• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap Terhadap Kesetaraan Gender Dalam Kegiatan Perikanan Pantai Tujuan antara yang kedua dari penelitian ini adalah menganalisis sikap

RIWAYAT HIDUP

BAB 4 KONDISI UMUM

1. Reproduktif Jenis makanan v

5.3 Sikap Terhadap Kesetaraan Gender Dalam Kegiatan Perikanan Pantai Tujuan antara yang kedua dari penelitian ini adalah menganalisis sikap

komunitas pesisir terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai. Untuk mengukur sikap responden terhadap pembangunan perikanan pantai dan kesetaraan gender digunakan kuesioner dengan rskala Likert (lihat Lampiran 3). Skor mentah dari skala Likert kemudian diubah menjadi skor T dan diinterpretasikan menjadi kategori sikap setuju (sikap positif) atau tidak setuju (sikap negatif) terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai (Lampiran 4).

Hipotesis kedua dari penelitian ini yaitu sikap pelaku perikanan pantai terhadap pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan gender memiliki hubungan dengan latar belakang sosial-ekonomi-budaya. Untuk menguji hipotesis tersebut dilakukan uji korelasi antara sikap responden terhadap kesetaraan gender dalam perikanan dengan beberapa variabel sosial budaya dan sosial ekonomi. Hasil uji korelasi (hasil olah data dengan software SPSS versi 11.5 pada Lampiran 5) adalah sebagai berikut.

(1) Analisis korelasi antara sikap dan tingkat pendidikan formal

Analisis korelasi Spearman digunakan untuk menganalisis hubungan antara sikap dan tingkat pendidikan formal responden. Analisis korelasi Spearman bertujuan untuk mengetahui korelasi atau hubungan antara dua variabel yang mempunyai skala pengukuran ordinal. Tingkat pendidikan formal responden yang paling rendah adalah tidak bersekolah, sedangkan yang paling tinggi adalah tidak lulus SLTA. Hipotesis penelitiannya adalah terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dan tingkat pendidikan formal.

Hasil analisis menunjukkan bahwa korelasi antara sikap dan tingkat pendidikan formal yaitu sebesar -0,063 dengan nilai signifikansi sebesar 0,633. Oleh karena nilai signifikansi yang diperoleh lebih besar dari taraf signifikansi yang ditetapkan yaitu sebesar 0,05 (5%) maka hipotesis ditolak, yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dan tingkat pendidikan formal. (2) Analisis korelasi antara sikap dan matapencaharian

Untuk menganalisis hubungan antara sikap dan matapencaharian responden, digunakan uji Chi-Square. Uji Chi-Square bertujuan untuk mengetahui korelasi atau hubungan antara dua variabel yang mempunyai skala pengukuran nominal atau ordinal. Sikap mempunyai skala pengukuran ordinal, sedangkan matapencaharian memiliki skala pengukuran nominal. Matapencaharian dibedakan menjadi nelayan dan bukan nelayan. Hipotesisnya adalah terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dan matapencaharian.

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai statistik Chi-Square yang diperoleh adalah sebesar 27,879 dengan nilai signifikansi sebesar 0,417. Oleh karena nilai signifikansi yang diperoleh lebih besar dari taraf signifikansi yang ditetapkan yaitu sebesar 0,05 (5%) maka hipotesis ditolak, yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dan matapencaharian.

(3) Analisis korelasi antara sikap dan status pekerja

Untuk menganalisis hubungan antara sikap dan status pekerja responden, digunakan uji Chi Square. Sikap mempunyai skala pengukuran ordinal, sedangkan status pekerja memiliki skala pengukuran nominal. Status pekerja dibedakan antara juragan dan buruh (termasuk bidak). Hipotesisnya adalah terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dengan status pekerja.

Hasil analisis hubungan dua variabel tersebut menunjukkan bahwa nilai statistik Chi-Square yang diperoleh adalah sebesar 32,436 dengan nilai signifikansi sebesar 0,216. Oleh karena nilai signifikansi yang diperoleh lebih besar dari taraf signifikansi yang ditetapkan yaitu sebesar 0,05 (5%) maka hipotesis ditolak, yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dan status pekerja.

