• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani dan Syarat Tumbuh Jagung

Jagung merupakan salah satu anggota dari famili Gramineae (Poaceae), subfamili Panicoideae, ordo Andropogoneae, subordo Tripsacineae dan genus Zea. Jagung merupakan tanaman pangan beriklim panas dan pada dasarnya tumbuh pada temperatur antara 21-30 oC (70-86 F), meskipun benih berkecambah optimum pada temperatur yang lebih rendah, antara 18-21 oC (64-58 F) (Martin, 1989). Jagung menunjukkan pertumbuhan yang kerdil pada suhu dibawah 10 oC dan diatas 45 oC. Hasil atau produksi tinggi ditemukan di area dimana jagung membutuhkan waktu 130-140 hari untuk mencapai kematangan (White dan Johnson, 2003). Varietas-varietas yang adaptif pada hari panjang di daerah berilklim sedang akan menjadi pendek dan tidak produktif pada hari pendek di daerah beriklim tropis. Produktivitas jagung akan berkurang di tanah yang cukup masam (pH <5) atau tanah basa (pH >8) (Martin, 1989).

Jagung merupakan salah satu spesies pertama yang diketahui memiliki lintasan fotosintesis asam dikarboksilat C4. Tanaman C4 lebih efisien dalam penggunaan air daripada kebanyakan tanaman C3. Daun jagung memiliki laju fotosintesis yang tinggi, tingkat kompensasi CO2 yang rendah, dan tidak jenuh cahaya untuk fotosintesis, sekalipun saat cahaya matahari penuh (Fisher dan Palmer, 1992).

Tanaman jagung memiliki struktur pembungaan monocious (berumah satu) dengan bunga jantan (staminate) di bagian ujung tanaman (tassel) dan bunga betina (pistillate) di tunas bagian tengah batang. Penyerbukan disempurnakan oleh transfer polen yang telah matang dari stamen yang berasal dari tassel ke tangkai putik (silk), organ penerima serbuk sari pada bunga betina (Poehlman dan Sleper, 1995). Tidak seperti serealia lainnya, tanaman jagung memproduksi hasil ekonominya (bijian) pada tunas samping (lateral). Jagung bersifat protandrous, yaitu bunga jantan mekar (pecahnya polen) biasanya terjadi satu atau dua hari sebelum muncul tangkai putik (umumnya dikenal sebagai rambut). Oleh karena bunga betina dan bunga jantan terpisah dan memiliki sifat protandrous, jagung termasuk spesies tanaman menyerbuk silang (Fisher dan Palmer, 1992).

Heterozigositas dan keragaman genetik adalah karakteristik dari tanaman menyerbuk silang. Berdasarkan ilmu pemuliaan, varietas jagung dapat dibedakan menjadi dua yaitu varietas bersari bebas (open pollinated) dan hibrida. Sumber polen pada jagung bersari bebas dapat berasal dari tetua yang berbeda. Hal ini menyebabkan di suatu pertanaman jagung bersari bebas tidak ada jagung yang benar-benar tepat memiliki genotipe yang sama (Poehlman dan Sleper, 1995).

Jagung hibrida menggantikan kultivar bersari bebas karena produksi jagungnya yang lebih tinggi. Potensi untuk hasil tinggi adalah sasaran yang kompleks disebabkan oleh ekspresi gen yang berasosiasi dengan pengambilan nutrisi, fotosintesis, transpirasi, translokasi, dan metabolisme pada tanaman jagung, serta interaksi gen dengan lingkungan. Produksi hasil juga dipengaruhi oleh asosiasi gen dengan karakter-karakter yang berperan dalam stabilitas produksi, seperti kemasakan optimum, kualitas batang, dan ketahanan terhadap stres lingkungan atau ketahanan terhadap hama penyakit (Poehlman dan Sleper, 1995).

Kultur Jaringan

Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman, seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi mejadi tanaman utuh kembali (Gunawan, 1992). Teknik ini digunakan untuk tujuan propagasi, modifikasi genotipe (pemuliaan tanaman), produksi biomassa produk-produk biokimiawi, patologi tanaman, penyimpanan dan pengawetan, penelitian ilmiah dan lain-lainnya (Hartmann et al., 1990).

