• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap Ahli Waris Terhadap Anak luar Kawin

BAB II KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN MENURUT HUKUM WARIS

2.2. Sikap Ahli Waris Terhadap Anak luar Kawin

Ahli waris adalah mereka yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris baik laki-laki maupun perempuan tergantung dari sifat kekeluargaan yang dianut masyarakat tertentu. Disamping itu pula hukum

31

adat menentukan siapa-siapa yang disebut ahli waris haruslah ditentukan dengan ada tindaknya hubungan darah atau hubungan keturunan antara pewaris dengan ahli waris, dalam hal ini dipergunakan dua garis pokok yaitu :

a. Garis pokok keturunan, yaitu garis hukum yang menentukan urutan-urutan keutamaan diantara keluarga pewaris antara lain:

1. Kelompok keutamaan I ( pertama ) yaitu keturunan pewaris dalam hal ini si anak.

2. Kelompok keutaman II (dua) yaitu orang tua pewaris ayah dan ibu.

3. Kelompok keutamaan III (tiga) yaitu saudara-saudara pewaris dan keturunanya.

4. Kelompok keutamaan IV (empat) yaitu kakek dan nenek. b. Garis pokok penggantian adalah garis hukum yang bertujuan

menentukan siapa diantara orang – orang dalam kelompok keutamaan tertentu tampil sebagai ahli waris. Yang benar – benar menjadi ahli waris adalah :

1. Orang yang tidak ada hubungannya dengan pewaris

2. Orang yang tidak ada lagi penghubungannya dengan pewaris32

Pada masyarakat Bali dikenal adanya dua macam anak luar kawin yaitu :

a. Anak bebinjat, yaitu anak luar kawin yang biaanya tidak diakui atau tidak diketahui siapa bapaknya.

32 Suejono Suckamto dan Yusuf Usman, 1987, Kedudukan Janda menurut Hukum Adat Waris Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 19

32

b. Anak astra, yaitu anak luar kawin dimana kasta si laki–laki lebih tinggi daripada kasta ibun atau ibunya tudak berkasa dari anak astra tersebut. Dalam hal ini bapak anak astra diketahui, tetapi tidak dilaksanakannya perkawinan yang sah.

Kedua istilah tersebut dipergunakan untuk menyebutkan anak yang lahir tanpa perkawinan yang sah. Anakastradan anak bebinjat

tersebut tetap tidak dapat sebagai ahli waris bagi ayah yang mengadakannya, akan tetapi berdasaran kebijaksanaan kemanusiaan kadang-kadang dapat diberi jiwadana (hadiah, pemberian yang tidak mengikat). Anak astra dan anak bebinjat hanya mempunyai hubungan serta hak mewaris pada ibunya saja. Walaupun anak astra diketahui bapaknya (yang mengadakannya) tetapi tetap tidak mewaris, karena si ayah hanya mengaku mengadakannya, tetapi tidak untuk dikawini sah (hanya dijadikan selera saja). Walaupun semua kebutuhan sandang pangan ditanggung sang ayah. Misalnya, si laki-lakinya orang puri dan sudah beristri kemudian mengadakan hubungan dengan perempuan orang bukan berkasta (orang luar puri atau orang sudra).

Dari beberapa pendapat seperti yang dikemukakan para ahli sepertiI Gusti Ketut Shuta dan beberapa pendapat lainya dapat di katakana bahwa Anak luar kawin hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Konsep ini hampir sama dengan konsep-konsep hukum adat pada umumnya.

Pada masyarakat Bali, kedudukan anak luar kawin (astra) dimungkinkan dapat diterima dalam masyarakat dengan alasan-alasan

33

tertentu. Misalnya mengesahkan anak luar kawin dengan melakukan pembayaran adat dan diupacarai adat, sehingga anak luar kawin dapat diterima dan tinggal dalam masyarakat serta dapat berhubungan dengan ibunya. Masyarakat yang bersistem kekerabatan matrilineal adalah masyarakat yang menganut sistem garis keturunan perempuan atau garis ibu, sehingga sebagai penerus keturunan adalah perempuan, namun sebagai ahli waris adalah semua anak baik perempuan maupun anak laki-laki dari harta peninggalan ibunya.

