• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN MENURUT HUKUM ADAT WARIS BALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN MENURUT HUKUM ADAT WARIS BALI"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

i

HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN MENURUT HUKUM

ADAT WARIS BALI

OLEH :

WAYAN MEMO ARSANA

NPM : 13.10.12.10.126

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS WARMADEWA DENPASAR

2017

(2)

ii

HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN MENURUT

HUKUM ADAT WARIS BALI

OLEH

WAYAN MEMO ARSANA

1310121026

Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

(3)

iii

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa sepanjang pengetahuan saya, di dalam naskah Skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara terang dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.

Apabila pernyataan di dalam naskah ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur jiplakan, saya bersedia Skripsi ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya peroleh (Sarjana Hukum) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Denpasar, 10 Maret 2017

( WAYAN MEMO ARSANA) NPM. 1310121026

(4)

iv

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya atas segala berkat, pertolongannya serta berkah-Nya selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus penulis penuhi guna menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, Denpasar Bali, untuk memperoleh gelar sarjana Hukum. Skripsi ini berjudul “HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN MENURUT HUKUM ADAT

WARIS BALI’’.

Tujuan dari penulisan skripsi ini tidak lain merupakan kewajiban bagi mahasiswa yang hendak mau menempuh ujian akhir guna memperoleh gelar sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Warmadewa.

Dengan kesempatan ini, dengan rasa hormat dan bahagia penulis mengucapkan terimakasih terhadap semua pihak yang telah membantu penulisdan dorongan dari semua pihak dalam menyelesaikan skripsi ini dan semua pihak yang telah menjadi bagian penting selama penulis menjalankan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Warmadewa yaitu :

1. Bapak Prof. dr. Dewa Putu Widjana, DAP&E., Sp. Par.k. Rektor Universitas Warmadewa Denpasar, Bali.

2. Bapak Dr. I Nyoman Putu Budiartha, SH.,MH. Dekan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar, Bali.

3. Ibu Ida Ayu Putu Widiati, SH.,M.Hum. Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar, Bali.

4. Ibu A.A. Sagung Laksmi Dewi, SH.,MH. Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar, Bali.

(5)

v

5. Bapak I Ketut Sukadana, SH.,MH. Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar, Bali, sekaligus menjadi pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu,tenaga, pikiran dalam memberikan petunjuk dan saran-saran sehingga terselesaikannya skripsi ini.

6. Diyah Gayatri Sudibya, SH.,MH. Selaku Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam memberikan petunjuk dan saran-saran sehingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Bapak / Ibu Dosen pengajar di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama penulis berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar, Bali.

8. Bapak / Ibu Pegawai Tata Usaha Fakultas HUkum Universitas Warmadewa yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi.

9. Spesial penulis ucapkan terimakasih untuk kedua Orangtua, Ayahanda Made Birawan. Ibunda Kadek Subadri. Adik-adik tercinta Kadek Era Mahendra , Komang Ari Mahendro, dan Putu Oksa Pramana, atas dukungan dan kasih saying.

10. Terimakasih penulis ucapkan kepada rekan-rekan BEM dan DPM Fakultas Hukum Universitas Warmadewa yang telah memberikan semangat serta dukungan kepada penulis.

11. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada rekan-rekan seangkatan tahun 2013, terutama kelas A 7 yang telah banyak memberikan penulis inspirasi serta dukungan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Denpasar, 25 April 2017

(6)

vi

ABSTRAK

Dalam konteks hukum adat, maka bagi seorang dimungkinkan untuk dapat memilih hukum adatnya, sebagai hukum yang digunakan untuk menyelesaikan masalah kewarisan yang muncul. Sebagai penerus keturunan yaitu penerus hak dan kewajiban dari orang tuanya, anak pada masyarakat Indonesia akan menjadi tumpuan harapan orang tuanya. Juga kewajiban memelihara orang tuanya kelak setelah orang tuanya itu tidak mampu bekerja lagi dan memelihara rumah pekarangan serta tempat ibadah (sanggah/pemerajanserta bangunan suci lainya). Perpindahan mengenai hak dan kewajiban dari pewaris kepada ahli warisnya tersebut tidaklah terlepas dari sistem kekeluargaan yang berlaku pada masyarakat Adat tersebut. Di samping anak sah atau anak kandung pada masyarakat Bali juga di kenal adanya anak luar kawin. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana Kedudukan Hukum Anak luar Kawin menurut Hukum Waris Adat Bali? 2) Bagaimana Perlindungan Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Hukum Adat Bali ?. Metode penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum normatif dengan pendekatan konsep PerUndang-Undangan dan pendekatan perbandingan yang ada sebagai normatif. Simpulan dari hasil penelitian yang dilakukan adalah bahwa kedudukan hukum anak luar kawin menurut Hukum Waris Adat Bali pada intinya anak luar perkawinan yang sah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja, perlindungan Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Hukum Adat Bali belum ada diatur, atau sebagian yang belum dianggap sebagai ahli waris dari garis keturunan purusa maupun predana.

(7)

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGAJUAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN /PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1 2. Rumusan Masalah ... 9 3. Tujuan Penelitian ... 9 1.3.1 Tujuan Umum ... 9 1.3.2 Tujuan Khusus ... 9 4. Kegunaan Penelitiaan ... 10 1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 10 1.4.2 Kegunaan Praktis ... 10 5. Tinjauan Pustaka ... 11 6. Metode Penelitian ... 22

6.1 Tipe Penelitian dan Pendekatan Masalah ... 22

6.2 Sumber Bahan Hukum ... 23

6.3 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 23

6.4 Analisis Bahan Hukum ... 24

BAB II KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN MENURUT HUKUM WARIS ADAT BALI 2.1. Tinjauan Terhadap Anak Luar Kawin ... 25

2.2. Sikap Ahli Waris Terhadap Anak luar Kawin ... 30

BABIII HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN MENURUT HUKUM ADAT BALI 3.1. Sistem Perlindungan Anak Luar Kawin ... 35

3.2. Penetapan Hak Waris Terhadap Anak luar Kawin Menurut Adat Bali ... 45

(8)

viii BAB IV SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan ... 53 4.2 Saran... 54 DAFTAR BACAAN

(9)

1

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Penyelesaian masalah Adat di Bali diselesaikan berdasarkan Peraturan -peraturan Adat (awig - awig).Awig-awig merupakan hukum Adat yang disusun dan harus ditaati oleh krama (masyarakat) desa Adat/Pekraman di Bali untuk mencapai Tri Sukerta. Tri Sukerta antara lain,

Sukerta tata Parahyangan (keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan), Sukerta tata Pawongan (keharmonisan hubungan manusia dengan manusia), dan Sukerta tata Palemahan (keharmonisan hubungan manusia dengan lingkungannya), yang merupakan perwujudan dari ajaran Tri Hita Karana.1

Menurut Wayan Surpha memberikan pengertian Awig – awig yaitu berupa suatu ketentuan mengatur tata karma pergaulan hidup dalam masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang ajeg di masyarakat Bali.2Pihak yang paling berwenang untuk menyelesaikan masalah-masalah

adat yang timbul adalah perangkat Desa Adat dalam hal ini adalah Bendesa

Adat (Kepala Desa Adat) Beserta pamong yang lainnya. Mengingat begitu pentingnya aturan-aturan hukum Adat bagi masyarakat Bali, maka peran penguasa Adat Desa untuk mendamaikan warga Desanya dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh anggota masyarakatnya sangatlah besar.

1https://www.google.co.id/search?q=awig+awig+menurut&oq=awig+awig. Diakses pada

tanggal 20 November 2016

2 SurphaI Wayan,1993,Eksistensi Desa Adat di Bali , penerbit, PT . Upada Sastra,

(10)

2

Disamping itu bagi masyarakat Bali, adanya Majelis Pembina Adat sangat di butuhkan karena juga memegang peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Adapun yang dimaksud dengan Majelis Pembina Adat adalah suatu perangkat Desa yang terdiri dari Kepala Desa Adat (

Bendesa Adat ) di bantu oleh Wakil Kepala Desa Adat, Juru Tulis Bendesa

Adat, Juru Arah, Pemangku(seseorang yang membidangi urusan upacara agama di Pura) dan Bendesa.

