• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sifat Fisik Tepung Ikan

Dalam dokumen FORMULASI BISKUIT DENGAN SUBSTITUSI TEPU (Halaman 45-56)

Selain analisis sifat kimia, dilakukan pula analisis sifat fisik tepung. Analisis sifat fisik tepung yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kadar aw,

densitas kamba tepung dan derajat putih tepung. Data analisis sifat fisik tepung ikan dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai 8.

a. aw

Menurut Bluestein dan Labuza (1988), air terdistribusi dalam bahan pangan walaupun pangan telah dikeringkan. Kandungan air dalam bahan pangan mempengaruhi daya tahan makanan terhadap serangan mikroorganisme yang dinyatakan dengan aw. Menurut Winarno (1997), aw adalah jumlah air bebas

yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Berbagai mikroorganisme mempunyai aw minimum agar dapat tumbuh. Hasil pengukuran

Gambar 6 aw tepung badan ikan dan tepung kepala ikan

Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat aw tepung badan (0.71) ikan

lebih besar daripada tepung kepala ikan (0.66). Menurut Bluestein dan Labuza (1988), mikroorganisme yang mungkin tumbuh kisaran aw tersebut adalah

kapang.

b. Densitas Kamba

Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume bahan itu sendiri dengan satuan g/ml. Semakin tinggi densitas kamba menunjukkan produk semakin ringkas atau padat. Nilai densitas juga menunjukkan porositas bahan. Bahan yang lebih ringkas memiliki porositas yang lebih sedikit karena lebih sedikit rongga antar partikel. Banyaknya rongga antar partikel dan besarnya ukuran partikel akan menyebabkan banyak ruang kosong tersisa yang seharusnya terisi oleh partikel tersebut. Hal ini menyebabkan jumlah partikel yang menempati suatu volume ruang lebih sedikit (Khalil 1999).

Gambar 7 Densitas kamba tepung badan ikan dan tepung kepala ikan Berdasarkan hasil pengukuran (gambar 7), diketahui bahwa densitas kamba tepung badan ikan (0.3710) lebih kecil daripada tepung kepala ikan

(0.4537). Densitas kamba menunjukan kepadatan partikel yang menempati ruang pada volume tertentu. Nilai densitas kamba yang lebih rendah menunjukkan pada volume yang sama jumlah partikel yang menempati ruang pada volum tersebut adalah lebih ringan daripada tepung dengan densitas yang lebih tinggi. Berarti dalam berat yang sama, volume tepung badan ikan dengan densitas kamba lebih rendah adalah lebih besar daripada volume tepung kepala ikan dengan densitas kamba yang lebih tinggi.

Wirakartakusumah et al (1999) menyatakan bahwa densitas kamba makanan pada umumnya adalah antara 0.3-0.8 g/ml. Berdasarkan rentang tersebut, densitas kamba tepung ikan, baik tepung kepala maupun tepung badan berada dalam kisaran densitas kamba pangan secara umum.

c. Derajat Putih

Derajat putih merupakan tingkat keputihan suatu bahan yang erat kaitanya dengan mutu penerimaan konsumen. Bahan pangan yang memiliki warna cerah umumnya lebih disukai oleh konsumen. Tepung ikan lele dumbo diukur derajat putihnya untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh penambahan tepung ikan terhadap warna biskuit yang dihasilkan. Menurut Faridah et al. (2008), prinsip pengukuan Whiteness Meter adalah melalui pengukuran indeks refleksi dari permukaan contoh dengan sensor foto dioda. Semakin putih contoh, maka cahaya yang dipantulkan semakin banyak dan semakin tinggi derajat putih contoh. Berdasarkan pengukuran dengan Whiteness Meter, derajat putih tepung dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Hasil pengukuran derajat putih tepung ikan lele dumbo

Jenis Tepung Derajat Putih (%)

Tepung badan ikan lele 30.9575

Tepung kepala ikan lele 28.9975

Tepung Terigu* 74.7*

Keterangan: *Antarlina (1998)

Hasil diatas menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan memiliki derajat putih jauh dibawah tepung terigu. Derajat putih tepung kepala ikan lele memiliki nilai yang lebih rendah daripada tepung badan ikan lele. Hal ini menunjukkan tepung kepala ikan lele memiliki warna yang lebih gelap

dibandingkan tepung badan ikan lele. Penambahan tepung badan dan tepung kepala ikan lele pada produk biskuit akan menyebabkan warna biskuit menjadi lebih gelap.