(4) Analisis korelasi antara sikap dan pendapatan

Untuk menganalisis hubungan antara sikap dan pendapatan responden, pada saat panen dan paceklik, digunakan korelasi Spearman. Variabel sikap dan pendapatan mempunyai skala pengukuran ordinal.

(i) Pendapatan saat panen

Hipotesis penelitian yang diuji adalah terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dan pendapatan pada saat panen. Hasil analisis menunjukkan bahwa korelasi antara sikap dan pendapatan saat panen adalah sebesar -0,071 dengan nilai signifikansi sebesar 0,591. Oleh karena nilai signifikansi yang diperoleh lebih besar dari nilai taraf signifikansi yang ditetapkan yaitu sebesar 0,05 (5%) maka hipotesis ditolak, yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dan pendapatan saat panen.

(ii) Pendapatan saat paceklik

Hipotesis penelitian yang diuji adalah terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dan pendapatan saat paceklik. Hasil analisis menunjukkan bahwa korelasi antara sikap dan pendapatan saat paceklik yaitu sebesar -0,095 dengan nilai signifikansi sebesar 0,470. Oleh karena nilai signifikansi yang diperoleh lebih besar dari nilai taraf signifikansi yang ditetapkan yaitu sebesar 0,05 (5%) maka hipotesis ditolak, yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dan pendapatan saat paceklik.

Hasil keseluruhan dari uji korelasi menunjukkan bahwa semua hipotesis ditolak yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dan pendidikan formal, pendapatan, matapencaharian dan status pekerja. Dengan demikian, hipotesis kedua dari penelitian ini yaitu sikap pelaku perikanan pantai terhadap pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan gender memiliki hubungan dengan latar belakang sosial-ekonomi-budaya adalah ditolak. Akibat hipotesis ditolak maka kemudian dilakukan analisis lebih lanjut untuk mencari penyebabnya.

Dilihat dari aspek pendidikan formal, rataan pendidikan terakhir dari responden, lelaki dan perempuan (lihat Tabel 18) dikategorikan rendah, yaitu tingkat sekolah dasar. Ini menunjukkan mutu SDM baik lelaki dan perempuan dalam komunitas setempat adalah sama-sama masih rendah, apalagi informasi

yang mereka terima umumnya hanya terkait dengan masalah perikanan saja, sehingga mereka tidak banyak mengalami perubahan di bidang lainnya. Dengan demikian adalah wajar jika tidak terdapat korelasi yang signifikan antara sikap responden terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai dan pendidikan formal.

Dalam hal pekerjaan, semua responden berkecimpung di bidang perikanan, mulai dari nelayan sebagai penangkap ikan, pedagang ikan dan pengolah ikan hasil tangkapan, disamping itu pekerjaan mereka tergantung dari pasokan ikan laut hasil tangkapan yang tergantung pada musim. Pola kerjasama antara lelaki dan perempuan dalam bidang pekerjaan tersebut tidak banyak berbeda. Tabel 26 menunjukkan bahwa pembagian tugas dalam rumahtangga baik nelayan maupun bukan nelayan ternyata hampir sama, sama halnya dengan pengambilan keputusan dalam keluarga (Tabel 27). Dilihat dari status pekerja pun, sikap Juragan dan pekerjanya tidak banyak berbeda. Meskipun kedudukannya Juragan tetapi mereka masih tetap melakukan pekerjaan yang sama dengan pekerja, apalagi asal usul Juragan juga berasal dari pekerja. Dilihat dari pendapatan, Juragan nelayan kecil tidak banyak berbeda dengan bidak-nya, mereka menanggung resiko lebih besar daripada bidak, akibatnya Juragan masih harus pergi melaut untuk mengurangi beban biaya melaut, sehingga mereka tidak sempat melakukan upaya pengembangan diri diluar bidang perikanan. Demikian halnya dengan Juragan pengolahan ikan, pendapatan mereka memang lebih besar daripada pekerjanya, tetapi sikap mereka ternyata juga tidak berbeda dengan sikap pekerjanya, karena mereka tidak melakukan pengembangan diri diluar bidang perikanan yang sudah digelutinya. Dengan demikian dapat dikatakan wajar jika tidak terdapat korelasi yang signifikan antara sikap responden terhadap kesetaraan gender dalam perikanan dan status pekerja, matapencaharian serta pendapatan, akibat tidak adanya upaya pengembangan diri diluar bidang perikanan melalui komunikasi, informasi, dan edukasi.

