• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : SIKAP BATIN MASYARAKAT JAWA

3.2 Sikap Jujur

3.2 Sikap Jujur

Sikap jujur yakni mempunyai sifat dapat mengandalkan janjinya, menepati janjinya dan juga dapat bersikap adil (Suseno,1985:144)

Bratasena selalu mengedapan kejujuran. Karena setiap hal akan berakhir dengan baik bila semuanya dilandasi dengan kejujuran. Jujur juga harus bersikap adil dan keadilan adalah buah dari kejujuran. Ketika Bratasena mengetahui bahwa pelaku pembakaran pesanggrahan adalah Adipati Kurawa yaitu Purocana, maka bratasena ingin mendengar kejujuran dari Purocana. Kutipan (26) menunjukan hal tersebut berikut ini

(26)Heh Purocana kang hambeg candhala, kowe dadi gedibale Patih Sengkuni, mung tansah mbudidaya mamrih patiku sekadang. Bungah atimu dene tansah munggah pangkatmu, rumongsa mulya dene tansah dijoroki raja brana, nanging samengko rasakna wohing pakartimu, miturut ujaring para tapa wongkang gawe luweng, kanggo sikarananing liyan ya luweng kang di gawe iku bakal kok enggoni dhewe (Hlm 92)

Terjemahan: Heh Purocana yang jahat, kamu menjadi budak Patih Sengkuni, selalu mencari cara untuk kematianku dan saudara-saudaraku. Senang hatimu karena selalu naik pangkat, merasakan kebahagiaan karena selalu diberikan harta kekayaan, tetapi nanti kamu merasakan apa yang menjadi perbuatanmu, menurut ajaran para pertapa orang yang membuat cara untuk membunuh orang lain, cara itu sendiri yang akan menimpa dirinya sendiri.

Dalam kutipan (26) Bratasena ingin mendapatkan pengakuan yang sejujurnya dari Purocana. Apa yang telah diperbuat harus ada pertanggung jawabannya, keadilan akan

menentukan dan menghukum siapa yang salah. Kejujuran dari Bratasena dan Keluarga Pandhawa membawanya ke dalam keselamatan. Kejahatan Purocana membuat Bratasena berbuat seadil-adilnya, siapa yang salah harus dihukum dan yang benar harus dilindungi. Seperti dalam pepatah jawa “sapa sing nandur mesti bakal nggunduh” hal itulah yang terjadi terhadap Purocana yang menanam kejahatan.

Bratasena selalu mengedepankan kejujuran. Ketika bertemu dengan Bethara Nagaraja, dia mengakui bahwa dia tidak bisa berbahasa jawa krama selayaknya yang dilakukan oleh saudara-saudaranya. Kutipan (27) menggambarkan hal tersebut

(27)Emoh, aku rikuh, marga aku ora bisa basa (Hlm 111)

Terjemahan: tidak mau, aku tidak enak, karena aku tidak bisa berbahasa krama

Kutipan (27) menunjukkan sebuah kejujuran Bratasena. Dengan ketegaran hati dia mengakui bahwa tidak bisa berbicara menggunakan bahasa krama baik kepada Bethara Naga Raja, Bethari Nagagini dan lainnya. Tetapi sebuah kejujuran serta sikap apa adanya itu membuat orang merasakan simpati dan senang kepada Bratasena.

Saat Bratasena ingin dinikahkan dengan Bratasena, dalam hatinya merasakan berat. Karena dia melihat kakak tertuanya saja belum menikah. Dengan kejujuran Bratasena menggungkapkan isi hatinya yang tergambar dalam kutipan (28) berikut

(28)Ora marga aku ora seneng, nanging aku wedi wilatan, marga sadulurku tuwa durung rabi, aku kang kabener enom andhingini rabi (Hlm 115)

Terjemahan: Bukan karena aku tidak cinta, tetapi aku takut kualat, karena saudaraku tertua belum menikah, aku yang lebih muda mendahului menikah.

Dalam kutiapan (28) dengan sejujur-jujurnya Bratasena menyatakan bahwa dia mencintai Nagagini. Akan tetapi secara jujur pula dia mengakui bahwa takut akan perasaan

bersalah. Karena dalam etika jawa, orang yang menikah dahulu adalah yang lebih muda. Bratasena masih memegang aturan tersebut dan tidak ingin melanggarnya.

