• Tidak ada hasil yang ditemukan

FORMULASI BISKUIT DENGAN SUBSTITUSI TEPU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FORMULASI BISKUIT DENGAN SUBSTITUSI TEPU"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

FORMULASI BISKUIT DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG IKAN

LELE DUMBO (

Clarias gariepinus

) DAN ISOLAT PROTEIN

KEDELAI (

Glycine max

) SEBAGAI MAKANAN POTENSIAL

UNTUK ANAK BALITA GIZI KURANG

MERVINA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

ABSTRACT

MERVINA. Biscuit Formulation with Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Fish Flour and Isolate Soy (Glicine max) Protein Substitution as Potential Food for Undernourished Children. Under direction of SRI ANNA MARLIYATI and CLARA M. KUSHARTO

(3)

MERVINA. Formulasi Biskuit dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dan Isolat Protein Kedelai (Glycine max) sebagai Makanan Potensial untuk Anak Balita Gizi Kurang. Pembimbing SRI ANNA MARLIYATI dan CLARA M. KUSHARTO

RINGKASAN

Menurut Soekirman (2000), KEP merupakan masalah yang masih memprihatinkan khususnya bagi anak dibawah usia lima tahun (balita). Pangan hewani seperti ikan merupakan sumber gizi yang dapat diandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat karena tergolong sebagai pangan bermutu tinggi. Tepung ikan merupakan salah satu pangan hewani yang merupakan produk hasil olahan ikan belum dikembangkan secara maksimal. Produk biskuit dapat dipandang sebagai media yang baik sebagai pangan yang dapat memenuhi kebutuhan khusus manusia. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan formulasi biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai sebagai pangan tinggi protein bagi anak-anak. Tujuan penambahan isolat protein kedelai selain sebagai penambah kandungan protein juga untuk memperbaiki tekstur biskuit.

Penelitian dibagi menjadi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan pembuatan tepung ikan lele dumbo yang terpisah antara pembuatan tepung badan dan kepalanya, lalu dianalisis sifat fisik dan kimianya. Pada penelitian utama, dilakukan formulasi biskuit menggunakan tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai. Setelah didapatkan 4 formulasi berdasarkan trial and error dilakukan pemilihan formula berdasarkan kesukaan panelis. Formula terpilih diujikan kembali kepada anak balita gizi kurang dan ibu balita untuk mengetahui kesukaan dari balita dan ibu balita. Setelah itu formula terpilih dianalisis sifat fisik dan sifat kimianya serta dihitung kontribusinya terhadap AKG balita.

Proses pembuatan tepung ikan dibagi menjadi dua bagian yaitu pembuatan tepung kepala dan tepung badan ikan lele dumbo. Pembuatan tepung dimulai dari sortasi ikan, lalu dilanjutkan dengan pemasakan dengan tekanan tinggi (presto), pengepresan, pengeringan dengan drum dryer dan penggilingan dengan willey mill.

Berdasarkan pengukuran aw menggunakan aw-meter diketahui aw tepung

badan ikan adalah 0.71, sedangkan aw tepung kepala ikan adalah 0.66.

Pengukuran densitas kamba menunjukan bahwa tepung kepala ikan mempunyai densitas kamba yang tebih tinggi daripada tepung badan ikan. Densitas kamba tepung kepala ikan adalah 0.45 g/ml sedangkan densitas kamba tepung badan ikan adalah 0.37 g/ml. Hasil pengukuran derajat putih tepung menunjukan bahwa tepung ikan memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada tepung terigu. Tepung kepala ikan memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada tepung badan ikan. Derajat putih tepung kepala ikan adalah 29.00%, sedangkan derajat putih tepung badan ikan adalah sebesar 30.96%. Analisis sifat kimia tepung ikan lele dumbo didapat hasil, untuk tepung kepala ikan kadar air 8.72% (bb), kadar abu 18.10% (bk), kadar protein 56.04 % (bk), kadar lemak 9.39% (bk) dan kadar karbohidrat 7.84% (bk), sedangkan hasil analisis untuk tepung badan ikan adalah kadar air 7.99% (bb), kadar abu 4.83% (bk) kadar protein 63.83% (bk), kadar lemak 10.83% (bk) dan kadar karbohidrat 11.83% (bk).

(4)

organoleptik menentukan bahwa formula F4 yang memiliki penerimaan paling tinggi. Formula F4 memiliki frekuensi penerimaan panelis paling tinggi untuk atribut warna, aroma, rasa, dan tekstur. Formula F4 juga menunjukkan nilai beda nyata dengan selang kepercayaan 95% untuk atribut warna, rasa, dan tekstur setelah diuji dengan uji kergaman Kruskal Wallis Formula F4 mensubstitusi 15% tepung terigu (dari jumlah adonan) oleh 3.5% tepung badan ikan, 1.5% tepung kepala ikan dan 10% isolat protein kedelai.

Hasil uji organoleptik oleh panelis balita terhadap formula F4 dan biskuit balita komersil yang terdapat dipasaran menunjukan penerimaan balita terhadap kedua biskuit tersebut tidak beda nyata ketika dianalisis menggunakan statistik

Paired Samples T-Test pada taraf signifikansi 5%. Hasil uji organoleptik terhadap ibu balita menunjukan bahwa lebih dari 70% ibu balita menyukai biskuit formula F4 untuk atribut warna, aroma, rasa dan tekstur.

Analisis biskuit formula terpilih (F4) adalah kadar air 4.13% (bk), kadar abu 2.52% (bk), kadar protein 19.55% (bk), kadar lemak 21.99% (bk) dan kadar karbohidrat 55.94% (bk). Biskuit formula terpilih mengandung 480 kkal energi per 100 gram biskuit. Protein biskuit diukur daya cernanya menggunakan metode enzimatik secara in vitro dan didapat daya cerna biskuit adalah sebesar 89.34%. Sifat fisik biskuit diukur rendemen, daya serap air dan analisis tekstur. Rendemen biskuit adalah 84,29%. Daya serap air biskuit adalah 1.79 ml/g. Sedangkan hasil uji tekstur menunjukkan nilai untuk parameter kerenyahan 246.6 N/mm.

(5)

FORMULASI BISKUIT DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG IKAN

LELE DUMBO (

Clarias gariepinus

) DAN ISOLAT PROTEIN

KEDELAI (

Glycine max

) SEBAGAI MAKANAN POTENSIAL

UNTUK ANAK BALITA GIZI KURANG

MERVINA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : FORMULASI BISKUIT DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI (Glycine max) SEBAGAI MAKANAN POTENSIAL UNTUK ANAK BALITA GIZI KURANG

Nama : Mervina

NRP : I14051221

Disetujui:

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Sri Anna Marliati, MS

NIP: 19600205 198903 2 002 NIP: 19510719 198403 2 001 Prof. Dr. Clara M. Kusharto, M. Sc

Diketahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

NIP. 19621218 198703 1 001 Dr. Ir. Budi Setiawan, MS

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus atas berkat-Nya

yang berlimpah sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis juga

hendak menyampaikan terima kasih pada pihak-pihak yang telah banyak

membantu dalam pembuatan skripsi ini.

1. Papi, mami, koko ’kodok’ atas dukungan dan doa yang terus-menerus.

2. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M. Si selaku dosen pembimbing I yang telah banyak memberikan pembelajaran, bimbingan, dan pengarahan selama pembuatan skripsi. Senang sekali bisa mendapat bimbingan ibu.

3. Prof. Dr. drh. Clara M. Kusharto, M. Sc selaku dosen pembimbing II dan ketua Hibah Kemitraan ”Studi Efikasi Makanan Fungsional Berbasis Tepung Ikan dan Probiotik untuk Meningkatkan daya Tahan Tubuh Anak Balita Rawan Gizi” yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan pengalaman bagi penulis.

4. Seluruh tim Hibah Kemitraan: Dr. Ir. Inggrid Surono, M. Sc; Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M. Si; Prof. Dr. Ir. Made Astawan; Leily Amalia. STP, MS; dr. Mira Dewi, S. Ked; Ir. Annis Catur Adi, M. Si; Rini Harianti, S. Si; Astrisia Artanti, STP; Sa’ad Bakery (Kunciran-Tangerang); DeJee Fish (Cibaraja, Sukabumi); dan Pemerintah Kabupaten Sukabumi atas kerjasama dalam penelitian ini. 5. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku dosen penguji skripsi yang telah bersedia

dan meluangkan waktu untuk menguji.

6. Keluarga besar Sukamto dan Kengsiswoyo atas dukungan baik secara moril dan materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di IPB.

7. ”My roommate” Veronica Gunawan STP, Teresia Tandean STP, dan Vidya H. Simarmata SKPM, atas banyak semangat, motivasi, dan perhatian.

8. Franz ”never stress” Sahidi atas kesabaran yang tidak berkesudahan.

9. Beatrice Bennita, Stella Alvina Gunawan dan Catherine Haryasyah yang menjadi inspirasi penulis dalam menyelesaikan skipsi.

(8)

11. Yoanita Santoso (isopit), Rina Kisaragi, Kabuto, dan Kotaro Minami yang memberikan penghiburan kepada penulis setiap saat dalam pembuatan skripsi.

12. Keluarga Besar Perwira 45 ank. 42: Fransisca Eka, Lisa Noviani, Aninda Puspasari, Stella Belinda, Eveline Septiana, Kalista R. Putri, Leo Adi W., Anthony Demas, Pratiwi, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas kebersamaan dan kekeluargaan yang menyenangkan sampai tahun terakhir.

13. Teman-teman satu bimbingan: Herviana Ferazuma, Neysa Rucita, Mega Pramudita, Ganes T Widha, Nien Adji, Fitriah Rahayu, Wasilla T.