Hartmann et al. (1990) membedakan jenis regenerasi tanaman secara vegetatif (somatik) pada kultur jaringan menjadi lima jenis, yaitu kultur ujung meristem (meristem-tip culture), proliferasi tunas aksilar (axillary shoot proliferation), induksi tunas adventif (adventitious shoot induction), organogenesis, dan embriogenesis somatik. Bila embrio terbentuk langsung dari kultur anther atau mikrospora prosesnya disebut androgenesis. Sedangkan proses pembentukan embrio dari ovari yang belum mengalami fertilisasi disebut

ginogenesis. George et al. (2008) mengelompokkan jenis regenerasi tanaman dalam dua tipe kultur yaitu kultur struktur terorganisir (cultures of organized structures) dan kultur struktur tidak terorganisir (cultures of unorganized structure). Pengelompokan kultur tersebut berdasarkan asal eksplan.

Kultur struktur terorganisir (kultur organ). Kultur organ digunakan sebagai istilah umum untuk jenis-jenis kultur dimana suatu pertumbuhan bentuk organ dapat dipelihara secara kontinyu. Hal ini mencakup kultur meristem (meristem cultures), kultur tunas ujung atau kultur tunas, kultur node (node culture) dari mata tunas leteral yang terpisah, kultur isolasi akar (isolated root cultures dan kultur embrio (embryo cultures).

Kultur struktur yang tidak terorganisir. Kultur jaringan umumya digunakan sebagai sebuah istilah untuk mendeskripsikan semua jenis kultur tanaman secara in vitro. Walaupun seharusnya hanya mengacu pada kultur agregat sel yang tidak terorganisir. Jenis kultur berikut ini yang paling umum dikenal yaitu: kultur kalus (atau jaringan), kultur suspensi, kultur protoplasma dan kultur anther.

Kultur jaringan memerlukan media kultur yang mampu memenuhi kebutuhan hara tanaman. Media kultur jaringan terdiri atas kompenen-komponen yang dapat dikategorikan menjadi empat kelompok: elemen mineral, senyawa organik, zat pengatur tumbuh (ZPT), dan pH media (Acquaah, 2004).

1. Elemen mineral

Elemen mineral terdiri atas nutrisi makro dan mikro seperti yang terdapat dalam tanah mineral. Beberapa komposisi dari elemen mineral yang paling umum digunakan adalah media Murashige dan Skoog (MS). Elemen mineral terdiri atas nutrisi inorganik yang berfungsi sebagai nutrisi makro dan mikro bagi tanaman. Nutrisi makro meliputi Nitrogen dari NO3 dan NH4, Fosfor (P), dan Pottasium (K). Nutrisi mikro meliputi Ca, Mg, Cl, Fe, S, Na, B, Mn, Zn, Cu, Mo, Co, dan I.

2. Senyawa Organik

Senyawa organik menyediakan sumber karbon dan faktor lain yang mendukung pertumbuhan. Senyawa organik yang umum digunakan adalah gula,

vitamin, dan myo-inositol (Tabel 1). Gula yang paling umum adalah sukrosa, gula utama yang ditransportasikan di hampir semua spesies tanaman (Acquaah, 2004).

Tabel 1. Senyawa organik yang umum digunakan dalam media kultur jaringan

Senyawa Fungsi

Gula Biasanya sukrosa (terkadang fruktosa, glukosa, sorbitol); energi karbon; berkontribusi dalam potensial osmotik.

Vitamin Biasanya thiamine (B1), tetapi juga nicotinic acid (niacin/ B2), pyridoxine (B6), vitamin C, E; syarat untuk metabolisme karbohidrat.

Myo-inositol

Gula alkohol; memiliki peran pada perkembangan membran dan dinding sel.

Organik kompleks

Meliputi santan, ekstrak ragi (yeast), jus buah; secara umum meningkatkan pertumbuhan.

Arang aktif Menyerap senyawa racun yang dikeluarkan oleh jaringan tanaman; membantu dalam induksi akar.

