Botani
Kacang tanah termasuk ke dalam Famili Fabaceae, Genus Arachis, dan spesies Arachis hypogaea. Kacang tanah lebih cocok ditanam pada musim kemarau, dengan kecukupan air irigasi. Jenis tanah yang ideal yaitu lempung berpasir, liat berpasir, atau lempung liat berpasir. Kemasaman (pH) tanah yang optimal adalah sekitar 6.5 - 7.0 (Pitojo, 2005).
Bunga kacang tanah mulai muncul dari ketiak daun pada bagian bawah tanaman yang berumur antara 4 - 5 minggu dan berlangsung hingga umur sekitar 80 hari setelah tanam. Bunga berbentuk kupu-kupu, berukuran kecil, dan terdiri atas empat daun tajuk. Bunga kacang tanah pada umumnya melakukan penyerbukan sendiri. Penyerbukan terjadi menjelang pagi, sewaktu bunga masih kuncup (kleistogami). Penyerbukan silang dapat terjadi, namun persentasinya sangat kecil, sekitar 0.5 %. Bunga yang berhasil menjadi polong biasanya hanya bunga yang terbentuk pada sepuluh hari pertama sejak bunga pertama muncul. Bunga yang muncul selanjutnya sebagian besar akan gugur sebelum menjadi ginofor (Pitojo, 2005).
Iklim berpengaruh besar terhadap pertanaman kacang tanah. Cahaya, curah hujan, dan suhu mempunyai efek langsung terhadap tanaman. Kacang tanah berdasarkan tipe fotosintesisnya merupakan tanaman C3 dan cahaya mempengaruhi fotosintesis serta respirasi. Kanopi kacang tanah responsif terhadap peningkatan intensitas cahaya matahari terutama saat pembungaan. Intensitas cahaya yang rendah pada saat pembungaan akan menghambat pertumbuhan vegetatif (Adisarwantoet al., 1993). Intensitas cahaya yang rendah pada saat pembentukan ginofor akan mengurangi jumlah ginofor. Disamping itu rendahnya intensitas penyinaran pada masa pengisian polong akan menurunkan jumlah dan berat polong serta meningkatkan jumlah polong hampa (Adisarwanto
et al., 1993).
Keragaman dalam jumlah dan distribusi curah hujan sangat berpengaruh atau dapat menjadi kendala hasil kacang tanah. Hujan yang cukup pada saat tanam sangat dibutuhkan agar tanaman dapat berkecambah dengan baik dan distribusi
curah hujan yang merata selama periode tumbuh akan menjamin pertumbuhan vegetatif. Jika curah hujan terlau tinggi pada fase vegetatif maka akan menurunkan hasil. Demikian pula apabila hujan turun agak banyak pada saat panen akan menyebabkan biji berkecambah. Kelembaban tanah yang cukup pada awal pertumbuhan, saat berbunga dan saat pembentukan polong sangat penting untuk mendapatkan produksi tinggi (Adisarwantoet al., 1993).
Suhu tanah merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi perkecambahan biji dan pertumbuhan awal. Pada suhu tanah kurang dari 18 °C, kecepatan perkecambahan akan lambat. Suhu tanah > 40 °C akan mematikan benih yang baru ditanam. Respon varietas terhadap suhu berbeda-beda. Kecepatan tumbuh tanaman kacang tanah akan meningkat dengan meningkatnya suhu dari 20 °C menjadi 30 °C. Suhu untuk pertumbuhan optimum berkisar antara 27 °C dan 30 °C tergantung pada masing-masing varietas. Suhu udara berpengaruh pula terhadap masalah pembungaan. Pada fase generatif suhu maksimum terletak antara 24 °C dan 27 °C. Suhu udara diatas 33 °C akan mempengaruhi benang sari. Inisiasi ginofor akan naik apabila suhu udara naik dari 19 °C menjadi 23 °C. Suhu tanah maksimum untuk perkembangan ginofor adalah 30 - 34 °C. Bentuk polong menjadi kecil dan keras apabila suhuudara dan suhu tanah tinggi (Adisarwantoet al., 1993).