3. Sifat kimia tepung ikan

Tepung ikan yang digunakan pada pembuatan biskuit dibedakan menjadi 2 bagian yaitu tepung badan ikan lele dumbo dan tepung kepala ikan lele dumbo. Sifat kimia yang dianalisis dari tepung ikan yaitu kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar karbohidrat, dan kadar lemak tepung. Data analisis sifat kimia tepung ikan dapat dilihat pada Lampiran 9 sampai 13.

a. Kadar Air

Gambar 8 menunjukkan hasil analisis kadar air tepung. Kadar air tepung badan ikan sebesar 7.99% bb dan kadar air tepung kepala ikan sebesar 8.72% bb. Kadar air ini menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan adalah tepung ikan berkualitas tinggi. Hal ini sesuai dengan LIPI (1999) yang menyatakan bahwa tepung ikan yang berkualitas tinggi memiliki kandungan air antara 6% sampai dengan 10%. Kadar air tepung yang dihasilkan juga sesuai dengan Moeljanto (1982a) yang menyatakan jarang dijumpai tepung ikan dengan kadar air kurang dari 6% sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis. Apabila kadar air tepung terlalu rendah, maka akan terjadi keseimbangan dengan kelembaban tempat penyimpanan.

4.83 14.1 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Kadar Abu % Tepung badan ikan Tepung kepala ikan b. Kadar Abu

Menurut Winarno (1997), abu merupakan unsur mineral atau zat anorganik yang terkandung dalam bahan pangan. Abu juga merupakan zat dalam bahan pangan selain air dan bahan organik. Gambar 9 merupakan grafik hasil analisis kadar abu tepung ikan.

Gambar 9 Kadar abu tepung badan ikan dan tepung kepala ikan

Berdasarkan hasil uji kadar abu berbasis kering didapat kadar abu tepung badan ikan adalah sebesar 4.83% bk sedangkan kadar abu tepung kepala ikan adalah 14.1% bk. Kadar abu tepung kepala ikan lebih tinggi daripada kadar abu tepung badan ikan. Hal ini dikarenakan kepala ikan lebih banyak mengandung tulang sehingga sesuai dengan Moeljono (1982) yang menyatakan bahwa sebagian besar abu dan mineral dalam tepung ikan berasal dari tulang-tulang ikan. Pada tepung badan ikan, tulang hanya berasal dari tulang tengah ikan saja sehingga kandungan abu pada tepung badan adalah lebih rendah.

c. Kadar Protein

Hasil analisis kadar protein tepung menunjukkan bahwa kadar protein tepung badan ikan sebesar 63.83% bk lebih besar daripada kadar protein tepung kepala ikan sebesar 56.04% bk (Gambar 10). Perbedaan ini dikarenakan badan ikan mengandung lebih banyak daging ikan. Daging ikan sebagian besar tersusun atas protein miofibrilar yang digunakan untuk pergerakan ikan. Menurut Mendez dan Albuin (2006), protein miofibrilar menyusun 60-75% total protein dalam otot yang merupakan kombinasi dari protein kontraktil (aktin dan myosin), protein pengatur (troponin dan tropomiosin), serta beberapa protein dalam

jumlah minor. Daging ikan juga mengandung sekitar 3% protein jaringan ikat yang membentuk tekstur daging.

Gambar 10 Kadar protein tepung badan ikan dan tepung kepala ikan

Pada bagian kepala ikan yang digunakan dalam pembuatan tepung, daging dalam jumlah kecil yang menempel pada kepala tidak dipisahkan. Hal ini menyebabkan kandungan protein pada tepung kepala ikan masih cukup tinggi. Pembersihan daging dari kepala ikan tidak dilakukan karena membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga dikhawatirkan akan menurunkan mutu ikan.

d. Kadar Lemak

Pada pembuatan tepung ikan, kandungan lemak direduksi pada saat pengepresan menggunakan hidrolik press. Berdasarkan hasil analisis lemak pada tepung badan ikan lele adalah sebesar 10.83% bk dan pada tepung kepala ikan lele adalah sebesar 9.93% bk (Gambar 11). Hasil ini sesuai dengan LIPI (1999) yang menyatakan bahwa tepung ikan bermutu baik memiliki kadar lemak antara 5-12%.