3. Zat pengatur tumbuh

Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan nutrisi yang mampu mendorong, menghambat, atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Semua hormon tanaman sintetik yang mempunyai sifat fisiologis dan biokimia yang serupa dengan hormon alami tanaman adalah ZPT (Wattimena, 1992). Zat pengatur tumbuh sama artinya dengan hormon pertumbuhan pada hewan dan memiliki dampak morfogenik pada kultur jaringan. Manipulasi perkembangan dan pertumbuhan dari kultur sel dan jaringan dapat dilakukan dengan memvariasikan konsentrasi dari ZPT. Zat pengatur tumbuh yang biasa digunakan dalam kultur jaringan adalah auksin dan sitokinin (Tabel 2). Auksin umumnya memicu pertumbuhan akar, sementara sitokinin memicu pertumbuhan tunas (Acquaah, 2004).

Tabel 2. Zat pengatur tumbuh yang umum digunakan dalam kultur jaringan

Senyawa Fungsi

Auksin Menyebabkan pemanjangan sel, akar adventif dan dormansi apikal. Berguna juga untuk induksi kalus dari eksplan dan embriogenesis somatik. Contoh auksin alami adalah Indole-3-Acetic Acid (IAA), Indole-3-Butyric Acid (IBA), auksin sintetik meliputi 1-Naphthalene Acetic Acid (NAA), 2.4-Dichlorophenoxy Acetic Acid (2.4-D), 2.4.5-Trichloropenoxy Acetic Acid (2.4.5-T), Dicamba, Tordon 4-CPA, dan Picloram.

Sitokinin Menyebabkan dampak yang berlawanan terkait dominansi apikal. Sering menghambat embriogenesis dan induksi akar. Terdiri atas sitokinin alami (contohnya zeatin) dan sintetik (contohnya benzyladine atau BA, kinetin)

Giberellin Peran utamanya adalah untuk memicu pemanjangan batang dan pembungaan. Hanya dua bentuk yang dapat digunakan dalam kultur jaringan yaitu GA3 dan GA4+7.

Menurut Wattimena et al. (1992) peran fisiologi auksin adalah mendorong pemanjangan sel, pembelahan sel, diferensiasi jaringan xylem dan floem, pembentukan akar, dominansi apikal, respon tropisme, menghambat pengguguran daun, bunga dan buah, pada tanaman diocious berperan dalam pembentukan bunga betina. Peran fisiologis sitokinin adalah mendorong pembelahan sel, morfogenesis, pertunasan, pembentukan kloroplas, pemecahan dormansi, pembukaan stomata, pembentukan buah partenokarpi dan pembentukan umbi pada kentang. Sitokinin juga menghambat senescence dan absisi. Contoh sitokinin sintetik lainnya adalah 2-iP, PBA. Konsentrasi yang diperlukan dari masing-masing ZPT tersebut (auksin dan sitokinin) tergantung dari: jenis eksplan, kondisi (lingkungan kultur) serta jenis sitokinin dan auksin yang dipergunakan.

Morfogenesis dari eksplan pada kultur jaringan selalu bergantung pada interaksi antara auksin dan sitokinin. Prinsip keseimbangan auksin dan sitokinin

dari Skoog dan Miller (1975) digambarkan oleh George dan Sherrington (1984) dalam Wattimena et al. (1992) seperti pada Gambar 1.

.

Auksin Sitokonin

Tinggi Rendah

Gambar 1. Keseimbangan Auksin dan Sitokinin dalam Proses Morfogenesis Gambar tersebut menjelaskan tentang keseimbangan auksin dan sitokinin sebagai berikut:

1. Pembentukan akar pada stek in vitro hanya memerlukan auksin tanpa sitokinin atau dengan sitokinin dalam konsentrasi rendah sekali.

2. Embriogenesis memerlukan nisbah auksin sitokinin yang tinggi (konsentrasi auksin lebih tinggi dari konsentrasi sitokinin).

3. Pembentukan akar adventif dari kalus selain auksin tetap dibutuhkan sitokinin.

4. Pembentukan kalus dari tanaman dikotil tetap memerlukan sitokinin disamping auksin yang tinggi, sedangkan pada tanaman monokotil pembentukan kalus hanya membutuhkan auksin yang tinggi tanpa sitokinin.

5. Pembentukan tunas adventif disamping memerlukan sitokinin dalam taraf konsentrasi yang tinggi tetap diperlukan juga auksin dalam taraf konsentrasi rendah.

