• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Sifat Pengeringan

4.2.2 Cacat Pengeringan

Pada penelitian ini, kerusakan yang sering dijumpai adalah pecah permukaan, pecah ujung dan deformasi. Cacat pecah permukaan pada umumnya terjadi diawal proses pengeringan ketika kadar air kayu cukup tinggi. Permukaan kayu mengering lebih cepat dibandingkan bagian dalam kayu yang relatif masih basah sehingga terjadi tegangan tarik dipermukaan dan tegangan tekan dibagian dalam kayu, sehingga dapat menimbulkan retak/pecah. Retak permukaan sering berawal dari jari-jari kayu atau saluran resin. Berdasarkan Martawijaya dan Barly (1995) cacat ini dapat diminimalisir dengan pemberian kelembaban tinggi atau perlakuan pengukusan pada awal pengerigan.

Cacat berupa perubahan bentuk atau yang dikenal dengan deformasi pada umumnya terjadi pada proses pengeringan dengan kondisi kayu yang sangat basah dengan permeabilitas sel yang rendah dan atau terdapatnya penyumbatan pada pori kayu (Bramhall dan Wellwood 1976). Selain itu, deformasi dapat diakibatkan oleh perbedaan penyusutan yang besar pada arah radial, tangensial dan longitudinal atau karena adanya kayu tekan (compression wood), kayu tarik (tension wood), kayu juvenile, dan mata kayu. Jenis deformasi yang sering dijumpai dalam penelitian ini adalah collapse, memuntir (twisting) dan memangkuk (cupping). Pencegahan cacat deformasi dapat dilakukan dengan mengatur kondisi penumpukan, tebal dan jarak ganjal serta pembebanan yang merata pada bagian atas tumpukan (Basri dan Nurwati 2004).

Pada umumnya ketika kayu mengering, air yang keluar dari rongga sel kayu langsung digantikan oleh udara sehingga memenuhi rongga sel. Namun pada kayu yang sangat basah dan memiliki permeabilitas dinding sel yang rendah, udara hanya masuk melalui difusi. Air yang keluar dari rongga sel kayu tidak cepat terganti oleh udara, maka dinding sel tersebut tertarik kedalam rongga sel sehingga terjadi collapse. Hal ini juga diungkapkan oleh Kobayashi (1986) yang menyatakan bahwa collapse pada sel kayu disebabkan oleh tegangan cairan dalam kayu yang diakibatkan oleh proses pengeringan. Oleh karena itu, waktu aman untuk menaikkan suhu pengeringan adalah ketika kayu telah mencapai kondisi titik jenuh serat, yaitu ketika sudah tidak ada lagi air bebas dalam rongga sel. Perlakuan berupa pengukusan atau penggunaan suhu rendah pada awal proses

pengeringan pada kayu yang sangat basah juga dapat mencegah kayu dari cacat collapse dan pecah bagian dalam.

Retak di bagian dalam kayu dapat merupakan cacat lanjutan dari retak permukaan. Setelah kayu mencapai titik jenuh serat, bagian permukaan yang sebelumnya mengalami retak dapat menutup kembali sedangkan bagian dalam yang pecah tidak menutup lagi (Bramhall dan Wellwood 1976). Cacat kayu tersebut sangat menentukan kualitas kayu karena dapat menurunkan kekuatan kayu. Retak dalam (internal/honeycombing check) juga dapat diakibatkan oleh tegangan pertumbuhan dalam batang pohon (growth stress) (Wang et al. 1994). Apabila penyusutan melebihi kekuatan tarik tegak lurus serat kayu maka akan menimbulkan retak. Sedangkan rasio penyusutan antara arah tangensial dan radial yang aman sebaiknya tidak melebihi nilai 2.

Pada penelitian ini, contoh uji yang digunakan diambil dari bagian kayu teras yang merupakan bagian pohon yang terdiri dari jaringan yang telah mati dan mengandung zat ekstraktif, sehingga lebih sulit dikeringkan dan cenderung mudah mengalami cacat pengeringan apabila dibandingkan dengan kayu gubalnya (Tobing 1988). Selain itu kadar air yang terkandung dalam kayu masih cukup tinggi yaitu pada kisaran 55%- 140%, sehingga masih banyak air dalam rongga sel yang harus dikeluarkan. Berikut penjelasan mengenai fenomena cacat pengeringan yang terjadi pada saat pengujian sifat dasar pengeringan dengan suhu tinggi.

