• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sayuran Indigenous

Sayuran adalah tanaman yang ditumbuhkan untuk mendapatkan bagian tanaman yang biasa dikonsumsi mentah atau dimasak sebagai bagian dari makanan (Somantri, 2006). Sayuran merupakan makanan pelengkap yang banyak mengandung vitamin dan mineral. Sayuran dapat menyediakan nutrisi, salah satu komponen diet yang tidak dapat ditinggalkan dan bukan makanan tambahan untuk menambah rasa. Menurut Duriat et al. (1999) apabila manusia kurang mengkonsumsi sayuran maka akan kekurangan vitamin dan mineral sehingga akan berpengaruh pada kesehatannya.

Engle dan Altoveros (1999) menyatakan bahwa jumlah sayuran sudah tercatat di Asian Vegetable Research and Development Center (AVRDC) lebih dari 45 000 aksesi meliputi sayuran biji, sayuran daun, dan sayuran buah, 90 % dari 45 000 aksesi tersebut merupakan sayuran yang dapat tumbuh di berbagai wilayah dan sisanya merupakan sayuran indigenous. Tanaman sayuran indigenous

banyak terdapat di daerah tropis dan dikonsumsi oleh penduduk aslinya yaitu Afrika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Menurut Hossain dan Razzaque (1999) sayuran indigenous adalah sayuran pribumi atau sayuran yang tumbuh di suatu negara dan dikonsumsi di daerah tertentu.

Awal pengembangan sayuran indigenous dilakukan dengan cara eksplorasi di daerah-daerah kemudian dikoleksi untuk dikembangkan. Koleksi plasma nutfah diprioritaskan untuk dipelihara dan dipertahankan karena plasma nutfah penting untuk meningkatkan manfaat tanaman pada masa sekarang maupun masa yang akan datang. Koleksi bertujuan untuk menyediakan bahan genetik secara luas yang dapat memenuhi kebutuhan pemulia berupa genotipe-genotipe yang diinginkan sebagai bahan pemuliaan tanaman. Oleh karena itu, bahan-bahan yang tersedia dalam gene bank dapat digunakan oleh pemulia, sehingga data karakterisasi dan evaluasi dapat tersedia (Engle, 1992).

Sayuran indigenous di Indonesia terutama Jawa Barat sudah memasuki pasar yang lebih luas yaitu sebagai sajian lalap di rumah makan. Sayuran yang

tergolong sayuran indigenous adalah sayuran asli daerah yang telah banyak diusahakan dan dikonsumsi atau sayuran introduksi yang telah berkembang lama dan dikenal masyarakat seperti kemangi, kenikir, katuk, kecipir, koro (roay), gambas, dan paria. Keberadaan sayuran tersebut di atas perlu dilestarikan, karena selain mempunyai nilai ekonomi juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan (Putrasamedja, 2009).

Katuk (Sauropus androgynus L.)

Katuk memiliki nama ilmiah Sauropus androgynus L. Merr. dari famili Euphorbiaceae. Nama daerahnya antara lain memata, mata-amata, cekop manis, simani (Sumatera), katuk, babing, katukan (Jawa), dan karetur (Madura). Jenis sayur ini banyak tumbuh di dataran rendah hingga 1 300 meter di atas permukaan laut (m dpl) dengan struktur tanah ringan dan menyukai tempat terbuka atau sedikit terlindung. Katuk banyak ditanam di kebun, ladang, atau pekarangan (Van den Bergh, 1994).

Tanaman ini merupakan sejenis tanaman perdu yang tumbuh menahun. Penampilan tanaman ramping sehingga sering ditanam sebagai tanaman pagar. Tinggi tanaman sekitar 1-2 m dengan batang tumbuh tegak, berkayu, dan bercabang jarang. Batang tanaman berwarna hijau saat masih muda dan menjadi kelabu keputihan saat sudah tua. Daun katuk merupakan daun majemuk genap. Bunga berkelopak keras berwarna putih semu kemerahan dan bersifat majemuk tandan, uniseksual, dan monoecious (terdapat dua macam bunga dalam satu tanaman yaitu bunga jantan dan bunga betina). Buah berbentuk bulat, berukuran kecil-kecil seperti kancing, berwarna putih, dan berbiji tiga buah. Tanaman katuk mulai berbunga pada 48 hari setelah tanam dan daun muda dapat dipanen pada 124 hari setelah tanam dan panen berikutnya dapat dilakukan secara berkelanjutan sebulan sekali (Bermawie, 2006). Berdasarkan pengamatan kriteria panen di beberapa pasar tradisional dan pasar modern, tanaman katuk dipanen dengan ukuran 27-30 cm dari tanaman yang paling muda dan terdapat 8-10 helai daun.