Gambar 11 Kadar lemak tepung badan ikan dan tepung kepala ikan

Hasil analisis kadar lemak menunjukkan tepung badan ikan memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi daripada tepung kepala ikan. Hal ini

disebabkan badan ikan mengandung lebih banyak daging dibandingkan bagian kepala ikan, dimana Mendez dan Albuin (2006), menjelaskan bahwa kandungan asam lemak tak jenuh pada daging ikan cukup tinggi sehingga tepung ikan yang dihasilkan dari daging ikan akan menunjukkan kadar lemak yang lebih tinggi dari tepung yang dibuat dari kepala dan tulang ikan.

e. Kadar Karbohidrat

Menurut Adawyah (2007), kandungan karbohidrat dalam daging ikan berupa polisakarida, yaitu yang terdapat di dalam sarkoplasma diantara miofibril- miofibril. Kadar karbohidrat tepung ikan cukup tinggi dibandingkan pada ikan segar. Hal ini dikarenakan terjadi pengurangan sejumlah besar air dan lemak pada proses pengepresan ikan sehingga kadar karbohidrat meningkat.

Gambar 12 Hasil analisis kadar karbohidrat tepung badan ikan dan tepung kepala ikan

Kadar karbohidrat tepung ikan pada penelitian ini ditentukan dengan metode by difference yang merupakan penghitungan kadar karbohidrat secara kasar. Menurut LIPI (1999), tepung ikan (campuran antara kepala dan badan) kualitas baik memiliki kandungan air minimal 6%, lemak minimal 5%, protein minimal 60%, dan abu minimal 10%. Bila dihitung menggunakan metode by difference nilai karbohidrat tepung ikan berkualitas baik menurut LIPI maksimal sebesar 19%. Dari Gambar 12, diketahui kadar karbohidrat pada tepung badan ikan sebesar 20.51% bk dan pada tepung kepala ikan sebesar 16.47% bk atau setelah dirata-ratakan antara tepung badan ikan dan kepala ikan adalah sebesar 18.49%. Karena nilai kadar karbohidrat masih berada dibawah 19%, maka tepung ikan yang dihasilkan memenuhi syarat LIPI (1999).

Biskuit Balita dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo dan Isolat Protein Kedelai

Biskuit dalam penelitian ini ditujukan untuk anak balita dengan usia antara 1 sampai 5 tahun. Menurut Khomsan (2004), bayi sampai anak usia 5 tahun yang lazim disebut balita termasuk sebagai golongan penduduk yang rawan terhadap kekurangan zat gizi termasuk KEP. Selain itu menurut Winarno (1997), usia dua tahun merupakan usia yang sangat rawan karena masa ini merupakan masa peralihan dari ASI (air susu ibu) ke PASI (pengganti air susu ibu) atau ke makanan sapihan. Makanan sapihan pada umumnya mengandung karbohidrat dalam jumlah besar tetapi sangat sedikit kandungan protein atau sangat rendah mutu proteinnya. Padahal pada usia tersebut protein sangat diperlukan bagi pertumbuhan anak.

1. Formulasi Biskuit

Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung terigu protein rendah, gula bubuk, tepung susu, telur, mentega, margarin, baking powder dan soda kue. Formulasi awal didasarkan pada hasil penelitian Wiyati (2004) dalam pembuatan biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan teri (Stolephorus sp.) pada biskuit untuk anak balita yang dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Formula biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan

Komposisi Gram

Konsentrat protein ikan 200

Tepung terigu 350 Gula bubuk 200 Tepung susu 90 Telur 40 Margarin 120 Baking powder 1 Sumber: Wiyati 2004

Formula pada Tabel 12 setelah diujikan dengan mengganti konsentrat protein ikan dengan menggunakan tepung ikan lele dumbo didapatkan hasil yang berbeda karakteristiknya sehingga tidak sesuai untuk anak balita. Dengan menggunakan formula diatas, biskuit dengan tepung ikan lele dumbo lebih keras dan basah. Oleh karena itu, dilakukan formulasi lebih lanjut.

Formulasi lebih lanjut dilakukan dengan menambahkan jumlah lemak dan telur di dalam adonan. Menurut Matz dan Matz (1978), lemak pada pembuatan biskuit berfungsi sebagai bahan pengemulsi sehingga menghasilkan tekstur produk yang renyah. Lemak yang ditambahkan dalam formula adalah mentega. Tujuan penggunaan mentega ini adalah untuk memberikan aroma khas biskuit yang lebih kuat. Penambahan jumlah telur ditujukan untuk melembutkan biscuit, sehingga diperoleh biskuit yang renyah dan lembut.