Kayu Jamuju

Berdasarkan hasil uji sifat dasar pengeringan, kayu jamuju memiliki sifat pengeringan yang agak buruk. Jadwal pengeringan kayu jamuju lebih ditentukan oleh cacat retak permukaan sebagai tingkat cacat terparah dengan nilai 5 (agak buruk). Jenis cacat deformasi maksimal pada kayu ini bernilai 2, untuk cacat pecah dalam nilai maksimal sebesar 1. Kadar air dari kayu ini cukup tinggi dibandingkan 2 jenis kayu lainnya yaitu 149,21% dengan berat jenis 0,45. Kayu jamuju memiliki stabilitas dimensi yang cukup baik dibanding kayu rasamala dan pasang yaitu sebesar 3,29% untuk susut volumenya, hal ini disebabkan oleh tipisnya dinding sel kayu jamuju yang diidentikkan dengan berat jenis yang rendah.

Cacat retak permukaan yang terjadi dipengaruhi oleh rapatnya sel jari-jari yang lemah dan berdinding tipis pada kayu jamuju, sebagaimana yang diungkapkan Lemmens (1995) bahwa jari-jari kayu jamuju tergolong uniseriate dengan jarak 4-8/mm. Ukuran pori kayu ini sebesar 40-65µ, kondisi pori ini tergolong kecil karena ukurannya kurang dari 100µ (Pandit 2008). Walaupun ukuran pori kayu jamuju tergolong kecil tetapi laju pengeringannya tergolong cepat dan mudah dikeringkan, karena kecepatan pengeringan pada penelitian ini lebih dipengeruhi oleh ketebalan dinding sel. Begitu pula yang terjadi pada kayu rasamala dan pasang, ukuran pori tidak mempengaruhi kecepatan pengeringan namun lebih dipengeruhi oleh ketebalan dinding sel yang terkait dengan berat jenis.

Gambar 8 Cacat retak ujung (a) pada kayu jamuju dalam uji pengeringan.

Kayu pasang (Quercuss spp)

Kayu pasang rawan mengalami retak ujung, retak permukaan dan deformasi berupa collapse. Hal ini terkait dengan pori kayu pasang yang berkelompok dan relatif besar dengan ukuran 200-300 (Abdurrohim et al. 2004). Ukuran ini cukup besar dibanding jenis lain dalam penelitian ini, kondisi pori yang seperti ini sangat berpotensi menimbulkan retak karena pori merupakan titik lemah pada permukaan kayu ketika terjadi tegangan tarik. Jari-jari pada kayu ini terdapat dua macam yaitu jari-jari halus dan jari-jari lebar. Kondisi jari-jari lebar mudah mengalami retak ketika terjadi penyusutan kearah tangensial. Selain

itu berat jenis kayu pasang yang cukup tinggi (0,83), mengindikasikan dengan tebalnya dinding sel yang berdampak terhadap rendahnya permeabilitas pada kayu ini.

Gambar 9 Cacat internalchecking (a) dan cupping pada kayu pasang dalam uji Pengeringan.

Gambar 10 Cacat collapse (a) pada kayu pasang dalam uji pengeringan. Kayu rasamala

Sama halnya dengan kayu pasang, kayu rasamala mengalami deformasi yang buruk pada uji sifat dasar pengeringan. Cacat perubahan bentuk yang jelas terlihat pada contoh uji kayu rasamala adalah cacat memuntir. Faktor struktur anatomi yang diduga mengakibatkan terjadinya cacat ini ialah arah serat kayu yang berbeda (lurus pada sisi yang satu dan miring pada sisi yang lain) seperti yang terlihat dalam Gambar 15. Hal lain yang diduga mempengaruhi terjadinya cacat pada kayu rasamala ini adalah dinding sel kayu yang tebal, yang identik dengan berat jenis kayu ini yang cukup tinggi, sebesar 0,75. Pada kayu dengan berat jenis tinggi, air lebih lama keluar dari dalam kayu karena dinding selnya lebih tebal. Pada saat dikeringkan maka bagian permukaan akan lebih dahulu

a

b

mengering dan kondisi ini akan mengakibatkan perbedaan tegangan antara bagian dalam dan bagian permukaan kayu yang dapat memicu terjadinya cacat. Selain itu ukuran pori kayu ini relatif kecil (75-90µ) serta berisi tylosis, atau endapan berwarna kuning. Jari-jari kayu ini pun mengandung deposit berwarna merah kecoklatan (Abdurrohim et al. 2004). Hal ini juga mendukung rendahnya permeabilitas kayu rasamala.

Gambar 11 Cacat retak ujung (a) dan twisting (b)pada kayu rasamala.

Gambar 12 Arah serat miring (a) pada bagian depan dan arah serat lurus (b) pada bagian belakang kayu rasamala.

Dokumen terkait