Pada masyarakat adat yang menggunakan sistem kekeluargaan yang bersifat parental mengakui adanya anak luar kawin yang dipersamakan dengan anak sah dengan syarat tertentu seperti melalui pengakuan terhadap anak ataupun sikap dan kelakuan yang ditunjukan oleh anak tersebut kepada anak biologisnya. Dengan adanya pengakuan terhadap anak luar kawin dan apabila sikap dan kelakuan anak tersebut dianggap baik maka anak tersebut dapat mewarisi dari ayah biologisnya. Namun, pembagian warisan ini hanya berdasarkan pada asas parimirma

dengan dasar welas asih dan kerelaan. Sehingga anak luar kawin dan keluarga dari ibu anak tersebut tidak memiliki hak menurut terhadap harta warisan dari bapak biologisnya. Dasar hukum adat terhadap pemberian warisan terhadap anak luar kawin tidak ada, besarnya pembagian hanya berdasarkan kerelaan sebesar apa dan barang apa yang akan diberikan oleh keluarga bapak biologisnya atau berupa wasiat yang dapat berisi apa saja yang akan diberikan oleh bapak biologisnya.

34

Sikap ahli waris terhadap anak luar kawin, menurut I Nyoman Sudarsana, tidak ada diskriminasi antara anak luar kawin dengan anak kandung daripewaris, hanya saja yang membedakannya adalah memberikan wangsa antara anak kandung dengan anak Astra (Anak Luar Kawin), dalam anak kandung akan mendapat gelar wangsa yang sama dengan ayahnya dan anak luar kawin tidak boleh memperoleh gelar wangsa yang sama dengan ayahnya tetapi akan mengikuti gelar wangsa yang sama dengan ibunya. (Hasil wawancara dengan I Nyoman Sudarsana Astra pada tanggal senin, 13 Februari 2017).

35

BAB III

PERLINDUNGAN HAK WARIS ANAK LUAR

KAWIN MENURUT HUKUM ADAT BALI

3.1Sistem Perlindungan Anak Luar Kawin

Mengenai sistem perlidungan anak luar kawinan mengingatkan peraturan dalam hukum keluarga, yang menyangkut pengakuan anak luar kawin dan karenanya mempunyai pengaruh yang besar terhadap hukum waris.

Pengakuan terhadap anak luar kawin dilakukan oleh seseorang dengan cara yang ditentukan undang-undang, bahwa anak luar kawin di akui keberadaanya oleh bapak atau ibunya, seorang dilahirkan diluar perkawinan. Pasal 280 KUHPerdata menyatakan bahwa dengan pengakuan dilakukan terhadap seorang anak yang di lahirkan di luar perkawinan timbul lah hubungan perdata antara si anak dengan bapaknya atau ibunya.

Berdasarkan pasal 280 KUHPerdata dapat dilakukan, bahwa yang dapat mengenai anak luar kawin hanyalah bapak dan ibu biologisnya.

Selanjutnya apabila terjadi pengakuan terhadap anak luar kawin. Yang dilakukan oleh seorang laki-laki ( bukan bapak biologisnya ) maka pengakuan ini diancam dengan pasal 278 KUHP, yang berbunyi:

Barang siapa yang mengakui seorang anaknya menurut peraturan KUHPerdata, padahal diketahui bahwa ia diketahui bukan bapak dari anak tersebut, diancam karena melakukan pengakuan atas anak palsu dengan pidana penjara paling lama 3 tahun.

Dalam praktik pengakuan terhadap anak luar kawin yang dilakukan oleh seorang laki-laki ( bukan bapak biologis) seorang anak luar kawin yang

36

di lakukan seorang wanita yang melahirkan anak luar kawin yang dilakukan oleh seorang wanita yang melahirkan anak tersebut. Hal ini dikarenakan catatan sipil tidak mungkin untuk membuktikan apakah laki-laki tersebut benar-benar bapak biologis dari anak luar kawin.33

Sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan nomer 1 Tahun 1974, pengakuan anak luar kawin menurut KUHPerdata mutlak harus dilakukan, apabila ayah atau ibunya secara biologis menghendaki adanya hubungan perdata dengan anak luar kawin harus dilakukan, apa bila ayah atau ibunya secara biologis menghendaki adanya hubungan perdata dengan anak luar kawin. Sehingga status dan kedudukan anak luar kawin tersebut sama dengan anak sah dan dalam hubungan perdata antara anak luar kawin dengan ayah dalam hal hak mewaris dimana anak luar kawin mempunyai hak untuk memperoleh warisan tergantung dengan siapa ia mewaris.

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974, pasal 280 KUHPerdata tidak berlaku lagi karena sudah diatur dalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yaitu bahwa anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya. Danyang harus mengakui anak luar kawin tersebut hanya bapak biologisnya si anak luar kawin sepanjang menghendaki hubungan perdata dengan bapak atau ibunya. Sehingga status dan kedudukan anak luar kawin menjadi diakui sebagai anak sah dan berhak pula dalam hal pembagian warisan.