dikenal dua jenis katuk, yaitu katuk hijau dan katuk merah. Katuk hijau juga disebut katuk baster. Jenis katuk ini produktif menghasilkan daun, dengan warna daun hijau. Jenis katuk ini biasa dibudidayakan oleh masyarakat. Katuk merah kurang produktif menghasilkan daun dan memiliki daun-daun yang berwarna hijau kemerah-merahan (Rukmana dan Harahap, 2004).

Tanaman katuk diperbanyak dengan stek batang. Stek batang diambil dari batang yang mulai berkayu, stek batang yang digunakan dengan panjang kira-kira 20-30 cm. Umumnya katuk ditanam oleh petani dengan jarak tanam rapat dan dilakukan pemeliharaan sampai produksi berumur kurang lebih 3 bulan dan dapat dilakukan panen selanjutnya setelah 1 bulan (Kusmana dan Suryadi, 2004).

Katuk merupakan sayuran daun yang memiliki kandungan protein dan vitamin yang tinggi. Dalam 100 g daun katuk terdapat 79. 8 mg air, 7.6 g protein, 1.8 g lemak, 6.9 g karbohidrat, 1.9 g serat, 2 g abu 10000 IU vitamin A, 0.23 mg vitamin B1, 0.15 mg vitamin B2, 136 mg vitamin C, 234 mg kalsium, 64 mg phospor, 3.1 mg zat besi, dengan total energi 310 kJ (Van den Bergh, 1994). Kandungan nutrisi lain pada daun dan akar katuk antara lain klorofil, saponin, flavonoid, tanin, dan asam folat. Kandungan nutrisi tersebut bermanfaat untuk memperlancar ASI, mengobati borok atau bisul, memperlancar saluran pencernaan, dan mencegah konstipasi serta sebagai antioksidan (Wirakusumah, 2006).

Kenikir (Cosmos caudatus Kunth.)

Kenikir (Cosmos caudatus Kunth.) merupakan tanaman dari famili Asteraceae yang berasal dari daerah tropis Amerika yang kemudian dibawa oleh orang Spanyol ke Filipina. Di Filipina kenikir dikenal dengan nama cosmos, di Malaysia kenikir disebut ulam raja dan di Thailand kenikir disebut

daoruang-phama (Van den Bergh, 1994).

Kenikir merupakan tanaman herba tahunan yang tingginya dapat mencapai 3 m. Batang tanaman tegak, beralur, dan mempunyai banyak cabang. Tanaman kenikir memiliki daun majemuk dan bergerigi pada bagian tepi, bunga tersusun seperti bunga matahari yang terletak di tepi berbentuk pita berjumlah delapan.

Bunga kenikir berwarna merah muda biasanya untuk dikonsumsi dan bunga kenikir berwarna kuning sebagai tanaman hias. Kenikir mempunyai buah berbentuk lonceng yang mengandung banyak biji berwarna hitam seperti jarum (Sastrapradja, 1979).

Van den Bergh (1994) menyatakan bahwa tanaman kenikir dapat tumbuh dengan baik pada daerah dengan sinar matahari penuh di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 1 600 m dpl. Perbanyakan kenikir dapat dilakukan melalui biji yang disemai terlebih dahulu kemudian dipindahkan ke lapangan setelah tiga minggu. Pengaturan drainase dan irigasi yang baik dapat mendukung pertumbuhan kenikir. Kondisi tanah yang terlalu lembab dapat memicu perkembangan cendawan yang mengganggu pertumbuhan tanaman kenikir. Pemanenan daun kenikir dapat dilakukan setelah tanaman berumur enam minggu. Apabila daun-daunnya dipetik, tunas baru akan cepat tumbuh untuk menggantikannya. Berdasarkan pengamatan kriteria panen di beberapa pasar tradisional dan pasar modern, tanaman kenikir dipanen dengan ukuran 27-30 cm dari tanaman yang paling muda dan terdapat 6-8 helai daun.