Pembentukan akar pada stek in vitro Embriogenesis Pembentukan tunas adventif dari kalus Inisiasi kalus tanaman dikotil Pembentukan tunas adventif

6. Proliferasi tunas aksilar hanya memerlukan sitokinin dalam konsentrasi yang tinggi, tanpa auksin atau dengan auksin dalam konsentrasi yang rendah sekali.

Embriogenesis Somatik

Embriogenesis somatik adalah proses dimana sel somatik berkembang melalui tahapan embriogeni menjadi tanaman utuh tanpa fusi gamet. Embriogenesis somatik dapat terjadi secara langsung (direct) dengan sel embriogenik berkembang secara langsung dari sel eksplan, atau secara tidak langsung (indirect) dengan sejumlah ketidak teraturan, siklus mitosis non embrionik yang terjadi antara jaringan eksplan terdiferensiasi dan struktur embrionik (Merkle et al., 1990). Struik (1991) menyatakan dalam artian yang lebih sederhana bahwa embriogenesis somatik dapat terjadi melalui dua jalur yang berbeda, secara tidak langsung (setelah beberapa tipe kultur kalus) dan secara langsung (tanpa fase pertumbuhan kalus). Secara skematis menurut Wattimena et al. (1992) tahapan kultur kalus (morfogenesis secara tidak langsung) tersebut adalah:

Pembentukan tunas secara tidak langsung  Planlet Eksplan  Kalus

Embriogenesis tidak langsung  Bibit

Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous yang terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus menerus. Kalus dalam keadaan in vivo, pada umumnya terbentuk pada bekas-bekas luka akibat serangan infeksi mikroorganisme: Agrobacterium tumefaciens, gigitan atau tusukan serangga dan nematode. Kalus juga dapat terbentuk sebagai akibat stress (George & Sherrington dalam Gunawan, 1992). Kalus dalam kultur in vitro, dapat dihasilkan dari potongan organ yang telah steril, di dalam media yang mengandung auksin dan kadang-kadang juga sitokinin. Kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman, tetapi organ yang berbeda menunjukkan kecepatan pembelahan sel yang berbeda pula. Bagian tanaman seperti embrio muda, hipokotil, kotiledon

dan batang muda merupakan bagian yang mudah untuk dediferensiasi dan menghasilkan kalus (Gunawan, 1992)

Wattimena et al. (1992) mengelompokkan embriogenesis somatik secara tidak langsung menjadi empat, yaitu: (1) embriogenesis pada kultur kalus primer (kalus yang terbentuk dari eksplan pada tahap inisiasi), (2) embriogenesis pada kultur kalus sekunder yaitu kalus primer yang tidak memiliki kemampuan bermorfogenesis, namun bisa diinduksi melalui subkultur ke medium yang menginduksi morfogenesis, (3) embriogenesis dari kultur suspensi dimana embrio somatik dapat diinisiasi dari kalus embriogenik maupun dari kalus non-embriogenik, sel-selnya tetap memiliki kemampuan untuk beregenerasi membentuk embriosomatik dan pada umumnya embrio diinisiasi dari kalus yang dikulturkan dalam medium cair, (4) pembentukan protocorm pada kultur jaringan anggrek dan dapat dikatakan sebagai embriogenesis. Disamping terbentuk langsung dari eksplan, protocorm juga dapat terbentuk secara tidak langsung dari kalus atau kultur suspensi.

Embrio somatik adalah suatu struktur bipolar yang bebas, yang secara fisik tidak menempel pada jaringan asalnya dan dihasilkan dari suatu sel somatik (sel yang tidak reproduktif dan mengandung dua set kromosom). Tidak seperti embrio zigotik yang diproduksi secara seksual (hasil dari reproduksi seksual) (Struik, 1991). Vajrabhaya, (1988) menyebutkan bahwa embrio zigotik dan embrio somatik berasal dari sumber yang berbeda, namun memiliki kesamaan urutan dari bentuk embrio mulai tahapan globular, hati, dan torpedo (embriogenesis). Embrio somatik bisa berasal dari sel tunggal atau bahkan protoplas, tetapi juga dapat dikembangkan dari banyak sel yang berasal dari sumber yang sama. Menurut Gray (2005) embrio zigotik dan non-zigotik memiliki pola perkembangan yang sama, yaitu melalui tahap globular, skutelar, dan koleoptilar untuk tanaman monokotil, atau tahap globular, hati, torpedo, dan kotiledonari untuk tanaman dikotil dan konifer. Zimmerman (1993) menggambarkan kesamaan tahapan embriogenesis somatik dan zigotik seperti pada Gambar 2.