14. Para Laboran yang dengan sabar mendampingi dan membantu penelitian: khususnya Pak Mashudi (terima kasih banyak pak), Ibu Rizki, dan Ibu Nina, Pak Nurwanto, Pak Wahid, Ibu Rubiah, dan Pak Rojak.

15. Teman-teman penelitian laboratorium: Herviana Ferazuma, Neysa Rucita, Pramadya Alfitra, Mega Pramudita, Yulan Isnaharani, Tri Purnamasari, Ganes T. Widha, Ervina, Hana Fitriah N, Inda Ragil dan Kokom Setiamanah. 16. Indah Lestari; Martha Clarissa R, Vina Lyana, Edwin, Ferry Gracyano, Jimmy

Effendi, dr. Claudia Tiwow, Kezia Winie dan Timotius atas persahabatan yang luar biasa.

17. Mr. Manahat Sitorus dan Ms. Devie atas dorongan dan semangatnya sehingga penulis berkuliah di IPB

18. Keluarga besar Kemaki (Keluarga Mahasiswa Katolik IPB), yang memberikan keluarga sejak pertama penulis diterima di IPB.

Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima

kasih.

Bogor, Oktober 2009

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1987 dari pasangan Gerald Benyamin Benny Sukamto dan Giokatarina Wanny Kengsiswoyo. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan di SMU Dian Harapan Lippo Cikarang pada tahun 2005 dan pada tahun yang sama melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui ujian Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Setelah melalui Tahap Persiapan Bersama (TPB), penulis memilih dan diterima di mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Penulis juga mengambil minor Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama menjalankan studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di beberapa organisasi, seperti Keluarga Mahasiswa Katolik (KEMAKI) dan Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (HIMAGIZI). Penulis juga aktif dalam kepanitiaan berbagai acara diantaranya Natal CIVA tahun 2006 dan 2007, Pelatihan Organoleptik, dan lain-lain. Penulis pernah menjadi pelatih dalam Pelatihan Makanan Berbasis Ubi Jalar untuk kelompok tani Cikarawang pada tahun 2009. Selain itu penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Kelurahan Pasir Putih dan Kelurahan Bedahan, Kecamatan Sawangan, Kota Depok dan melaksanakan internship bidang Dietetika di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta.

Penulis menyelesaikan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, dengan melakukan penelitian yang berjudul ”Formulasi Biskuit dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dan Isolat Protein Kedelai (Glycine max) sebagai Makanan Potensial untuk Anak Balita Gizi Kurang”, yang merupakan bagian dari Hibah Kemitraan ”Studi Efikasi Makanan Fungsional Berbasis Tepung Ikan dan Probiotik untuk Meningkatkan Daya Tahan Tubuh Anak Balita Rawan Gizi”.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN Latar Belakang... 1

Tujuan ... 3

Kegunaan Penelitian... 3

TINJAUAN PUSTAKA Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ... 4

Protein Ikan... 6

Tepung Ikan ... 7

Kedelai ... 9

Isolat Protein Kedelai ... 11

Protein ... 12

Mutu Protein ... 13

Daya Cerna Protein ... 13

Makanan Balita ... 14

Biskuit ... 15

METODE Waktu dan Tempat ... 21

Alat dan Bahan ... 21

Metode Penelitian ... 21

Pengolahan dan Analisis Data... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN Tepung Ikan 1. Pembuatan Tepung Ikan ... 28

2. Sifat Fisik Tepung Ikan a. aw ... 30

b. Densitas Kamba ... 31

(11)

a. Kadar Air ... 33

b. Kadar Abu ... 33

c. Kadar Protein ... 34

d. Kadar Lemak ... 35

e. Kadar Karbohidrat ... 36

Biskuit Balita dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo dan Isolat Protein Kedelai 1. Formulasi Biskuit ... 37

2. Sifat Organoleptik Biskuit a. Uji pada Panelis Semi-Terlatih ... 41

b. Uji pada Panelis Anak Balita ... 43

c. Uji pada Panelis Ibu Balita ... 44

3. Sifat Fisik Biskuit a. Penetapan Rendemen Biskuit ... 45

b. Daya serap Air ... 45

c. Tekstur Biskuit ... 46

4. Sifat Kimia Biskuit a. Analisis Proksimat Biskuit ... 47

b. Kandungan Energi Biskuit ... 51

c. Daya Cerna Protein Biskuit ... 51

5. Kontribusi Zat Gizi Biskuit Terhadap AKG Balita ... 52

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 55

Saran ... 56

(12)

DAFTAR TABEL

1 Komposisi gizi ikan lele ... 5

2 susunan asam amino esensial ikan lele ... 6

3 Komposisi kimia kedelai ... 10

4 Komposisi proksimat bagian biji kedelai ... 10

5 Mutu cerna protein beberapa protein pangan pada manusia ... 13

6 Komposisi zat gizi formula makanan tambahan ... 14

7 Angka kecukupan zat gizi rata-rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak balita (per orang per hari) ... 15

8 Syarat mutu biskuit ... 16

9 Jenis-jenis penyimpangan yang dapat terjadi dan penyebabnya pada pembuatan biskuit ... 17

10 Formula biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai ... 24

11 Hasil pengukuran derajat putih tepung ikan lele dumbo ... 32

12 Formula biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan ... 37

13 Jumlah panelis yang dapat menerima biskuit ... 41

14 Rekapitulasi penerimaan biskuit ... 44

15 Presentasi ibu balita yang menyukai biskuit ... 45

16 Hasil analisis sifat kimia dan perhitungan energi biskuit formula terpilih ... 48

17 Kandungan zat gizi dan energi per takaran penyajian (50 gram) ... 53

18 Angka kecukupan zat gizi per takaran penyajian (50 gram) ... 54

(13)

DAFTAR GAMBAR

1 Karakteristik Morfologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ... 5

2 Diagram alir pembuatan tepung ikan dan tepung kepala ikan lele dumbo ... 23

3 Diagram alir pembuatan biskuit balita dengan penambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai ... 25

4 Ikan lele dumbo yang telah dikuliti dan dibuang isi perutnya ... 28

5 (A) Tepung badan ikan lele dumbo ... 30

5 (B) tepung kepala ikan lele dumbo ... 30

6 Hasil pengukuran Aw tepung badan ikan dan tepung kepala ikan ... 31

7 Hasil pengukuran densitas kamba tepung badan ikan dan tepung kepala ikan ... 31

8 Hasil analisis kadar air tepung badan ikan dan tepung kepala ikan ... 33

9 Hasil analisis kadar abu tepung badan ikan dan tepung kepala ikan ... 34

10 Hasil analisis kadar protein tepung badan ikan dan tepung kepala ikan ... 35

11 Hasil analisis kadar lemak tepung badan ikan dan tepung kepala ikan ... 35

12 Hasil analisis kadar karbohidrat tepung badan ikan dan tepung kepala ikan ... 36

13 Biskuit formula terpilih (F4) ... 43

14 Profil kerenyahan dan kekerasan yang diuji dengan Texture Analyzer ... 47

15 Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ... 62

16 Ikan lele dumbo yang telah dipisahkan kepala, kulit dan badannya ... 62

17 Badan ikan lele dumbo dalam box berisi es batu selama pengangkutan ... 62

18 Kepala ikan lele dumbo dalam box berisi es batu selama pengangkutan .... 62

19 Ikan lele dumbo dalam autoklaf untuk proses pemasakan... 62

20 Badan ikan lele dumbo matang ... 62

21 Kepala ikan lele dumbo matang ... 62

22 Pengepresan dengan hidrolik pres ... 62

23 Ikan yang telah dipress ... 63

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Dokumentasi Pembuatan Tepung Ikan ... 62

2 Analisis Sifat Kimia dan Fisik ... 64

3 Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit untuk Panelis Dewasa ... 69

4 Kuesioner Uji Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit Pada anak Balita ... 70

5 Kuesioner Uji Organoleptik Biskuit untuk Panelis Ibu Balita ... 71

6 Aw Tepung Ikan ... 72

7 Densitas Kamba Tepung Ikan ... 72

8 Derajat Putih Tepung Ikan ... 72

9 Kadar Air Tepung Ikan ... 73

10 Kadar Abu Tepung Ikan ... 73

11 Kadar Protein Tepung Ikan... 73

12 Kadar Lemak Tepung Ikan ... 74

13 Kadar Karbohidrat Tepung Ikan ... 74

14 Kadar Air ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu ... 74

15 Kadar Abu ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu ... 74

16 Kadar Protein ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu ... 75

17 Kadar Lemak ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu ... 75

18 Kadar Karbohidrat ISP (Isolat Protein Kedelai) dan Susu ... 75

19 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F1 ... 76

20 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F2 ... 77

21 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F3 ... 78

22 Perhitungan estimasi zat gizi biskuit formula F4 ... 79

23 Rekapitulasi uji hedonik biskuit... 80

24 Hasil Uji Kruskal Wallis organleptik biskuit ... 81

25 Uji lanjut Tukey atribut warna organoleptik biskuit ... 82

26 Uji lanjut Tukey atribut warna organoleptik biskuit ... 82

27 Uji lanjut Tukey atribut rasa organoleptik biskuit ... 82

28 Rekapitulasi uji penerimaan organoleptik balita ... 83

29 Hasil uji Paired-Samples T-Test penerimaan organoleptik balita ... 84

30 Rekapitulasi uji penerimaan organoleptik ibu balita ... 85

31 Rendemen Biskuit ... 86

32 Daya Serap Air Biskuit ... 86

(15)

34 Kadar Air Biskuit ... 86

35 Kadar Abu Biskuit ... 86

36 Kadar Protein Biskuit ... 87

37 Kadar Lemak Biskuit ... 87

38 Kadar Karbohidrat Biskuit ... 87

39 Kandungan Energi Biskuit ... 87

40 Daya Cerna Protein Biskuit ... 87

41 Perhitungan Takaran Saji tanpa Memperhitungkan Daya Cerna Protein Biskuit ... 88

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah gizi makro terutama masalah kurang energi protein telah mendominasi perhatian para pakar gizi selama puluhan tahun. KEP (Kurang Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi makanan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. Sejak sebelum merdeka sampai sekitar tahun 1960-an, masalah KEP adalah masalah yang cukup besar di Indonesia. Saat ini masalah KEP pada orang dewasa tidak sebesar masa lalu, kecuali pada wanita terutama di daerah miskin. Namun pada anak-anak khususnya anak dibawah usia lima tahun (balita), sampai sekarang KEP merupakan masalah yang masih memprihatinkan (Soekirman 2000).