Seorang ibu tidak perlu mengakui anak luar kawin karena pasal 280 KUHPerdata kurang peraktis dan tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai

33 J. Satrio, 2000, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang,

37

yang hidup didalam masyarakat, oleh karena itu dengan lahirnya anak luar kawin tersebut, maka demi hukum anak tersebut akan memperoleh hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mulai berlaku pada tanggal diundangkanya dan pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah yang di maksud adalah peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975. Namun demikian, peraturan pemerintah Nomer 9 Tahun 1975 tersebut tidak mengatur keseluruhan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, diantara ketentuan yang diatur dalam peraturan-peraturan Nomor 9 Tahun 1975 antara lain:

1. Ketentuan umum 2. Pencatatan perkawinan 3. Tata cara perkawinan 4. Akta perkawinan 5. Tata cara perceraian 6. Pembatalan perkawinan 7. Waktu tunggu

8. Beristri dari seorang 9. Ketentuan pidana

Dengan demikian belum ada hal yang belum diatur dalam peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tersebut. Hal ini tampak juga sebagaimana yang dinyatakan dalam surat edaran Mahkamah Agung tanggal 20 Agustus Nomer MA/Pemb/0807/75. Surat Edaran tersebut

38

antara lain menyatakan: hal-hal yang belum diatur tersebut dan karenanya belum diperlukan secara efektif adalah:

1. Harta benda dalam perkawinan 2. Kedudukan anak

3. Hak dan kewajiban orang tua dan anak 4. Perwalian

Jadi mengenai anak yang didalamnya termasuk ketentuan anak yang dilahirkan luar perkawinan ini merupakan surat Edaran Mahkamah Agung tersebut belum berlaku secara efektif dan dengan demikian dapat diberlakukan ketentuan/peraturan lama Namun demikian ternyata masih terdapat perbedaan pendapat.

Dasar dari ketentuan anak yang dilahirkan diluar perkawinan belum berlaku secara efektif karena hal tersebut belum atau tidak diatur dalam peraturan-peraturannya sehingga masih berlaku ketentuan lama. Sedangkan ketentuan bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan sudah berlaku secara efektif sehingga masih berlaku ketentuan lama. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan sudah berlaku secara efektif sehingga UU No 1 Tahun 1974 dapat diberlakukan. Antara lain didasarkan pada putusan Mahkamah Agung RI tanggal 29 Juni 1991 dalam perkara No. 1159 K/Pdt/ 1987. Yang pada pokoknya mengatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya.

Putusan Mahkamah Agung: Putusan No.46/PUU-VIII/2010 Putusan No.46/PUU-VIII/2010 ini sebagai hasil dari Judicial review pasal 2

39

ayat (2) dan pasal 46 ayat (1) Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang di ajukan oleh Hj.Aisyah Mochtar alias Machica Bin H.Mochtar Ibrahim dan anaknya yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono terhadap Moerdiono dimana Moerdiono sebagai seorang suami yang telah beristri menikah kembali dengan istrinya yang kedua bernama Hj.Aisyah Mokhtar secara syari’at islam dengan tanpa dicatatkan dalam registrasi akta nikah, oleh karena itu ia tidak memiliki buku kutipan akta nikah dan dari perkawinan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang bernama Muhamad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono.

Dasar adanya judicial review ini ialah pihak dari pemohon merasa hak-hak konstitusinya sebagai warga Negara Indonesia yang dijamin oleh pasal 28 b ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan anak yang dilahirkannya menjadi tidak sah. Dengan berlakunya pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang perkawinan nomor 1 tahum 1974.Perkawinan yang tidak sah berakibat hilangnya status perkawinan antara Moerdiono Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan:

“perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Pada pasal 2 ayat (2) menyatakan:

tiap-tiap pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 43 ayat (1) Undang-undang perkawinan menyatakan:

“anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.

40

Undang-undang Dasar RI 1945 Pasal 28 B ayat (1) yang menyatakan:

“setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.

Pasal 28 B (2) menyatakan:

bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminisasi’’.

pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan bahwa:

“setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum’’.

Atas permohonan Hj. Aisah serta status Muhammead Iqbal Ramdhan tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat mengenai ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan bahwa sesuai penjelasan umum angka 4 huruf (b) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa pencatatan perkawinan bukan faktor yang menentukan sahnya perkawinan, pencatatan merupakan kewajiban administrasi yang diwajibkan berdasarkan Perundang-Undangan oleh karena itu Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak bertentangan dengan Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi juga berpendapat mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang dikonklikasikan dengan anak yang tidak sah. Mahkamah Konstitusi juga berpendapat mengenai anak yang dilahirkan luar perkawinan yang dikonslusikan dengan anak yang tidak sah menurut Mahkamah Konstitusi secara alamiah tidak mungkin seorang

41

perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dengan sperma baik melalui hubungan seksual maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan.