Dalam percintaan Bratasena bukan merupakan sosok yang pandai merayu. Dia lebih menginginkan apa adanya sesuai dengan kemampuan dan apa yang telah dimilikinya. Kutipan (29) menunjukkan ketika Bratasena menyatakan tidak bisa merayu dengan kata-kata yang baik terhadap Nagagini

(29)Menawa sejatine aku ora bisa angrungrum, ya mung sak bisaku timbang gawe cuwa. Bathuke-bhatuke, bhatuke cedhak karo rambute, mripate-mripate sandhing alise. Irunge-irunge, irunge cedhak karo lambene (Hlm 117)

Terjemahan: sebenarnya aku tidak bisa merayu, sebisaku daripada membuat kecewa. Jidatnya-jidatnya, jidatnya dekat dengan rambutnya, matanya-matanya bersandingan dengan alisnya. Hidungnya-hidungnya dekat dengan mulutnya.

Dari kutipan (29) tersebut, terlihat Bratasena mengungkapkan kejujurannya bahwa dia bukan lelaki yang pandai merayu dan romantis. Tetapi karena tidak ingin membuat kecewa dengan apa adanya Bratasena berusaha merayu calon istrinya. Dalam suatu hubungan suami istri, Bratasena mementingkan sebuah kejujuran, keterbukaan dan saling melengkapi agar kehidupan rumah tangga berjalan harmonis.

Disaat Bratasena sedang bercengkrama dengan calon istrinya, Bethara Nagaraja dan saudara-saudaranya datang. Mereka beranggapan Bratasena telah melakukan tindakan semena-mena terhadap Nagagini. Atas tuduhan Bratasena dengan bijak dan penuh kejujuran menjelaskan seperti terdapat dalam kutipan (30) berikut ini

(30)Heemmm dadi kuwi kang dadi sababe, saka pangrasaku selawasku durung tau daksiya marang sepadha, apa maneh milara kang ora dosa. Luwih-luwih bojo kang tak tresnani, yen nganti aku daksiya lan milara, saiba gedhening bebendu kang bakal dak sandhang. Wondene menawa ora percaya, takono dhewe anakmu Nagagini (Hlm 119)

Terjemahan: Heemmm jadi itu yang menjadi penyebabnya, seingatku seumur hidupku belum pernah semena-mena kepada sesama, apalagi menyakiti orang yang tidak berdosa. Lebih-lebih istri yang ku cintai, kalau aku sampai semena-mena dan menyakiti, sangat besar resiko yang akan menimpa diriku. Akan tetapi bila tidak percaya, tanyalah sendiri anakmu Nagagini.

Dari kutipan (30) tersebut ditunjukkan bahwa Bratasena memaklumi tuduhan yang dikatakan oleh Bethara Nagaraja kepadanya. Dengan segala kejujuran dan kerendahan hati, Bratasena menjelaskan bahwa tuduhan itu tidak benar. Dia tidak pernah berbuat semena-mena dan menyakiti orang lain, terlebih dengan istrinya sendiri. Bratasena tidak begitu saja membela diri, agar terjadi salah paham dan tuduhan yang salah, dia meminta Nagagini untuk menjelaskan kepada ayahnya bahwa semua itu tidak benar. Atas kejujuran Bratasena akhirnya masalah tersebut dapat terselesaikan

Dari uraian tersebut di atas, peneliti menyimpulkan bahwa Bratasena adalah sosok yang jujur. Kejujuran itu ditunjukkannya ketika Purocana menerima hukuman atas sebuah keadilan, kejujuran tentang pribadinya yang tidak bisa berbahasa jawa krama, kejujuran bahwa dia adalah laki-laki yang tidak bisa merayu dan kejujuran bahwa dai tidak pernah berbuat semena-mena terhadap orang tidak bersalah. Sikap ini mengakjarkan akan pentingnya sebuah kejujuran terhadap diri sendiri, kejujuran terhadap orang lain dan kejujuran yang menciptakan suatu keadilan.

Dokumen terkait