Pemuliaan Kacang Tanah untuk Ketahanan Terhadap Penyakit Pemuliaan kacang tanah di Indonesia dimulai sejak tahun 1930-an oleh para pemulia Belanda, setelah Indonesia merdeka diteruskan oleh pemulia Indonesia. Pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas baru harus memperbaiki stabilitas produksi, memenuhi standar mutu, sesuai dengan pola tanam setempat, dan sesuai dengan keinginan pengguna (Kasno, 1993).
Program pemuliaan tanaman yang ditujukan untuk merakit varietas yang tahan penyakit harus dimulai dengan gen yang memberikan resistensi. Resistensi yang paling berguna yaitu jika gen donor berasal dari spesies yang sama. Selain itu bisa juga dari spesies lain yang memiliki kekerabatan cukup dekat atau melalui agen mutagen (Allard, 1989).
5 Metode pemuliaan untuk resistensi terhadap penyakit tidak berbeda secara mendasar dari pemuliaan untuk karakteristik lain. Sehingga beberapa macam metode pemuliaan yang cocok untuk tanaman yang bersangkutan dapat digunakan dalam mengembangkan varietas tahan penyakit dan hama, dengan syarat gen pemberi resistensi telah ditemukan. Apabila gen untuk resistensi terdapat pada varietas komersil, seleksi di dalam varietas ini hampir selalu memberi metode yang paling mudah dan paling memuaskan dalam mengembangkan strain resisten (Allard, 1989).
Allard (1989) menambahkan jika tidak ditemukan resistensi pada varietas komersil, tetapi hanya terdapat pada tipe yang tidak unggul secara komersil karena sifat agronominya yang tidak cocok maka metode backcrossatau metode
pedigree biasanya digunakan. Metode backcross digunakan jika tetua yang resisten hanya menyumbangkan gen resisten dan tidak unggul dalam sifat agronomi lainnya. Sedangkan jika tetua resisten tidak hanya memiliki gen resisten tetapi dapat memperbaiki sifat agronomi lainnya maka metode pedigree dapat dipilih.
Adisarwanto (2004) menambahkan bahwa prinsip dasar kegiatan persilangan pada kacang tanah dapat dilakukan jika sudah diketahui dengan pasti periode berbunga yang bersamaan antara tetua jantan dan betina dari induk yang akan disilangkan. Periode persilangan yang efektif untuk mencapai persentase keberhasilan yang tinggi adalah selama dua minggu sejak bunga pertama.
Beberapa kegiatan secara simultan dalam mengevaluasi varietas atau galur introduksi, galur hasil persilangan (hibridisasi), maupun galur hasil mutasi buatan pada akhirnya akan diperoleh beberapa galur harapan sebagai calon varietas baru. Dari galur-galur harapan tersebut kemudian diuji atau dievaluasi mengenai potensi daya hasil. Pengujian atau evaluasi potensi daya hasil dan persyaratan kriteria yang lain merupakan tahapan lanjutan dari proses pembentukan varietas unggul. Adapun yang dilakukan pada tahap ini adalah uji daya hasil pendahuluan, uji daya hasil lanjutan, dan uji multilokasi (Adisarwanto, 2004).
Penyakit Bercak Daun
Penyakit bercak daun selalu terdapat pada daun kacang tanah yang menjelang masak. Hal ini sedemikian lazimnya sehingga dianggap sebagai keadaan yang biasa, bahkan banyak petani yang berpendapat bahwa datangnya penyakit ini menandakan tanaman sudah hampir masak. Penyakit bercak daun disebabkan oleh dua macam jamur, yaitu Cercosporidium personatum (Berk. Et Curt.) Deighton danCercospora arachidicolaHori. C. personatummenyebabkan penyakit bercak daun hitam sedangkan C. arachidicola menyebabkan penyakit bercak daun cokelat (Semangun, 1991)..
C. arachidicolaHori membentuk konidium pada kedua permukaan daun, meskipun lebih banyak pada permukaan atas. Stroma kecil, dengan garis tengah 25–100 µm, coklat tua. Rumpun konidiofor jamur ini kecil-kecil, sehingga tidak terllihat dengan mata biasa. Rumpun konidiofor terdapat pada kedua sisi daun, bahkan banyak yang terdapat pada sisi atas (Semangun, 1991).
