• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : BENTUK PERJANJIAN SEWA MENYEWA MOBIL

A. Pengertian Umum Tentang Perjanjian

1. Sifat dan Asas Hukum Perjanjian

Untuk menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian sewa-menyewa yang dibuat menjadi perikatan

47

Kartini Mulyadi & Gunawan Wijaya, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.21.

48

Ibid, hal. 25.

49

yang mengikat bagi para pihak, oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diberikan berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya. Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai asas-asas perjanjian, perlu dijelaskan pengertian asas-asas. Istilah asas-asas merupakan terjemahan dari bahasa Latin “principium”, bahasa Inggris “principle” dan bahasa Belanda

“beginsel”, yang artinya dasar yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir/

berpendapat. 50

Kata “principle” atau asas adalah suatu yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat menyadarkan, utk mengembalikan sesuatu hal yang hendak dijelaskan. Pengertian asas dalam bidang hukum yang memuaskan dikemukakan oleh para ahli antara lain “A Principle is the broad reason

which lise at the base of a rule of law”. Ada dua hal yang terkandung dalam makna

asas tersebut yakni pertama, asas merupakan pemikiran, pertimbangan, sebab yang luas atau umum, abstrak (the board reason); kedua, asas merupakan hal yang mendasari adanya norma hukum (the best the rule of law), oleh karena itu asas hukum tidak sama dengan norma hukum, walaupun adakalanya norma hukum itu sekaligus merupakan asas hukum. Karakter asas hukum yang umum, abstrak itu membuat cita-cita, harapan (das sollen), dan bukan peraturan yang akan diperlakukan

50

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang didambakan, Alumni, Bandung, 2004, hal. 157

secara langsung kepada subjek hukum. Asas hukum bukanlah suatu perintah hukum yang kongkrit dan tidak pula memiliki sanksi yang tegas, hal-hal tersebut hanya ada dalam norma hukum yang kongkrit seperti peraturan yang sudah dituangkan dalam wujud pasal-pasal perundang-undangan, dalam peraturan-peraturan dapat ditemukan aturan yang mendasar berupa asas hukum yang merupakan cita-cita dari pembentuknya. Asas hukum diperoleh dari proses analitis (konstruksi yuridis) yaitu dengan menyaring (abstraksi) sifat-sifat khusus yang melekat pada aturan yang kongkrit, untuk memperoleh sifat-sifatnya yang abstrak.51

Berikut ini dibahas asas-asas umum hukum perjanjian sewa-menyewa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.52

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Buku ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang perjanjian menganut sistem terbuka. Hal ini berarti, hukum perjanjian memberi kebebasan yang seluas-luasnya kepada pihak-pihak yang ingin membuat perjanjian selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan baik.53

Menurut Subekti, pasal-pasal dalam hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap atau optional law yang berarti pasal-pasal tersebut boleh dikecualikan oleh para pihak dalam pembuatan perjanjian, para pihak diperbolehkan membuat ketentuan yang menyimpang manakala dibutuhkan

51

Ibid , hal 158

52

Kartini Mulyadi & Gunawan Wijaya Op Cit, hal. 14

53

selama tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jika para pihak tidak mengatur sendiri dalam pasal-pasal perjanjiannya, maka mengenai hal tersebut, para pihak akan tunduk pada pengaturan yang diberikan oleh Undang-Undang.54 Sistem terbuka dan azas kebebasan berkontrak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersirat dalam Pasal 1338 ayat (1) yang menyatakan: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Menurut Subekti, kata “semua” dalam pasal tersebut dapat diartikan bahwa masyarakat diperbolehkan untuk membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti sebuah undang-undang.

b. Asas Konsensualitas

Konsensualitas berasal dari kata consensus yang artinya sepakat.55 Asas konsensualitas berarti suatu perjanjian sudah dilahirkan sejak detik lahirnya suatu kesepakatan diantara para pihak, tidak diperlukan adanya suatu formalitas lainnya lagi seperti bahwa suatu perjanjian harus dibuat tertulis. Hal ini tersirat dari ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang syarat sahnya perjanjian.

Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan untuk membuat perjanjian sah secara hukum, tidak diwajibkan adanya formalitas lain

54

Subekti, Op Cit, hal. 13

55

disamping tercapainya kesepakatan tersebut. Dengan kata lain, suatu perjanjian sudah dikatakan sah dan mengikat apabila sudah tercapai kesepakatan tentang hal-hal yang pokok dari perjanjian yang dimaksud.