Kenikir merupakan sayuran daun yang memiliki kandungan protein dan vitamin yang tinggi. Dalam 100 g daun kenikir terdapat 93 g air, 3 g protein, 0.4 g lemak, 0.4 g karbohidrat, 1.6 g serat, 270 mg kalsium, dan 0.9 mg vitamin A, serta dengan total energi (Van den Bergh, 1994). Daun kenikir apabila diremas-remas akan mengeluarkan bau yang khas karena mengandung minyak esensial. Adanya minyak tersebut menimbulkan rasa yang khas pada daun mentah, akan tetapi dengan pengukusan rasa tersebut akan hilang. Daun kenikir, setelah dikukus dapat dibuat urap atau pecel (Sastrapradja, 1979). Manfaat herbal kenikir adalah sebagai penambah nafsu makan, penghilang rasa mual, penghilang bau badan, dan menyembuhkan penyakit kulit (Wirakusumah, 2006). Tanaman kenikir juga dapat digunakan sebagai tanaman penghias pekarangan karena bunganya yang berwarna cerah.

Kemangi (Ocimum americanun L.)

Menurut Sunarto (1994) kemangi (Ocimum americanum L.) merupakan tanaman dari famili Lamiaceae (Labiatae) yang berasal dari daerah Afrika dan Asia tropik kemudian dikenalkan ke daerah Amerika tropik dan kepulauan India barat. Tanaman kemangi di Indonesia dikenal dengan beberapa nama lokal yaitu seraung, lampes (Sunda), kemangi (Jawa), kemangek (Madura), uku-uku (Bali), lufe-lufe (Ternate), dan bramakusu (Minahasa/Manado).

Kemangi merupakan tanaman herba aromatik dan tahunan, dan memiliki karakteristik umum tumbuh tegak dengan batang berwarna hijau atau ungu, daun berbentuk lanset (panjang: 1.7-6.4 cm dan lebar: 1-3 cm) warna hijau tua, memiliki aroma yang khas, bunga tersusun pada ujung batang utama dan cabang samping berwarna putih, biji lonjong berwarna coklat gelap hitam terdapat dalam kapsul (Bermawie, 2006). Tanaman kemangi berbunga ketika berumur 8-12 minggu (Sunarto, 1994). Pengamatan morfologi tanaman diamati secara visual terhadap karakter: habitus (penampilan/tipe pertumbuhan), karakter batang (warna, bentuk, ada tidaknya bulu batang), daun (warna, bentuk, ada tidaknya bulu di permukaan daun, ada tidaknya gerigi tepi daun), bunga (warna rangkaian bunga, warna mahkota bunga, tipe rangkaian, warna putik sari), biji (bentuk, warna).

Umumnya kemangi dipanen dalam bentuk daun untuk lalapan atau campuran masakan tertentu untuk penyedap dan biji untuk campuran aneka kudapan (Bermawie, 2006). Berdasarkan pengamatan kriteria panen di beberapa pasar tradisional dan pasar modern, tanaman kemangi dipanen dengan ukuran 20-25 cm dari tanaman yang paling muda dan terdapat 6-8 helai daun. Dalam 100 g daun kemangi terkandung 87 g air, 3.3 g protein, 2 g serat, 320 mg kalsium, 4.5 mg zat besi, dan 27 mg vitamin C (Sunarto, 1994). Kemangi juga dimanfaatkan sebagai tanaman obat tradisional karena memiliki kandungan lain untuk mengatasi bau badan (minyak atsiri), sebagai anti oksidan (klorofil, apigenin), mengobati panas dalam dan sariawan (Wirakusumah, 2006).

Pengaturan Jarak Tanam

Keberhasilan pengelolaan suatu tanaman sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dan kemampuan tanaman dalam memanfaatkan sumber daya lingkungan tumbuh tanaman. Melalui pengaturan jarak tanam yang tepat tingkat persaingan antar maupun inter tanaman dapat ditekan serendah mungkin. Persaingan intensif antar tanaman mengakibatkan terjadinya perubahan morfologi pada tanaman, seperti jumlah organ tanaman yang terbentuk berkurang sehingga berdampak kurang baik terhadap perkembangan dan hasil tanaman (Harjadi, 1996).