Semangun (1991) juga mengemukakan bahwa serangan C. arachidicola
datang lebih awal daripadaC. personatum, sehingga penyakit yang disebabkannya disebut bercak daun awal (early leaf spot). Hardiningsih (1993) menambahkan bahwa gejala bercak daun awal berupa bercak-bercak berbentuk bulat kadang tidak teratur dengan diameter 1–10 mm, berwarna cokelat tua sampai hitam pada permukaan bawah daun dan cokelat kemerahan sampai hitam pada permukaan atas. Selalu terdapat halo berwarna kuning yang jelas.
C. personatum lebih banyak ditemui dan lebih merugikan daripada C. arachidicola. Selain itu, timbulnya gejala juga lebih lambat sehingga sering disebut sebagai bercak daun lambat (late leaf spot). Pada daun kacang tanah jamur membentuk bercak-bercak yang umumnya bulat, dengan garis tengah 1 - 5 mm, meskipun kadang-kadang sampai 15 mm. Bercak mempunyai halo kuning yang tipis. Dari sisi atas bercak berwarna coklat dan dari sisi bawah tampak hitam dengan titik-titik hitam yang terdiri dari rumpun-rumpun konidiofor. Jamur dapat juga menyerang tangkai daun, daun penumpu, batang, dan ginofor (Semangun, 1991).
Hardiningsih (1993) menyatakan siklus hidup dan epidemologi patogen penyakit bercak daun dimulai dari keberadaan konidia. Konidia yang terdapat
7 pada sisa tanaman dalam tanah merupakan sumber inokulum pertama. Selain itu askuspora, klamidospora, dan potongan miselium juga merupakan inokulum yang potensial. Konidia C. arachidicola berkecambah membentuk satu atau beberapa tabung kecambah kemudian masuk ke dalam stomata yang terbuka atau menembus sel epidermis secara langsung.C. personatummenghasilkan haustoria interseluler, sedangkanC. arachidicolatidak demikian.
Daun kacang tanah yang dalam keadaan basah dengan suhu berkisar antara 25 – 31 °C, bercak dapat berkembang dalam waktu 10 – 14 hari. Konidia disebarkan oleh angin, percikan air, dan serangga. Puncak penyebaran konidia terjadi bersama waktu turunnya embun (pagi hari) dan waktu turun hujan. Penyebaran konidia C. arachidicola mencapai 2.7 m di atas permukaan tanah (Hardiningsih, 1993).
Penyakit bercak daun kacang tanah terdapat pada setiap pertanaman kacang tanah. Daerah penyebarannya sangat luas meliputi Asia, Afrika, Amerika, dan Australia. Tanaman kacang tanah yang terserang bercak daun dan tidak disemprot dengan fungisida, akan menderita kehilangan hasil polong hingga lebih dari 50 %. Dari percobaan-percobaan diketahui bahwa produksi tanaman kacang tanah meningkat 50–100 % jika kedua penyakit ini dikendalikan. Tanaman yang terserang penyakit bercak daun akan bertambah parah kondisinya jika diikuti oleh infeksi karat daun (Hardiningsih, 1993).
Konidium kedua macam jamur penyebab penyakit bercak daun sebagian besar dipencarkan oleh angin dan serangga. C. personatum memencar sangat cepat, sehingga dalam waktu 7 hari intensitas penyakit dapat meningkat 10 kali, sedangkan untuk C. arachidicola diperlukan waktu 23 hari. Penyakit ini sangat dipengaruhi oleh kelembaban. Dalam cuaca kering penyakit baru berkembang banyak jika tanaman berumur 70 hari, sedang dalam cuaca lembab hal ini terjadi pada umur 40–45 hari (Semangun, 1991).