Menurut Khomsan (2004), pangan hewani merupakan sumber gizi yang dapat diandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat. Pangan hewani mempunyai keunikan yang menyebabkan kelompok pangan ini tergolong sebagai pangan bermutu tinggi. Keunikan tersebut dikarenakan pangan hewani memiliki kandungan asam amino esensial yang lengkap, mengandung zat besi heme yang mudah diserap, dan mempunyai nilai cerna protein yang tinggi. Ikan sebagai bahan pangan hewani memiliki beberapa keunggulan dibandingkan sumber protein lainnya diantaranya kandungan protein yang cukup tinggi (sekitar 20%) dalam tubuh ikan tersusun oleh asam-asam amino yang berpola mendekati kebutuhan asam amino dalam tubuh manusia. Daging ikan juga mengandung asam-asam lemak tak jenuh dengan kadar kolesterol yang sangat rendah yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Selain itu, daging ikan mengandung sejumlah mineral dan vitamin yang diperlukan tubuh (Adawyah 2007).

(17)

cepat, memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang tinggi, rasanya enak dan kandungan gizinya cukup tinggi (Annonymous 2006).

Di samping keunggulan-keunggulan yang dimiliki, ikan juga memiliki beberapa kekurangan, yaitu kandungan air yang tinggi (80%) dan pH tubuh ikan yang mendekati netral menyebabkan daging ikan mudah rusak. Selain itu kandungan asam lemak tak jenuh menyebabkan daging ikan mudah mengalami proses oksidasi sehingga menyebabkan bau tengik. Hal-hal tersebut dapat menghambat penggunaannya sebagai bahan pangan. Oleh karena itu diperlukan proses pengolahan untuk menambah nilai, baik dari segi gizi, rasa, bau, bentuk, maupun daya awetnya (Adawyah 2007).

Tepung ikan merupakan salah satu produk pengolahan hasil samping ikan. Usaha pengolahan tepung ikan memerlukan banyak bahan baku ikan segar dengan harga murah karena rendemennya relatif kecil. Sampai saat ini penggunaan tepung ikan belum dilakukan secara maksimal. Kegunaan utama tepung ikan masih sebatas bahan campuran pakan ternak (Moeljanto 1992).

Pembuatan tepung ikan berbahan dasar ikan lele dumbo dapat menjadi suatu bentuk alternatif bahan pangan. Selain memiliki daya simpan yang cukup lama dibandingkan dengan ikan segar, bentuk yang berupa tepung diharapkan menjadikan tepung ikan lebih fleksibel dalam pemanfaatannya. Penggunaan tepung ikan sebagai bahan substitusi tepung terigu pada pembuatan biskuit merupakan salah satu alternatif penggunaan yang menjanjikan, terutama dari segi kualitas zat gizi yang dihasilkan.

Menurut Manley (2000), biskuit merupakan makanan yang cukup populer. Biskuit merupakan pangan praktis karena dapat dimakan kapan saja dan dengan pengemasan yang baik, biskuit memiliki daya simpan yang relatif panjang. Biskuit dapat dipandang sebagai media yang baik sebagai salah satu jenis pangan yang dapat memenuhi kebutuhan khusus manusia. Berbagai jenis biskuit telah dikembangkan untuk menghasilkan biskuit yang tidak hanya enak tapi juga menyehatkan. Dengan menambahkan bahan pangan tertentu seperti tepung ikan lele ke dalam proses pembuatan biskuit, dapat dihasilkan biskuit dengan nilai tambah yang baik untuk kesehatan.

(18)

isolat protein. Fungsi utama isolat protein kedelai dalam bahan pangan adalah untuk memperbaiki kandungan gizi produk makanan yang diproduksi (Manley 2000).

Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan formulasi biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai sebagai pangan tinggi protein, sedangkan tujuan khususnya adalah:

1. Membuat tepung badan dan tepung kepala ikan lele dumbo.

2. Menganalisis sifat fisik (aw, densitas kamba dan derajat putih) dan sifat kimia

(kadar karbohidrat, kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein) tepung ikan lele dumbo.

3. Melakukan formulasi biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dumbo dan tepung isolat protein kedelai.

4. Melakukan uji organoleptik untuk menentukan formula biskuit terpilih pada panelis semi terlatih.

5. Melakukan uji organoleptik biskuit formula terpilih pada anak dan ibu balita. 6. Menganalisis sifat fisik (rendemen, densitas kamba, daya ikat air, tekstur)

dan sifat kimia (kadar karbohidrat, kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, serta daya cerna protein) formula biskuit terpilih.

7. Menganalisis kontribusi zat gizi yang dapat diberikan biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dan tepung isolat protein kedelai terhadap AKG anak balita.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai makanan anak balita dengan menggunakan bahan baku ikan lele dan isolat protein kedelai yang bukan saja disukai rasanya tetapi juga merupakan sumber protein yang sangat dibutuhkan oleh balita untuk pertumbuhan dan perkembangan. Selain itu dengan memproduksi biskuit ini diharapkan dapat masyarakat dapat diberdayakan.

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Lele merupakan salah satu komoditas unggulan air tawar yang penting dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat. Komoditas ini mudah dibudidayakan dan harganya terjangkau. Oleh karena itu, produksi lele ukuran konsumsi secara nasional mengalami kenaikan. Seperti pada tahun 2003, kenaikan tersebut terjadi mencapai 18.3%. Ikan lele yang banyak dibudidayakan dan dijumpai dipasaran saat ini adalah lele dumbo (Clarias gariepinus). Sementara itu lele lokal (Clarias batracus) sudah langka dan jarang ditemukan karena pertumbuhannya sangat lambat dibandingkan dengan lele dumbo. Secara umum lele dumbo mirip dengan lele lokal, hanya saja ukuran lele dumbo lebih besar dibandingkan dengan lele lokal. Lele dumbo cenderung lebih panjang dan lebih gemuk dibandingkan lele lokal. Pada tahun 2005, lele dumbo juga menjadi salah satu komoditi perikanan yang dijadikan komoditas unggulan pada Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Mahyuddin 2007).

Lele dumbo termasuk ke dalam:filum Chordata, kelas Pisces, subkelas Teleostei, ordo Ostariophysi, subordo Siluroidea, dan genus Clarias. Salah satu Beberapa literature menyebutkan lele dumbo merupakan hasil perkawinan silang dua spesies, yaitu antara lele betina Clarias fuscus dari Taiwan dan lele jantan

Clarias mossambicus dari Afrika. Lele dumbo memiliki ukuran yang besar, sehingga dikenal sebagai king catfish. Salah satu varietas unggulan lele dumbo adalah lele sangkuriang. Lele sangkuriang merupakan hasil rekayasa dari Balai Besar Pengembangan Budi Daya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi dan talah dilepas kepasaran melalui Keputusan Menteri No. KEP.26/MEN/2004 (Mahyuddin 2007).

(20)

yang keras dan runcing yang disebut patil. Patil lele dumbo tidak beracun (Suyanto 2007). Gambar morfologi ikan lele dumbo dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Karakteristik Morfologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Ikan lele termasuk jenis ikan karnivora dan karena menyukai makanan yang busuk maka digolongkan juga sebagai scavenger. Ikan lele bersifat

nocturnal karena aktif mencari mangsa pada malam hari atau lebih menyukai tempat gelap. Pada siang hari ikan lele lebih suka diam dalam lubang-lubang atau tempat-tempat yang terlindung (Suyanto 2007).

Menurut Astawan (2008) lele dumbo banyak ditemukan di rawa-rawa dan sungai di Afrika, terutama di dataran rendah sampai sedikit payau. Ikan ini mempunyai alat pernapasan tambahan yang disebut abrorescent, sehingga mampu hidup dalam air yang oksigennya rendah.

Protein ikan adalah protein yang istimewa karena bukan hanya berfungsi sebagai penambah jumlah protein yang dikonsumsi, tetapi juga sebagai pelengkap mutu protein dalam menu. Komposisi gizi ikan lele disajikan pada

Tabel 1 Komposisi gizi ikan lele

Zat Gizi Kandungan

Protein (%) 17,7

Lemak (%) 4,8

Mineral (%) 1,2

Air (%) 76

Karbohidrat (%) 0,3

(21)

Protein ikan lele juga mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup. Susunan asam amino ikan lele disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Susunan asam amino esensial ikan lele

Asam amino % protein

Total esensial 49,9

Nonesensial 50,1

Sumber: FAO 1972 dalam Astawan 2008

Protein Ikan

Menurut Hadiwiyoto (1993), protein yang terdapat pada daging ikan, berdasarkan sifat kelarutannya dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu protein sarkoplasma yang larut dalam air, protein miofibrillar yang larut dalam air garam dan protein stoma yang larut dalam alkali. Jumlah masing-masing kelompok akan berbeda berdasarkan spesiesnya. Lebih jauh lagi jumlah yang dapat diekstraksi bergantung pada proses penghancuran, pencampuran, pH, dan tingkat denaturasi selama penyimpanan dan pengolahan (Sikorski et al. 1990).