Pengaturan jarak tanam merupakan salah satu teknik penting untuk budidaya tanaman setelah pemilihan varietas tanaman yang baik. Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1998) penanaman dengan jarak tanam rapat dapat meningkatkan serangan penyakit dan jumlah benih yang dibutuhkan, sehingga perlu dilakukan pengaturan jarak tanam yang tepat. Rosliani dan Sumarini (2002) menyatakan bahwa jarak tanam akan mempengaruhi penggunaan cahaya, air, unsur hara, dan ruang yang akan terus meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Sutapradja (2008) menyatakan bahwa tinggi tanaman dipengaruhi oleh jarak tanam, sehingga berpengaruh pada biomassa tanaman budidaya.

Pengaturan jumlah populasi tanaman melalui pengaturan jarak tanam akan mempengaruhi efisiensi tanaman dalam memanfaatkan cahaya matahari, air, hara, dan ruang tumbuh. Efisiensi tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Peningkatan produksi tanaman pada luasan tertentu dapat dilakukan dengan meningkatkan populasi tanaman mencapai batas dimana persaingan internal tanaman dalam pemanfaatan hara, air, dan cahaya tidak terlalu kuat yang turut mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman.

Kerapatan jarak tanam atau populasi tanaman sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan menentukan produksi tanaman. Muhammad et al. (1993) menyatakan pola jarak tanam yang ideal adalah apabila kebutuhan tanaman terhadap kondisi lingkungan cahaya, kelembaban, aerasi udara, maupun tumbuh perakaran dapat tercukupi. Harjadi (1996) menyatakan produksi setiap satuan luas yang tinggi dapat dicapai dengan populasi tinggi, karena tercapainya

pada akhirnya penampilan masing-masing individu menurun karena persaingan untuk mendapatkan cahaya dan faktor-faktor lainnya.

Jarak tanam akan mempengaruhi produktivitas dengan dua cara yaitu penggunaan jarak tanam rapat dan jarak tanam lebar. Pada jarak tanam rapat, tanaman akan mengalami kompetisi dengan tanaman lain di dekatnya, sedangkan jarak tanam lebar mungkin akan mengurangi hasil per satuan luas karena jumlah tanamannya menjadi berkurang, meskipun ukuran produksi dari masing-masing individu tanaman semakin besar. Menurut Muliasari (2009) jarak tanam lebar cenderung untuk tumbuh lebih baik, karena pada jarak tanam ini tanaman mempunyai kesempatan lebih baik untuk mendapatkan cahaya, unsur hara yang cukup dari pada jarak tanam sempit. Pambayun (2008) menyatakan jarak tanam lebar memberikan pengaruh kuadratik pada bobot produksi sayuran katuk dan kenikir dengan jarak tanam optimum secara berurutan yaitu 50 cm × 12.5 cm (160 000 tanaman/ha) dan 50 cm × 16 cm (126 667 tanaman/ha).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan IPB, Darmaga Kabupaten Bogor. Lokasi percobaan terletak pada ketinggian 250 m dpl dan jenis tanah latosol. Penelitian dimulai pada bulan April sampai November 2010.

Bahan dan Alat

Bahan tanam yang digunakan adalah beberapa jenis sayuran indigenous

yaitu bibit katuk yang berasal dari stek batang (Aksesi Ciampea), bibit kemangi (Aksesi Kediri), dan bibit kenikir (Aksesi Cilebut). Media yang digunakan untuk pembibitan adalah pupuk kandang dan tanah dengan perbandingan 1:1. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang yang berasal dari kotoran kambing 5 ton/ha, hormon perangsang akar (Rootone F), urea 135 kg/ha, KCl 135 kg/ha, SP-18 270 kg/ha, dan NPK Mutiara (16-16-16) 62.5 kg/ha. Peralatan yang digunakan terdiri dari tray, polybag, cangkul, kored, gembor, penggaris, alat tulis, timbangan, dan sarana pertanian lain yang umum digunakan pada budidaya sayuran.