Embriogenesis mempunyai beberapa tahap spesifik, yaitu induksi sel dan kalus embriogenik, (2) pendewasaan, (3) perkecambahan, dan (4) hardening

(Purnamaningsih, 2002). Von Arnold (2008) menyebutkan regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik meliputi lima tahapan yaitu:

1. Inisiasi kultur embriogenik dengan mengkulturkan eksplan primer pada medium yang ditambahkan ZPT, terutama auksin tetapi seringkali sitokinin.

2. Proliferasi kultur embriogenik pada media solid atau cair yang ditambahkan dengan ZPT pada konsentrasi yang sama seperti pada tahap inisiasi.

3. Pra-pendewasaan embrio somatik pada media dengan pengurangan atau tanpa ZPT; hal ini menghambat proliferasi dan menstimulasi pembentukan dan perkembangan awal somatik embrio.

4. Pendewasaan embrio somatik dengan mengkulturkan pada media yang ditambahkan ABA dan atau memiliki penurunan potensial osmotik. 5. Regenerasi tanaman pada medium tanpa ZPT.

Gambar 2. Perbandingan antara Embriogenesis Somatik dan Embriogenesis Zigotik (Zimmerman, 1993)

Embriogenesis somatik dari tanaman monokotil seperti pada jagung berbeda dengan yang biasa terjadi pada tanaman dikotil khususnya dalam bentuk atau struktur embrio yang mengikuti pola globular, torpedo, heart dan

cotiledonary. Embrio non-zigotik untuk tanaman monokotil memiliki pola perkembangan melalui tahap globular, scutellar, dan coleoptilar (Gray, 2005).

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa 2.4-D merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus embriogenik. Zat pengatur tumbuh tersebut merupakan auksin sintetis yang cukup kuat dan tahan terhadap degradasi karena reaksi enzimatik dan fotooksidasi (Purnamaningsih, 2002). Auksin sintetik, seperti 2.4-D, yang cukup efektif untuk memacu pembentukan dan proliferasi kultur embriogenik, biasanya tidak dimetabolisme oleh sel pada tingkat yang sama seperti auksin alami. Oleh karena itu, untuk menstimulasi pertumbuhan lebih lanjut dari embrio somatik perlu mentransfer kultur embriogenik pada medium yang rendah atau tanpa auksin. Salah satu mekanisme dimana auksin dapat mengatur embriogenesis adalah melalui pengasaman sitoplasma dan dinding sel (Zimmerman, 1993).

Konsentrasi 2.4-D yang paling umum digunakan adalah satu sampai sepuluh mikromolar. Kebutuhan auksin atau ZPT lain untuk inisiasi embriogenesis somatik secara umum ditentukan oleh stadia perkembangan jaringan eksplan (Kutschera, 1994 dalam Von Arnold, 2008). Gambar 3 menunjukkan struktur kimia dari 2.4-Dicholophenoxyacetic acid.

Gambar 3. Struktur Kimia Zat Pengatur Tumbuh 2.4-D

Regenerasi Tanaman dari Kultur Jaringan Jagung

Embriogenesis merupakan salah satu jalur regenerasi tanaman. Embriogenesis dalam kultur in vitro dapat terjadi secara langsung (direct atau terbentuk langsung dari eksplan awal tanpa melalui fase kalus) dan tidak langsung

(indirect atau melalui fase kalus). Embriogenesis secara langsung hampir selalu terjadi dalam sistem embriogenesis (Merkle et al., 1990). Finer (1995) dalam percobaan embriogenesis langsung pada jagung menyatakan bahwa produksi kalus biasanya justru tidak diinginkan jika tujuan penelitian adalah embriogenesis. Eksplan yang sering digunakan untuk menginduksi dan mempelajari embriogenesis secara langsung adalah embrio zigotik muda (Merkle et al., 1990). Jaringan ini secara alami telah embriogenik dan membutuhkan sedikit nutrisi dibandingkan jaringan embriogenik lainnya untuk menginduksi respon embrio somatik. Menurut Gunawan (1992), bagian tanaman seperti embrio muda, hipokotil, kotiledon dan batang muda merupakan bagian yang mudah untuk didiferensiasi dan menghasilkan kalus. Embrio zigotik juga harus berada pada suatu status perkembangan yang responsif. Umur embrio atau jumlah hari setelah polinasi harus dievaluasi guna menentukan stadia untuk induksi optimal (Finer, 1995). Proses perkembangan embrio zigotik jagung berdasarkan stadia umur setelah polinasi disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Perkembangan Embrio Zigotik Jagung (Rochon et al., 1998)