Adanya lembaga Adat tersebut bertujuan untuk menjamin adanya keseimbangan dari Adat itu sendiri, namun bukan merupakan jaminan bahwa semua permasalahan yang muncul akan dapat terselesaikan dan semua ini tergantung dari persoalan yang timbul dalam masyarakat saat itu.3

Sampai sekarang ini di Indonesia masih belum bisa ada hukum waris yang berlaku secara Nasional. Aturan-aturan mengenai hukum waris tersebut masih sangat pluralistis, artinya masih berlakunya berapa aturan-aturan hukum waris yang sekarang ini tetap berlaku, yaitu: hukum waris Islam untuk orang-orang Indonesia yang beragama Islam, hukum waris barat berlaku untuk golongan penduduk yang tunduk pada hukum perdata barat dan hukum waris Adat yang berlaku bagi orang-orang yang tunduk pada hukum Adat daerah masing-masing. Dengan demikian dalam penyelesaian masalah kewarisan ini masih terbuka adanya berbagai pihak hukum. Dalam konteks hukum adat, maka bagi seorang dimungkinkan untuk dapat memilih hukum adatnya, sebagai hukum yang digunakan untuk menyelesaikan masalah kewarisan yang muncul.

(11)

3

Sebagai penerus keturunan yaitu penerus hak dan kewajiban dari orang tuanya, anak pada masyarakat Indonesia akan menjadi tumpuan harapan orang tuanya. Juga kewjiban memelihara orang tuanya kelak setelah orang tuanya itu tidak mampu bekerja lagi dan memelihara rumah pekarangan serta tempat ibadah (sanggah/pemerajanserta bangunan suci lainya).4

Perpindahan mengenai hak dan kewajiban dari pewaris kepada ahli warisnya tersebut tidaklah terlepas dari sistem kekeluargaan yang berlaku pada masyarakat Adattersebut.Di samping anak sah atau anak kandung pada masyarakat Bali juga di kenal adanya anak luar kawin.Adapun yang dimaksud dengan anak luar kawin adalah, anak yang di hasilkan dari hubungan biologis yang tidak sah dari seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah, maka anak luar kawin tersebut disebut dengan anak bebinjat.

Anak bebinjat adalah anak tidak diketahui keberadaannya oleh bapak dari anak tersebut dan tidak diketahui siapa bapak dari anak tersebut. Yang dimaksud dengan tidak diketahui disini adalah bisa saja ibu dari anak tersebut hamil karena diperkosa.5

Pada masyarakat Hindu di Bali mengenal dua istilah untuk penyebutan anak luar kawin yaitu anak Bebinjat dan anak Astra, yang mana perbedaanya terletak pada diketahui atau tindakan bapaknya dan masalah

kasta. Terhadap kelahiran anak Astra itu sering terjadi pengakuan dan pengesahan oleh orang tuanya (Bapak biologisnya), maka anak yang

4 Undang-Undang Repoblik Indonesia Nomer 4 Tahun 1970 tentang Kesejahteraan Anak 5 Soeripto, 1979, Hukum Waris Adat Bali, Fakultas Negri Jember, hal.10

(12)

4

bersangkutan menjadi anak sah, sehingga berpengaruh terhadap kedudukan hukum anak astra tersebut dalam pewarisan.

Istilah Astra juga digunakan bila seorang laki-laki brahmana

mempunyai isrti dari golongan dibawahnya dan istrinya itu kebetulan hamil duluan maka anak dari istrinya itu tidak dapat mengunakan gelar Ida bagus.6

Setelah istrinya itu diupacarai secara hindu maka barulah anak selanjutnya dapat mengunakan gelar Brahmananya. Biasanya anak kedua dan seterusnya tidak lagi Astra setelah kedua orangtuaya tadi mengadakan upacara pewiwahan. Anak Astra tersebut biasanya kurang mendapat hak-haknya dibandingkan dari adik-adiknya yang tidak Astra.

Anak Astra biasanya dalam keluarga orag Bali pada umumnya dan

Brahmanakhususnya kurang mendapat hak yang seharusnya karena menurut keluarga, Anak Astratidak mendapat hak warisan atau hak-hak yang seperti adiknya terima, setiap anak memiliki hak yang diatur oleh Undang-Undang yang mana menurut Undang-Undang tadi setiap anak mendapatkan perlindungan hukum sejak dalam kandungan, oleh karena itu siapapun yang melakukan suatu tindakan kekerasan kepda seseorang anak, menelantarkan, melalaikan, esploitasi, menyiksa dan sebagainya terhadap seorang anak berhadapan dengan tuntutan hukum. Seperti yang terdapat di Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 26B ayat 2 yaitu:

“setiap anak berhak atas kelangsungan hidup dan berkembang serta perlindungan atas kekerasan dan kelangsungan hidup dan berkembang serta perlindungan atas kekerasan dan deskriminasi terhadap mereka”.

(13)

5

Keluarga yang memiliki anak dikarenakan hamil duluan pada umumnyamerasa malu karena dia akan memiliki anak Astra, anak Astra yang dalam kebudayaan Adat Bali biasanya tidak memiliki hak yang mana anak

Astra tersebut kehilangan hak-haknya sehingga setatusnya seperti bukan anak kandung. Anak Astra dikalangan kaum brahmana merupakan suatu momok yang memalukan. Anak Astra yang seharusnya tidak disandang oleh seseorang yang karena kesalahan orang tua mereka maka mereka yang harus menanggung hukumanya.

Pengertian anak Astra adalah anak yang terlahir diketahui siapa bapaknya tetapi kedua orang tua biologisnya tersebut belum terikat dalam perkawinan yang sah, serta adanya perbedaan kasta dimana bapaknya berasal dari golongan bangsawan dan ibunya dari golongan sudra.

Anak Astra biasanya tidak mendapat warisan dan mereka biasanya menunggu warisan yang akan dikasi oleh saudara-saudara mereka berapapun bagian yang akan mereka terima.7

Terhadap anak yang lahir luar perkawinan (dalam hukum Adat Bali anak luar kawin disebut anak astra). Tidak semua daerah mempunyai pandanggan yang sama mengenai hubunganya dengan wanita yang melahirkanya serta terhadap bapaknya. Ada sebagiyan daerah yang berpandangn bahwa wanita yang melahirkan anak itu dianggap sebagai ibu anak yang bersangkutan, jadi bisa seperti kejadian normal wanita melahirkan anak dalam perkawinanya yang sah.

7Panetje Gde, 2004, Aeka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, CV. Kayumas Agun,

(14)

6

Tetapi beberapa daerah lainya ada pendapat yang mencela keras si ibu yang tidak kawin beserta anaknya. Bahkan mereka semua lazimnya dibuang dari persekutuan (artinya tidak diakuinya lagi sebagai warga persekutuan), kadang kadang malah dibunuh atau seperti halnya di daerah-daerah kerajaan dahulu mereka itu dipersembahkan kepada Raja sebagai budak. Apakah sebabnya dulu ada tindakan-tindakan yang sekeras ini dibeberapa daerah, sebabnya adalah takut melihat adanya kelahiran yang tidak diakui oleh perkawinan beserta upacara-upacara dan selamatan-selamatan yang diperlukan. Untuk mencegah nasib si ibu beserta anaknya yang malang ini, terdapat suatu tidakan adat yang memaksa si pria yang bersangkutan diwajibkan melangsungkan perkawinan dengan wanita yang karena perbuatannya menjadi hamil dan kemudian melahirkan anak luar kawin.8

Hukum waris mengatur penerusan dan peralihan harta berwujud, dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah meninggal Dunia.Menurut hukum adat waris Bali yang berhak mewaris hanyalah keturunan pria dan pihak keluarga pria dan anak angkat lelaki.9

Sistem pewarisan berdasarkan Adat Bali menganut sistem kebapaan (patrilinial) yang merupakan kebalikan darisistem waris (matrilinial).Dan jika sudah menyinggung kontak-kontak sistem hukum ini, maka masalah untuk masing-masing daerah sangat spesipik.

Hal ini disebabkan sistem hukum kewarisan yang sekarang ini berlaku berlandaskan kepada sistem kekeluargaan yang senantiasa tidak boleh

8Sueripto, K,R,M,H, 1973,Beberapa bab Tentang Hukum Adat Waris Bali, UNEJ, Jember,

hal, 111

(15)

7

dilepaskan begitu saja dengan tujuan Negara ini yaitu menuju suatu sistem kewarisan Nasional.10

Penyelesaiyan masalah Adat di Bali berdasarkan peraturan-peraturan (awig-awig). Desa Adat yang ditetapkan berdasrkan hasil musyawarah seluruh masyarakat Adat.Pihak yang paling berwenang untuk menyelesaikan masalah-masalah Adat yang timbul adalah perangkat desa Adat dalam hal ini adalah bendesa Adat (kepala desa adat) beserta pamong yang lainya.Selain itu juga walaupun anak yang lahir dari sebuah hubungan tanpa ikatan yang sah atau perzinaan itu mereka juga patut mendapatkan hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan hak untuk berkembang.Yang diatur didalam peraturan perundang-undangan HAM (Hak Asasi Manusia).