Metode Penelitian

Rancangan lingkungan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) satu faktor dengan empat perlakuan jarak tanam yaitu:

P1: 25 cm× 13.33 cm (populasi 300 000 tanaman/ha) P2: 25 cm × 16 cm (populasi 250 000 tanaman/ha) P3: 25 cm × 20 cm (populasi 200 000 tanaman/ha) P4: 25 cm × 26.67 cm (populasi 150 000 tanaman/ha)

Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut: Yij = μ + αi + βj + εij

Keterangan:

Yij = hasil pengamatan perlakuan jarak tanam ke-i dan kelompok ke-j µ = rataan umum

αi = pengaruh perlakuan jarak tanam ke-i, (i = 1, 2,3,4)

βj = pengaruh kelompok ke-j, (j = 1, 2, 3)

εij = pengaruh acak pada perlakuan jarak tanam ke-i dan kelompok ke-j Pengolahan data secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan program SAS untuk uji F, apabila berbeda nyata maka dilanjutkan dengan analisis regresi dan Uji Beda Nyata Jujur (Tukey)taraf 5 % dan 10 %.

Pelaksanaan Penelitian Pembibitan

Pembibitan tanaman kemangi, kenikir, dan katuk dilakukan 3-4 minggu. Bibit kemangi dan kenikir berasal dari benih, bibit katuk berasal stek batang yang panjangnya ± 25 cm. Pembibitan katuk diletakkan di polybag berukuran 15 cm × 10 cm dengan media tanah dan pupuk kandang 1:1. Stek batang katuk sebelum ditanam dalam polybag dilakukan perendaman dengan 10% Rootone F selama 2 menit. Pada 2 minggu setelah semai kemangi dilakukan pengendalian hama pengorok daun dengan penyemprotan pestisida sistemik. Kemudian bibit kemangi berumur 4 minggu dan bibit kenikir berumur 3 minggu dipindahtanamkan ke lapangan.

Pengapuran

Pengapuran tanah dilakukan pada dua minggu sebelum penanaman, pada semua bedengan setelah dilakukan analisis tanah. Kapur yang digunakan adalah dolomit dengan dosis 2 ton/ha atau 800 gram per bedeng.

Penanaman

Luas lahan yang digunakan sebesar 300 m2, bedengan dibuat sebanyak 36 bedeng dengan ukuran 4 m × 1 m dan ukuran jarak antar bedeng 50 cm. Sebelum dilakukan penanaman, dilakukan pengolahan tanah. Bibit kemangi, kenikir, dan katuk ditanam sebanyak satu bibit per lubang. Penyulaman tanaman dilakukan 1-2 minggu setelah tanam (MST). Kemangi, kenikir, dan katuk ditanam dengan pengaturan jarak tanam masing-masing yaitu P1, P2, P3, dan P4.

Pemupukan

Pemupukan tanaman kemangi, kenikir, dan katuk menggunakan pupuk kandang, pupuk P2O5, pupuk KCl, dan pupuk urea. Dosis pupuk kandang yang digunakan pada tanaman kemangi dan kenikir masing-masing per bedeng (4 m × 1 m) ialah 5 ton/ha (2 kg/4 m2) dan untuk tanaman katuk dosisnya 10 ton/ha (4 kg/4 m2). Pupuk kandang diaplikasikan ke lapangan 3 minggu sebelum penanaman. Dosis pupuk dasar yang digunakan untuk tanaman kemangi, kenikir, dan katuk masing-masing per bedeng (4 m × 1 m) adalah 270 kg/ha (108 gram/4 m2) pupuk SP-18, 135 kg/ha (54 gram/4 m2) pupuk KCl, dan 135 kg/ha (54 gram/4 m2) pupuk urea. Aplikasi pupuk dasar pada katuk, kemangi, dan kenikir dilakukan pada 1 MST. Pupuk SP-18 diaplikasikan semuanya pada minggu pertama, sedangkan pupuk KCl dan urea diaplikasikan dua kali pada 1 MST dan 3 MST. Aplikasi NPK Mutiara (16-16-16) dilakukan pada 3, 5, 7, dan 11 MST dengan dosis 62.5 kg/ha (25 gram/4 m2) per aplikasi.

