat, (f) Bergaul dengan yang berbudi, dan (h) Yang amat penting pula adalah bermohon kepada Allah. Nabi saw. Bila memandang cermin berdoa:
“Ya Allah, sebagaimana engkau telah memperindah penampilan
jasadku, maka perindah juga budi pekertiku.” (Al Asqalani,
2011:704)
Manusia berkewajiban berusaha akan tetapi kita ingat
bahwa keberhasilan membentuk akhlak luhur tetap ditentukan oleh
Allah swt. setelah kesungguhan manusia berupaya. Quraish
Shihab menyimpulkan (Shihab,2016:94) bahwa upaya tersebut
berintikan pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang baik
buruk dan atau apa yang sebaiknya dilakukan, lalu disusul dengan
kehendak dan disiplin yang kuat untuk melaksanakan pengetahuan
tersebut secara sungguh-sungguh sambil bermohon bantuan Allah
swt. Akhlak bukanlah sesuatu yang dibawa serta seseorang
semenjak kelahirannya ia tidak seperti apa yang selalu
menghadirkan panas karena jika akhlak merupakan bawaan
BAB IV
ANALISIS PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT M. QURAISH SHIHAB
DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN AKHLAK DI INDONESIA
A. Analisis Pendidikan Akhlak menurut M. Quraish Shihab
Konsep pendidikan akhlak yang dipaparkan oleh Quraish Shihab dalam
bukunya Yang Hilang dari Kita Akhlak, meliputi pengertian akhlak, pembagian
akhlak, akhlak luhur, hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai akhlak dan cara
membentuk akhlak. Di dalamnya juga tersaji contoh akhlak kepada Allah,
Rasul, sesama manusia, makhluk lain dan benda-benda tak bernyawa. Semua
pendapat yang diutarakannya bersumber pada Al Qur‟an dan Hadits yang mana
memang Quraish Shihab adalah mufassir ternama di Indonesia.
Ditegaskan dalam bukunya bahwa akhlak tengah hilang dalam diri
umat muslim secara umum dan perlu upaya sungguh-sungguh untuk
mencarinya. Dikatakan demikian karena banyak sekali peristiwa yang terjadi
terkhusus di Indonesia menunjukkan bahwa krisis moral tengah merajalela.
Kemaslahatan umat seperti tidak lagi menjadi perhatian dikarenakan
masing-masing individu mengedepankan emosi daripada hati nurani. Sedangkan yang
dinamakan hati nurani adalah suatu reaksi yang berasal dari dalam hati.
Menurut Quraish Shihab (Shihab, 2016: 44) perihal hati nurani yaitu:
Jika patuh pada petunjuk hati nurani, mereka akan menghargai diri mereka sendiri di samping kepuasan yang tampak pada diri mereka, yakni kepuasan akhlaki, tetapi jika tidak mengikutinya, mereka akan merasakan kehinaan pada diri mereka atau lebih dikenal dengan istilah