Anak seharusnya diberikan ruang untuk perlindungan hukum. Dikarenakan anak tersebut tidak melakukan kesalahan apa pun, itu karna perilaku dari kedua orang tua si anak yang menyebabkan kerugian bagi pisikis si anak.

Seiring kedudukan anak luar kawin tersebut bermasalah didalam agama dan hukum, tetapi anak tersebut seharusnya bisa dikatakan berhak untuk mewarisi harta peninggalan orang tuaya berdasarkan hukum dan hukum waris yang berlaku.11Setidak-tidaknya hukum kewarisan yang berlaku

untuk masing-masing tempat di Indonesia ini, tidaklah dibenarkan nantinya bertentangan dengan dasar dari segala peraturan di Indonesia yaitu UUD 1945. Dan dengan berpegang yang satu ini, tentu dimasing-masing daerah akan sulit dihindarkan munculnya masalah-masalah khusus. Bagai mana

10 ArtadiI Ketut, 2012,Hukum Adat Bali,Pustaka Bali Post, Hal,I25-126 11 https://wikisource.org/wiki/Perisytiharan_Hak_Asasi_Manusia_Sejagat

(16)

8

rumitnya masalah itu secara terpisah dirasakan oleh masing-masing suku dengan sistem kekeluargaannya, Hal ini pun juga terasa di Bali.12

Hal tersebut diatas merupakan anak yang dilahirkan luar perkawinan karena perkawinannya tidak sah, karena perkawinan seharusnya memenuhi Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayan itu.

Pada dasarnya perkawinan di Indonesia harus dilaksanakan dengan prosedur sesuai dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, itulah yang dimaksud dengan perkawinan yang sesungguhnya menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Perkawinan dilakukan hanya berdasarkan pasal 43 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, UUNo 1 Tahun 1974 menyebutkan: Anak yang dilahirkan luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.13

Anak yang lahir luar perkawinan tidak sah secara hukum dan juga tidak sah secara Undang-Undang.Maka dari itu penulis bermaksud melakukan penelitian tentang:HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN

MENURURT HUKUM ADAT WARIS BALI.

12Ibid, hal.126

(17)

9

1.2 RumusanMasalah

Berdasarkan latarbelakang tersebut di atas maka yang jadi pokok permasalahanya adalah:

1. Bagaimana Kedudukan Hukum Anak luar Kawin menurut Hukum Waris Adat Bali ?

2. Bagaimana Perlindungan Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Hukum Adat Bali ?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

1. Untuk melaksanakan Tri Dharma khususnya dibidang penelitian. 2. Untuk memperoleh gelar sarjana dalam bidang ilmu hukum. 3. Untuk melatih diri dalam penulisan karya ilmiah.

4. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuandibidang hukum.

5. Untuk mengembangkan diri pribadi mahasiswa kedalamkehidupanbermasyarakat sebelum terjun kemasyarakat.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Bagaimana Kedudukan Hukum Anak luar Kawin menurut Hukum Waris Adat Bali.

2. Bagaimana Perlindungan Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut Hukum Adat Bali.

(18)

10

1.4 KegunaanPenelitian

1.4.1 Kegunaan Teoristis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoristis, dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi dunia pendidikan, khususnya dibidang hukum.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Bagi Penulis

Menambah wawasan penulis mengenai hak waris anak luar kawin menurut Adat Bali sehingga dapat melatih diri untuk menyampaikan gagasan-gagasan ilmiah yang berkaitan dengan masalah kongkrit dalam masyarakat.

2. Pemerintah

Sebagai masukan guna mengingatkan kinerja pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan bagi permasalah-permasalahan dalam masyarakat khususnya mengenai hak waris anak luar kawin menurut Adat Bali agar tidak dapat menimbulkan konflik berkepanjangan di dalam masyarakat. 3. Masyarakat

Sebagai wawasan tambahan mengenai peraturan hukum khususnya hak waris anak luar kawin menurut Adat Bali. Peneliti selanjutnya sebagai bahan refrensi dalam melanjutkan penelitian-penelitian baik berkaitan dengan hak waris anak luar kawin menurut Adat Bali maupun penelitian lainnya.

(19)

11

1.5 Tinjauan Pustaka

Menurut hukum waris Adat Bali, orang meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan disebut pewaris.Terhadap pewaris ini tampak tidak banyak hal yang bisa dikedepankan. Pokok-pokok persoalan hampir sama dengan hukum waris pada umumnya, sehingga para peneliti hukum pewarisan di Bali tidak banyak menguraikan hal ini dikarenakan begitu sedikitnya sumber-sumbertentang hal ini.

Jika bukan orang tua yang menjadi pewaris, misalnya saudara kandung sendiri, maka tidak kelihatan jelas adanya hubungan yang vertical. Saudara yang mempunyai harta kekayaan meninggal, dengan tidak meninggalkan anak dan istri, maka harta warisan akan jatuh ke tangan saudaranya yang lain.Dari segi kewajiban material dari pewaris untuk meninggalkan harta warisan bagi para ahli warisnya nanti, hal sedemikian memang tidak tampak menonjol seperti halnya kewajiban orangtua harus meninggalkan harta warisan demi kelanjutan kehidupan anak-anakya.14

Namun dari segi kewajiban moral pewaris di sini didesak oleh kewajiban pribadi bahkan kepentingan peribadi untuk berusaha tidak menghabiskan sama sekali harta kekayaanya. Oleh karena pada hari kematianya, iya masih memenuhi kebutuhan moral berupa, iya perlu

diaben.Pada hakikatnya biaya pengabenan itu harus diambilkan dari harta peningalan pewaris. Walaupun kewajiban mengaben ini patut dipikul oleh saudara-saudaranya yang terdekat (pewaris).

(20)

12

Secara umum dikatakan anak adalah seseorang yang dilahirkan dari perkawinan antara perempuan dengan laki-laki, tidak menyangkut bahwa seseorang yang dilahirkan oleh wanita meskipun tidak pernah melakukan pernikahan tetap dikatakan anak.15 Sedangkan menurut Pasal 330

KUHperdata :

“Seorang belum dapat dikatakan dewasa jika orang tersebut umurnya belum genap 21 tahun, kecuali seseorang tersebut telah menikah sebelum umur 21 tahun.”16

Sedangkan kewajiban-kewajiban pewaris didalam hal ini,sehubungan dengan harta pewaris di dalam hal pewarisantidak banyak nampak. Sebab iya sendiri (anak) menjadi pusat penentu harta warisan dengan tidak ada hubungan vertikal dengan ahli-ahli waris lain. Namun setidak-tidaknya kewajiban moral (immaterial) dari pewaris tetap harus dijadikan cantolan pertimbanggan.17 Berdasarkan Pasal 283Kitab Undang – Undang Hukum

Perdata, anak yang dilahirkan karena perzinaan atau penodaan darah (incest, sumbang), tidak boleh diakui tanpa mengurangi ketentuan Pasal 273 KUHPer mengenai anak penodaan darah.Maka jika didasarkan pada ketentuan dalam KUHPer, anak zina tidak mendapat warisan dari orang tuanya.Akan tetapi, berdasarkan Pasal 867 KUHPer, anak zina mendapatkan nafkah seperlunya dari orang tuanya.

“Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak berlaku bagi anak-anak yang lahir dan perzinaan atau penodaan darah.Undang-undang hanya memberikan nafkah seperlunya kepada mereka.”

15https://andibooks.wordpress.com/definisi-anak/ 16 Hukum perdata, Wipress, 2008

(21)

13

Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010yang berbunyi Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, sehingga pasal tersebut harus dibaca sebagai berikut:

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”

Melihat pada putusan tersebut, ini berarti anak yang dilahirkan di luar perkawinan (dalam putusan tidak dibedakan antara anak zina dengan anak luar kawin, seperti pada KUHPer) dapat memiliki hubungan perdata dengan ayahnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi.Jika dapat dibuktikan bahwa memang orang tersebut adalah ayahnya, anak tersebut dapat mewaris dari si ayah. Akan tetapi perlu diingat ketentuan dalam Pasal 285 KUHPer tentang perkosaan.