Protein sarkoplasma merupakan penamaan terhadap protein yang terdapat dalam sarkolema. Sarkolema merupakan kompleks cairan yang terdapat dalam endomisium yang memisahkan antara satu miofibril dengan miofibril lainnya (Pearrson dan Young 1989). Di samping mengandung asam nukleat, lipoprotein dan darah, kebanyakan protein sarkolema ini merupakan enzim (Sikorski et al. 1990). Pada waktu ikan masih hidup, enzim–enzim tersebut berfungsi dalam sintesa senyawa–senyawa yang diperlukan tubuh. Setelah ikan mati, fungsi enzim–enzim tersebut berubah menjadi perusak tubuh ikan (Hadiwijoyoto 1993). Walaupun tidak lebih rendah nilai gizinya dibanding dengan protein miofibrillar namun karena sifatnya yang dapat merugikan, protein ini dibuang selama penyucian daging lumat pada pembuatan surimi (Suzuki 1991).

(22)

selama pergerakan (Pearson dan Young 1989). Protein ini terutama sekali terdiri dari miosin aktin, dan protein pengatur seperti troponin, tropomiosin, dan aktinin. Miosin merupakan komponen utama protein miofibrillar dan menyusun antara 50-56% dari keseluruhan protein miofibrillar. Kandungan aktin lebih sedikit yaitu antara 15-20%, sedangkan troponin, tropomiosin, dan aktinin hanya menyusun sekitar 10% (Sikorski et al. 1990). Miofibril juga disusun oleh protein sitoskeletal, namun persentasenya lebih kecil (Pearson dan Young 1989).

Residu setelah semua protein sarkoplasma dan miofibrillar diekstrak adalah stroma yang merupakan jaringan pengikat. Komponen stroma terdiri dari kolagen dan elastin (Sikorski et al. 1990). Disamping terdapat dalam urat daging, protein ini terikat juga pada tulang, gigi, jaringan mukosa, lapisan luar organ dalam, dan pada sistem kardiovaskular (Pearson dan Young 1989).

Kandungan protein ikan erat kaitannya dengan kandungan lemak dan airnya. Ikan yang mengandung lemak rendah rata-rata memiliki protein dalam jumlah besar, sedangkan pada ikan gemuk sebaliknya. Kandungan protein ikan umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan hewan darat yang akan menghasilkan kalori lebih tinggi. Dalam tubuh manusia protein memegang peranan penting dalam pembentukan jaringan. Kandungan asam amino esensial pada daging ikan dapat dikatakan sempurna, artinya semua jenis asam amino esensial terdapat pada daging ikan, tetapi perlu diperhatikan beberapa asam amino tidak mencukupi kebutuhan manusia diantaranya fenilalanin, triptofan, dan metionin. Kandungan protein pada daging ikan cukup tinggi dan berpola mendekati pola kebutuhan asam amino di dalam tubuh manusia. Iakn mempunyai nilai biologis yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian daging ikan mempunyai nilai biologis sebesar 90% (Adawyah 2007).

Tepung Ikan

Ilyas (2003) menyatakan, tepung ikan adalah produk padat yang dihasilkan dengan jalan mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian atau seluruh lemak dalam ikan atau sisa ikan. Tepung ikan merupakan salah satu hasil pengawetan ikan dalam bentuk kering untuk kemudian digiling menjadi tepung. Cara pengolahan yang paling mudah dan praktis adalah dengan mencincang ikan kemudian mengeringkannya dengan sinar matahari atau dengan mengeringan mekanis.

(23)

pembusukan. Bila kadar airnya dikurangi maka proses pembusukan dapat terhambat. Bila proses pengeringannya berjalan terus menerus, maka proses pembusukannya akan berhenti. Pada pembuatan tepung ikan selain menggunakan metode pengeringan dapat didahului dengan pemanasan suhu tinggi. Hal ini digunakan untuk menghentikan proses pembusukan, baik oleh bakteri, jamur, maupun enzim. Proses pembusukan dapat dihentikan sama sekali bila waktu dan suhu yang digunakan cukup (Moeljanto 1982b).

Menurut Departemen Perdagangan (1982), tepung ikan memiliki nilai gizi yang tinggi terutama kandungan proteinnya yang kaya akan asam amino essensial, terutama lisin dan metionin. Disamping itu tepung ikan juga kaya akan vitamin B, mineral, serta memiliki kandungan serat yang rendah. Tepung ikan merupakan juga merupakan sumber kalsium (Ca) dan phospor (P). Tepung ikan juga mengandung trace element seperti seng (Zn), yodium (I), besi (Fe), mangan (Mn) dan kobalt (Co) (Moeljanto 1982a).

Usaha pembuatan tepung ikan dapat menggunakan limbah ikan karena relatif murah dan mudah didapat, juga menggunakan peralatan yang sederhana (LIPI 1999). Sebagian produksi tepung ikan dunia digunakan untuk makanan ternak. Karena banyak pabrik tepung ikan dibangun di negara-negara yang telah maju industri perikanannya, biasanya tepung ikan dijual dalam bentuk siap pakai. Tepung ikan yang bermutu baik harus mempunyai sifat-sifat berikut: butiran-butirannya agak seragam, bebas dari sisa-sisa tulang, mata ikan dan benda-benda asing lainnya.

Menurut Ilyas (1993), urutan pengolahan tepung ikan adalah pencincangan, pemasakan, pengpresan, pengeringan, dan penggilingan.Tepung ikan yang baru selesai diolah biasanya berwarna abu-abu kehijauan. Setelah disimpan, terutama dalam suhu tinggi, warnanya berubah menjadi cokelat kekuningan. Akan tetapi perubahan ini tidak mempengaruhi nilai gizinya. Baunya seperti ikan yang lama-kelamaan menjadi tengik (Moeljanto 1982a).

(24)

jenis ikan, mutu bahan baku yang digunakan dan cara pengolahannya (Brody di dalam Hapsari 2002).

Menurut LIPI (1999), komposisi kimia tepung ikan ditentukan oleh jenis ikan yang digunakan. Sebagai pedoman, tepung ikan yang bermutu harus mempunyai komposisi sebagai berikut:

- air (moisture) 6%-10%

- lemak 5%-12%

- protein 60%-75%

- abu 10%-20%

Menurut Moljanto (1982), jarang dijumpai tepung ikan dengan kadar air kurang dari 6% sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis. Brody di dalam Hapsari (2002) mengatakan kadar air tepung ikan rata-rata 18% dengan selang terendah 6 sampai 10%. Sejenis jamur (mold) dapat tumbuh pada kadar air tepung ikan.

Tepung ikan dengan kadar protein tinggi menghasilkan kadar mineral sekitar 12% dan 33% untuk kadar protein yang rendah. Sebagian besar abu dan mineral dalam tepung ikan berasal dari tepung-tepung ikan. Kadar mineral tepung akan tinggi bila bahan mentahnya berasal dari sisa-sisa ikan berupa kepala dan tulang-tulang ikan. Sebagian besar abu berupa kalsium fosfat. Tepung ikan juga mengandung trace element, diantaranya Zn, I, Fe, Cu, Mn, dan Co (Moljanto 1982).

Menurut Ilyas (2003) tepung akan lebih baik mutunya bila bahan mentah yang dipakai terdiri dari ikan yang tidak berlemak (lean fish). Jika bahan mentah berasal dari ikan yang berlemak, tepung yang dihasilkan akan banyak mengandung lemak. Kebanyakan tepung ikan mengandung lemak 5-10% dan protein sebesar 60-65%.

Kedelai

Kedelai (Glysine max (L.) Merr) termasuk ordo Polypetales, famili

(25)

Matthews (1989), menyatakan bahwa kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang cukup potensial untuk dikembangkan karena kandungan protein dan lemaknya yang tinggi, yaitu 40% dan 21%. Komposisi kimia biji kedelai dan bagiannya diperlihatkan pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3 Komposisi kimia kedelai

Komponen Komposisi

Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI 1972 dalam Koswara 1995

Tabel 4 Komposisi proksimat bagian biji kedelai

Bagian biji Proporsi berat biji Persen berat kering (%bk)

Protein Lemak Karbohidrat Abu

Kotiledon 90 43 32 43 5

Kulit biji 8 9 86 86 4.3

Hipokotil 2 1 43 43 4.4

Sumber: Cheftel et al. 1985

(26)

sebagian besar lemak dapat diekstrak dengan pelarut lemak masih tersisa “bound lipid” yang merupakan residu lipid yang sulit diekstrak karena terikat pada protein kedelai.

Isolat Protein Kedelai

Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling murni, karena kadar protein minimumnya 95% dalam berat kering. Produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung atau bubuk kedelai. Isolat protein kedelai dapat dibuat dari tepung kedelai bebas lemak maupun biji kedelai utuh. Isolat protein baik sekali digunakan dalam formulasi makanan, karena dapat berfungsi sebagai pengikat dan pengemulsi Selain itu, isolat protein kedelai juga dapat berfungsi sebagai zat additif untuk memperbaiki penampakan produk, tekstur, serta flavor produk. Penggunaan isolat protein kedelai sangatlah luas, diantaranya dapat dipakai dalam pembuatan keju, susu, es krim, daging sintetik, roti, dan biscuit (Koswara 1995).

