• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sigma (

σ

) adalah sebuah abjad yunani yang menotasikan standar deviasi atau simpangan baku suatu proses. Standar deviasi mengukur varisi atau jumlah persebaran suatu rata–rata proses. Tingkat kualitas Sigma biasanya juga dipakai untuk menggambarkan output dari suatu proses, semakin tinggi tingkat Sigma maka semakin kecil toleransi yang diberikan pada kecacatan, semakin tinggi kapabilitas proses oleh karena itu semakin baik.

Six Sigma Motorola merupakan suatu metode atau teknik pengendalian Peningkatan kualitas dramatik yang diterapkan oleh perusahaan motorola sejak tahun 1986, yang merupakan terobosan baru dalam bidang manajemen kualitas. Banyak ahli manajemen kualitas menyatakan bahwa metode Six Sigma Motorola dikembangkan dan diterima secara luas oleh dunia industri, karena manajemen industri frustasi terhadap sistem manajemen kualitas yang ada, yang tidak mampu melakukan peningkatan kualitas secara dramatik menuju tingkat kegagalan (zero defect). Defect adalah kegagalan untuk memberikan apa yang diinginkan oleh pelanggan,

2.2.1 DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control)

DMAIC merupakan proses untuk peningkatan terus-menerus menuju target Six Sigma. DMAIC dilakukan secara sistematik, berdasarkan ilmu pengetahuan dan fakta. Proses ini menghilangkan langkah-langkah proses yang tidak produktif, sering berfokus pada pengukuran-pengukuran baru, dan menetapkan teknologi untuk peningkatan kualitas menuju target Six Sigma.

Gambar 2.1 Proses DMAIC 1. Define (D)

Merupakan langkah operasional pertama dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini, yang paling penting untuk dilakukan adalah identifikasi produk dan atau proses yang akan diperbaiki. Kita harus menetapkan prioritas utama tentang masalah-masalah dan atau kesempatan peningkatan kualitas mana yang akan ditangani terlebih dahulu. Pemilihan proyek terbaik adalah berdasarkan pada identifikasi proyek yang sesuai dengan kebutuhan, kapabilitas, dan tujuan organisasi yang sekarang.

Secara umum setiap proyek Six Sigma yang terpilih harus mampu memenuhi kategori:

1. Memberikan hasil-hasil dan manfaat bisnis. 2. Kelayakan.

3. Memberikan dampak positif kepada organisasi. (Sumber: Gaspersz Vincent, 2002) Control (C) Define (D) Improve (I) Analyze (A) Measure (M)

2. Measur e (M)

Merupakan langkah operasional kedua dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Terdapat 3 hal pokok yang harus dilakukan dalam tahap Measure, yaitu:

1. Memilih atau menentukan karakteristik kualitas (CTQ) kunci yang berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik dari pelanggan. 2. Melakukan pengumpulan data melalui pengukuran yang dapat

dilakukan pada tingkat proses, output dan/atau outcome.

3. Mengukur kinerja sekarang (current performance) pada tingkat proses, output, dan/atau outcome untuk ditetapkan sebagai baseline kinerja (performance baseline) pada awal proyek Six Sigma. (Sumber: Gaspersz Vincent, 2002).

A. Pengukuran Baseline Kinerja (performance baseline)

Baseline kinerja dalam proyek Six Sigma biasanya diterapkan menggunakan satuan pengukuran DPMO dan tingkat kapabilitas sigma (sigma level). Sesuai dengan konsep pengukuran yang biasanya diterapkan pada tingkat proses, output dan outcome, maka baseline kinerja juga dapat ditetapkan pada tingkat proses, output dan outcome. Pengukuran biasanya dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana output dari proses dapat memenuhi kebutuhan pelanggan. (Sumber: Gaspersz Vincent, 2002).

B. DPO (Defects Per Opportunities)

Defect (cacat) adalah kecacatan untuk memberikan apa yang diinginkan oleh pelanggan. Sedangkan Defects Per Opportunity (DPO) merupakan ukuran

kegagalan yang dihitung dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang menunjukkan banyaknya cacat atau kegagalan per satu kesempatan, dihitung dengan menggunakan formula DPO.