Bahwa apabila terjadi pengakuan dari ayah biologisnya, sehingga timbul hubungan hukum antara si ayah dengan anak luar kawin tersebut, pengakuan anak luar kawin tersebut tidak boleh merugikan pihak istri dan anak-anak kandung dalam hal pewarisan.Artinya, anak luar kawin tersebut tidak mendapat warisan dari ayah biologisnya.Sedangkan dilihat dari Hukum Islam mengenai anak zina, sebagaimana dikatakan dalam artikel Fatwa MUI Juga Melindungi Anak Hasil Perzinaan, berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia yang dibuat pada 10 Maret 2012, setidaknya ada 6 (enam) poin ketentuan hukum yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI yang dipimpin oleh Hasanuddin AF ini. Beberapa diantaranya adalah:

(22)

14

1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah (nafkah) dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya;

2. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya;

3. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir (jenis dan hukuman yang diberikan oleh pihak yang berwenang) terhadap lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk:

a. Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut;

b. Memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah

Hukum waris Adat yang berlaku di Indonesia hingga saat ini terdiri dari beberapa sistem menurut struktur masyarakatnya. Dengan demikian walaupun pengertian tentang warisan itu sama, tetapi proses pewarisan setiap sistem hukum itu selalu berbeda sesuai dengan ketentuan hukumnya masing-masing.

Dalam membicarakan hukum waris Adat tidak bisa terlepas dari sistem kekeluargaan yang dianut masyarakat Bali. Dalam uraian ini akan penulis kemukakan beberapa pengertian tentang hukum Adat waris antara lain menurut Wiryono Projodikoro.Warisan iyalah soal apakah dan bagaimanakah pembagian hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorangpada waktu meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.

Harta warisan dalam hukum waris Adat,harta warisan adalah merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dinilai kesatuan yang tidak dapat berbagai atau dapat dibagi menurut jenis macamnya.Harta warisan tidak boleh dijual sebagai suatu kesatuan dan uang penjualan dibagi-bagi kepada ahli waris. Hukum adat waris dalam garis patrinial mengenai hukum waris menurut adatnya sebagai berikut:

(23)

15 1. Harta warisan yang dapat dibagi-bagi :

Berarti pewaris setelah meningal dunia, maka hartanya dibagi-bagikan kepada ahli warisnya, dalam hal ini adalah anak laki-laki atau kerabat laki-laki yang semestinya harus mewaris.Dalam hukum Adat Bali tidaklah merupakan suatu warisan itu dibagi-bagi setelah waris / pewaris meninggal, sebab banyak dijumpai dan dibenarkan secara hukum Adat di Bali.

2. Harta warisan yang tak dibagi-bagi:

Mayoratpada kekeraban patrinial dikenal adanya aturan perkawinan yang disebut Mayoratlaki-laki iyalah anak laki-laki tertua menjadi ahli waris.Di Bali dalam pewarisan mayorat ini tidak ditetapkan dengan pasti apakah anak laki-laki tertua menjadi ahli waris.Mayoratatau anak bungsu, sebab pada keluarga Raja-raja di Bali biasanya tertualah yang menjadi ahli waris dalam pewarisanmayorat.Mengingat anak tertua mempunyai kewenangan pertama sebagai putra mahkota sebagai pengganti Raja.Sedangkan dalam rakyat kebanyakan anak bungsulah sebagai pewaris.Tetapi kedua hal diatas tidaklah mutlak di antara anak bungsu-sulung dan anak- anak lainya.

Bertitik tolak dari Suepomo yang diantaranya menyebutkan istilah ’’hibah’’. Waris ditetapkan pada sat pewaris masih hidup.

Pelaksanaan hibah ada dua cara:

1. Hibah biasa iyalah hibah yang berlaku segera setelah barang atau harta benda itu dihibahkan atau diserahkan menjadi atas nama ahli waris.

2. Hibah wasiat iyalah Hibah yang berlaku setelah orang itu ( ahli waris) meninggal dunia.

(24)

16

Istilah pewarisan menurut hukum adat Bali dapat berlangsung, baik si pewaris masih hidup maupun setelah meninggal dunia. Di Bali sebagian besar masyarakatnya melakukan proses pewarisan semasih si pewaris masih hidup. Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan bahwa apabila dalam proses pewarisan terjadi sengketa antara ahli waris, maka arwah si pewaris tidak bisa tenang. 18

Masyarakat Indonesia menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang berbeda-beda, mempunyai sistem kekeluargaan yang berbeda-beda pula. Secara teoritis garis keturunan pada dasarnya dapat digolongkan menjadi tiga sistem kekeluargaan atau kekerabatan, yaitu sebagai berikut :

a. Sistem Kekeluargaan Matrilineal. Yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan menurut garis ibu, dimana menurut sistem ini kedudukan perempuan lebih menonjol dibandingkan dengan kedudukan laki-laki dalam hal pewarisan. Contoh: Masyarakat Minangkabau.

b. Sistem kekeluargaan Parental atau Bilateral. Yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan berdasarkan garis bapak dan ibu, di mana menurut sistem ini kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam hal pewarisan adalah seimbang atau sama. Contoh: Masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, dan lain-lain.

c. Sistem Kewarisan Mayorat Yaitu harta peninggalan yang diwariskan baik keseluruhannya maupun sebagai, besar kepada seorang anak saja. Misalnya anak laki-laki tertua saja atau perempuan tertua atau anak yang terkait saja. Seperti halnya di Bali di mana terdapat tak mayorat anak laki-laki yang tertua, dan di Tanah Semendo di Sumatra Selatan dimana terdapat hak mayorat anak perempuan yang tertua.19

18 Oemarsalim, 1991, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia,P.T Rineka Cipta Jakarta,

hal,83

(25)

17

Anak bukan hanya sekedar karunia namun lebih dari itu, anakjuga merupakan amanah dari Tuhan.Setiap anak yang lahir telah melekat pada dirinya berbagai hak yang wajib dilindungi, baik oleh orangtuanya maupun Negara. Hal ini mengandung makna bahwa orang tua dan Negara tidak boleh menyia-nyiakan anak, terlebih menelantarkan anak. Karena mereka bukan saja menjadi aset keluarga tapi juga aset bangsa.

Dengan adanya perkawinan, setiap anak yang lahir dari tempat tidur suami, mutlak menjadi anak sah dari suami tersebut, tanpa memerlukan pengakuan darinya. Dalam Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), perkawinan merupakan dasar terwujudnya pertalian keluarga dan hal ini melahirkan hak dan kewajiban di antara mereka yang termasuk di dalam lingkungan keluarga itu.Anak yang terlahir dalam perkawinan yang sah, maka ia mendapatkan status sebagai anak sah dan secara otomatis memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya. Hal ini disebutkan dalam Pasal 250 KUHPerdata sebagai berikut:

“Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya (tentang anak sah).”

Namun demikian, tidak semua anak terlahir dalam perkawinan yang sah.Realitas sosial menunjukkan bahwa banyak anak-anak yang terlahir luar dari perkawinan yang sah.

Salah satu faktor penyebabnya adalah pesatnya perkembangan zaman dan semakin derasnya budaya asing yang masuk ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan adat dengan membawa perubahan-perubahan yang mengarah pada pergeseran nilai-nilai pandangan hidup serta pola pikir masyarakat, dan mengakibatkan

(26)

18

merosotnya penghargaan terhadap nilai-nilai agama dan moral yang merupakan pandangan hidup tiap-tiap manusia yang seharusnya dijunjung tinggi.20

Anak luar kawin atau yang disebut dengan anak zina tidak dapat dihubungkan kepada ayahnya, karena dalam perbuatan zina tidak bisa dijadikan sebab tetapnyaantara anak dan ayahnya. Ia hanya mempunyai hubungan nasib dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Anak luar kawin yang mempunyai hal untuk mewaris adalah anak luar kawin yang diakui, jika tidak ada pengakuan, maka anak tersebut tidak mempunyai hubugan apa pun.

Pengakuan terhadap anak luar kawin hanyalah bersifat

persoonlijk, artinya bahwa dengan pengakuan timbul hubungan hukumantara anak luar kawin dengan ayah/ibu yang mengakui saja. Pengakuan tersebut harus dilakukan dengan cara-cara tertentu, yaitu didalam akte kelahiran si anak, atau dalam akte perkawinan bapak dan ibu di muka pegawai Catatan Sipil.21

Anak luar kawin yang tidak diakui asas-asas biologisnya dikarenakan ia tidak diakui siapa ayahnya, hanya di akui oleh ibunya saja yang memang benar bahwa ibunya yang melahirkan anak itu. Dengan tidak diakuinya anak tersebut oleh ayahnya, maka anak tersebut bisa dikatakan anak luar kawin. Selain itu juga anak luarkawin tersebut tidak dicatatkanya ia di pegawai Catatan Sipil.