Distribusi sikap setuju atau tidak setuju responden terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai dapat dilihat pada Tabel 34. Secara keseluruhannya, responden yang setuju dan tidak setuju kesetaraan gender dalam perikanan pantai adalah sama banyak, yaitu 30 orang (50%) berbanding 30 orang

(50%). Namun dari 30 responden yang setuju, lebih banyak lelaki berjumlah 18 orang (30%) dibandingkan dengan perempuan sebanyak 12 orang (20%). Sebaliknya, perempuan lebih banyak tidak setuju kesetaraan gender dalam perikanan (30%) dibandingkan dengan lelaki (20%).

Tabel 34 Sikap responden terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai menurut jenis kelamin di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006

Sikap terhadap Jumlah

Total

kesetaraan gender Lelaki Perempuan

dalam perikanan pantai Orang % Orang % Orang %

Setuju 18 30 12 20 30 50

Tidak setuju 12 20 18 30 30 50

Jumlah 30 50 30 50 60 100

Perempuan lebih banyak tidak setuju dengan kesetaraan gender dalam perikanan pantai dibandingkan dengan lelaki sungguh di luar dugaan. Pada saat pengisian kuesioner, responden kadangkala memberikan komentar terhadap penyataan dari Skala Likert. Pernyataan-pernyataan dalam kuesioner Skala Likert (lihat Lampiran 3) yang mendapat banyak respon jawaban negatif atau tidak setuju dari perempuan dan komentar dari responden adalah sebagai berikut:

o “Perempuan dapat mengambil kredit dari lembaga keuangan/bank untuk usaha

perikanan atas nama sendiri”. Menurut ibu M:

“Biar lelaki (suami) yang berhutang (mengambil kredit), sehingga dia akan bekerja (berusaha) untuk melunasinya. Jika perempuan yang ambil kredit, perempuan sendiri yang harus menanggung beban untuk melunasi hutang, sedangkan suami dapat berbuat seenaknya sendiri.”

Salah satu pengurus KUD Mina Bahari Desa Muara Ciasem menyatakan tentang keseriusan perempuan untuk membayar hutang, ungkapnya:

“Perempuan lebih serius membayar hutang mereka dibandingkan lelaki. Jarang ada kredit macet dari nasabah perempuan. Lebih banyak lelaki yang tidak mau bayar hutang mereka.”

Pada kenyataannya, memang kaum perempuan jarang mengambil kredit kepada lembaga keuangan. Umumnya perempuan berutang untuk keperluan sehari-hari seperti bahan pangan kepada pedagang kelontong setempat yang akan dibayar saat along (musim panen ikan).

o “Lelaki dan perempuan mempunyai kemampuan yang sama untuk mengelola

keuangan usaha perikanan”. Ketidaksetujuan beberapa responden diungkapkan sebagai berikut:

“Lelaki tidak dapat pegang uang. Jika sedang memiliki uang banyak, lelaki sering berfoya-foya.”

Pada komunitas tersebut masih terdapat stereotipi bahwa perempuan pelit dan pandai mengatur keuangan, sebaliknya, lelaki boros dan tak dapat mengatur keuangan.

o “Perempuan memperoleh upah langsung dari hasil kerjanya di usaha keluarga”.

Pernyataan ini juga mendapat komentar dari responden lelaki. Menurut beberapa responden,

“Istri yang pegang uang (pengelola keuangan), jadi dia dapat mengatur keuangan (keluarga atau usaha) sesuai dengan kebutuhan, dia tidak perlu (men-)dapat upah langsung dari pekerjaannya.”