Seiring dengan penambahan lemak dan telur ada komponen-komponen dalam formula yang dikurangi, yaitu gula, susu dan tepung terigu. Kemudian, konsentrat protein ikan pada penelitian Wiyati (2004), diganti dengan tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai. Penggunaan isolat protein kedelai, selain untuk memperbaiki tekstur yang kasar akibat penambahan tepung ikan juga untuk meningkatkan kandungan protein dari biskuit yang dihasilkan.

Sumber protein yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung ikan lele dumbo (kombinasi antara tepung badan dan tepung kepala ikan lele dumbo), isolat protein kedelai, dan susu. Tepung ikan dan isolat protein kedelai digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu pada adonan, sehingga kandungan protein biskuit meningkat sesuai yang diharapkan, sedangkan susu merupakan variabel tetap yang tidak diubah dalam formula.

Selain berdasarkan pada karakteristik fisik biskuit, formula juga didasarkan pada kebutuhan energi dan protein balita. Kecukupan energi dan protein untuk anak balita menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004), umur 1 sampai 3 tahun (berat badan 12 kg) adalah 1000 kkal energi dan 25 gram protein per hari. Pada usia yang lebih tinggi yaitu 4-6 tahun, kebutuhan energi dan protein meningkat sejalan dengan peningkatan berat badan yaitu menjadi 1550 kkal energi per hari dan 39 gram protein per hari. Biskuit diharapkan dapat menjadi pangan potensial sumber protein untuk anak balita. Selain itu biskuit diharapkan juga memenuhi syarat formula makanan tambahan yang telah ditetapkan FAO, kriteria biskuit menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), dan dapat diterima oleh anak balita. BPOM (2004), menyatakan bahwa makanan dapat dikatakan sebagai sumber protein yang sangat baik bila mengandung sedikitnya 20% dari Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan per saji. Jadi untuk memenuhi kriteria tersebut, biskuit yang dihasilkan minimal mengandung 5 gram protein per sajian. Selain berdasarkan aspek gizi diatas, WHO menganjurkan

kriteria makanan tambahan dimana per 100 gram makanan tambahan harus mengandung minimal 400 kkal energi dan 15 gram protein.

Setelah dilakukan langkah-langkah trial and error ditetapkan empat formula biskuit. Formula tersebut merupakan hasil pengembangan formula dasar yang telah dilakukan sebelumnya. Faktor perlakuan yang digunakan pada rancangan formula adalah perbedaan jumlah substitusi tepung badan ikan, tepung kepala ikan dan isolat protein kedelai. Banyaknya tepung ikan dan isolat protein kedelai yang digunakan adalah sebesar 15% dari jumlah adonan atau maksimal menggantikan 37.5% dari jumlah tepung terigu. Jumlah ini merupakan jumlah dari penambahan ketiga tepung diatas dimana setiap jenis tepung yang ditambahkan maksimal 10% dari jumlah adonan. Penambahan tepung kepala ikan diatas 5% menyebabkan tekstur biskuit keras dan warna biskuit menjadi gelap, karena menurut Manley (1998) semakin tinggi kadar abu pada tepung maka warna tepung akan semakin gelap dan produk yang dihasilkan akan semakin gelap pula. Penambahan tepung badan ikan diatas 10% akan membuat tekstur biskuit menjadi kasar sehingga sulit dilumat oleh anak-anak. Hal ini dikarenakan perbedaan ukuran partikel antara tepung terigu (100 mesh) dan tepung ikan (60 mesh). Tepung ikan yang memiliki partikel lebih besar daripada tepung terigu memiliki densitas kamba yang lebih kecil daripada tepung terigu sehingga memberikan banyak ruang dalam biskuit yang dihasilkan sehingga biskuit bersifat poros dan akan terasa kasar. Penambahan isolat protein kedelai diatas 10% akan menyebabkan adonan menjadi lengket dan sulit dicetak. Perbandingan tepung badan ikan, tepung kepala, dan isolat protein kedelai yang digunakan adalah: F1 (5:5:5), F2 (7.5:2.5:5), F3 (2.5:2.5:10), dan F4 (3.5:1.5:10). Perbandingan diatas merupakan persentase penggunaan tepung badan ikan, tepung kepala ikan dan isolat protein kedelai terhadap 1000 gram adonan.