20Abdurahman SH, 1985, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan,

Pressindo, hal. 8

21 Muhamad Jawad Mughniyah Agus Untoro, 1988, Hukum Wris Burgerlijk Wetboek,

(27)

19

Pengakuan dan warisnya menurut hukum Adat dan BW, Anak luar kawin yang diakui berdasarkan pandangan hukum Adat, kalau soaring ibu yang tidak menikah melahirkan anak, maka dalam hubungan hukum anak yang lahir itu hanya mempunyai ibu, dan tidak mempunyai bapak.

Biasanya seseorang yang sedang hamil di luar nikah diusahakan dinikahkan dengan peria yang menyebabkan ia hamil, namun ini tidak selalu memungkinkan, tetapi masyarakat mengangap cukup apabila telah nikah, walaupun pria itu sudah terang bukan pria yang menghamilinya.

Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa pada waktu melahirkan anak, si ibu telah mempunyai suami, maka anak itu anak sah, bukan anak yang lahir dari luar perkawinan. 22

Dalam Burgerlijk Wetboek yang mengatur tentang hubungan hukum tentang warisan antara si ibu dan si anak luar perkawinan, ada peraturan istimewa yaitu tercantum pada pasal 862 s/d 873 BW.

Oleh Burgerlijk Wetboek ada kemungkinan seorang anak tidak hanya mempunyai bapak, melaikan juga tidak mempunyai ibu dalam pengertian, bahwa antara anak dan dengan seorang wanita yang melahirkannya itu, tidak ada perhubungan hukum sama sekali tentang pemberian nafkah, warisan dan lain-lain.

Anatara anak dan ibu baru ada perhubungan hukum, apabila si ibu mengakui anak itu sebagai anaknya, dimana pengakuan itu mesti dilaksanakan dengan sistem tertentu, yaitu menurut pasal 281 BW dalam akte kelahiran si anak atau dalam akte pernikahan.

22 Oemarsalim, 1991, Kelahiran Anak di Luar Pernikahan, Penerbit Renika Cipta Jakarta,

(28)

20

Kemungkinan pengakuan anak yang tidak resmi ini juga dilakukan oleh seorang pria yang mengakui menyebabkan lahirnya anak itu. Sistem pengakuan ini sama dengan pengakuan oleh ibu. Pengakuan oleh bapak tersebut hanya mungkin, bilamana si ibu merestuinya, (pasal 284 BW).

Jadi dengan pandangan hukum Burgerlijk Wetboek ada 3 jenis anak, anak sah, anak luar kawin yang diakui sebagai anak dan anak luar perkawinan yang tidak di akui.

Adapun Peraturan Istimewa dari pasal-pasal 862 s/d 873 BW sebagai berikut:

Pasal 862 merupakan hanya permulaan menunjuk pada pasal-pasal sebagai berikut:

Pasal 863 ayat 1 BW menetapkan demikian :

“Bila mana anak-anak sah serta janda bersama-sama dengan anak diluar pernikahan itu mewaris dari si peningal, maka bagian anak-anak di luar pernikahan itu adalah 1/32 dari bagian anak-anak-anak-anak sah”.

Apabila mereka sama-sama mewaris bersama orang tua atau kakek, nenek dan seterusnya pancer ke atas, serta saudara sekandung dan turunya, maka bagian mereka adalah ½ dari bagian anak sah.

Kalau mereka sama-sama mewaris dengan sanak keluarga yang lebih jauh (sampai tingkat ke-VI ), maka bagian mereka adalah ¼ dari bagian anak sah.

Dari pasal 863 ayat 2 Burgerlijk Wetboek menunjuk pada keadaan, bahwa harta warisan di bagi menjadi dua, iyalah menurut pasal 853 BW, kalau yang meningal tidaik meninggalkan keturunan, janda, orang tua, saudara-saudara atau keturunanya. Dalam masalah ini adalah

(29)

21

separuh bagian dari harta warisan yang ditunjukan kepada para ahliwaris dari pancer si yang meninggal dan sebagaimana halnya diperuntukkan bagi para ahli- ahliwaris dari pancer ibu si yang meninggal.

Dengnan demikian kemungkinan sekali separuh bagian yang satu akan diwarisi hanya oleh kakek dan nenek (kelompok ke-III) dan separuh bagian yang lain bagian saudara-saudara sepupu atau sanak keluarga yang lebih jauh (kelompok ke-IV).

Apabila ini terjadi, maka oleh pasal 863 ayat 2 BW yaitu, bahwa anak luar perkawinanditentukan oleh adanya kakek dan nenek, jadi ½ dan bukan ¼ dari bagian anak sah.

Kalau ahli-ahli waris lain yang berhak atas warisan tidak ada, maka oleh pasal 265 BW menegaskan, bahwa hartawarisan semuanya akan pindah ketangan anak-anak luar kawin.23

Dalam hukum Perdata, anak luar kawin tidak memiliki hubungankeperdataan baik dengan ibu maupun dengan ayahnya, kecuali jika keduanya mengakuinya.Ini berarti bahwa untuk menimbulkan hubungan hukum antara anak yang lahir luar kawin dengan ayah dan ibunya, diperlukan suatu pengakuan terlebih dahulu oleh keduanya. Hal ini dipahami dari ketentuan Pasal 280 KUH Perdata, sebagai berikut:

“Dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya”.

23 Ibid, hal 69-75

(30)

22

Namun, pengakuan ini hanya bisa dilakukan terhadap anak luar kawin selain anak hasil zina dan anak sumbang. Karena menurut Hukum Perdata, anak zina dan anak sumbang tidak dapat diakui.

“Berdasarkan Pasal 272 KUH Perdata: Kecuali anak-anak yang dibenihkan dalam zina atau sumbang, tiap-tiap anak yang diperbuahkan di luar perkawinan, dengan kemudian kawinnya bapak ibunya, akan menjadi sah apabila kedua orang tua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan undang-undang atau apabila pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan sendiri.Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum Perdata mengenal adanya lembaga pengakuan anak.”24

1.6 Metode Penelitian

Adapun metode-metode yang digunakan dalam sekripsi ini adalah: 1.6.1 Tipe penelitian dan Pendekatan Masalah

Tipe penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan tipe penelitian normatif, yaitu melihat dari sisi dokumen dan perundang-undangan yang di peroleh dari hasil penelitian yang kemudian disusun dan dirangkum berdasarkan keseragamanya kemudian disusun serta diananlisis secara deskriptif sehingga memudahkan penalarannya.

Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari pendekatan konsep PerUndang-Undangan dan pendekatan perbandingan yang ada sebagai normatif, sedangkan kualitatif berarti analisis data yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas-asas awal serta menyeluruh meliputi data membuat abstraksi dengan satuan-satuan informasi terkecil guna dikelompok kan

(31)

23

dalam kategori-kategori untuk menyusun pernyataan yang logis dan memperoleh informasi baru yang telah dirumuskan dengan hasil yang didapat untuk memperoleh kesimpulan pokok.

1.6.2 Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian ini bahan hukum yang digunakan adalah normatif.

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer berupa Per Undang-Undangan yang ada hubungannya dengan obyek masalah yang akan di teliti. Yaitu UU NO 1 Tahun 1974 KUHPerdata, Awig – awig dalam pelaksanaanya

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan lebih mendalam mengenai bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.

3. Bahan hukum tersebut akan didukunghasil wawancara dengan informan dari Kelian Adat Banjar Pekandelan.

1.6.3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Sesuai dengan penggunaan data sekunder dalam penelitian ini, maka pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan, mengkaji dan mengolah secara sistematis bahan-bahan keputusan serta dokumen-dokumen yang saling berkaitan. Data sekunder baik yang menyangkutan bahan hukum primer, sekunder dan tersier diperoleh dari bahan pustaka, dengan memperhatikan prinsip pemutakhiran dan relevansi.

(32)

24

Selanjutnya dalam penelitian ini kepustakaan, dengan memperhatikan prinsip pemutakhiran dan relevensi.Selanjutnya dalam penelitian ini keputusan, konsepsi-konsepsi, serta studi dokumen yang terkait.

1.6.4 Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum diperoleh dari pembahasan, pemeriksaan dan pengelompokan ke dalam bagian-bagian tertentu untuk diolah dan dianalis. Hasil analisa bahan hukum akan diinterpretasikan menggunakan metode interpretasi sistematis, gramatikal, dan teleologis yang selanjutnya dituangkan secara deskriptif dalam bentuk skripsi.