Dimana formula DPO adalah banyaknya cacat atau kegagalan yang ditemukan dibagi dengan (banyaknya unit yang diperiksa dikalikan banyaknya CTQ potensial yang menyebabkan cacat atau kegagalan itu).

(

Banyaknya unit yang diperiksa Banyaknya CTQ potensial

)

cacat Banyaknya DPO _ _ _ _ _ _ × =

(Sumber: Gaspersz Vincent, 2002).

C. DPMO (Defects Per Million Opportunities)

Ukuran kegagalan dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang menunjukkan kegagalan persejuta kesempatan, untuk menghitung menggunakan formula:

DPMO = DPO ⊗ 1.000.000

Selanjutnya jika ingin mengetahui tingkat kegagalan per satu juta kesempatan (DPMO), dalam Microsoft Excel menggunakan formula berikut :

DPMO = 1.000.000-normdist (– 1,5 + Nilai Sigma) ⊗1.000.000

Pemahaman terhadap DPMO ini sangat penting dalam pengukuran keberhasilan dalam pengukuran keberhasilan aplikasi penigkatan kualitas Six Sigma.

Six Sigma merupakan suatu visi peningkatan kualitas menuju target 3,4

kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO) untuk setiap transaksi produk (barang dan jasa) upaya giat menuju kesempurnaan (zero defect). Vincent

Hasil–hasil dari peningkatan kualitas dramatik di atas , yang diukur berdasarkan persentase antara COPQ (cost of poor quality) terhadap penjualan ditunjukkan dalam Tabel 2.1

Tabel 2.1. Manfaat Dar i Pencapaian Beberapa Tingkat Sigma COPQ ( Cost of Poor Quality )

Tingkat Pencapaian Sigma

DPMO (defect per million opportunities) COPQ

1 – sigma 2 – sigma 3 – sigma 4 – sigma 5 – sigma 6 – sigma 691.462 308.538 66.807 6.210 233 3,4

(sangat tidak kompetitif) (rata – rata industri Indonesia)

(rata – rata industri USA)

(Industri kelas dunia)

Tidak dapat dihitung Tidak dapat dihitung 25-40% dari penjualan 15-25% dari penjualan 5-15% dari penjualan < 1% dari penjualan Setiap peningkatan atau pergeseran 1- sigma akan memberikan peningkatan keuntungan sekitar 10 % dari penjualan

Sumber : Vincent Gaspersz, 2002

Saat ini pihak Motorola telah membuat gambaran kapabilitas sebuah proses dalam perbandingan antara sigma dan DPMO yang ditunjukkan di tabel 2.2

Tabel 2.2 Tabel konversi Sigma Motorola Presentase yang

memenuhi spesifikasi DPMO Sigma

30,9 % 69,2 % 93,3 % 99,4 % 99,98 % 99,9997 % 690.000 308.000 66.800 6.210 320 3,4 1 2 3 4 5 6

3. Analyze (A)

Merupakan langkah operasional ketiga dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah beberapa hal sebagai berikut:

1. Menentukan kapabilitas/kemampuan dari proses.

Process capability merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang menunjukkan proses mampu menghasilkan sesuai dengan spesifikasi produk yang telah ditetapkan oleh manajemen berdasarkan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan.

2. Mengidentifikasi sumber-sumber dan akar penyebab kecacatan atau kegagalan. Untuk mengidentifikasi sumber-sumber penyebab kegagalan, dapat menggunakan Fishbone diagram (cause and effect diagram). Dengan analisa cause and effect, manajemen dapat memulai dengan akibat sebuah masalah, atau dalam beberapa kasus, merupakan akibat atau hasil yang diinginkan dan membuat daftar terstruktur dari penyebab potensial. (Sumber: Gaspersz Vincent, 2002).

Setelah akar-akar penyebab dari masalah ditemukan, maka dimasukkan ke dalam cause and effect diagram yang telah mengkategorikan sumber-sumber penyebab berdasarkan prinsip 7M, yaitu:

1) Manpower ( Tenaga Kerja ). 2) Machines ( Mesin-mesin ). 3) Methods ( Metode Kerja ).

5) Media (Surat Kabar). 6) Motivation ( Motivasi ). 7) Money ( Keuangan ).

