• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap Nelayan Terhadap Kebijakan Otonomi Daerah, Masuknya

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4 Sikap Nelayan Terhadap Kebijakan Otonomi Daerah, Masuknya

Sikap nelayan baik terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim di Pulau Sebuku dibagi dalam dua kategori berdasarkan jumlah skor dari jawaban masing-masing responden, yaitu negatif

untuk skor 0 hingga 20 dan positif untuk skor 21 hingga 40. Berdasarkan hasil pengisian kuesioner di lapang pada sebanyak 60 responden di dua desa nelayan yaitu Desa Rampa dan Desa Sekapung didapatkan hasil yang disajikan dalam tabel 7.

Tabel 5. Persentase Sikap Nelayan Terhadap Aspek Kebijakan Otonomi Daerah, Masuknya Perusahaan Tambang dan Kondisi Iklim di Desa Rampa dan Desa Sekapung.

Aspek / isu

Desa (%)

Total (%) Desa Rampa Desa Sekapung

Positif Negatif Positif Negatif Positif Negatif

Kebijakan Otonomi Daerah 8,3 41,7 15 35 23,3 76,7 Masuknya Perusahaan Tambang 8,3 41,7 18,3 31,7 26,6 73,4 Kondisi Iklim 31,7 18,3 31,7 18,3 63,4 36,6

Berdasarkan tabel 6, sebanyak 76,7% nelayan memiliki sikap negatif terhadap kebijakan otonomi daerah di Pulau Sebuku, dimana sebanyak 41,7 % nelayan berasal dari Desa Rampa dan 35 % nelayan berasal dari Desa Sekapung. Hal ini karena tidak ada perbedaan antara sebelum dan sesudah otonomi daerah. Bahkan nelayan merasa pengelolaan sumberdaya sebelum otonomi daerah justru lebih baik daripada setelah otonomi daerah. Hasil tangkapan nelayan sejak 10 tahun yang lalu bersamaan dengan otonomi daerah tidak lebih banyak daripada sebelumnya bahkan wilayah tangkap setelah otonomi daerah semakin jauh daripada sebelumnya. Hal ini terkait dengan berkurangnya hasil tangkap yang dirasakan terutama semenjak masuknya perusahaan tambang karena limbah, sehingga nelayan harus mencari hasil tangkapan di lokasi yang lebih jauh daripada sebelumnya. Selain itu, belum ada program maupun bantuan yang ditujukan khusus bagi kehidupan nelayan di Pulau Sebuku. Nelayan merasa tidak dibantu dan diperhatikan oleh pemerintah daerah karena kebutuhan dan keluhan yang

mereka adukan tidak ditanggapi terutama berkaitan dengan kerugian yang dirasakan nelayan karena kehadiran perusahaan tambang yang melakukan operasinya di Pulau Sebuku. Selain itu, peraturan mengenai batas-batas wilayah tangkap dan jalur penangkapan yang diberlakukan sejak sebelum otonomi daerah, sanksinya tidak ditegakkan, sehingga banyak nelayan yang melanggar dan tidak ada sanksi yang membuat mereka jera. Sebanyak 23,3% nelayan memiliki sikap positif terhadap kebijakan otonomi daerah di Pulau Sebuku, dimana sebanyak 8,3% nelayan berasal dari Desa Rampa dan 15% nelayan berasal dari Desa Sekapung. Hal ini terkait dengan adanya salah satu anggota keluarga maupun sanak saudara yang bekerja sebagai perangkat desa dan merasa bahwa kebijakan - kebijakan yang dibuat sudah dirasakan manfaatnya oleh semua lapisan masyarakat, yaitu program bantuan pemerintah untuk masyarakat secara umum di Pulau Sebuku seperti pembangunan fasilitas umum dan infrastruktur desa walaupun belum ada program yang langsung ditujukan bagi kehidupan nelayan.