Heritabilitas, Korelasi, dan Sidik Lintas
Kemajuan seleksi yang dilakukan dapat dilihat dari nilai heritabilitasnya. Heritabilitas menyatakan perbandingan atau proporsi varian genetik terhadap varian total (varian fenotipe) yang biasa dinyatakan dalam persen (%) (Allard,
1960). Menurut Poehlman dan Sleeper (1995) heritabilitas adalah parameter genetik yang digunakan untuk menduga variabilitas penampilan suatu genotip dalam populasi yang disebabkan oleh peranan faktor genetik.
Nilai heritabilitas dapat diduga dengan menggunakan beberapa metode, antara lain dengan menggunakan metode analisis komponen ragam. Analisis komponen ragam digunakan untuk menduga nilai heritabilitas arti luas. Metode lain yang dapat digunakan untuk menduga nilai heritabilitas adalah metode
parent-offspring. Metode parent-offspring digunakan untuk menduga nilai heritabilitas arti sempit pada karakter kualitatif. Nilai heritabilitas diduga dengan meregresikan nilai rata-rata turunan terhadap tetuanya.
Nilai heritabilitas dinyatakan dalam bilangan pecahan atau persentase yang berkisar antara 0 sampai 1. Nilai heritabilitas nol artinya keragaman fenotipe hanya disebabkan oleh keragaman lingkungan, sedangkan nilai heritabilitas satu artinya keragaman fenotipe hanya disebabkan oleh keragaman genotipe itu sendiri. Semakin mendekati nilai satu, nilai heritabilitasnya semakin tinggi, sebaliknya semakin mendekati nol nilai heritabilitasnya semakin rendah (Poespodarsono, 1988). Heritabilitas suatu karakter yang tinggi menandakan bahwa ekspresi genetik karakter tersebut relatif kurang dipengaruhi lingkungan, sedangkan nilai heritabilitas yang rendah menandakan keragaman genotipe dipengaruhi lingkungan (Rachmadiet al., 1996).
Korelasi merupakan tingkat keeratan karakter yang digambarkan dari nilai koefisien korelasinya. Nilai korelasi dapat bernilai positif atau negatif dengan rentang nilai antara -1 sampai +1. Nilai koefisien korelasi semakin mendekati -1 atau +1 maka tingkat keeratan antara dua karakter semakin tinggi dan semakin mendekati nol maka tingkat keeratannya semakin rendah (Mattjik dan Sumertajaya, 2002). Budiarti et al. (2004) mengemukakan nilai korelasi merupakan gambaran tingkat keeratan antar karakter yang satu dengan yang lainnya, namun nilai korelasi tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat dari tingkat keeratan antar karakter tersebut. Maka untuk menguraikan koefisien korelasi agar lebih bermakna dilakukan analisis lintas.
Penggunaan analisis lintas dapat menguraikan koefisien korelasi menjadi pengaruh langsung dan tidak langsung (Marsito, 2003). Budiarti et al. (2004)
9 menyatakan bahwa penentuan karakter-karakter yang akan dijadikan kriteria seleksi yang efektif dapat dilihat dari besarnya pengaruh langsung terhadap hasil, korelasi antara karakter dengan hasil, dan selisih antara korelasi antar karakter dan hasil dengan pengaruh langsung karakter tersebut terhadap hasil (<0.05).
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikarawang dan analisis klorofil dilakukan di Laboratorium RGCI IPB, Dramaga, Bogor. Lokasi penelitian terletak pada ketinggian 250 m di atas permukaan laut dengan jenis tanah latosol dan suhu udara rata-rata harian 25.9 °C. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai Juli 2010.
Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan adalah 16 galur generasi lanjut kacang tanah hasil pemuliaan Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB sebagai galur yang diuji, serta 4 varietas komersial sebagai pembandingnya. Galur yang diuji yaitu 16 galur GWS hasil persilangan varietas Gajah dengan galur introduksi GP-NCWS4 yang tahan penyakit bercak daun dengan empat varietas pembanding yaitu Gajah, Jerapah, Zebra Putih, dan Sima. Pupuk yang digunakan adalah Urea, SP-18, dan KCL. Furadan digunakan sebagai pestisida.
Asetontrisdan aquades digunakan untuk mengukur kadar klorofil.