Pemeliharaan

Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyulaman, penyiangan terhadap gulma yang tumbuh disekitar tanaman, dan pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan secara manual sesuai dengan kondisi lapangan. Pada tanaman katuk berumur 6 MST dilakukan pengendalian hama dengan penyemprotan pestisida yaitu Curacron 500 EC yang mengandung bahan aktif Prefonofos karena hampir semua bedengan tanaman katuk terserang ulat sehingga banyak daun yang gugur.

Pemanenan

Pemanenan pada tanaman kemangi, kenikir, dan katuk dilakukan pada daun yang telah menampakkan ciri-ciri umum untuk dipanen. Tanaman katuk dipanen ketika panjang batang telah mencapai ukuran 20 cm, dengan cara memotong bagian tunas muda sepanjang 25 cm dan dan terdapat 8-10 daun pada cabang utama. Tanaman kemangi dan kenikir dipanen ketika cabang memiliki daun muda 8-10 helai dengan panjang batang berukuran 20-25 cm.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada tanaman contoh pada setiap petak tanaman menggunakan pengamatan kuantitatif, tanaman contoh diambil dari dua baris di dalam bedengan secara acak. Peubah-peubah yang diamati meliputi:

1. Tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai titik tumbuh pada tanaman yang tegak. Pengukuran dilakukan saat 2-6 MST untuk tanaman kemangi dan kenikir, untuk tanaman katuk pada 6 MST.

2. Jumlah daun, dihitung berdasarkan jumlah daun yang telah membuka sempurna. Pengukuran dilakukan terhadap tanaman kemangi, kenikir, dan katuk.

3. Jumlah cabang, dihitung berdasarkan jumlah cabang yang dapat dipanen pada tanaman kemangi dan kenikir.

4. Bobot panen pertanaman, tajuk pucuk (20-25 cm) dipanen pada masing-masing tanaman contoh ditimbang bobot segarnya.

5. Bobot panen per petak, tajuk pucuk (20-25 cm)dipanen pada masing-masing petak ditimbang bobot segarnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Selama penelitian berlangsung kondisi curah hujan rata-rata per bulan cukup tinggi yaitu 403.85 mm/bulan (Lampiran 1). Kondisi pertumbuhan tanaman kemangi dan kenikir pada awal penanaman di lapangan secara umum tumbuh dengan baik dan seragam. Pertumbuhan tanaman katuk ulangan 1 tidak seragam dengan ulangan 2 dan 3. Hal ini ditunjukkan pada pertumbuhan tanaman katuk ulangan 1 memiliki tinggi tanaman yang pendek karena penanaman stek batang dari tanaman induknya kemungkinan tidak terklasifikasi dengan baik, sehingga tanaman katuk pada ulangan 1 tumbuh lebih lambat dibanding ulangan 2 dan 3 serta kondisi bedengan pada ulangan 1 lebih lembab karena pintu masuk pengairan di dekat bedengan ulangan 1.

Analisis tanah yang dilakukan sebelum penanaman di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan menunjukkan bahwa pH tanah yang digunakan sebagai media tanam sebelum dilakukan pengapuran pada kemasaman sedang yaitu 5.10 (Lampiran 2). Kandungan hara tanah tersebut tergolong rendah. Hasil analisis tanah menunjukkan persentase tekstur tanah yang digunakan untuk menanam termasuk tanah liat, sehingga tanaman kemangi tumbuh agak lambat.

Pengamatan pertumbuhan tanaman kemangi dan kenikir dilakukan pada minggu kedua setelah ditanam, sedangkan pengamatan tanaman katuk dilakukan pada minggu keenam. Pengamatan tanaman kemangi dilakukan sampai 6 MST dan pengamatan tanaman kenikir dilakukan sampai 5 MST. Pada minggu pertama setelah penanaman ada beberapa tanaman kemangi, kenikir, dan katuk yang mati, tingkat kematian tanaman masing-masing mencapai 10% (108 tanaman kemangi, 84 tanaman kenikir, dan 106 tanaman katuk).