Hal ini terkait dengan stereotipi tentang pengelola keuangan pada komunitas tersebut, sehingga mereka menganggap perempuan, khususnya istri, tak perlu mendapat upah. Dengan demikian, sesungguhnya perempuan secara pribadi tidak memperoleh materi apapun dari hasil kerjanya, karena uang keuntungan atau hasil kerjanya tersebut digunakan untuk keperluan rumahtangga (disebut juga uang dapur). Sebaliknya, lelaki masih mendapatkan hasil berupa uang rokok yang besarnya tergantung besarnya pendapatan yang mereka peroleh.

o “Perempuan dapat menjadi wakil keluarga dalam pertemuan atau rapat warga

di kantor desa atau kecamatan”. Menurut beberapa responden, baik perempuan dan lelaki:

“Urusan rapat di kantor desa adalah urusan lelaki. Kalau terpaksa, baru perempuan dapat wakili suami untuk hadir, tetapi jika tidak terpaksa, tidak perlu hadir atau menjadi wakil suami meskipun suami berhalangan hadir. “

Pada kenyataannya, kehadiran mereka baik lelaki atau perempuan pada pertemuan, tergantung topik pertemuan. Jika topik dianggap tidak penting bagi mereka, mereka pun tidak hadir pada pertemuan tersebut.

o “Suami-istri dapat terlibat dalam lembaga perdesaan mewakili kepentingan

kelompok masing-masing”. Menurut beberapa responden, baik lelaki dan perempuan, jika suami-istri mewakili kelompoknya masing-masing dan terlibat dalam lembaga perdesaan dapat menimbulkan pertengkaran, apalagi jika pendapat mereka berbeda. Lebih baik dalam satu rumahtangga cukup satu

suara saja, agar tidak timbul konflik. Pengungkapan mereka adalah sebagai berikut:

”Kalau suami dan istri beda pendapat di rapat desa bisa-bisa ribut di rumah. Mendingan (lebih baik) lelaki saja yang hadir.”

Hal ini menunjukkan bahwa jelas tampak pembagian peran dalam rumahtangga pada komunitas tersebut terkait politik kemasyarakatan, khususnya pada proses pengambilan keputusan.

o “Pemerintah telah membuat program di bidang perikanan yang dapat

membantu kemajuan perempuan”. Ketidaksetujuan beberapa responden diutarakan dengan pendapat yang senada sebagai berikut:

“Program pemerintah lebih banyak (ditujukan kepada) untuk lelaki, untuk perempuan jarang.”

Jawaban ini menunjukkan bahwa program pemerintah lebih banyak ditujukan kepada lelaki yang dianggap sebagai pelaku utama di bidang perikanan laut, khususnya perikanan tangkap.

Analisis hasil wawancara menunjukkan bahwa faktor yang diduga mempengaruhi terbentuknya sikap responden baik lelaki maupun perempuan setuju atau tidak setuju dengan kesetaraan gender dalam kegiatan perikanan pantai adalah faktor budaya dan faktor ekonomi. Secara rinci adalah sebagai berikut (1) Sikap yang setuju atau sikap positif disebabkan oleh faktor ekonomi. Hal ini

ditunjukkan dari pernyataan bahwa perempuan akan dapat berbuat lebih banyak lagi dibandingkan apa yang telah mereka perbuat saat ini, jika lebih banyak terdapat peluang kerja atau usaha untuk mereka. Faktor ekonomi berupa ada atau tidaknya peluang kerja atau usaha dapat mempengaruhi terbentuknya sikap seseorang terhadap kesetaraan gender dalam kegiatan perikanan pantai terkait dengan persaingan untuk mendapatkan pekerjaan. Dari hasil pengamatan dan wawancara diketahui bahwa di sekitar PPP Blanakan banyak dijumpai peluang kerja bagi perempuan yaitu di bidang pengolahan ikan dan perdagangan ikan, sehingga kaum lelakinya banyak yang setuju dengan program pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan gender, karena akan lebih menguntungkan dari segi perekonomian bagi mereka dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Disamping itu, motivasi kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari cenderung

akan menimbulkan sikap positif perempuan terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai. Hal ini sudah terbukti dengan adanya bidak nelayan perempuan di lokasi penelitian.

(2) Sikap yang tidak setuju atau sikap negatif dengan penyebab:

(i) faktor budaya. Hal ini ditunjukkan dari pernyataan bahwa status suami atau kaum lelaki adalah pemimpin keluarga, dengan kata lain status suami lebih tinggi daripada status istri. Oleh karena itu, pengambilan keputusan terletak pada suami, maka istri harus patuh pada keputusan tersebut. Menurut mereka, kondisi pada saat ini sudah baik; perempuan dapat bekerja untuk membantu suami sambil mengurus keluarga. Dalam hal ini, unsur budaya banyak mempengaruhi sikap responden baik lelaki dan perempuan di dua desa.