Sebanyak 73,4% nelayan memiliki sikap negatif terhadap masuknya perusahaan tambang di Pulau Sebuku, dimana sebanyak 41,7 % nelayan berasal dari Desa Rampa dan 31,7 % nelayan berasal dari Desa Sekapung. Hal ini karena masuknya perusahaan tambang di Pulau Sebuku dirasa merugikan nelayan, terlihat dari ketidaksetujuan nelayan jika perusahaan tambang harus tetap beroperasi di Pulau Sebuku. Terkait dengan limbah perusahaan yang mengalir terbawa air hujan ke muara sungai dan diteruskan ke laut. Limbah yang mengalir ke laut lepas mengganggu biota laut. Hal ini berdampak pada jumlah tangkapan yang dapat diperoleh nelayan menjadi berkurang. Selain jumlah tangkapan yang berkurang, wilayah tangkap nelayan juga semakin jauh. Semakin jauh lokasi penangkapan maka akan semakin banyak minyak / bahan bakar yang dibutuhkan untuk menjalankan kapal, sedangkan masuknya perusahaan tambang tidak membantu memenuhi kebutuhan hidup nelayan. Selain limbah yang teralirkan menuju ke laut, perusahaan juga melakukan operasi bongkar muat material hasil tambang di laut.

Material yang terjatuh ke laut saat bongkar muat membuat biota laut berpindah ke lokasi lain, selain itu tak jarang pula nelayan yang melabuhkan jaring untuk mencari tangkapan di sekitar lokasi bongkar muat material tambang

menjadi rusak karena material yang tersangkut pada jaring nelayan. Selain material yang tersangkut di jaring milik nelayan, kayu yang masih tertancap di dasar laut setelah pembuatan bagan tancap untuk meletakan mesin pengeboran di laut oleh perusahaan terkadang tidak habis dibongkar, akibatnya nelayan yang beroperasi dan melabuhkan jaring menjadi rusak karena jaring tersangkut pada kayu karena ketika pasang kayu tidak terlihat bahkan dapat menyebabkan kapal nelayan tertabrak kayu dan tenggelam. Hal ini telah dilaporkan dan diminta pertanggungjawabannya kepada perusahaan, pada awalnya perusahaan memberi ganti rugi, hanya saja pada kasus yang sama dan terjadi pada nelayan lainnya menjadi tidak diperdulikan karena dianggap sengaja menabrakan kapal pada kayu agar mendapat ganti rugi dari perusahaan. Jaring adalah alat tangkap yang digunakan nelayan untuk mencari tangkapan sebagai mata pencaharian utama mereka, sedangkan kerusakan pada jaring membutuhkan modal yang tidak sedikit untuk mengganti dengan jaring yang baru. Harga satu payah mencapai Rp125.000,00-Rp250.000,00.

Sebanyak 26,6% nelayan memiliki sikap positif terhadap masuknya perusahaan tambang di Pulau Sebuku, dimana sebanyak 8,3 % nelayan berasal dari Desa Rampa dan 18,3 % nelayan berasal dari Desa Sekapung. Responden yang memiliki sikap positif sebagian besar adalah responden yang bekerja pada perusahaan. Hal ini terkait dengan kesempatan kerja dimana tidak semua nelayan memenuhi persyaratan kerja pada perusahaan karena faktor pendidikan dan keterampilan, sedangkan nelayan yang bekerja pada perusahaan mendapat jaminan pendapatan pada setiap bulannya. Selain itu, mereka tetap melakukan aktifitas melaut ketika sedang off / pergantian shift sehingga pendapatan yang mereka dapatkan lebih besar karena berasal dari dua sumber. Besarnya angka yang bersikap positif terhadap masuknya perusahaan tambang di Desa Sekapung lebih banyak daripada nelayan di Desa Rampa. Hal ini karena pada awalnya perusahaan tambang batubara masuk di Pulau Sebuku dan kontraktornya di sekitar Desa Sekapung lebih banyak menyerap tenaga kerja yang berasal dari masyarakat lokal sebelum terjadi pemutihan atau pergantian manajemen perusahaan, sedangkan perusahaan tambang bijih besi dan kontraktornya di sekitar Desa

Rampa tidak banyak menyerap tenaga kerja yang berasal dari nelayan di Desa Rampa.