Peralatan yang digunakan adalah peralatan yang biasa digunakan dalam budidaya kacang tanah dan seperangkat alat untuk mengukur kadar klorofil daun. Peralatan untuk mengukur kadar klorofil daun antara lain boks es, mortar,micro tube, sentrifuge,danUnispec spectrophotometer.
Metode
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak satu faktor yaitu genotipe (20 genotipe) dengan tiga ulangan. Jumlah satuan percobaan yaitu 60 petak. Model rancangan yang digunakan adalah:
Yij =μ+iβj +ij ; (i=1,....t, j=1,....r)
Keterangan :
Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
11
i = pengaruh perlakuan ke-i
βj = pengaruh kelompok ke-j
ij = pengaruh galat pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
Pengolahan data dilakukan dengan uji F, perlakuan yang berpengaruh nyata diuji dengan uji lanjut Dunnet pada taraf nyata 5% (Gomez dan Gomez, 1995).
Pelaksanaan
Lahan dibersihkan dari gulma dan anak kayu lalu digemburkan. Setelah itu, dibuat petakan sebanyak 60 petak dengan ukuran 4 m x 3 m dan jarak antar petak 50 cm. Lalu diberikan kaptan (500 kg/ha ) dan pupuk kandang (1.5 ton/ha) secara merata pada tiap petakan. Tanah dibiarkan selama kurang lebih satu minggu agar kaptan dan pupuk kandang menyatu dengan tanah.
Penanaman dilakukan pada pagi hari dengan menggunakan jarak tanam 40 cm x 15 cm dan satu benih per lubang tanam sehingga total populasi per petak adalah 200 tanaman. Furadan diberikan pada lubang tanam saat penanaman dengan dosis 12 kg/ha. Pemupukan dilakukan sekali saat penanaman dengan mencampur tiga jenis pupuk. Pemberiannya dengan cara dialur di samping barisan tanaman dengan dosis 50 kg Urea/ha, 200 kg SP-18/ha, dan 100 kg KCL/ha.
Pemeliharaan meliputi penyulaman, pembersihan gulma, dan pembumbunan. Penyulaman dilakukan pada satu minggu setelah tanam (MST). Pembersihan gulma dilakukan setiap minggu sampai 4 MST dan pembumbunan pada 4 MST. Pembumbunan dilakukan untuk mempercepat dan mempermudah ginofor mencapai tanah.
Pemanenan dilakukan pada 14 MST atau 100 hari setelah tanam (HST) disaat pengisian polong sudah maksimal dengan ciri kulit polong bagian dalam berwarna agak gelap, kulit polong terlihat berurat. Pengeringan dilakukan dengan dijemur di lantai selama 5-6 hari pada cuaca cerah. Pengupasan atau pembijian dilakukan dengan cara sederhana (polong dikupas dengan tangan). Selanjutnya dilakukan penghitungan data untuk memperoleh komponen hasil.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan sepuluh tanaman contoh kompetitif yang berada dalam satu baris pada masing-masing petak percobaan. Peubah yang diamati adalah :
1. Tinggi tanaman saat panen, diukur dari permukaan tanah sampai dengan titik tumbuh pada batang utama.
2. Jumlah cabang yang tumbuh pada tiap tanaman saat panen.
3. Persentase panjang batang utama berdaun hijau pada saat panen. Dihitung dengan rumus : (panjang batang utama berdaun hijau/ tinggi tanaman saat panen) x 100%.
4. Indeks panen kering. Dihitung dengan rumus : Bobot polong bernas/Bobot brangkasan.
5. Jumlah polong total, bernas, cipo per tanaman. Dilakukan setelah tanaman contoh dikeringkan di bawah sinar matahari langsung sampai kadar air benih mencapai kurang lebih 14%.
6. Bobot polong total, bernas, dan cipo per tanaman. Dilakukan setelah tanaman contoh dikeringkan di bawah sinar matahari langsung sampai kadar air benih mencapai kurang lebih 14%.
7. Bobot biji per tanaman, bobot biji dari tanaman contoh yang sudah dikeringkan. Dilakukan setelah tanaman contoh dikeringkan di bawah sinar matahari langsung sampai kadar air benih mencapai kurang lebih 14%.