(Sumber: Gaspersz Vincent, 2002). 4. Improve (I)

Merupakan langkah operasional keempat dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Langkah ini dilakukan setelah sumber-sumber dan akar penyebab dari masalah kualitas teridentifikasi. Pada tahap ini ditetapkan suatu rencana tindakan (action Plan) untuk melaksanakan peningkatan kualitas Six Sigma. (Sumber: Gaspersz Vincent, 2002).

5. Contr ol (C)

Merupakan langkah operasional kelima dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini hasil-hasil peningkatan kualitas didokumentasikan dan disebarluaskan, praktek-praktek terbaik yang sukses dalam meningkatkan proses distandarisasikan dan disebarkan, prosedur-prosedur didokumentasikan dan dijadikan pedoman kerja standar, serta kepemilikan atau tanggung jawab ditransfer dari tim Six Sigma kepada pemilik atau penanggung jawab proses, yang berarti proyek Six Sigma berakhir pada tahap ini. Standarisasi dimaksudkan untuk mencegah masalah yang sama atau praktek-praktek lama terulang kembali. (Sumber: Gaspersz, Vincent, 2002).

A. Seven Tools

Tidak mungkin untuk memeriksa atau menguji kualitas kedalam suatu produk itu harus dibuat dengan benar sejak awal. Ini berarti bahwa proses

produksi harus stabil dan mampu beroperasi sedemikian hingga sebenarnya semua produk yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi. Pengendalian kualitas adalah aktivitas keteknikan dan manajemen, yang dengan aktivitas itu kita ukur ciri-ciri kualitas produk, membandingkannya dengan spesifikasi atau persyaratan dan mengansumsi, tindakan penyehatan yang sesuai apabila ada perbedaan antara penampilan yang sebenarnya dan yang standar.

Pengendalian proses statistik pada jalur adalah alat utama yang digunakan dalam membuat produk dengan benar sejak awal. Terdapat alat-alat pengendalian kualitas yang memiliki tujuan yang sama, atau yang biasa lebih dikenal dengan nama Seven tools, Seven tools adalah 7 alat yang dipakai untuk mengendalikan kualitas dengan macam kegunaan dan fungsi yang berbeda namun memiliki tujuan yang sama. Seven tools tersebut antara lain:

1. Histogram

Histogram mempunyai bentuk seperti diagram batang yang dapat digunakan untuk mengetahui harga rata-rata atau central tendency dari nilai data yang terkumpul, harga maksimum dan minimum data, range data, besar penyimpangan atau dispersi terhadap harga rata-rata, bentuk distribusi data yang terkumpul.

2. Check Sheet

Adalah alat bantu untuk memudahkan proses pengumpulan data. Berupa lembaran dengan tabel-tabel untuk pengisian data. Informasi dari lembar pengecekan dipakai untuk menyelidiki trend masalah setiap saat.

3. Diagram Pareto

Diagram ini berguna untuk menunjukkan persoalan utama yang dominan dan perlu segera diatasi dengan suatu grafik yang meranking klasifikasi data dalam urutan terbesar ke terkecil dari kiri ke kanan.

4. Defect Concentration Diagram

Merupakan salah satu alat pengendalian kualitas yang digunakan sebagai alat untuk memastikan lokasi defect yang dapat memberikan informasi tentang penyebab potensial defect. Konsep utama adalah menunjukkan secara langsung letak cacat yang terjadi pada spesimen dengan memberi tanda khusus pada gambar spesimen.

5. Cause-Effect Diagram

Diagram ini disebut juga dengan diagram tulang ikan karena bentuknya seperti ikan. Selain itu disebut juga dengan diagram Ishikawa karena yang menemukan adalah Prof. Ishikawa yang berasal dari Jepang. Diagram ini digunakan untuk menganalisa dan menemukan faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan dalam menentukan karakteristik kualitas output kerja, mencari penyebab-penyebab yang sesungguhnya dari suatu masalah.