Protein kedelai dapat membantu pembentukan emulsi minyak dalam air dan bila emulsi ini telah terbentuk, protein kedelai akan menstabilkanya. Stabilitas emulsi penting, karena emulsifier yang baik tergantung kemampuannya memelihara sistem emulsi pada saat mengalami pemanasan atau pemasakan. Isolat protein kedelai banyak digunakan sebagai emulsifier pada sosis, produk

bakery, dan sup (Koswara 1995).

Isolat protein kedelai mempunyai kemampuan dalam menyerap lemak atau minyak. Kemampuan ini digunakan untuk dua tujuan. Pertama, untuk meningkatkan penyerapan lemak hingga dapat mengurangi kehilangan sari karena pemasakan dan menjaga stabilitas dimensinya. Tujuan kedua adalah untuk mencegah penyerapan minyak yang berlebihan. Hal ini disebabkan isolat protein kedelai dapat terdenaturasi oleh panas membentuk semacam lapisan (coating) pada permukaan bahan sehingga menghalangi penetrasi lemak (Koswara 1995).

(27)

karena dapat meningkatkan rendemen adonan dan memudahkan penanganannya. Disamping itu, sifat menahan air akan memperlama kesegaran makanan, misalnya pada biskuit dan roti (Koswara 1995).

Protein

Protein adalah molekul makro yang mempunyai berat molekul antara lima ribu hingga beberapa juta. Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat-zat gizi, dan darah, matriks intraseluler dan sebagainya adalah protein. Di samping itu asam amino yang membentuk protein bertindak sebagai precursor sebagian besar koenzim, hormon, asam nukleat, dan molekul-molekul esensial untuk kehidupan. Protein terdiri atas rantai-rantai panjang asam amino, tang terikat satu sama lain dalam ikatan peptide. Asam amino terdiri atas unsur-unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen; beberapa asam amino disamping itu mengandung unsur-unsur fosfor, besi, iodium, dan kobalt. Unsur nitrogen adalah unsur utama protein, karena terdapat didalam semua protein akan tetapi tidak terdapat didalam karbohidrat dan lemak (Almatsier 2003).

Menurut Lehningher (1992), secara umum tingkat organisasi protein dikategorikan dalam empat kelas, yaitu :

1. Struktur primer. Ini adalah urutan asam amino dalam rantai polipeptida dan letak suatu jembatan disulfida di dalam rantai protein. Struktur protein diselenggarakan ikatan-ikatan peptida yang kovalen.

2. Struktur sekunder. Hal ini mengacu pada banyaknya struktur ά-heliks atau lembaran berlipatan-β setempat yang beraturan dan berhubungan dengan struktur protein secara keseluruhan. Struktur sekunder protein diselenggarakan oleh ikatan hidrogen dengan oksigen karbonil dan nitrogen amida dari rantai polipeptida.

3. Struktur tersier. Hal ini mengacu pada cara protein globolar dilekuk dan dilipat untuk membentuk struktur tiga dimensi. Struktur tersier diselenggrakan oleh interaksi antara gugus-gugus R dari asam amino.

(28)

Mutu Protein

Menurut Almatsier (2003) mutu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang dikandungnya. Protein komplet atau protein dengan nilai biologis tinggi atau bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan. Semua protein hewani, kecuali gelatin merupakan protein komplit.

Protein tidak komplit, atau protein bermutu rendah adalah protein yang tidak mengandung atau mengandung dalam jumlah kurang satu atau lebih asam amino esensial. Sebagian besar protein nabati kecuali kacang kedelai dan kacang-kacangan lain merupakan protein tidak komplit.

Daya Cerna Protein

Nilai gizi dari suatu bahan pangan ditentukan bukan saja oleh kadar nutrien yang dikandungnya, tetapi juga oleh dapat tidaknya nutrien tersebut digunakan oleh tubuh. Protein yang mudah dicerna menunjukkan tingginya jumlah asam-asam amino yang dapat diserap oleh tubuh dan begitu juga sebaliknya. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna protein dalam tubuh adalah kondisi fisik dan kimia bahan. Makin keras bahan, maka akan menurunkan daya cernanya dalam tubuh karena adanya ikatan kompleks yang terdapat di dalam bahan yang sifatnya semakin kuat. Ikatan ini dapat berupa ikatan antar molekul protein, ikatan protein-fitat, dan sebaginya. Sedangkan kondisi kimia yaitu adanya senyawa anti gizi seperti tripsin inhibitor dan fitat (Muchtadi 1989).

Adapun mutu cerna protein dari beberapa protein pangan pada manusia disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Mutu cerna protein beberapa protein pangan pada manusia Sumber Protein Mutu Cerna (%) Sumber Protein Mutu Cerna (%)

Telur 97 Susu, keju 95

Daging, ikan 94 Rice (polished) 88

Kacang tanah 94 Tepung kedelai 86

Jagung, sereal 70 Beans 78

Millet 79 Isolat protein kedelai 95

Wheat whole 86 Oatmeal 86

Wheat flour, white 96 Gluten gandum 99

Rice cereal 75 Wheat,cereal 77

Maize 85 Peas 88

Sumber : FAO/WHO/UNU 1995

(29)

disebabkan oleh perbedaan kandungan asam amino yang dikandungnya tetapi karena perbedaan kandungan selulosa dan bahan lain yang melindungi protein (Khumaidi 1987).

Makanan Balita

Menurut Khomsan (2004) bayi sampai anak berusia 5 tahun yang lazim disebut balita termasuk sebagai golongan penduduk yang rawan terhadap kekurangan zat gizi termasuk KEP. Terjadinya gizi kurang pada anak balita tidak selalu didahului dengan terjadinya bencana kurang pangan dan keaparan sehingga upaya penangulangannya memerlukan pendekatan. Salah satunya adalah dengan memperbaiki aspek makanan.

Menurut Wiyati (2004), anak balita atau disebut juga anak prasekolah adalah anak-anak yang berumur di bawah 5 tahun. Anak balita merupakan salah satu sasaran utama program gizi. Sejak usia tertentu, disamping ASI (air susu ibu) anak balita juga diberi makanan tambahan. Makanan tambahan adalah makanan yang diberikan untuk membantu mencukupi kebutuhan akan zat gizi yang diperlukan. Agar dapat memenuhi fungsinya, makanan tambahan bermutu baik (Hermana 1985 dalam Wiyati 2004).

FAO/WHO (1994) telah menerbitkan petunjuk mengenai pengembangan formula makanan bagi anak balita. Disebutkan bahwa energi yang dapat disajikan tiap 100 gram produk, minimal sebanyak 400 Kal. Komposisi zat gizi dari formula makanan tambahan untuk anak balita dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi zat gizi formula makanan tambahan

Zat Gizi Jumlah per 100 g

(30)

kecukupan zat gizi rata-rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak balita terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Angka kecukupan zat gizi rata-rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak balita (per orang per hari)

Golongan Umur

Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII 2004

Biskuit

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan. Biskuit diproses dengan pemanggangan sampai kadar air tidak lebih dari 5%. Biskuit sifatnya mudah dibawa karena volume dan beratnya yang kecil dan umur simpannya yang relatif lama. Biskuit dapat dikarakterisasi dari tingginya kandungan gula dan shortening

(31)

Tabel 8 Syarat mutu biskuit

Komponen Syarat Mutu

Air Maksimum 5%

Protein Minimum 9%

Lemak Minimum 9.5%

Karbohidrat Minimum 70%

Abu Maksimum 1.5%

Logam Berbahaya Negatif

Serat Kasar Maksimum 0.5%

Kalori (per 100 gr) Minimum 400

Jenis Tepung Terigu

Bau dan Rasa Normal, tidak tengik

Warna Normal

Sumber: Standar Nasional Indonesia 1992

Menurut Manley (1983), biskuit diklasifikasikan berdasarkan beberapa sifat, yaitu: (1) tekstur dan kekerasan; (2) perubahan bentuk akibat pemanggangan; (3) ekstensibilitas adonan; dan (4) pembentukan produk. Biskuit digolongkan juga menurut sifat adonannya, yaitu adonan pendek atau lunak, adonan keras, dan adonan fermentasi. Pada adonan lunak, gluten tidak sampai mengembang akibat shortening efek dari lemak dan efek pelunakan dari gula atau kristal sukrosa. Pada adonan keras gluten mengembang sampai batas tertentu dengan penambahan air. Pada adonan fermentasi gluten mengembang penuh karena air yang ditambahkan, sehingga memungkinkan kondisi tersebut yang berakibat pada perubahan bentuk akhir dengan penyusutan panjang setelah pencetakan dan pembakaran (Sunaryo 1985).

Jenis adonan lunak memiliki kadar gula 25-40% dan kadar lemak 15%, contohnya adalah biskuit glukosa, biskuit krim, biskuit jahe, biskuit buah, dan biskuit kacang. Pada adonan keras terjadi pengikatan pati dengan protein, pelarutan gula, garam, pengembang, dan dispersi lemak ke seluruh bagian adonan. Mengandung kadar gula 20% dan kadar lemak 12-15%, contohnya adalah biskuit marie dan rich tea. Pada adonan fermentasi produk akhir memiliki kerenyahan tertentu. Kadar gula rendah dan kadar lemak 25-30%, contohnya adalah biskuit krekers (Sunaryo 1985).

(32)

kompak. Sedangkan bahan perapuh terdiri dari gula, shortening, bahan pengembang dan kuning telur (Matz dan Matz 1978).

Menurut Veil et al., (1978) mutu biskuit tergantung pada komponen pembentuknya dan penanganan bahan sebelum dan sesudah proses produksi. Penyimpangan mutu akhir dapat terjadi akibat penggunaan bahan-bahan tidak dalam proporsi dan cara pembuatan yang tepat (Tabel 9).