8. Bobot 100 biji kering per tanaman.
9. Kadar klorofil daun pada 8 MST, menggunakan sampel daun yang ke 8 dari daun termuda.
Daun yang digunakan sebagai sampel adalah daun ke 8 dari daun termuda. Pengambilan daun dilakukan pagi hari sebelum sinar matahari terik. Daun dimasukan ke dalam boks yang berisi es batu untuk mencegah respirasi yang terlalu tinggi. Anak daun yang paling ujung dipilih dari daun tetrafoliet untuk diambil sampelnya.
Daun dilubangi dengan pelubang khusus yang berdiameter 0.92 cm dan diusahakan tidak mengenai urat daun. Daun yang terpotong digerus dan dilarutkan dengan aseton tris sebanyak 2 ml. Setelah menyatu, larutan kemudian dimasukkan
13 ke dalam mikro tube. Mikro tube dimasukkan ke mesin sentrifuge untuk memisahkan supernatan dengan ampas daun. Setelah terpisah, supernatan diambil dengan pipet volumetrik sebanyak 1 ml dan diencerkan dengan 2 ml asetontris. Selanjutnya masing-masing sampel dihitung panjang gelombangnya dengan mesinUnispec spectrofotometer. Nilai dari panjang gelombang yang tercatat lalu dikonversi ke dalam jumlah klorofil per luas area sampel. Selanjutnya kadar klorofil dapat diketahui dan dibandingkan antar genotipe.
Analisis Data
Data yang dianalisis untuk masing-masing karakter pengamatan adalah rataan dari sepuluh tanaman contoh tiap petak percobaan. Data dianalisis menggunakan sidik ragam atau uji F pada taraf nyata (α) 5 % dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji t-Dunnet. Selain itu, dilakukan analisis untuk menentukan ragam genetik (σ²g), ragam fenotipik (σ²p), koefisien keragaman genetik (KKG), nilai heritabilitas arti luas (h²bs), dan analisis lintasan.
Tabel 1. Analisis Komponen Ragam
Sumber Keragaman Derajat Bebas
(DB) Kuadrat Tengah (KT) E (KT)
Ulangan r-1 M1
Perlakuan g-1 M2 σ²e+ rσ²g
Galat (r-1) (g-1) M3 rσ²e
Keterangan : E (KT) = harapan kuadrat tengah, r = banyaknya ulangan, g = banyaknya galur
Berikut ini merupakan pendugaan komponen ragam :
Ragam lingkungan (σ²e) = M3/r Ragam genetik(σ²g) = (M2 –M3)/r
Ragam fenotipik (σ²p) = σ²e+ σ²g
Nilai heritabilitas h²bs= σ²g/ σ²p
Penghitungan analisis lintasan menggunakan metode matriks Singh dan Chaudhary (1979) : r1y X11 X12 X13…. X19 P1y r2y X21 X22 X23…. X29 P2y r3y = X31 X32 X33…. X39 P3y : : : : : : r9y X91 X92 X93…. X99 P9y A = B C
Vektor A merupakan korelasi antara karakter X1 dengan (y) (riy), unsur matriks B terdiri dari korelasi peubah Xi (rij),
Vektor C adalah unsur-unsur pengaruh langsung peubah X1 terhadap y (Pij). Vektor C didapatkan dengan rumus :
C = B¯¹ A
Koefisien residu (CS) : =∑ C
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Tanah pada lokasi yang digunakan untuk penelitian berjenis latosol. Penelitian dilaksanakan pada akhir musim hujan dengan data cuaca selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Rataan curah hujan, jumlah hari hujan, dan suhu selama penanaman yaitu berturut-turut 458.92 mm, 21.2 hari hujan, dan 25.88 °C. Suhu rata-rata selama penelitian berkisar antara 25.1 – 26.7 °C/bulan. Adisarwanto et al. (1993) menyatakan bahwa suhu optimal untuk pertumbuhan kacang tanah yaitu berkisar antara 27 – 30 °C. Oleh karena itu, suhu lingkungan penelitian kurang optimal untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman kacang tanah. Sumarno dan Punarto (1993) menambahkan bahwa suhu berpengaruh terhadap semua aspek pertumbuhan kacang tanah terutama berkaitan dengan laju fotosintesis. Dengan suhu yang tidak optimal laju fotosintesis hanya dapat mencapai 75 %.