Menurut Vincent, akar-akar penyebab dari masalah yang ditemukan melalui ” Mengapa” beberapa kali kepada staf produksi dan pihak manajemen, maka dimasukkan ke dalam diagram sebab-akibat yang telah mengkategorikan sumber-sumber penyebab berdasarkan prinsip 7M, yaitu:

1. Manpower (tenaga kerja) : berkaitan dengan kekurangan dalam pengetahuan (tidak terlatih, tidak berpengalaman), kekurangan dalam keterampilan dasar yang berkaitan dengan mental dan fisik, kelelahan, stress, ketidakpedulian, dll. 2. Machines (mesin-mesin) dan peralatan : berkaitan dengan tidak ada sistem perawatan preventif terhadap mesin-mesin produksi, termasuk fasilitas dan peralatan lain, tidak sesuai dengan spesifikasi tugas, tidak dikalibrasi, terlalu complicated, terlalu panas, dll.

3. Methods (metode kerja) : berkaitan dengan tidak ada prosedur dan metode kerja yang benar, tidak diketahui, tidak terstandarisasi, tidak cocok, dll.

4. Materials (beban baku dan bahan penolong) : berkaitan dengan ketiadaan spesifikasi kualitas dari bahan baku dan bahan penolong yang digunakan, ketidaksesuaian dengan spesifikasi kualitas bahan baku dan bahan penolong yang ditetapakan, ketiadaan penanganan yang efektif terhadap bahan baku dan bahan penolong itu, dll.

5. Media : berkaitan dengan tempat dan waktu kerja yang tidak memperhatikan aspek-aspek kebersihan, kesehatan, dan lingkungan kerja yang kondusif, kekurangan dalam lampu penerangan, ventilasi yang buruk, kebisingan yang berlebihan, dll.

6. Motivation (motivasi) : berkaitan dengan ketiadaan sikap kerja yang benar dan profesional (tidak kreatif, bersikap reaktif, tidak mampu bekerja sama dalam tim, dll), yang dalam hal ini disebabkan oleh sistem balas jasa dan penghargaan yang tidak adil kepada tenaga kerja.

7. Money (keuangan) : berkaitan dengan ketiadaan dukungan finansial (keuangan) yang mantap guna memperlancar proyek peningkatan kualitas Six Sigma yang akan diterapkan.

Gambar 2.2 Diagr am Sebab Akibat (Sumber: Gaspersz, Vincent, 2002)

2.3 Metode Kaizen

Kaizen merupakan istilah dalam bahasa jepang yang berarti“perbaikan berkesinambungan”. Pada penerapannya dalam perusahaan, kaizen mencakup pengertian perbaikan berkesinambungan yang melibatkan seluruh pekerjanya, dari manajemen tingkat atas sampai manajemen tingkat bawah dan karyawan. Kaizen menekankan bahwa tahap pemrosesan dalam perusahaan harus disempurnakan agar hasil dapat meningkat, sehingga dapat disimpulkan bahwa filsafat ini mengutamakan proses. Dalam kaizen dipercaya bahwa proses yang baik akan memberikan hasil yang baik pula. Salah satu langkah awal penerapan kaizen adalah menjalankan siklus Plan-Do-Check-Act (PDCA) untuk menjamin

AKIBAT Manpower Machines Methods Materials Media Motivation Money Akar Penyebab Akar Penyebab Akar Penyebab Akar Penyebab Akar Penyebab Akar Penyebab Akar Penyebab

• Rencana (plan)

Penetapan target untuk perbaikan dan perumusan rencana tindakan guna mencapai target tersebut.

• Lakukan (do)

Pelaksanaan dari rencana yang telah dibuat.

• Periksa (check)

Kegiatan pemeriksaan segala prosedur yang telah dijalankan guna memastikannya agar tetap berjalan sesuai rencana sekaligus memantau kemajuan yang telah ditempuh.

• Tindak (act)

Menindaklanjuti ketiga langkah yang ditempuh sekaligus memutuskankan prosedur baru guna menghindari terjadinya kembali masalah yang sama atau menetapkan sasaran baru bagi perbaikan berikutnya.

Siklus PDCA berputar secara terus menerus dengan diselingi oleh siklus Standarize-Do-Check-Act (SDCA) di antaranya.Dalam langkah Standar (Standarize) pada siklus ini, segala prosedur baru yang telah diputuskan pada langkah Tindak (Act) dalam siklus PDCA sebelumnya disahkan menjadi pedoman yang wajib dipenuhi. SDCA fokus pada kegiatan pemeliharaan, sedangkan PDCA lebih mengacu pada perbaikan.