Tabel 9 Jenis-jenis penyimpangan yang dapat terjadi dan penyebabnya pada pembuatan biskuit

Jenis Penyimpangan Penyebab

Keras Kurang lemak

Kurang air Warna pucat

Proporsi bahan kurang tepat Oven kurang panas

Bentuk tidak rata

Pencampuran tidak rata Penanganan tidak hati-hati Panas tidak merata

Warna tidak rata Bentuk tidak rata Panas tidak rata

Hambar Proporsi bahan pembentuk tidak seimbang

Keras dan poros Pencampuran tidak tepat

Keras dan kering Adonan terlalu keras dan kenyal Penanganan terlalu lama Sumber: Vail et al. 1978

Bahan Baku Biskuit

Tepung. Menurut Sultan (1983), tepung merupakan komponen pembentuk struktur dalam pembuatan biskuit, juga memegang peran penting dalam citarasa. Selainitu menurut Matz dan Matz (1978) tepung terigu juga berfungsi untuk mengikat bahan lain dan mendistribusikannya secara merata. Untuk membuat biskuit yang baik, maka tepung terigu yang paling sesuai adalah tepung terigu lunak dengan kadar protein sekitar 8% dan kadar gluten yang tidak terlalu banyak (Vail et al. 1978).

(33)

minyak dan interesterifikasi lemak juga biasa digunakan sebagai pengemulsi dalam pembuatan biskuit.(Matz dan Matz 1978).

Telur. Fungsi telur dalam penyelenggaraan gizi kuliner adalah sebagai pengental, perekat atau pengikat. Telur juga berfungsi sebagai pelembut atau pengempuk dan pengembang suatu masakan, di samping sebagai penambah aroma dan zat gizi (Tarwotjo 1998). Dalam pembuatan biskuit, fungsi utama telur adalah sebagai pengemulsi untuk mempertahankan kestabilan adonan. Selain itu, telur juga berperan meningkatkan dan menguatkan flavor, warna, dan kelembutan biskuit. (Matz dan Matz 1978). Menurut Winarno (1997), senyawa yang berfungsi sebagai emulsifier adalah lesitin dan cephalin yang merupakan lemak telur, khususnya fosfolipida.

Gula. Gula dalam pembuatan biskuit berfungsi sebagai pemberi rasa manis, pelunak gluten, membentuk flavor dan membentuk warna coklat pada biskuit melalui reaksi pencoklatan non-enzimatis. Jumlah gula yang ditambahkan harus tepat, bila terlalu banyak maka adonan biskuit akan menjadi lengket dan menempel pada cetakan, biskuit menjadi keras, dan rasanya akan terlalu manis. Jenis gula yang biasa digunakan dalam pembuatan biskuit adalah sukrosa. Gula yang digunakan biasanya berbentuk gula halus atau gula pasir (Matz dan Matz 1978).

Susu. Fungsi susu dalam pembuatan biskuit adalah dalam pembentukan warna, pembentuk flavor, bahan pengisi dan pengikat air. Susu bubuk lebih banyak digunakan karena leih mudah penanganannya dan mempunyai daya simpan yang cukup lama. Susu dapat meningkatkan kandungan energi biskuit karena adanya lemak dan gula alami (laktosa) (Matz dan Matz 1978)

Bahan Pengembang. Menurut Manley (1983), fungsi bahan pengembang (leavening agent) adalah untuk mengembangkan produk yang pada prinsipnya adalah menghasilkan gas karbondioksida. Bahan pengembang yang umumnya digunakan dalam pembuatan biskuit adalah baking powder dan ammonium bikarbonat (soda kue). Menurut Wheat Associates (1981) dalam Rieuwpassa (2005) fungsi baking powder adalah melepaskan gas hingga jenuh dengan gas CO2 lalu dengan teratur melepaskan gas selama pemanggangan agar adonan

(34)

Menurut Manley (2000), penggunaan amonium bikarbonat (baking powder) ditemukan dalam 93% resep biskuit, dimana rata-rata digunakan sebesar 0.47% dan dengan rentang antara 0.04% sampai dengan 1.77%. Sedangkan Sodium bikarbonat (soda kue) ditemukan dalam 96% resep biskuit, dan rata-rata digunakan antara 0.18% sampai dengan 1.92%.

Menurut Sunaryo (1985), pembuatan biskuit terdiri dari persiapan bahan, pencampuran dan pengadukan, pembuatan lembar adonan, dan pemanggangan. Proses pembuatan biskuit secara umum dikategorikan dalam dua cara, yaitu metode krim dan metode all-in. Pada metode krim, gula dan lemak dicampur sampai terbentuk krim homogen. Selanjutnya dilakukan penambahan susu ke dalam krim dn pencampurannya dilakukan secara singkat. Pada tahap akhir tepung dan sisa air kemudian dilakukan pengadukan sampai terbentuk adonan yang cukup mengembang dan mudah dibentuk. Metode kedua yaitu all-in, pada metode ini semua bahan dicampur secara bersamaan. Metode ini lebih cepat namun adonan yang dihasilkan lebih padat dan keras daripada adonan pada metode krim (Whiteley 1971).

Proses Pembuatan Biskuit

Bahan baku biskuit yang digunakan dalam persiapan bahan harus bebas dari kotoran, batu, komponen mikroba, serangga, dan tikus. Setelah bahan siap dilakukan pencampuran dilanjutkan dengan pengadukan. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pencampuran adalah jumlah adonan, lama pencampuran, dan kecepatan pengadukan. Pengadukan yang berlebihan akan merusak susunan gluten dan akan membuat adonan menjadi panas sehingga merusak tekstur biskuit serta menyebabkan retak pada permukaan biskuit saat pemanggangan. Sebaliknya jika waktu pengadukan kurang makaadonan akan kurang menyerap air sehingga adonan kurang elastis (Sunaryo 1985).

(35)

Menurut Sultan (1992), ukuran biskuit yang telah dicetak haruslah sama, agar ketika dioven biskuit matang secara merata dan tidak hangus.Untuk mencegah lengketnya biskuit pada loyang, biasanya pada loyang dileskan sedikit lemak atau dilapisi dengan kertas roti.

(36)

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2009 sampai bulan Agustus 2009 yang merupakan bagian dari penelitian Hibah Kemitraan ”Studi Efikasi Makanan Fungsional Berbasis Tepung Ikan dan Probiotik untuk Meningkatkan daya Tahan Tubuh Anak Balita Rawan Gizi”. Pembuatan tepung ikan dilakukan di Laboratorium Pilot plant, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, sedangkan pembuatan biskuit bertempat di Laboratorium Pengolahan Pangan, dan untuk analisis kimia dan fisik tepung ikan dan biskuit bertempat di Laboratorium Analisis Makanan. Keduanya berada dibawah Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung ikan lele dumbo adalah ikan lele dumbo segar dan air. Ikan lele dumbo yang digunakan adalah lele dumbo varietas sangkuriang. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit antara lain tepung ikan lele dumbo, tepung kepala ikan lele dumbo, tepung terigu, isolat protein kedelai, gula bubuk atau gula halus, telur, margarin, mentega, tepung susu, baking powder, dan soda kue. Selain bahan-bahan untuk pembuatan tepung ikan dan biskuit, juga digunakan bahan-bahan-bahan-bahan untuk analisis kimia. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis kimia diantaranya n-hexane, HCl, Selenium-mix, H2SO4 pekat, NaOH, asam borat, dan

indikator (merah metil dan metil biru).

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan tepung ikan adalah ember, autoklaf, kain kasa, hidrolik press, drum dryer, dan mesin penggiling (willey mill).

Sedangkan alat-alat yang digunakan dalam pembuatan biskuit antara lain timbangan, baskom, mixer, loyang, rolling pin, cetakan biskuit, dan oven. Alat-alat yang digunakan dalam analisis adalah oven vakum, cawan alumunium, cawan porselin, tanur, pengaduk magnetik, sentrifus, gelas ukur labu Kjedahl, alat ekstraksi Soxhlet, inkubator, pH-meter, termometer, Texture Analyzer, dan alat untuk pengujian organoleptik.

Metode Penelitian

(37)

dumbo sebagai bahan baku pembuatan biskuit. Lalu dilakukan uji sifat fisik dan kimia tepung badan ikan lele dumbo dan tepung kepala ikan lele dumbo.

Penelitian utama dilakukan dengan mengaplikasikan tepung badan ikan dan tepung kepala ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai dalam formula biskuit. Biskuit dengan formula terpilih kemudian diuji sifat fisik dan kimianya. Selain itu juga dilakukan uji organoleptik untuk melihat penerimaan biskuit oleh anak balita.

Penelitian Pendahuluan

Pada tahap pendahuluan, dilakukan pembuatan tepung badan ikan lele dumbo dan tepung kepala ikan lele dumbo. Lele dumbo yang telah dibersihkan, dibuang jeroannya, dikuliti, dan dipisahkan antara bagian kepala dengan badannya. Pembuangan kulit dan jeroan dimaksudkan agar tepung yang dihasilkan warnanya lebih cerah. Setelah itu badan ikan lele dan kepala ikan lele masing-masing dimasak dengan tekanan tinggi (presto) dengan autoklaf pada suhu 121oC selama 2 jam. Penggunaan autoklaf dimaksudkan untuk menghancurkan tulang ikan lele sehingga dapat dikeringkan dan digiling bersama daging ikan. Selain itu penggunaan autoklaf sangat penting dalam pembuatan tepung kepala ikan agar kepala ikan menjadi lebih lunak.