Keterangan: HSP= Hari Setelah Polinasi; A) pembelahan sel zigotik; B) pretransisional proembrio; C) transisional proembrio; D) stadia koleoptilar; E) stadia koleptilar 1; F) Stadia koleptilar 2; ep= embrio proper; bc= sel dasar; s= suspensor; m= meristem; sc= skutelum; sa= apeks tunas; cr= cincin koleptilar; ea= aksis embrio.

Regenerasi tanaman dari kultur jaringan jagung pertama kali dilaporkan oleh Green dan Phillips (1975). Embrio muda dari genotipe jagung tertentu, khususnya A188, diletakkan dengan aksis tunas-akar menyentuh media Murashige dan Skoog (MS) yang dimodifikasi dan berisi 2.4-D sebagai sumber auksin. Posisi seperti ini memperlambat perkecambahan embrio dan

meningkatkan proliferasi sel skutelar untuk menghasilkan kalus yang dapat diregenerasikan. Kalus yang dihasilkan kompak (pencampuran proliferasi dari seluruh jaringan kalus, meristem tunas, dan struktur menyerupai skutelum). Kalus

ini telah dimodelkan sebagai kalus ‘Tipe I’. Istilah Tipe I digunakan untuk

mendeskripsikan kalus jagung yang kompak dan embriogenik, mengindikasikan bahwa kalus yang kompak pada beberapa kasus mendukung organogenesis dan embriogenesis. Kalus Tipe I telah ditemukan pada banyak nomor genotipe jagung. Kalus tipe I yang dihasilkan memiliki ciri kompak dan pertumbuhannya lambat (Somers et al., 1988)

Kalus jagung yang friable dan embriogenik (tipe II) diisolasi dari sektor embriogenik yang ditemukan pada kalus tipe I A188 di laboratorium B.G. Gengenbach. Kalus ini berisi proembrio somatik dan embrio lahir dari suspensor (semacam suatu struktur, yang diperkirakan asal suatu sel tunggal). Oleh karena remah (friable) atau kurang kompak, dan pertumbuhannya cepat, kalus tipe II dipilih untuk digunakan dalam percobaan seleksi in vitro. Amstrong dan Green (1985) kemudian mendemonstrasikan bahwa prolin dikombinasikan dengan medium N6 mampu menginduksi kalus yang remah dan embriogenik pada genotipe A188. Kemanjuran prolin dalam menginduksi kalus remah dan embriogenik bergantung pada genotipe dan ukuran/ umur eksplan embrio muda. Hanya sedikit genotipe yang menghasilkan kalus remah dan embriogenik jika dibandingkan dengan jumlah yang menghasilkan kalus Tipe I. Berdasarkan studi genetik frekuensi inisiasi kalus tipe I dan II, telah menunjukkan bahwa inisiasi kalus yang dapat diregenerasikan pada jagung di kontrol dengan oleh hanya sedikit gen (Somers et al., 1988). Secara skematis regenerasi tanaman jagung dengan menggunakan eksplan embrio muda yang ditemukan oleh Green dan Philips (1975) dapat digambarkan sebagai berikut.

1. Eksplan (embrio muda)  Kalus embriogenik tipe I (kompak)  Planlet 2. Eksplan (kalus embriogenik tipe I)  kalus embriogenik tipe II (remah) 

Planlet

Springer et al. (1979) melalui pemeriksaan histologi kultur jaringan jagung yang berasal dari embrio muda menunjukkan bahwa regenerasi tanaman yang terjadi adalah dengan cara organogenesis. Lu et al. (1982) menemukan bahwa

regenerasi tanaman juga dapat terjadi melalui embriogenesis somatik. Kedua tipe regenerasi tersebut berasal dari kalus yang keras, kompak, putih atau kuning yang dideskripsikan sebagai struktur mirip skutelar (scutellar) (Lu et al., 1983). Studi histologi memberikan fakta bahwa embriogenesis adalah jalur regenerasi tanaman yang lebih umum terjadi pada poliferasi jaringan kompak yang berasal dari skutelum embrio muda jagung (Vasil et al., 2005).