(33)

25

BAB II

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN

MENURUT HUKUM WARIS ADAT BALI

2.1 Tinjauan Terhadap Anak luar Kawin

Mengenai anak luar kawin dalam masyarakat hukum adat Bali mempunyai hubungan perdata pada ibu yang melahirkanya, sedangkan terhadap laki-laki yang menyebabkan kelahiran anak tersebut tidak mempunyai hubungan apa-apa. Hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam rumusan yang diberikan oleh I Gusti Ketut Sutha:anak diluar perkawinan/bebinjat, tidak mempunyai hubungan mewaris terhadap laki-laki yang menyebabkan kelahiran anak tersebut, anak tersebut hanya mempunyai hubungan mewaris terhadap ibunya ( yang melahirkanya) dan anak tersebut tidak bisa diakui secara hukum.25

Menurut pendapat di atas tersebut maka jelaslah bahwa anak luar kawin hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, sedangkan terhadap laki-laki yang telah menyebabkan kelahiran anak tersebut tidak ada hubungan hukum sama sekali.

Kedudukan anak yang lahir luar perkawinan mempunyai kedududkan yang lebih rendah dari anak sah, terutama dalam hak-haknya.

25 I Gusti ketut Sutha,1987, Bunga Rampai Beberapa Aspek Hukum, Liberty Jakarta, hal.

(34)

26

Mengenai anak luar kawin menurut pendapat Gede Pudja: Seorang anak yang lahir diluar perkawinan yang sah tidak berhak menjadi ahli waris, walaupun iya dinyatakan anaknya dalam hal ini yang menjadi perhatian adalah terutama mengenai sah tidaknya anak itu sebagai anak sah.26

Menurut pendapat tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa perkawinan menentukan sah tidaknya seorang anak, oleh karena itu sah perkawinan menurut Hukum, Agama benar-benar dipenuhi agar mempunyai kekuatan hukum terhadap anak yang lahir dari perkawinan yang dianggap sah itu.

Selanjutnya I Gede Wayan Pangkat memberikan rumusan mengenai anak liar kawin: Anak-anak lahir diluar nikah, jadi mereka yang lahir dari satu perkawinan yang tidak sah, disebut Astra atau bebinjat, si ibu dapat bertindak untuk anak-anak yang lahir diluar perkawinan sesuai didalam tindakan atau perbuatan hukum.27

Adapun pengertian dari anak luar perkawinan yang telah dikemukakan oleh kalangan ilmuan hukum seperti Soepomo menyebutkan dalam bukunya Bab-Bab Tentang Hukum Adat:

“Anak luar perkawinan adalah mereka secara hukum tidak mempunyai seorang bapak, sehingga hubungan hukum mereka hanya terhadap ibunya saja dan pewaris didalam harta peninggalan ibunya, serta peninggalan dari keluarga ibunya”.

26 Gede Pudja,1977, Hukum Kewarisan Hindu Yang Diresifir ke dalam Hukum Adat di Bali,

CV Janesco, h 99

27 Dr. V.E. Koren diterjemahkan oleh I Gede Wayan Pangkat, 1978, Hukum Adat

Kekeluargaan di Bali, Biro Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Udayana, Denpasar, h 9

(35)

27

Wirjono Prodjodikoro, dalam bukunya Hukum Antar Golongan di Indonesia, menyebutkan anak diluar perkawinan adalah:

“Mereka yang dalam hal tiada perkawinan antara orang perempuan dengan orang laki-laki, melainkan anak maka menurut hukum adat si anak itu tidak mempunyai bapak, tetapi tetap mempunyai ibu yang sah, yaitu si perempuan yang melahirkan itu, antara si ibu dan si anak ada hubungan hukum yang sama seperti dengan anak yang sah”.

Hilman Hadikusuma dalam bukunya Hukum Perkawinan Adat memberikan pengertian mengenai anak luar kawin sebagai berikut :

Anak kandung yang tidak sah (anak luar kawin) ada kemungkinan dalam hidupnya ikut serta bersama ayah dan ibu yang melahirkanya, atau mengikuti orang lain sebagai orang tua yang mengurusnya menjadi anak pria, anak pungut, dan lain-lainya. Dilain hal usaha kesejahteraan anak pertama-tama dan terutama menjadi tanggung jawab orang tuanya.28

Hilman Hadikusuma memberikan rumusan mengenai anak luar kawin, ada kemungkinan sebagai berikut :

1. Tidak berhak sebagai ahli waris, dari orang tua yang melahirkanya baik dari ayahnya maupun dari ibunya.

2. Anak luar kawin hanya berhak sebagai ahli waris dari ibunya yang melahirkan atau kemungkinan dari ayahnya saja tanpa dari ibunya.

3. Anak luarkawin mempunyai hak yang sama dengan anak kandung yang sah sebagai ahli waris dari ibu kandungnya.29

Demikin juga di Bali dijumpai suatu rumusan anak luar kawin (anak bebinjat), anak yang disebutkan itu tidak mempunyai hubungan mewaris terhadap laki-laki yang menyebabkan kelahiran anak tersebut, anak luar kawin tersebut hanya mempunyai hubungan mewaris terhadap ibunya yang melahirkan dan anak luar kawin tersebut tidak bisa diakui secara hukum.

28 Wirjono Prodjodikoro,1981, Hukum Antar Golongan di Indonesia, Sumur Bandung, , h

103

(36)

28

Sedangkan Gde Panetje dalam bukunya aneka Catatan tentang Hukum adat, menjelaskan mengenai hubungan seorang anak yang lahir dari seorang ibu yang tidak kawin sah, tidak ada bedanya dengan seorang anak yang lahir dari perkawinan yang sah.30

Hal ini mengingat hukum kekeluargaan di Bali sifatnya patrilenial (menurut garis keturunan bapak) dan dalam hal ini tidak ada bapak, maka anak itu dalam beberapa hal masuk golongan ibunya, akan tetapi tidak dalam segala hal. Misalnya: mewarisi harta peninggalan ibunya sebagaimana halnya dengan anak sah tetapi tidak boleh mewarisi pada keluarga ibunya karena ahli waris dalam hukum adat Bali hanya ditentukan garis pancer laki. Sedangkan anak luar kawin dari seorang ibu dianggapa dari pancer perempuan.

Di Bali anak luar kawin disebut anak bebinjat atau anak

astra.Bebinjat dan astra di Bali mempunyai pengertian yang berbeda. Anak bebinjatialah, anak yang bapaknya sama sekali tidak dikenal atau si ibu tidak dapat menunjukkan lelaki yang membuahi dirinya.

Anak astra adalah, anak yang ayahnya memegang diketahui tetapi si anak lahir lebih dahulu sebelum sempat dilakukan upacara pernikahan, yang disebutkan oleh bermacam-macam hal, seperti halnya karena tidak terdapat hari baik untuk menyelesaikan hari perkawinan. Perlu diketahui bahwa pengertian astra selalu dihubungkan dengan laki-laki yang membuahi ibunya adalah orang yang dari golongan triwangsa (tiga

(37)

29

golongan derajat berbeda) yang di Bali disebut golongan Puri atau Bangsawan.

Hal ini lebih jelas diketahui dari definisi anak astra yang dikemukakan oleh Gde Puji sebagai berikut:Anak astra adalah anak yang lahir sebagai akibat hubungan perkawinan yang tidak sederajat.31

Berdasarkan uraiyan anak luar kawin tersebut diatas, dapat dikemukakan mengenai pengertian dari pada anak luar kawin menurut hukum adat Bali pada umumnya adalahmereka yang lahir dari seorang ibu tanpa suatu perkawinan yang sah.

Anak luar kawin secara hukum tidak mempunyai bapak yang sah. Karena anak luar kawin hanya mempunyai ibu, sehingga hubungan hukumnya hanya satu garis saja, yaitu dari garis ibu yang melahirkanya.

Sedangkan hukum adat Bali, dijelaskan bahwa anak luar kawin tersebut adalah anak yang lahir luar perkawinan oleh seorang perempuan yang mana bapak dari anak yang lahir diketahui identitasnya tetapi karena satu hal anak terlebih dahulu lahir dari pada dilakukanya suatu upacara perkawinan.

Anak yang lahir luar perkawinan adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan tanpa suatu upacara perkawinan dan si perempuan tidak dapat menunjukkan lelaki mana yang mempunyai janin di dalam kandungannya. Bila di pandang dari segi hukum adat umumnya seorang ibu yang tidak kawin melahirkan anak maka dalam hubungan hukum anak itu hanya mempunyai ibu dan tidak mempunyai bapak. Biasanya

31 Cokorda Istri Putra Astiti, 1984, Hukum Adat II Bagian I Biro Dokumentasi dan Publikasi

(38)

30

pada masyarakat hukum adat seorang wanita yang hamil tanpa perkawinan dimana diusahakan agar dikawinkan dengan laki-laki yang menyebabkan ia hamil, namun hal ini tidak dapat dilakukan demikian, akan tetapi dapat juga dilakukan dengan lelaki lain atau dilakukan perkawinan secara simbolis.