(ii) faktor ekonomi. Semakin sedikit terdapat peluang kerja atau usaha maka sikap negatif umumnya timbul dari kaum lelaki, karena adanya persaingan antara lelaki dan perempuan dalam mendapatkan peluang tersebut. Peluang kerja di sekitar PPP Muara Ciasem tidak terlalu banyak akibat pengaruh pasokan ikan tangkapan yang tidak menentu, maka kaum lelakinya cenderung tidak setuju dengan program pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan gender tersebut.

Unsur budaya dalam pembagian peran dan kedudukan (status) di lingkungan rumahtangga dan keluarga memberi pengaruh terhadap kesetaraan gender. Status suami memberikan memiliki kelebihan dibandingkan status istri, karena status suami selaku kepala keluarga harus dipatuhi oleh istri dan anak-anak mereka, disamping itu suami pun merupakan wakil keluarga dalam tingkat komunitas. Dalam pembagian peran pun, suami lebih banyak berperan dalam kegiatan produktif dan politik kemasyarakatan selaku pencari nafkah utama dan kepala keluarga. Status anak lelaki juga demikian halnya, karena anak lelaki sudah dipersiapkan untuk menjadi kepala keluarga, oleh karena itu mereka jarang dilibatkan dalam kegiatan reproduktif di lingkungan rumahtangga. Sebaliknya, anak perempuan sudah diarahkan untuk melakukan kegiatan reproduktif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa status tergariskan (ascribed status) terkait dalam

pembagian peran dalam keluarga masih menonjol dalam komunitas lokasi penelitian.

Sosialisasi gender tersebut melalui pendidikan informal dalam keluarga yang dapat memberikan pengaruh kepada pembentukan sikap. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa orang yang banyak memberikan pengaruh terhadap sikap responden adalah orangtua dan atau suami bagi responden perempuan. Responden mengatakan bahwa sejak kecil mereka sudah diajarkan oleh orangtua mereka tentang pembagian tugas antara lelaki dan perempuan yang kemudian diajarkan kepada anak-anak mereka. Di lokasi penelitian ini umum terjadi dalam satu rumah tinggal hidup bersama tiga generasi yaitu kakek-nenek, orangtua dan cucu, sehingga sosialisasi tentang peran gender semakin mudah dilakukan. Tugas lelaki adalah mencari uang atau bekerja di luar rumah, sedangkan tugas perempuan adalah mengurus rumahtangga dan keluarga. Menurut mereka, seorang istri harus mematuhi suaminya sebagai pemimpin dalam keluarga, demikian yang telah diajarkan dalam lingkungan keluarga secara turun- temurun. Dengan demikian, keputusan apapun dari suami harus dituruti istri, sehingga tidak akan ada perbedaan pendapat atau keputusan di lingkup luar rumahtangga. Sosialisasi gender dari keluarga ini yang memberikan pengaruh terhadap sikap kaum perempuan terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai.

Dalam lingkup keluarga, bentuk sosialisasi yang terkait pekerjaan yaitu arahan sang ayah kepada anak lelakinya untuk menjadi nelayan, dan ibu mengarahkan anak perempuannya untuk mengerjakan pekerjaan rumahtangga dan bekerja sebagai buruh. Dari pengerahan tenaga kerja anggota rumahtangga dalam menanggulangi kebutuhannya, terlihat adanya keseimbangan derajat atau posisi suami istri atau lelaki perempuan dalam rumahtangga nelayan miskin. Namun demikian, pengaruh kebudayaan yang telah mantap dalam masyarakat tetap membedakan posisi antara suami istri. Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Masngudin (1997) yaitu adanya sosialisasi dalam keluarga yang terkait dengan peran gender.

Secara keseluruhan, dari hasil wawancara dan pengamatan diketahui bahwa unsur ekonomi berupa adanya peluang kerja dan unsur budaya melalui pendidikan

informal dalam keluarga yang merupakan dapat mempengaruhi terbentuknya sikap pesisir terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai. Sikap setuju atau tidak setuju ini menjadi penting karena menyangkut partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan gender. Sikap inilah yang melatarbelakangi kecenderungan bertindak dalam pengambilan keputusan seseorang.