Hama dan penyakit selama penanaman kemangi dan kenikir jumlahnya sedikit dan tidak mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan secara mekanis.

terkena hama dan penyakit. Hama yang menyerang kemangi antara lain kutu daun dan ulat penggulung daun, hama yang menyerang kenikir lebih banyak kutu daun, dan hama pada tanaman katuk adalah rayap dan ulat pemakan tangkai daun katuk sehingga menyebabkan daun-daun katuk gugur dan kering. Penyakit yang menyerang pada tanaman kemangi yaitu penyakit belang (yang terinfeksi virus) dan penyakit pada tanaman kenikir yaitu busuk batang bawah. Penyakit tanaman tersebut sebagian besar menyerang pada perlakuan jarak tanam sempit karena bedengan menjadi lembab. Gejala serangan kutu daun ditandai dengan daun mengerut dan gejala serangan ulat penggulung daun ditandai daun menggulung dan berlubang. Gejala serangan hama dapat dilihat pada Gambar 1.

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 1. Hama dan gejala serangan pada tanaman kemangi dan kenikir: (a) kutu daun pada kemangi dan daun mengerut, (b) telur ulat penggulung daun, (c) kutu daun pada kenikir dan daun mengerut, (d) ulat penggulung daun kemangi, (e) ulat pemakan tangkai daun dan daun katuk.

Kemangi (Ocimum americanum L.)

Hasil uji F menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam kemangi tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetatif dan produksinya yaitu pada bobot panen per petak (Lampiran 3–6). Nilai uji Fdan koefisien keragaman pertumbuhan vegetatif katuk disajikan pada Tabel 1.

Koefisien keragaman pada beberapa pertumbuhan vegetatif menunjukkan rata-rata kurang dari 20 %. Pada waktu bibit kemangi dipindahtanamkan ke lapangan terdapat 10% bibit (± 108 bibit) tumbuh tidak seragam sehingga berpengaruh pada pertumbuhan selanjutnya dan dilakukan penyulaman kemangi pada minggu pertama dengan tinggi bibit yang tidak seragam dengan bibit utama yang ditanam. Kemangi dipindahtanamkan ke lapangan pada umur 4 minggu setelah semai.

Tabel 1. Rekapitulasi Uji F dan Koefisien Keragaman Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Kemangi

Karakter F Hitung KK (%) Tinggi Tanaman 2 MST 1.89tn 20.61 Tinggi Tanaman 3 MST 4.40tn 13.26 Tinggi Tanaman 4 MST 2.61tn 12.38 Tinggi Tanaman 5 MST 1.31tn 9.80 Tinggi Tanaman 6 MST 1.87tn 5.60 Jumlah Cabang 4 MST 2.99tn 10.83 Jumlah Cabang 5 MST 0.90tn 12.65 Jumlah Cabang 6 MST 0.62tn 5.72 Jumlah Daun 2 MST 2.43tn 14.7 Jumlah Daun 3 MST 4.59tn 15.51 Jumlah Daun 4 MST 1.19tn 18.56 Jumlah Daun 5 MST 1.16tn 14.15 Jumlah Daun 6 MST 1.49tn 22.48

Bobot Panen per Tanaman 0.27tn 19.68

Bobot Panen per Petak 1.28tn 10.40

Keterangan: tn: Tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf nyata α = 5 %

Berdasarkan hasil uji F pada pertumbuhan vegetatif rata-rata tinggi tanaman tidak berbeda nyata pada seluruh perlakuan jarak tanam selama

Tabel 2. Rata-rata Tinggi Tanaman Kemangi

Jarak Tanam Umur Tanaman (MST)

(populasi tanaman/ha) 2 3 4 5 6 –––– ––––– cm––––––––– 25 cm × 13.33 cm (300 000 tanaman/ha) 15.7 20.4 30.6 37.9 39.2 25 cm × 16 cm (250 000 tanaman/ha) 17.8 24.2 34.3 40.2 41.1 25 cm × 20 cm (200 000 tanaman/ha) 12.4 16.5 25.8 34.5 37.9 25 cm × 26.67 cm (150 000 tanaman/ha) 18.1 22.6 30.6 36.3 37.1 Respon tn tn tn tn tn

Keterangan: tn: Tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf nyata α = 5 %

Pertumbuhan cabang kemangi muncul pada 3 MST dan jumlah cabang mulai diamati pada 4 MST, karena pada 3 MST cabang kemangi masih berukuran

Dokumen terkait