Bila tidak ada laki-laki yang mengawini wanita yang hamil diluar perkawinan tersebut, maka anak yang lahir dikemudian hari hanya mempunyai ibu dan tidak mempunyai bapak, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin, dan anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarga maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang secara wajar. Dan anak berhak atas layanan untuk menggembangkan kemampuan kehidupan bersosial sesuai dengan kebudayaan dan keperibadian bangsa untuk menjadi anak yang berguna.

Dengan demikian maka seorang anak luar kawin hanya mempunyai hubungan mewaris dengan ibunya, yaitu mewaris harta peninggalan ibunya, sebaiknya apabila anak luar kawin itu meninggal maka harta peninggalannya di warisi oleh ibunya.

2.2.Sikap Ahli Waris Terhadap Anak Luar Kawin

Ahli waris adalah mereka yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris baik laki-laki maupun perempuan tergantung dari sifat kekeluargaan yang dianut masyarakat tertentu. Disamping itu pula hukum

(39)

31

adat menentukan siapa-siapa yang disebut ahli waris haruslah ditentukan dengan ada tindaknya hubungan darah atau hubungan keturunan antara pewaris dengan ahli waris, dalam hal ini dipergunakan dua garis pokok yaitu :

a. Garis pokok keturunan, yaitu garis hukum yang menentukan urutan-urutan keutamaan diantara keluarga pewaris antara lain:

1. Kelompok keutamaan I ( pertama ) yaitu keturunan pewaris dalam hal ini si anak.

2. Kelompok keutaman II (dua) yaitu orang tua pewaris ayah dan ibu.

3. Kelompok keutamaan III (tiga) yaitu saudara-saudara pewaris dan keturunanya.

4. Kelompok keutamaan IV (empat) yaitu kakek dan nenek. b. Garis pokok penggantian adalah garis hukum yang bertujuan

menentukan siapa diantara orang – orang dalam kelompok keutamaan tertentu tampil sebagai ahli waris. Yang benar – benar menjadi ahli waris adalah :

1. Orang yang tidak ada hubungannya dengan pewaris

2. Orang yang tidak ada lagi penghubungannya dengan pewaris32

Pada masyarakat Bali dikenal adanya dua macam anak luar kawin yaitu :

a. Anak bebinjat, yaitu anak luar kawin yang biaanya tidak diakui atau tidak diketahui siapa bapaknya.

32 Suejono Suckamto dan Yusuf Usman, 1987, Kedudukan Janda menurut Hukum Adat

(40)

32

b. Anak astra, yaitu anak luar kawin dimana kasta si laki–laki lebih tinggi daripada kasta ibun atau ibunya tudak berkasa dari anak astra tersebut. Dalam hal ini bapak anak astra diketahui, tetapi tidak dilaksanakannya perkawinan yang sah.

Kedua istilah tersebut dipergunakan untuk menyebutkan anak yang lahir tanpa perkawinan yang sah. Anakastradan anak bebinjat

tersebut tetap tidak dapat sebagai ahli waris bagi ayah yang mengadakannya, akan tetapi berdasaran kebijaksanaan kemanusiaan kadang-kadang dapat diberi jiwadana (hadiah, pemberian yang tidak mengikat). Anak astra dan anak bebinjat hanya mempunyai hubungan serta hak mewaris pada ibunya saja. Walaupun anak astra diketahui bapaknya (yang mengadakannya) tetapi tetap tidak mewaris, karena si ayah hanya mengaku mengadakannya, tetapi tidak untuk dikawini sah (hanya dijadikan selera saja). Walaupun semua kebutuhan sandang pangan ditanggung sang ayah. Misalnya, si laki-lakinya orang puri dan sudah beristri kemudian mengadakan hubungan dengan perempuan orang bukan berkasta (orang luar puri atau orang sudra).

Dari beberapa pendapat seperti yang dikemukakan para ahli sepertiI Gusti Ketut Shuta dan beberapa pendapat lainya dapat di katakana bahwa Anak luar kawin hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Konsep ini hampir sama dengan konsep-konsep hukum adat pada umumnya.

Pada masyarakat Bali, kedudukan anak luar kawin (astra) dimungkinkan dapat diterima dalam masyarakat dengan alasan-alasan

(41)

33

tertentu. Misalnya mengesahkan anak luar kawin dengan melakukan pembayaran adat dan diupacarai adat, sehingga anak luar kawin dapat diterima dan tinggal dalam masyarakat serta dapat berhubungan dengan ibunya. Masyarakat yang bersistem kekerabatan matrilineal adalah masyarakat yang menganut sistem garis keturunan perempuan atau garis ibu, sehingga sebagai penerus keturunan adalah perempuan, namun sebagai ahli waris adalah semua anak baik perempuan maupun anak laki-laki dari harta peninggalan ibunya.

Pada masyarakat adat yang menggunakan sistem kekeluargaan yang bersifat parental mengakui adanya anak luar kawin yang dipersamakan dengan anak sah dengan syarat tertentu seperti melalui pengakuan terhadap anak ataupun sikap dan kelakuan yang ditunjukan oleh anak tersebut kepada anak biologisnya. Dengan adanya pengakuan terhadap anak luar kawin dan apabila sikap dan kelakuan anak tersebut dianggap baik maka anak tersebut dapat mewarisi dari ayah biologisnya. Namun, pembagian warisan ini hanya berdasarkan pada asas parimirma

dengan dasar welas asih dan kerelaan. Sehingga anak luar kawin dan keluarga dari ibu anak tersebut tidak memiliki hak menurut terhadap harta warisan dari bapak biologisnya. Dasar hukum adat terhadap pemberian warisan terhadap anak luar kawin tidak ada, besarnya pembagian hanya berdasarkan kerelaan sebesar apa dan barang apa yang akan diberikan oleh keluarga bapak biologisnya atau berupa wasiat yang dapat berisi apa saja yang akan diberikan oleh bapak biologisnya.

(42)

34

Sikap ahli waris terhadap anak luar kawin, menurut I Nyoman Sudarsana, tidak ada diskriminasi antara anak luar kawin dengan anak kandung daripewaris, hanya saja yang membedakannya adalah memberikan wangsa antara anak kandung dengan anak Astra (Anak Luar Kawin), dalam anak kandung akan mendapat gelar wangsa yang sama dengan ayahnya dan anak luar kawin tidak boleh memperoleh gelar wangsa yang sama dengan ayahnya tetapi akan mengikuti gelar wangsa yang sama dengan ibunya. (Hasil wawancara dengan I Nyoman Sudarsana Astra pada tanggal senin, 13 Februari 2017).

(43)

35

BAB III

PERLINDUNGAN HAK WARIS ANAK LUAR

KAWIN MENURUT HUKUM ADAT BALI

3.1Sistem Perlindungan Anak Luar Kawin

Mengenai sistem perlidungan anak luar kawinan mengingatkan peraturan dalam hukum keluarga, yang menyangkut pengakuan anak luar kawin dan karenanya mempunyai pengaruh yang besar terhadap hukum waris.

Pengakuan terhadap anak luar kawin dilakukan oleh seseorang dengan cara yang ditentukan undang-undang, bahwa anak luar kawin di akui keberadaanya oleh bapak atau ibunya, seorang dilahirkan diluar perkawinan. Pasal 280 KUHPerdata menyatakan bahwa dengan pengakuan dilakukan terhadap seorang anak yang di lahirkan di luar perkawinan timbul lah hubungan perdata antara si anak dengan bapaknya atau ibunya.

Berdasarkan pasal 280 KUHPerdata dapat dilakukan, bahwa yang dapat mengenai anak luar kawin hanyalah bapak dan ibu biologisnya.

Selanjutnya apabila terjadi pengakuan terhadap anak luar kawin. Yang dilakukan oleh seorang laki-laki ( bukan bapak biologisnya ) maka pengakuan ini diancam dengan pasal 278 KUHP, yang berbunyi:

Barang siapa yang mengakui seorang anaknya menurut peraturan KUHPerdata, padahal diketahui bahwa ia diketahui bukan bapak dari anak tersebut, diancam karena melakukan pengakuan atas anak palsu dengan pidana penjara paling lama 3 tahun.