Sebanyak 36,6% nelayan memiliki sikap negatif terhadap kondisi iklim di Pulau Sebuku, , dimana sebanyak 18,3 % nelayan berasal dari Desa Rampa dan 18,3 % nelayan berasal dari Desa Sekapung. Responden yang memiliki sikap negatif ini sebagian besar adalah nelayan yang berasal dari Desa Sekapung. Hal ini terkait dengan letak desa secara geografis yang kemudian sangat dipengaruhi musim ketika akan turun ke laut. Desa Sekapung langsung berhadapan dengan laut lepas ke arah Selat Makassar sehingga ketika terjadi angin musim tenggara atau paceklik, nelayan cenderung memilih istirahat dirumah dan tidak turun ke laut, sehingga pendapatan mereka berkurang. Sebanyak 63,4% nelayan memiliki sikap positif terhadap kondisi iklim di Pulau Sebuku, dimana sebanyak 31,7 % nelayan berasal dari Desa Rampa dan 31,7 % nelayan berasal dari Desa Sekapung. Hal ini karena bagi nelayan di Desa Rampa ketika musim angin tenggara atau paceklik tidak mempengaruhi mereka untuk turun ke laut karena posisi desa yang mengahadap ke Selat Sebuku serta terhalang pulau-pulau lainnya sehingga gelombang dan angin cenderung stabil dan mereka tetap dapat melakukan aktifitas penangkapan di laut.

5.4.1.Hubungan Karakteristik Individu Nelayan dengan Sikap terhadap Kebijakan Otonomi Daerah, Masuknya Perusahaan Tambang dan Kondisi Iklim Di Pulau Sebuku

Hasil uji Rank Spearman dengan menggunakan alpha 10 % atau sama dengan 0,1 tentang hubungan karakteristik individu nelayan dengan sikap terhadap kebijakan otonomi daerah, sikap terhadap masuknya perusahaan tambang dan sikap terhadap kondisi iklim baik dari nelayan di Desa Rampa maupun di Desa Sekapung berdasarkan karakteristik individu nelayan yang dilihat dari usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman melaut. Karakteristik individu nelayan dibagi menjadi 3 kategori, yaitu rendah, sedang dan tinggi, kecuali pendidikan terakhir yang dikategorikan berdasarkan tingkatan pendidikan yang pernah ditempuh oleh responden. Kategori

dari karakteristik individu nelayan dibagi berdasarkan data emic yang ada di lapang.

Tabel 6. Hubungan antara Karakteristik Individu Nelayan dengan Sikap Nelayan Terhadap Aspek Kebijakan Otonomi Daerah, Masuknya Perusahaan Tambang dan Kondisi Iklim.

Aspek / isu

Karakteristik individu nelayan usia Tingkat pendapatan Tingkat pendidikan Jumlah tanggungan keluarga Pengalaman melaut Kebijakan otonomi daerah .082 .066 .066 -.032 -.117 Masuknya perusahaan tambang -.185 -.238 .281* .057 -.293* Kondisi iklim .181 -.113 -.064 .154 .227 Keterangan :

**. Korelasi signifikan pada taraf nyata 0.01 *. Korelasi signifikan pada taraf nyata 0.05

Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian hipotesis, didapatkan angka korelasi antara variabel karakteristik individu nelayan yaitu pengalaman melaut dengan sikap terhadap kondisi iklim adalah sebesar 0,081. Karena P value (Sig. (2-tailed)) < alpha (0,1=10%) maka terima H1, artinya ada korelasi antara variabel karakteristik individu nelayan yaitu pengalaman melaut dengan sikap terhadap kondisi iklim. Hipotesis bahwa semakin tinggi pengalaman melaut maka semakin positif sikap nelayan terhadap kondisi iklim diterima. Artinya ada kecenderungan semakin tinggi atau lama pengalaman nelayan melakukan aktifitas di laut maka semakin positif sikap mereka terhadap kondisi iklim. Nelayan yang semakin tinggi tingkat pengalaman melaut maka semakin baik keterampilan dan pengetahuannya terhadap kondisi di laut. Pengalaman melaut termasuk diantaranya mampu menentukan jenis biota yang sedang musim, dimana lokasi yang strategis untuk melakukan penangkapan dan jenis jaring apa yang digunakan

sesuai jenis tangkapan serta mampu membaca keadaan cuaca dan kondisi iklim yang baik untuk turun ke laut. Di samping itu, musim tangkap di Pulau Sebuku cenderung stabil dimana kondisi iklim yang terjadi juga lebih mudah untuk di prediksi. Maka dari itu, semakin tinggi pengalaman akan semakin paham juga pada kondisi di laut. Pemahaman yang baik terhadap kondisi iklim berdampak terhadap jumlah tangkapan yang dapat diperoleh.

Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian hipotesis, didapatkan angka korelasi antara variabel karakteristik individu nelayan yaitu tingkat pendidikan dengan sikap terhadap masuknya perusahaan tambang adalah sebesar 0,030. Karena P value (Sig. (2-tailed)) < alpha (0,1=10%) maka terima H1, artinya ada korelasi antara variabel karakteristik individu nelayan yaitu tingkat pendidikan dengan sikap terhadap masuknya perusahaan tambang. Hipotesis bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin positif sikap nelayan terhadap masuknya perusahaan tambang diterima. Artinya ada kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan nelayan maka semakin positif sikap mereka terhadap masuknya perusahaan tambang. Nelayan yang menempuh tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki lebih banyak kesempatan terhadap alternatif jenis pekerjaan yang dapat mereka lakukan di luar nelayan, termasuk bekerja pada perusahaan tambang. Hal ini terkait dengan salah satu syarat untuk bekerja menjadi pegawai di perusahaan tambang sekitar yaitu memiliki ijazah dan atau memiliki kemampuan / skill.

Bekerja pada perusahaan memiliki jaminan pendapatan yang pasti pada setiap bulannya. Bahkan, nelayan yang bekerja di perusahaan tambang tetap dapat melakukan aktifitas turun ke laut ketika off dan atau ganti shift kerja, sehingga penghasilan mereka dapat berasal dari dua sumber. Maka dari itu, semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin baik atau positif sikap nelayan terhadap masuknya perusahaan tambang karena mereka memiliki peluang yang lebih besar untuk bekerja pada perusahaan. Begitu pula sebaliknya, nelayan yang memiliki tingkat pendidikan rendah, maka semakin negatif sikap mereka terhadap masuknya perusahaan tambang. Hal ini karena attachment mereka tinggi pada pekerjaan sebagai nelayan sementara alternatif pada pekerjaan lainnya rendah. Rendahnya attachment ini dikarenakan pekerjaan lain terutama menjadi pegawai di perusahaan tambang sekitar tidak memenuhi syarat ijazah dan kemampuan /

skill. Maka dari itu, sikap mereka negatif terhadap masuknya perusahaan tambang karena tidak banyak menyerap tenaga kerja dan kecilnya peluang mereka untuk dapat bekerja di perusahaan tambang ataupun alternatif pekerjaan lain.

Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian hipotesis, didapatkan angka korelasi antara variabel karakteristik individu nelayan yaitu tingkat pendapatan dengan sikap terhadap masuknya perusahaan tambang adalah sebesar 0,067. Karena P value (Sig. (2-tailed)) < alpha (0,1=10%) maka terima H1, artinya ada korelasi antara variabel karakteristik individu nelayan yaitu tingkat pendapatan dengan sikap terhadap masuknya perusahaan tambang namun hubungannya berbanding terbalik. Hipotesis bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin positif sikap nelayan terhadap masuknya perusahaan tambang diterima. Artinya ada kecenderungan semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin negatif sikap nelayan terhadap masuknya perusahaan tambang karena hubungannya berbanding terbalik. Tingginya pendapatan yang diperoleh nelayan artinya banyak hasil tangkapan nelayan yang dijual kepada agen. Nelayan yang memiliki tingkat pendapatan tinggi adalah nelayan yang rajin melakukan aktifitas melaut dengan pengalaman melaut yang tinggi. Hal ini terkait dengan kemampuan mereka membaca dan memahami kondisi iklim dan keadaan di laut. Pemahaman yang baik terhadap kondisi iklim dan keadaan di laut berdampak terhadap jumlah tangkapan yang dapat diperoleh. Nelayan yang memiliki tingkat pendapatan dari hasil melaut tinggi merasa nyaman dan menggantungkan hidup untuk tetap bekerja dilaut terkait dengan minimnya kesempatan mereka bekerja di luar menjadi nelayan, sehingga apabila terdapat sesuatu yang mengganggu livelihood

mereka di laut, mereka lebih sensitif dan merasa terusik. Terkait dengan hal tersebut, masuknya perusahaan tambang tidak terlepas dari limbah yang berdampak terhadap pencemaran di laut terutama pada biota tangkapan nelayan baik langsung maupun tidak langsung menyebabkan biota yang dapat ditangkap nelayan menjadi berkurang. Maka dari itu, semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin semakin negatif sikap nelayan terhadap masuknya perusahaan tambang.

Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian hipotesis, didapatkan angka korelasi antara variabel karakteristik individu nelayan yaitu pengalaman melaut

dengan sikap terhadap masuknya perusahaan tambang adalah sebesar 0,023. Karena P value (Sig. (2-tailed)) < alpha (0,1=10%) maka terima H1, artinya ada korelasi antara variabel karakteristik individu nelayan yaitu pengalaman melaut dengan sikap terhadap masuknya perusahaan tambang, namun hubungannya berbanding terbalik. Hipotesis bahwa semakin tinggi pengalaman melaut maka semakin positif sikap nelayan terhadap masuknya perusahaan tambang diterima. Artinya ada kecenderungan semakin tinggi tingkat pengalaman melaut maka semakin negatif sikap mereka terhadap masuknya perusahaan tambang karena hubungannya berbanding terbalik. Nelayan yang memiliki pengalaman cukup lama di laut mendapat hasil tangkap lebih banyak karena semakin baik keterampilan dan pengetahuannya terhadap kondisi di laut. Pengalaman melaut termasuk diantaranya mampu menentukan jenis biota yang sedang musim, dimana lokasi yang strategis untuk melakukan penangkapan dan jenis jaring apa yang digunakan sesuai jenis tangkapan serta mampu membaca keadaan cuaca dan kondisi iklim yang baik untuk turun ke laut mereka juga menyadari dampak- dampak yang dirasakan terutama setelah perusahaan beroperasi di Pulau Sebuku. Nelayan yang memiliki pengalaman tinggi berasal dari golongan nelayan yang cenderung sudah tua. Nelayan yang lebih tua memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah, dimana rendahnya tingkat pendidikan maka rendah pula attachment

mereka terhadap alternatif pekerjaan lainnya dan semakin kecil pula kesempatan mereka bekerja di luar nelayan termasuk di perusahaan tambang. Nelayan yang memiliki tingkat pendapatan dari hasil melaut tinggi sudah merasa nyaman dan menggantungkan hidup untuk tetap bekerja dilaut terkait dengan minimnya kesempatan mereka bekerja di luar menjadi nelayan, sehingga apabila terdapat sesuatu yang mengganggu livelihood mereka di laut, mereka lebih sensitif dan merasa terusik. Terkait dengan hal tersebut, masuknya perusahaan tambang tidak terlepas dari limbah yang berdampak terhadap pencemaran di laut terutama pada biota tangkapan nelayan baik langsung maupun tidak langsung menyebabkan biota yang dapat ditangkap nelayan menjadi berkurang. Sehingga mereka memiliki sikap yang negatif terhadap masuknya perusahaan tambang.

Beberapa variabel tidak memiliki korelasi dengan sikap terhadap faktor eksternal, baik terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan

tambang maupun kondisi iklim. Diantaranya adalah usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman melaut dengan sikap terhadap kebijakan otonomi daerah. Karena P value (Sig. (2-tailed)) > alpha (0,1=10%) maka terima Ho, artinya tidak ada korelasi antara variabel karakteristik individu nelayan yaitu usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman melaut dengan sikap terhadap kebijakan otonomi daerah.

Hal ini karena otonomi daerah yang berlaku ditandai dengan pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah termasuk dalam bidang pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, namun yang terjadi di Pulau Sebuku kebijakan dan aturan dilaut masih mengacu kepada aturan lama sebelum otonomi daerah, belum ada kebijakan yang dibuat untuk mengelola dan mengatur sumberdaya perikanan dan kelautan di era otonomi daerah. Selain itu, tidak ada program maupun bantuan yang ditujukan khusus bagi kehidupan nelayan. Pemberian kewenangan dari pusat pada daerah tidak berdampak apa-apa terhadap kehidupan nelayan di Pulau Sebuku dari tahun ke tahun.

Selain itu, variabel karakteristik individu nelayan yaitu usia dan jumlah tanggungan keluarga dengan sikap terhadap masuknya perusahaan tambang, usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah tanggungan keluarga dengan sikap terhadap kondisi iklim. Karena P value (Sig. (2-tailed)) > alpha (0,1=10%) maka terima Ho, artinya tidak ada korelasi antara variabel karakteristik individu nelayan yaitu usia dan jumlah tanggungan keluarga dengan sikap terhadap masuknya perusahaan tambang serta usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah tanggungan keluarga dengan sikap terhadap kondisi iklim.

BAB VI

Dokumen terkait