2.3.1 Pengertian Budaya Kaizen

Suatu keberhasilan kerja, berakar pada nilai-nilai yang dimiliki dan perilaku yang menjadi kebiasaannya. Nilai-nilai tersebut bermula dari adat

kebiasaan, agama, norma dan kaidah yang menjadi keyakinannya menjadi kebiasaan dalam perilaku kerja atau organisasi. Nilai-nilai yang telah menjadi kebiasaan tersebut dinamakan budaya. Oleh karena budaya dikaitkan dengan mutu atau kualitas kerja, maka dinamakan budaya kerja.

Budaya Kerja Jepang dikenal dengan sebutan Kaizen. Kaizen menurut Imai (2008) adalah “kemajuan dan perbaikan terus menerus dalam kehidupan seseorang, kehidupan berumah tangga, kehidupan bermasyarakat dan kehidupan kerja”.

2.3.2 Alat Implementasi Kaizen

Terdapat beberapa alat implementasi kaizen, yakni: 1. Five M Checklist

Alat ini berfokus pada lima faktor kunci yang terlibat dalam setiap proses, yaitu Man (operator atau orang), Machine(mesin), Material (material), Jurnal Teknologi, Volume 4 Nomor 1, Juni 2011, 61-53 81Methods (metode) dan Measurement (pengukuran). Dalam setiap proses, perbaikan dapat dilakukan dengan jalan memeriksa aspek-aspek proses

tersebut.

2. Konsep 3 M (Muda, Mura, dan Muri).

Konsep ini dibentuk untuk mengurangi banyaknya proses kerja, meningkatkan mutu, mempersingkat waktu dan mengurangi atau efisiensi

b. Mura diartikan sebagai pengurangan perbedaan. c. Muri diartikan sebagai pengurangan ketegangan.

3. Five Step Plan

Five Step Plan pada dasarnya merupakan proses perubahan sikap dengan menerapkan penataan, kebersihan, dan kedisiplinan di tempat kerja. Five Step Plan merupakan budaya tentang bagaimana seseorang memperlakukan tempat kerjanya secara benar. Bila tempat kerja tertata rapi, bersih, tertib maka kemudahan bekerja perorangan dapat diciptakan. Dengan kemudahan bekerja ini, empat bidang sasaran pokok industri yang meliputi:

1. Efisiensi Kerja 2. Produktifitas Kerja 3. Kualitas Kerja, dan

4. Keselamatan Kerja dapat lebih mudah dipenuhi.

Salah satu metode perubahan dan perbaikan yang dilakukan banyak perusahaan adalah menerapkan 5S / 5R. 5S / 5R adalah cara untuk meningkatkan produktivitas dengan melakukan kegiatan menata tempat kerja. Karena lingkungan kerja yang nyaman, dan teratur, dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas yang tinggi di perusahaan. Di Jepang, cara ini sudah menjadi budaya kerja dan dikenal dengan 5S, sedangkan di Indonesia disebut 5R, yaitu :

1. Seiri. = Ringkas

3. Seiso. = Resik

4. Seiketsu = Rawat

5. Shitsuke = Rajin

5S / 5R diatas merupakan urutan dalam menata tempat kerja, yang merupakan tanggung jawab semua pekerja, mulai dari CEO sampai Cleaning Service Setiap pekerja bertanggung jawab melakukan penataan tempat kerja kearah yang lebih baik, dan ini harus menjadi budaya perusahaan.

1. Seiri/Ringkas:

Membuang barang barang yang tidak diperlukan, dan menyimpang barang yang diperlukan dengan cara tertentu agar mudah diakses ketika dibutuhkan. Langkah langkah Ringkas :

2. Cek barang di area kerja masing masing

3. Tentukan kategori barang yang dibutuhkan dan tidak dibutuhkan. 4. Beri label merah utk barang yang tidak dibutuhkan.

5. Siapkan tempat untuk membuang barang barang yang tidak dibutuhkan. 6. Secara berkala, buanglah barang barang berlabel merah ke tempat yang telah

disiapkan 2. Seiton / Rapi :

Adalah menyimpan barang sesuai dengan tempatnya. Kerapian adalah seberapa cepat kita menyimpan barang, dan seberapa cepat kita mengambilnya kembali ketika dibutuhkan.