Finer (1995) memberikan contoh untuk embriogenesis somatik secara langsung menggunakan jagung (genotipe A188 dan B73) sebagai perwakilan tanaman monokotil. Eksplan yang digunakan adalah embrio muda. Respon embrio sebagian besar bergantung pada stadia perkembangan eksplan. Terdapat dua tipe yang berbeda dari kalus embriogenik terbentuk. Tipe I berwarna putih hingga krem dan keras, dengan perkembangan struktur lanjut (ditandai oleh kehadiran embrio yang berkembang dengan sangat baik dan terdapat struktur yang berwarna hijau). Kalus Tipe II berwarna krem hingga kuning terang dan remah. Somatik embrio muda terlihat dipermukaan kalus embriogenik jagung tipe II. Stadia embrio lanjut (skutelar dan koleoptilar) pada kalus jagung Tipe I berkembang sangat cepat selama dalam kultur media perkembangan. Kalus Tipe II membentuk proliferasi embrio terlebih dahulu pada stadia perkembangan awal dan karena hal tersebut, kalus tipe II membutuhkan waktu lebih lama untuk membentuk stadia embrio lanjut. Studi embriogenesis somatik jagung lebih rinci disajikan dalam tabel pada Lampiran 1.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Percobaan

Penelitian dilaksanakan dari Februari 2011 sampai Januari 2012 di Laboratorium Kultur Jaringan 1, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB. Eksplan (embrio muda) yang digunakan untuk penelitian diperoleh dari hasil pertanaman genotipe mutan di Kebun Percobaan Leuwikopo, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB Darmaga Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan sebagai eksplan adalah embrio muda yang diambil dari dua genotipe mutan jagung generasi ke-7 (G3M7 dan G8M7), yang diperoleh dari pertanaman G3M6 dan G8M6 kemudian dilakukan penyerbukan sendiri. Eksplan (embrio muda) dalam penelitian ditentukan berdasarkan ukuran embrio dan tidak berdasarkan umur selfing (penyerbukan sendiri), hal ini disebabkan oleh penanaman jagung yang dilakukan di lapang. Penanaman di lapang mempengaruhi keberhasilan penyerbukan sendiri karena pembuahan di hari yang sama sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Eksplan embrio muda jagung pada genotipe G8M7 dengan panjang 0.3 cm diperoleh dari embrio yang berumur 12 hari setelah selfing (HSS), sedangkan embrio muda dengan panjang 0.4 cm diperoleh dari embrio yang berumur 13 HSS. Eksplan embrio muda jagung genotipe G3M7 dengan panjang embrio 0.3 cm diperoleh dari embrio berumur 12-13 HSS, sedangkan eksplan dengan panjang 0.4 cm berasal dari embrio berumur 14 HSS (Lampiran 4).

Bahan yang digunakan untuk pembuatan media meliputi larutan stok makro dan mikro dari media dasar Chu (N6), dan Murashige dan Skoog (MS), zat pengatur tumbuh 2.4-D (2.4-Dichlorophenoxy Acetic Acid) dan picloram, sukrosa (gula pasir), asam amino L-arginin, L-glutamine, dan glycine serta D-mannitol. Media regenerasi menggunakan ZPT BAP (Benzyl Amino Purin) dan IAA (Indole Acetic Acid). Bahan-bahan lain yang digunakan adalah bahan untuk sterilisasi eksplan yaitu clorox, aquades steril, alkohol 70 % dan 96 %.

Alat-alat yang digunakan spiritus, korek api, bunsen, plastik penutup, karet gelang, plastik wrap, tissue, sudip, autoclave, botol kultur, oven, Laminar Air Flow (LAF), erlenmeyer, gelas ukur, gelas piala, petridish, botol kultur, pipet hisap, labu ukur, corong, timbangan analitik, kompor, tabung gas, alat diseksi

Dokumen terkait