Beberapa undang-undang memang mensyaratkan untuk sahnya sebuah perjanjian diharuskan diadakan secara tertulis atau dengan akta notaris. Salah satu perjanjian yang harus dicantumkan dalam suatu akta tertulis yang dibuat dihadapan notaris adalah perjanjian pemberian kredit dari bank kepada nasabahnya atau debiturnya sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1 angka (12) Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah dirubah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang menyebutkan bahwa kredit diberikan atas persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain.56 Hal ini adalah pengecualian, karena pada dasarnya suatu perjanjian sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya kesepakatan.57

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, pencantuman kata-kata “persetujuan atau kesepakatan” di dalam definisi kredit yang diberikan oleh Pasal 1 angka (12) Undang-Undang Perbankan mempunyai beberapa maksud, yaitu:58

1) Pembentuk Undang-undang hendak menjelaskan bahwa hubungan kredit adalah hubungan kontraktual anatara bank dengan nasabah debitur

56

H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi (The Bankers Hand Book), Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 181

57

Subekti, Op Cit. hal. 15

58

Sutan Remy Sjahdeini, dalam H.R. Daeng Naja., Kebebasan Berkontrak dan

Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, IBI,

yang dengan demikian tunduk pada ketentuan mengenai pinjam-meminjam dalam buku III KUHPerdata tentang Perjanjian.

2) Jika hanya dihubungkan dengan ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 1 angka (12) Undang-undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 yang telah dirubah dalam Pasal 1 angka (11) Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 mengenai kewajiban untuk membuat sebuah perjanjian kredit dalam bentuk tertulis maka akan cukup sulit menafsirkannya sebagai suatu keharusan. Untuk itu, kemudian kita juga dapat merujuk pada ketentuan lainnya, yaitu Instruksi Presidium Kebinet Nomer 15/EK/IN/10/1966 tertanggal 3 Oktober 1966 Jo, Surat Edaran Bank Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb. tertanggal 8 Oktober 1966 dan Surat Edaran Bank Indonesia Unit I Nomer 2/649/UPK/Pemb. tertanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Ampera Nomor 10/EK/IN/2/1967 tertanggal 6 Februari 1967, yang menentukan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank wajib mempergunakan atau membuat perjanjian kredit secara tertulis.

c. Asas Kepribadian

Asas kepribadian berhubungan dengan personalia dalam suatu perjanjian atau para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian. Pada umumnya, dalam suatu perjanjian, ada dua pihak yang terlibat, yaitu pihak yang memberi prestasi (kreditur) dan pihak yang menerima prestasi (debitur). Hal demikian tersirat dari ketentuan dalam Pasal 1315 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang

menentukan bahwa pada umumnya tiada seorang pun dapat dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri.

Namun, atas keberlakuan asas kepribadian dalam perjanjian ini berlaku suatu pengecualian yang oleh Subekti disebut sebagai “janji untuk pihak ketiga”. Pengecualian ini membolehkan seseorang membuat suatu perjanjian yang di dalam perjanjian tersebut ia memperjanjikan hak-hak bagi orang lain. Sebagai ilustrasi, dapat dicontohkan sebagai berikut :

“A mengadakan perjanjian dengan B, dalam perjanjian yang dibuatnya itu, A memasukkan klausula atau Pasal yang isinya adalah memperjanjikan hak-hak bagi C tanpa adanya kuasa dari C. Dalam perjanjian yang seperti ini, A disebut sebagai stipulator (orang yang menetapkan syarat atau ketentuan tambahan dalam kontrak/perjanjian) dan B dinamakan Promissor (orang yang berkesanggupan menerima ketentuan tambahan dalam kontrak/perjanjian tersbut)”.

d. Asas Kepercayaan

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya dibelakang hari.

e. Asas Kekuatan Mengikat

Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang

diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsure lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan moral.

f. Asas Persamaan Hukum

Asas ini menempatkan para pihak pada persamaam derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan,kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan

g. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan hukum. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik. Dapat dilihat disini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

h. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai figure hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian itu terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang.

i. Asas Moral

Asas ini terlihat dari perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra-prestasi dari pihak debitur. Juga hal ini terlihat di dalam zaakwarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, juga asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral), sebagai panggilan dari hati nuraninya.

j. Asas Kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata, asas kepatutan disini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.

Dokumen terkait