Langkah-langkah Rapi:

a. Rancang metode penempatan barang yang diperlukan, sehingga mudah didapatkan kembali saat dibutuhkan.

b. Tempatkan barang-barang yang diperlukan ke tempat yang telah dirancang dan disediakan.

c. Beri label / identifikasi untuk mempermudah penggunaan maupun pengembalian ke tempat semula.

3. Seiso / Resik:

Adalah membersihkan tempat kerja/lingkungan kerja, mesin/peralatan, dan barang-barang agar tidak terdapat debu dan kotoran. Kebersihan harus dilaksanakan dan dibiasakan oleh tiap karyawan.

Langkah-langkah Resik: a. Sediakan sarana kebersihan

b. Pembersihan tempat kerja secara berkala. c. Peremajaan tempat kerja.

d. Pelestarian Resik 4. Seiketsu / Rawat :

Adalah mempertahankan hasil yang telah dicapai pada 3R sebelumnya dengan menstandarisasikannya.

Langkah Rawat :

a. Tetapkan standar kebersihan, penempatan, dan penataan

5. Shitsuke / Rajin :

Adalah terciptanya kebiasaan pribadi karyawan untuk menjaga dan meningkatkan apa yang sudah dicapai. Rajin di tempat kerja berarti pengembangan kebiasaan positif di tempat kerja.

Langkah langkah melakukan Rajin : a. Tentukan Target bersama

b. Teladan atasan

c. Komunikasi di lingkungan kerja d. Kesempatan belajar

2.3.3 Peneliti Terdahulu

Adapun peneliti terdahulu yang dapat digunakan sebagai acuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Joko Susetyo, Winarni, Catur Hartanto (2003) dengan judul penelitian “Aplikasi DMAIC dan KAIZEN sebagai metode pengendalian dan perbaikan kualitas produk kaos di PT. Mondarin”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan proses berdasarkan produk cacat yang ada dengan pendekatan DMAIC yang kemudian dilakukan pengendalian dengan menganalisis penyebab kecacatan mengunakan seven tools serta mengupayakan perbaikan dengan alat implementasi kaizen berupa kaizen Five step plan, 5W dan 1H, dan Five-M checklist. Setelah dilakukan pengolahan data didapat nilai DPMO sebesar

terdapat 4509,384 kemungkinan produk yang dihasilkan mengalami kecacatan. Perusahaan berada pada tingkat 4,11 sigma dengan CTQ(Critical To Quality) yang paling banyak menimbulkan cacat yaitu dek sebesar 20,76% dari total cacat 22517. Dari hasil analisis maka dapat disimpulkan bahwa penyebab utama kecacatan adalah faktor manusia dan berdasarkan alat-alat implementasi kaizen maka kebijakan utama yang harus dijalankan oleh pihak perusahaan yaitu pengawasaan atau control yang lebih ketat di segala bidang.

2) Purwanto Edi Yuwono (2006) dengan judul penelitian“ Analisis kualitas produk vinyl paper dengan metode DMAIC di PT. Karya Terang Sedati”. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat DPMO dan level sigma dan Menentukan tindakan perbaikan yang dapat dilakikan untuk memperbaiki kualitas produksi vinyl paper di PT.Karya Terang Sedati. Setelah dilakukan pengolahan data yang diperoleh dari data selama bulan januari – juni 2010 dengan jumlah pemeriksaan produk 20.700 dan defect (kecacatan) sebanyak 808 didapat nilai DPMO sebesar 7806 dengan level sigma sebesar 3,92. Adapun usulan perbaikan dengan metode FMEA yang diberikan untuk mengurangi jumlah defect atau kecacatan adalah:

Prioritas 1 : Melakukan perawatan berkala dengan menjadwalkan pengecekan dan perawatan mesin secara berkala. Prioritas 2 : Proses pembersihan dan pelapisanpolyethylene,

silicon, pencampuran bahan lebih lama dan merata. Prioritas 3 : Memberikan arahan dan himbauan pada operator, jika

perlu mengadakan training permesinan yang lebih detail. Prioritas 4 : Membersihkan kotoran sebelum proses produksi dimulai

BAB III

Dokumen terkait