Komposisi zat gizi bahan yang digunakan diperoleh dari hasil analisis dan dari Daftar Komposisi Bahan Makanan (2004). Bahan yang dianalisis adalah bahan–bahan sumber protein yang memberikan kontribusi besar terhadap kandungan protein biskuit antara lain tepung badan ikan lele, tepung kepala ikan lele, isolat protein kedelai dan tepung susu. Bahan lain seperti tepung terigu, gula, margarin, mentega, dan telur diperoleh dari DKBM. Perhitungan zat gizi biskuit tiap formula dapat dlihat pada Lampiran 19 sampai 22.

Biskuit yang dibuat pada penelitian ini adalah jenis short dough dimana menurut Manley (1998) short dough biscuits dicirikan oleh pembentukan adonan

yang tidak elastis. Pembentukan gluten pada pembuatan adonan diminimalkan sehingga menghasilkan adonan kalis.

Tahapan pertama dalam pembuatan biskuit adalah proses mixing atau pencampuran dan pengadukan bahan. Proses mixing dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pembentukan krim dan pencampuran bahan kering. Pada tahap pembentukan krim, gula, lemak (margarin dan mentega), dan telur diaduk dengan kecepatan yang cukup tinggi selama beberapa menit sehingga membentuk krim yang mengembang dan berwarna pucat. Selanjutnya bahan- bahan kering seperti tepung terigu, tepung ikan, isolat protein kedelai, tepung susu, baking powder dan soda kue dimasukkan ke dalam adonan krim lalu diaduk kembali sebentar sampai terbentuk dispersi krim yang seragam pada tepung. Pengadukan yang terlalu lama menurut Manley (1998) dapat memungkinkan pembentukan matriks gluten. Oleh karena itu untuk menghasilkan biskuit yang berkualitas, setelah dimasukkan tepung terigu pengadukan dilakukan seminimal mungkin. Matz dan matz (1978) juga menyatakan bahwa pengadukan dua tahap yang didahului oleh pembentukan krim baik digunakan pada pembuatan biskuit yang dicetak karena menghasilkan adonan yang bersifat membatasi pengembangan matriks gluten yang berlebihan. Setelah itu, adonan diistirahatkan didalam lemari es selama 15 menit. Tujuan dari penyimpanan ini adalah untuk mengeringkan adonan agar lebih mudah dicetak. Menurut Manley (1998), tahap pencampuran yang dilakukan dalam waktu singkat akan menyebabkan adonan lembut dan agak lengket sehingga sulit dicetak, oleh sebab itu diperlukan tahap pengistirahatan agar air dalam adonan menguap ke atmosfer sehingga adonan menjadi tidak terlalu lengket.

Proses berikutnya adalah proses pemipihan dan pencetakan. Adonan digiling menggunakan rolling pin menjadi lembaran dan memiliki ketebalan yang seragam yaitu 0.5 cm. Setelah berbentuk lembaran, adonan dicetak. Menurut Manley (1998) prinsip pencetakan adalah adonan mendapat tekanan dari alat pencetak. Cetakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cetakan berbentuk lingkaran dengan diameter 5 cm.

Tahap selanjutnya adalah pemanggangan. Pemanggangan dilakukan menggunakan oven. Pada penelitian ini pemanggangan dilakukan selama 20 menit dengan suhu awal 1400C dan suhu akhir 1600. Menurut Matz (1992), suhu dan waktu pemanggangan di dalam oven tergantung pada jenis oven dan jenis produk. Menurut Manley (1998), pemanggangan menyebabkan perubahan

terhadap tekstur menjadi yang diinginkan, membentukan warna permukaan dan pengurangan kadar air. Ukuran biskuit setelah pemanggangan berubah dimana terjadi pengembangan selama pemanggangan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengembangan antara lain ukuran partikel tepung, ukuran partikel gula, pengadukan adonan, dan penggunaan pelumas pada loyang. Ketika pemanggangan selesai, biskuit segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan mengeraskan produk akibat memadatnya gula dan lemak (Matz dan Matz, 1978).

Dalam dokumen FORMULASI BISKUIT DENGAN SUBSTITUSI TEPU (Halaman 45-56)

Dokumen terkait