Dalam praktik pengakuan terhadap anak luar kawin yang dilakukan oleh seorang laki-laki ( bukan bapak biologis) seorang anak luar kawin yang

(44)

36

di lakukan seorang wanita yang melahirkan anak luar kawin yang dilakukan oleh seorang wanita yang melahirkan anak tersebut. Hal ini dikarenakan catatan sipil tidak mungkin untuk membuktikan apakah laki-laki tersebut benar-benar bapak biologis dari anak luar kawin.33

Sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan nomer 1 Tahun 1974, pengakuan anak luar kawin menurut KUHPerdata mutlak harus dilakukan, apabila ayah atau ibunya secara biologis menghendaki adanya hubungan perdata dengan anak luar kawin harus dilakukan, apa bila ayah atau ibunya secara biologis menghendaki adanya hubungan perdata dengan anak luar kawin. Sehingga status dan kedudukan anak luar kawin tersebut sama dengan anak sah dan dalam hubungan perdata antara anak luar kawin dengan ayah dalam hal hak mewaris dimana anak luar kawin mempunyai hak untuk memperoleh warisan tergantung dengan siapa ia mewaris.

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974, pasal 280 KUHPerdata tidak berlaku lagi karena sudah diatur dalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yaitu bahwa anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya. Danyang harus mengakui anak luar kawin tersebut hanya bapak biologisnya si anak luar kawin sepanjang menghendaki hubungan perdata dengan bapak atau ibunya. Sehingga status dan kedudukan anak luar kawin menjadi diakui sebagai anak sah dan berhak pula dalam hal pembagian warisan.

Seorang ibu tidak perlu mengakui anak luar kawin karena pasal 280 KUHPerdata kurang peraktis dan tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai

33 J. Satrio, 2000, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang,

(45)

37

yang hidup didalam masyarakat, oleh karena itu dengan lahirnya anak luar kawin tersebut, maka demi hukum anak tersebut akan memperoleh hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mulai berlaku pada tanggal diundangkanya dan pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah yang di maksud adalah peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975. Namun demikian, peraturan pemerintah Nomer 9 Tahun 1975 tersebut tidak mengatur keseluruhan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, diantara ketentuan yang diatur dalam peraturan-peraturan Nomor 9 Tahun 1975 antara lain:

1. Ketentuan umum 2. Pencatatan perkawinan 3. Tata cara perkawinan 4. Akta perkawinan 5. Tata cara perceraian 6. Pembatalan perkawinan 7. Waktu tunggu

8. Beristri dari seorang 9. Ketentuan pidana

Dengan demikian belum ada hal yang belum diatur dalam peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tersebut. Hal ini tampak juga sebagaimana yang dinyatakan dalam surat edaran Mahkamah Agung tanggal 20 Agustus Nomer MA/Pemb/0807/75. Surat Edaran tersebut

(46)

38

antara lain menyatakan: hal-hal yang belum diatur tersebut dan karenanya belum diperlukan secara efektif adalah:

1. Harta benda dalam perkawinan 2. Kedudukan anak

3. Hak dan kewajiban orang tua dan anak 4. Perwalian

Jadi mengenai anak yang didalamnya termasuk ketentuan anak yang dilahirkan luar perkawinan ini merupakan surat Edaran Mahkamah Agung tersebut belum berlaku secara efektif dan dengan demikian dapat diberlakukan ketentuan/peraturan lama Namun demikian ternyata masih terdapat perbedaan pendapat.

Dasar dari ketentuan anak yang dilahirkan diluar perkawinan belum berlaku secara efektif karena hal tersebut belum atau tidak diatur dalam peraturan-peraturannya sehingga masih berlaku ketentuan lama. Sedangkan ketentuan bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan sudah berlaku secara efektif sehingga masih berlaku ketentuan lama. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan sudah berlaku secara efektif sehingga UU No 1 Tahun 1974 dapat diberlakukan. Antara lain didasarkan pada putusan Mahkamah Agung RI tanggal 29 Juni 1991 dalam perkara No. 1159 K/Pdt/ 1987. Yang pada pokoknya mengatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya.

Putusan Mahkamah Agung: Putusan No.46/PUU-VIII/2010 Putusan No.46/PUU-VIII/2010 ini sebagai hasil dari Judicial review pasal 2

(47)

39

ayat (2) dan pasal 46 ayat (1) Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang di ajukan oleh Hj.Aisyah Mochtar alias Machica Bin H.Mochtar Ibrahim dan anaknya yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono terhadap Moerdiono dimana Moerdiono sebagai seorang suami yang telah beristri menikah kembali dengan istrinya yang kedua bernama Hj.Aisyah Mokhtar secara syari’at islam dengan tanpa dicatatkan dalam registrasi akta nikah, oleh karena itu ia tidak memiliki buku kutipan akta nikah dan dari perkawinan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang bernama Muhamad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono.

Dasar adanya judicial review ini ialah pihak dari pemohon merasa hak-hak konstitusinya sebagai warga Negara Indonesia yang dijamin oleh pasal 28 b ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan anak yang dilahirkannya menjadi tidak sah. Dengan berlakunya pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang perkawinan nomor 1 tahum 1974.Perkawinan yang tidak sah berakibat hilangnya status perkawinan antara Moerdiono Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan:

“perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Pada pasal 2 ayat (2) menyatakan:

tiap-tiap pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 43 ayat (1) Undang-undang perkawinan menyatakan:

“anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.

(48)

40

Undang-undang Dasar RI 1945 Pasal 28 B ayat (1) yang menyatakan:

“setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.

Pasal 28 B (2) menyatakan:

bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminisasi’’.

pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan bahwa:

“setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum’’.

Atas permohonan Hj. Aisah serta status Muhammead Iqbal Ramdhan tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat mengenai ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan bahwa sesuai penjelasan umum angka 4 huruf (b) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa pencatatan perkawinan bukan faktor yang menentukan sahnya perkawinan, pencatatan merupakan kewajiban administrasi yang diwajibkan berdasarkan Perundang-Undangan oleh karena itu Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak bertentangan dengan Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi juga berpendapat mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang dikonklikasikan dengan anak yang tidak sah. Mahkamah Konstitusi juga berpendapat mengenai anak yang dilahirkan luar perkawinan yang dikonslusikan dengan anak yang tidak sah menurut Mahkamah Konstitusi secara alamiah tidak mungkin seorang

(49)

41

perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dengan sperma baik melalui hubungan seksual maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan.

Maka dari itu tidak tetap dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut lah sebagai ibunya karena tidak tepat dan tidak adil pula apabila laki-laki yang membuahi sang anak dibebaskan dari tanggung jawabnya sebagai seorang ayah.

Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 ini mengubah Pasal 43 ayat (1) Undang-Udang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomer 1, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomer 3019) anak menyatakan, “anak yang dilahirkan luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya’’, dimana Pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

Sehingga pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang

Referensi

Dokumen terkait

GALIH RANDU KELING NIM. KAJIAN YURIDIS PEMBAGIAN HARTA WARISAN BAGI ANAK DI LUAR PERKAWINAN BERDASARKAN HUKUM WARIS ADAT DI DESA KALIWIRO KECAMATAN KALIWIRO KABUPATEN

GALIH RANDU KELING NIM. KAJIAN YURIDIS PEMBAGIAN HARTA WARISAN BAGI ANAK DI LUAR PERKAWINAN BERDASARKAN HUKUM WARIS ADAT DI DESA KALIWIRO KECAMATAN KALIWIRO

Fanoto Laia: Kedudukan Anak Perempuan dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Nias, 2005 USU Repository © 2006... Fanoto Laia: Kedudukan Anak Perempuan dalam Hukum Waris Adat

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya tulis ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul : HAK WARIS ANAK PEREMPUAN TERHADAP HARTA GUNA KAYA ORANG TUANYA MENURUT

KUHPerdata menyatakan bahwa anak luar kawin yang diakui berhak mendapatkan status keperdatan dari kedua orangtuanya, KUHPerdata juga mengatur persentase pembagian

Berdasarkan seluruh penjelasan di atas serta kekhawatiran peneliti terkait permasalahan hukum yang di alami oleh anak luar kawin pada tatanan aturan positif di Indonesia,

Dalam hal ini seperti hak memelihara anak dan kedudukan anak menurut adat Bali setelah putusnya perkawinan karena perceraian, penulis kemukakan suatu contoh kasus

(2) Anak perempuan sebagai anak tunggal dalam hukum waris adat Bali mewaris dari harta orang tuanya yaitu harta gunakaya orang tuanya yang mana menurut hukum adat Bali