Maka dari itu tidak tetap dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut lah sebagai ibunya karena tidak tepat dan tidak adil pula apabila laki-laki yang membuahi sang anak dibebaskan dari tanggung jawabnya sebagai seorang ayah.

Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 ini mengubah Pasal 43 ayat (1) Undang-Udang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomer 1, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomer 3019) anak menyatakan, “anak yang dilahirkan luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya’’, dimana Pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

Sehingga pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang

42

menyatakan, “Anak yang dilahirkan luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya “, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat seepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “anak yang dilahirkan luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”,

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final. Artinya, tidak ada peluang menempuh upaya hukum berikutnya pasca putusan itu sebagaimana putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan kasasi dan peninjauwan kembali (PK). Selain itu juga ditentukan putusan Mahkamah Konstitusi memiliki ketentuan hukum terhadap sejak dibacakan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan. Semua pihak termasuk penyelenggara Negara yang terkait dengan

43

ketentuan yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi harus patuh dan tunduk terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi. 34

Kalau ditinjau lebih dalam ketentuan anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan ketentuan peraturan lama yaitu KUHPerdata dan hukum adat, pada dasarnya disatu pihak terdapat perbedaan suatu perinsip antara UU No 1 Tahun 1974 dan hukum adat ketentuan terhadap anak yang dilahirkan luar perkawinan adalah bahwa anak yang dilahirkan luar perkawinan secara otomatis mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sedangkan ketentuan KUHPerdata, anak yang dilahirkan luar perkawinan tidak secara otomatis mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Menurut ketentuan KUHPerdata agar terjadi hubungan antara anak yang dilahirkan luar kawin dengan ibunya maka masih diperlukan suatu perbuatan hukum lagi yaitu dengan cara pengakuan terhadap anak tersebut.

Dengan demikian pada dasarnya adanya perbedaan diatas dapat dibenarkan. Hanya saja tentunya, ketentuan KUHPerdata hanya diberlakukan terhadap anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang tunduk pada KUHPerdata. Sedangkan bagi anak luar kawin yang termasuk golongan wara Negara Indonesia asli ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat diberlakukan.

Pada dasarnya baik menurut ketentuan Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 dan hukum adat maupun KUHPerdata anak dapat dibagi ke

34 Vincensia. Esti,Law Review, Vol XII, No. 2 November 2012, “Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-viii/2010 Tentang Anak Luar Kawin Terhadap Perkembangan Hukum Perdata Indonesia”, hal. 291

44

dalam golongan anak sah dan anak yang tidak sah. Anak sah merupakan anak yang dilahirkan atau tumbuh dalam suatu perkawinan. Sedangkan anak tidak sah adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan. Karena dapat perbedaan pendapat tentang berlaku tidaknya ketentuan anak yang di lahirkan di luar perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 , maka terdapat pula perbedaan mengenai macam-macam anak.

Menurut KUHPerdata anak sah adalah anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan selama perkawinan. Sedangkan anak luar kawin tidak sah atau anak alami adalah anak yang dilahirkan diluar atau ditumbuhkan selama perkawinan. Sedangkan anak luar kawin atau anak tidak sah atau anak alami adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah. Kemudian untuk anak yang tidak sah masih dibedakan kedalam pengertian luas dan sempit. Anak luar kawin dalam arti luas adalah anak luar kawin termasuk didalamnya anak zina dan anak sumbang. Sedangkan anak lear kawin didalam arti sempit adalah anak luar kawin yang tidak termasuk anak zina dan anak sumbang.

Anak zina menurut ketentuan KUHPerdata adalah anak yang dilakukan luar perkawinan akibat hubungan seorang wanita dan laki-laki dimana salah satunya atau keduanya masih terikat dengan tali perkawinan yang sah dengan suami atau istrinya.

Sementara itu yang dimaksud dengan anak sumbang adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan oleh mereka yang keduanya dilarang kawin oleh undang-undang misalnya karena masih terdapat hubungan darah yang terlalu dekat.

45

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 hanya membedakan anak sah dan anak luar kawin saja. Perbedaan ini pada dasarnya sama dengan perbedaan menurut hukum adat maupun hukum islam yaitu membedakan anak sah dan anak luar kawin. Hanya saja penyebutan anak luar kawin menurut hukum islam anak zina sedangkan penyebutan menurut hukum adat adalah anak haram atau haram jadah (menurut hukum adat bali anak luar kawin disebut anak astra dan anak bebinjat).

3.2. Penetapan Hak Waris Terhadap Anak luar Kawin Menurut Hukum

Dokumen terkait