Proses selanjutnya, badan ikan dan kepala ikan yang telah matang masing-masing dibungkus dengan kain kasa dan dipress dengan hidrolik press. Tujuan dari pengepressan adalah untuk menurunkan kandungan air dari ikan sehingga memudahkan dalam proses pengeringan. Ikan yang telah agak kering kemudian dikeringkan dengan drum dryer pada suhu 80oC dengan tekanan 3 bar. Lalu serpihan ikan yang telah kering digiling dengan willey mill sehingga menghasilkan tepung badan ikan dan tepung kepala ikan lele dumbo yang merupakan bahan baku pembuatan biskuit. Dokumentasi pembuatan tepung ikan dapat dilihat pada Lampiran 1

Diagram alir pembuatan tepung badan ikan dan tepung kepala ikan lele dumbo dapat dilihat pada Gambar 2. Tepung badan ikan dan tepung kepala ikan yang telah jadi dianalisis sifat fisik dan kimianya. Sifat fisik yang diujikan antara lain densitas kamba tepung, aw tepung, dan derajat putih tepung. Sifat kimia yang

(38)

Gambar 2 Diagram alir pembuatan tepung ikan dan tepung kepala ikan lele dumbo

Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Dibersihkan dari jeroan dan kulitnya

Dipisahkan bagian badan dengan kepalanya

Badan ikan lele dumbo Kepala ikan lele dumbo

Dimasak dengan autoklaf dengan suhu 121oC selama 2 jam

Dimasak dengan autoklaf dengan suhu 121oC selama 2 jam

Badan ikan matang Kepala ikan matang

Dipress dengan pengepres hidrolik Dipress dengan pengepres hidrolik

Daging ikan agak kering Kepala ikan agak kering

Dikeringkan dengan drum dryer

dengan suhu 80oC dan tekanan 3 bar

Dikeringkan dengan drum dryer dengan suhu80oC dan tekanan 3 bar

Daging ikan kering Kepala ikan kering

Penghalusan dengan willey mill Penghalusan dengan willey mill

(39)

Penelitian Utama

Pada penelitian utama dilakukan formulasi biskuit dengan substitusi tepung badan ikan, tepung kepala ikan, dan isolat protein kedelai terhadap tepung terigu yang dimaksudkan untuk meningkatkan kandungan protein dari biskuit. Perbandingan tepung badan ikan, tepung kepala ikan, dan isolat protein kedelai yang digunakan adalah: F1 (5:5:5), F2 (7.5:2.5:5), F3 (2.5:2.5:10), dan F4 (3.5:1.5:10). Perbandingan diatas merupakan persentase penggunaan tepung ikan, tepung kepala ikan dan isolat protein kedelai terhadap 1000 gram adonan. Misalnya pada F2 jumlah tepung badan ikan, tepung kepala ikan, dan isolat protein kedelai yang digunakan masing-masing sebanyak 75, 25, dan 50 gram. Demikian pula pada perbandingan F1, F3, dan F4. Sedangkan bahan lain seperti tepung terigu, gula bubuk, telur, margarin, mentega, tepung susu, baking powder, dan soda kue yang ditambahkan untuk setiap formula sama. Formula biskuit dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Formula biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai

Komponen (g) Formulasi

F1 F2 F3 F4

(40)

yang telah kalis dimasukkan ke dalam lemari es selama 15 menit, fungsinya agar adonan lebih mudah dibentuk dan dicetak. Setelah itu, adonan dipipihkan setebal 0.5 cm, lalu dicetak. Pemanggangan dilakukan selama 20 menit dengan suhu 150oC sampai warna biskuit cokelat keemasan. Diagram alir pembuatan biskuit dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram alir pembuatan biskuit balita dengan penambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai

Margarin, mentega dan gula bubuk

Diaduk dengan mixer denan kecepatan tinggi 5 menit

Ditambahkan telur

Diaduk dengan kecepatan tinggi selama 10 menit

Adonan berwarna kuning pucat

Ditambahkan tepung ikan, isolat protein kedelai, tepung terigu, gula bubuk, dan tepung susu

Diaduk dengan kecepatan rendah selama 5 menit sampai kalis

Adonan kalis

Didinginkan dalam lemari es selama 15 menit

Adonan dingin

Dipipihkan dengan rolling pin setebal 0.5 cm, lalu dicetak

Dipanggang dalam oven dengan suhu 150oC selama 20 menit

(41)

Biskuit yang dihasilkan dianalisis sifat fisik yang meliputi analisis daya ikat air, aw, dan kekerasan biskuit. Selain sifat fisik, juga diuji sifat kimia yang meliputi

analisis kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, cerna protein dan perhitungan kandungan energi biskuit. Prosedur analisis sifat fisik dan kimia dapat dilihat pada Lampiran 2.

Pemilihan formula dilakukan dengan uji hedonik terhadap 30 orang panelis semi-terlatih. Nilai yang diberikan berada pada rentang 1 sampai 5, dimana nilai 1 untuk penilaian sangat tidak suka dan 5 untuk penilaian sangat suka. Panelis dianggap

menerima sampel bila nilai yang diberikan berkisar antara 3, 4 dan 5. Kuesioner uji organoleptik pada panelis semi-terlatih dapat dilihat pada Lampiran 3.

Setelah didapatkan formula terpilih, untuk mengetahui daya terima biskuit dilakukan uji organoleptik berupa uji kesukaan terhadap 30 anak balita gizi kurang yang berusia antara 2-5 tahun balita berasal dari Kecamatan Cikakak dan Kadu Dampit, Kabupaten Sukabumi. Penilaian dilakukan hanya untuk atribut keseluruhan dan nilai dikategorikan menjadi 3 yaitu suka, biasa, dan tidak suka. Pengujian dilakukan pada biskuit dengan substitusi tepung percobaan dan biskuit komersial yang banyak dijual dipasaran sebagai pembanding. Kuesioner uji kesukaan pada balita dapat dilihat pada Lampiran 4.

(42)

Pengolahan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian utama adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yang terdiri dari dua faktor, yaitu substitusi tepung ikan lele dumbo dan substitusi isolat protein kedelai. Faktor substitusi tepung ikan lele dumbo terdiri dari 2 taraf (substitusi tepung ikan sebanyak 100 gram dan substitusi sebanyak 50 gram), faktor tepung isolat protein kedelai juga terdiri dari dua taraf (penambahan 100 gram dan penambahan 50 gram). Oleh karena itu, ada empat kombinasi perlakuan. Model matematisnya (Sudjana 1995) adalah sebagai berikut :

Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + ε(ij)k

Keterangan :

Yijk = Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k akibat taraf ke-i faktor

tepung ikan lele dumbo dan taraf ke-j faktor isolat protein kedelai µ = Nilai tengah populasi

Ai = Pengaruh penambahan taraf ke-i dari faktor tepung ikan lele dumbo

Bj = Pengaruh penambahan taraf ke-j dari faktor isolat protein kedelai

ABij = Pengaruh interaksi taraf ke-i tepung ikan lele dumbo dan taraf ke-j isolat

protein kedelai

ε(ij)k = Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh

perlakuan tepung ikan lele dumbo pada taraf ke-i dan isolat protein kedelai pada taraf ke-j

i = Banyaknya taraf penambahan tepung ikan lele dumbo j = Banyaknya taraf penambahan isolat protein kedelai k = Banyaknya ulangan (k= 1)

(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tepung Ikan

1. Pembuatan Tepung Ikan

Persiapan utama dalam pembuatan biskuit pada penelitian ini adalah pembuatan tepung ikan lele dumbo. Ikan lele dumbo yang digunakan berasal dari DeJee Fish yang merupakan salah satu tempat budidaya ikan lele dumbo di daerah Cibaraja, Kabupaten Sukabumi. Ikan lele yang digunakan berumur 3-4 bulan dan mempunyai panjang 40-60 cm. Pembuatan tepung ikan lele dumbo diawali dengan sortasi ikan. Ikan yang telah dimatikan dikuliti dan dibuang isi perutnya. Lalu dipisahkan antara bagian badan ikan dan kepala ikan. Menurut LIPI (1999), pada pembuatan tepung ikan sebagai pakan ternak seluruh bagian ikan digunakan terutama limbah ikan. Tapi pada pembuatan tepung ikan yang digunakan pada penelitian ini kulit dan isi perut ikan dibuang. Pembuangan kulit bertujuan agar tepung ikan yang dihasilkan memiliki warna yang lebih cerah, sedangkan pembuangan isi perut bertujuan untuk menghambat kerusakan ikan sebelum ditangani. Hal ini sesuai dengan Wibowo (2006) yang menyatakan bahwa dalam pembuatan filet ikan isi perut yang menjadi sumber enzim dan bakteri harus disiangi agar tidak mencemari daging ikan.

(44)

jam. Proses pemanasan dengan tekanan tinggi juga bertujuan untuk melunakkan tulang ikan sehingga dapat meningkatkan rendemen tepung. Selain itu diharapkan pula tulang ikan dapat memberikan sumbangan mineral pada tepung. Proses pemasakan badan dan kepala ikan dilakukan secara terpisah agar keempukan bahan yang dihasilkan seragam. Proses pemanasan menurut Fennema (1996) juga memiliki efek yang menguntungkan, yaitu dalam hal inaktifasi toksin dalam bentuk protein seperti toksin botulinum yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum dan enterotoksin yang dihasilkan oleh

Staphylococcus aureus. Fennema menambahkan bahwa proses pemanasan dapat menyebabkan denaturasi protein yang akan meningkatkan daya cerna pangan. Pemanasan juga dapat menginaktifkan beberapa enzim yang terkait dengan kerusakan pangan seperti protease, lipase serta enzim yang bersifat oksidatif dan hidrolisis.

Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada ikan. Menurut Moeljanto (1982b), kadar air pada daging ikan hal yang menentukan pada proses pembusukan. Bila kadar airnya dikurangi maka proses pembusukan dapat terhambat. Oleh karena itu, setelah dimasak daging dan kepala ikan yang telah matang dipres untuk mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian minyak. Selain itu Moeljanto juga menyatakan bahwa bila proses pengeringannya berjalan terus menerus, maka proses pembusukannya akan berhenti, sehingga setelah pengepresan dilakukan pengeringan lebih lanjut dengan menggunakan drum dryer.

Menurut Juming et al (2003) di dalam Fernando (2008), penggunaan

drum dryer memiliki beberapa keuntungan, antara lain produk yang dihasilkan memiliki porositas dan rehidrasi yang baik, alat yang digunakan bersih dan higienis karena suhu alat yang tinggi dapat menginaktifkan mikroorganisme, dan mudah dioperasikan. Menurut Brennan (1974), alat pengering drum memiliki kecepatan pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis. Selain itu Bluestein dan Labuza (1988) mengatakan bahwa drum dryer

merupakan salah satu metode pengeringan yang relatif murah. Penggunaan pengering drum pada penelitian ini juga didasarkan pada bentuk bahan. Ikan setelah dipres akan berbentuk pure agak kering yang dapat ditaburkan dari atas drum.

(45)

serpihan ikan kering yang sangat tipis yang kemudian dihaluskan menggunakan

willey mill. Tepung yang dihasilkan setelah penggilingan berukuran sekitar 60 mesh. Tepung daging atau tubuh ikan berwarna cokelat muda, sedangkan tepung kepala berwarna agak gelap (Gambar 5) karena pada proses pembuatan tepung kepala, lapisan kulit yang berwarna hitam pada kepala ikan lele tidak dibuang. Selain itu, warna tepung kepala yang lebih gelap daripada tepung badan ikan diduga karena reaksi pencoklatan yang terjadi pada tepung kepala ikan lebih tinggi. Pada proses pengeringan, suhu dan waktu yang digunakan pada tepung badan dan kepala sama, sedangkan pada kepala ikan kandungan airnya lebih sedikit daripada badan ikan sehingga kecepatan mengeringnya berbeda.

A B

Gambar 5 Tepung badan (A) dan kepala (B) ikan lele dumbo

2. Sifat Fisik Tepung Ikan

Selain analisis sifat kimia, dilakukan pula analisis sifat fisik tepung. Analisis sifat fisik tepung yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kadar aw,

densitas kamba tepung dan derajat putih tepung. Data analisis sifat fisik tepung ikan dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai 8.

a. aw

Menurut Bluestein dan Labuza (1988), air terdistribusi dalam bahan pangan walaupun pangan telah dikeringkan. Kandungan air dalam bahan pangan mempengaruhi daya tahan makanan terhadap serangan mikroorganisme yang dinyatakan dengan aw. Menurut Winarno (1997), aw adalah jumlah air bebas

yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Berbagai mikroorganisme mempunyai aw minimum agar dapat tumbuh. Hasil pengukuran

(46)

Gambar 6 aw tepung badan ikan dan tepung kepala ikan

Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat aw tepung badan (0.71) ikan

lebih besar daripada tepung kepala ikan (0.66). Menurut Bluestein dan Labuza (1988), mikroorganisme yang mungkin tumbuh kisaran aw tersebut adalah

kapang.

b. Densitas Kamba

Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume bahan itu sendiri dengan satuan g/ml. Semakin tinggi densitas kamba menunjukkan produk semakin ringkas atau padat. Nilai densitas juga menunjukkan porositas bahan. Bahan yang lebih ringkas memiliki porositas yang lebih sedikit karena lebih sedikit rongga antar partikel. Banyaknya rongga antar partikel dan besarnya ukuran partikel akan menyebabkan banyak ruang kosong tersisa yang seharusnya terisi oleh partikel tersebut. Hal ini menyebabkan jumlah partikel yang menempati suatu volume ruang lebih sedikit (Khalil 1999).

(47)

(0.4537). Densitas kamba menunjukan kepadatan partikel yang menempati ruang pada volume tertentu. Nilai densitas kamba yang lebih rendah menunjukkan pada volume yang sama jumlah partikel yang menempati ruang pada volum tersebut adalah lebih ringan daripada tepung dengan densitas yang lebih tinggi. Berarti dalam berat yang sama, volume tepung badan ikan dengan densitas kamba lebih rendah adalah lebih besar daripada volume tepung kepala ikan dengan densitas kamba yang lebih tinggi.

Wirakartakusumah et al (1999) menyatakan bahwa densitas kamba makanan pada umumnya adalah antara 0.3-0.8 g/ml. Berdasarkan rentang tersebut, densitas kamba tepung ikan, baik tepung kepala maupun tepung badan berada dalam kisaran densitas kamba pangan secara umum.

c. Derajat Putih

Derajat putih merupakan tingkat keputihan suatu bahan yang erat kaitanya dengan mutu penerimaan konsumen. Bahan pangan yang memiliki warna cerah umumnya lebih disukai oleh konsumen. Tepung ikan lele dumbo diukur derajat putihnya untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh penambahan tepung ikan terhadap warna biskuit yang dihasilkan. Menurut Faridah et al. (2008), prinsip pengukuan Whiteness Meter adalah melalui pengukuran indeks refleksi dari permukaan contoh dengan sensor foto dioda. Semakin putih contoh, maka cahaya yang dipantulkan semakin banyak dan semakin tinggi derajat putih contoh. Berdasarkan pengukuran dengan Whiteness Meter, derajat putih tepung dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Hasil pengukuran derajat putih tepung ikan lele dumbo

Jenis Tepung Derajat Putih (%)

Tepung badan ikan lele 30.9575

Tepung kepala ikan lele 28.9975

Tepung Terigu* 74.7*

Keterangan: *Antarlina (1998)

(48)

dibandingkan tepung badan ikan lele. Penambahan tepung badan dan tepung kepala ikan lele pada produk biskuit akan menyebabkan warna biskuit menjadi lebih gelap.

3. Sifat kimia tepung ikan

Tepung ikan yang digunakan pada pembuatan biskuit dibedakan menjadi 2 bagian yaitu tepung badan ikan lele dumbo dan tepung kepala ikan lele dumbo. Sifat kimia yang dianalisis dari tepung ikan yaitu kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar karbohidrat, dan kadar lemak tepung. Data analisis sifat kimia tepung ikan dapat dilihat pada Lampiran 9 sampai 13.

a. Kadar Air

Gambar 8 menunjukkan hasil analisis kadar air tepung. Kadar air tepung badan ikan sebesar 7.99% bb dan kadar air tepung kepala ikan sebesar 8.72% bb. Kadar air ini menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan adalah tepung ikan berkualitas tinggi. Hal ini sesuai dengan LIPI (1999) yang menyatakan bahwa tepung ikan yang berkualitas tinggi memiliki kandungan air antara 6% sampai dengan 10%. Kadar air tepung yang dihasilkan juga sesuai dengan Moeljanto (1982a) yang menyatakan jarang dijumpai tepung ikan dengan kadar air kurang dari 6% sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis. Apabila kadar air tepung terlalu rendah, maka akan terjadi keseimbangan dengan kelembaban tempat penyimpanan.

(49)

4.83

Menurut Winarno (1997), abu merupakan unsur mineral atau zat anorganik yang terkandung dalam bahan pangan. Abu juga merupakan zat dalam bahan pangan selain air dan bahan organik. Gambar 9 merupakan grafik hasil analisis kadar abu tepung ikan.

Gambar 9 Kadar abu tepung badan ikan dan tepung kepala ikan

Berdasarkan hasil uji kadar abu berbasis kering didapat kadar abu tepung badan ikan adalah sebesar 4.83% bk sedangkan kadar abu tepung kepala ikan adalah 14.1% bk. Kadar abu tepung kepala ikan lebih tinggi daripada kadar abu tepung badan ikan. Hal ini dikarenakan kepala ikan lebih banyak mengandung tulang sehingga sesuai dengan Moeljono (1982) yang menyatakan bahwa sebagian besar abu dan mineral dalam tepung ikan berasal dari tulang-tulang ikan. Pada tepung badan ikan, tulang hanya berasal dari tulang tengah ikan saja sehingga kandungan abu pada tepung badan adalah lebih rendah.

c. Kadar Protein

Gambar

Gambar 1 Karakteristik Morfologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)
Tabel 2 Susunan asam amino esensial ikan lele
Tabel 4 Komposisi proksimat bagian biji kedelai
Tabel 5  Mutu cerna protein beberapa protein pangan pada manusia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui aktivitas antioksidan dan tingkat kesukaan konsumen terhadap biskuit dengan substitusi tepung biji rambutan dan penambahan

Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, penulis menyelesaikan skripsi yang berjudul

Penulis menyelesaikan tugas akhirnya untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, dengan melakukan penelitian yang

Skripsi yang berjudul Perluasan Hama Sasaran Formulasi Insektisida Nabati RSA1 pada Tiga Spesies Serangga Hama Sayuran ini merupakan tugas akhir program sarjana di Departemen

regal kadar protein biskuit dengan substitusi tepung daging ikan terbang lebih baik. dan memenuhi kadar protein yang telah ditetapkan oleh standar baku SNI

Penulis menyelesaikan tugas akhirnya untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, dengan melakukan penelitian yang

Penulis menyelesaikan tugas akhirnya untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, dengan melakukan penelitian yang

Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dengan judul