Tabel 2. Data Cuaca Daerah Dramaga Bogor
Bulan Curah hujan (mm) Jumlah hari
hujan Suhu (°C) Maret 672.6 26 25.1 April 527.0 21 25.8 Mei 330.9 18 26.7 Juni 303.4 18 25.9 Jumlah 2294.6 106 129.4 Rataan 458.9 21.2 25.9
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika, Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor
Hama yang menyerang selama fase perkecambahan yaitu hama semut yang memakan benih. Selain itu terdapat juga patogen berupa cendawan dari jenis
Aspergillus niger dengan tanda penyakit berupa hifa berwarna hitam yang menyelimuti benih, Aspergillus flavus dengan tanda penyakit berupa hifa berwarna hijau, dan Curvularia brachyspora dengan tanda penyakit berupa miselia yang berwarna putih keabuan.
Pertumbuhan tanaman dari mulai fase perkecambahan sampai 4 MST belum menunjukkan adanya gejala serangan penyakit bercak daun yang disebabkan Cercosporidium personatum dan Cercospora arachidicola. Setelah
memasuki umur 5 MST, gejala serangan mulai tampak pada daun yang paling bawah yang ditandai bercak coklat kehitaman kecil. Semakin lama, gejala serangan semakin berat yang ditandai dengan rotoknya daun mulai dari daun terbawah. Kondisi ini terjadi karena kelembaban lingkungan pada daun terbawah lebih tinggi dibandingkan dengan daun yang lebih atasnya. Semangun (1991) menyatakan bahwa penyebaran penyakit bercak daun sangat dipengaruhi oleh kelembaban udara dan dalam kodisi yang lembab, penyakit dapat berkembang biak pada umur 40–45 hari.
Gambar 1. Fenotipe Tanaman Peka Dan Tahan Terhadap Serangan Penyakit Bercak Daun : A. varietas Gajah (peka), B. varietas Zebra Putih (toleran), C. galur GWS134D (tahan), D. galur GWS39D (tahan) Berdasarkan pengamatan secara visual di lapangan, intensitas serangan yang paling berat diperlihatkan oleh varietas Gajah sebagai kontrol yang peka terhadap penyakit bercak daun (Gambar 1). Hal ini terlihat dari rendahnya proporsi bagian tanaman yang masih tampak hijau jika dibandingkan dengan genotipe lainnya. Serangan terhadap varietas Jerapah, Zebra Putih, dan Sima sebagai kontrol yang toleran tidak terlalu berat dibandingkan varietas Gajah.
A B
17 Begitu juga dengan sebagian besar galur-galur yang diuji memiliki proporsi bagian tanaman yang masih tampak hijau cenderung lebih tinggi dari varietas Gajah.
Penyakit lainnya yang menyerang selama pertumbuhan tanaman yaitu layu bakteri (Pseudomonas solanacearum), karat (Puccinia arachidis), sapu setan (Mikoplasma), belang kacang tanah oleh virus (Groundnut Mottle Virus) dan penyakit bilur oleh virus (Peanut Stripe Virus/PStV).
Hama yang menyerang secara umum yaitu rayap, belalang (Oxya spp.), ulat grayak (Spodoptera lituraFabricus), ulat penggulung daun (Omiodes indicate
Fabricus). Rayap menyerang pangkal batang sehingga mengakibatkan tanaman layu kemudian mati. Ulat penggulung daun merupakan hama dengan serangan paling berat pada lahan penelitian. Hama ini menyerang pucuk tanaman pada 8 -10 MST sehingga pucuk daun menggulung. Serangan hama lainnya memiliki intensitas yang rendah dan tidak membahayakan.
Gulma yang tumbuh di sekitar pertanaman kacang tanah yaitu Mimosa pudica, Mimosa pigra, Boreria alata, Croton hirtus. Pengendalian gulma