• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Sikap

2.2.4. Ciri-Ciri Sikap

Ciri–ciri sikap adalah sebagai berikut : 1. Sikap itu dipelajari (learnability)

Sikap merupakan hasil belajar. Beberapa sikap dipelajari tidak sengaja dan tanpa kesadaran kepada sebagian individu. Barangkali yang terjadi adalah mempelajari sikap dengan sengaja bila individu mengerti bahwa hal itu akan membawa lebih baik (untuk dirinya sendiri), membantu tujuan kelompok, atau memperoleh sesuatu nilai yang sifatnya perseorangan.

2. Memiliki Kestabilan (Stability)

Sikap bermula dari dipelajari, kemudian menjadi lebih kuat, tetap dan stabil, melalui pengalaman.

3. Personal-Societal Significance

Sikap melibatkan hubungan antara seseorang dan orang lain dan juga antara orang dan barang atau situasi.

Jika seseorang merasa bahwa orang lain menyenangkan, terbuka serta hangat, maka ini akan sangat berarti bagi dirinya, ia merasa bebas dan favorable.

4. Berisi Cognisi dan Affeksi

Komponen cognisi dari pada sikap adalah berisi informasi yang faktual, misalnya: obyek itu dirasakan menyenangkan atau tidak menyenangkan.

5. Approach–Avoidance Directionally

Bila seseorang memiliki sikap yang favorable terhadap sesuatu obyek, mereka mendekati dan membantunya, sebaliknya bila seseorang memiliki sikap yang unfavorable, mereka akan menghindarinya.

2.3. Dukungan 2.3.1. Defenisi

Menurut Sarwono (2003), dukungan adalah suatu upaya yang diberikan kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang tersebut dalam melaksanakan kegiatan.

Dukungan sosial adalah suatu konsep fleksibel yang pada akhirnya sulit didefinisikan. Schumaker dan Brownell mendefinisikan dukungan sosial sebagai “petukaran sumber antara minimal dua individu yang dipersepsikan oleh pemberi dan penerima sumber yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penerima”. Sebagian besar dukungan sosial diberikan oleh teman, keluarga, dan komunitas tetapi dukungan sosial oleh profesional kesehatan penting. Dukungan profesional kesehatan telah terbukti memberi dampak positif pada kesehatan dan kesejahteraan umum.

Pada saat ini, pelayanan kesehatan reproduksi belum mencakup semua lapisan penduduk di antaranya dikarenakan oleh: sikap–sikap yang merugikan terhadap perempuan, khususnya bias gender dalam pemenuhan pelayanan kesehatan, dan kurang berdayanya perempuan dalam pengaturan kehidupan seksual dan reproduksi mereka (Wilopo, 2010).

2.3.2. Komponen Dukungan

Sistem dukungan untuk mempromosikan perubahan perilaku ada 3, yaitu : 1. Dukungan material adalah menyediakan dana agar ibu dapat menggunakan

AKDR

2. Dukungan informasi adalah memberikan contoh nyata keberhasilan seseorang dalam merencanakan keluarga dengan menggunakan AKDR, dan

3. Dukungan emosional atau semangat adalah menemani ibu dalam pemasangan AKDR, memberi pujian karena ibu menggunakan AKDR sehingga dapat menjaga kesehatan dan keluargaa (Sarwono, 2003).

Tiga komponen inti dalam dukungan sosial adalah :

1. Dukungan emosi, ini mungkin adalah hubungan yang hangat dan perhatian, suatu kehadiran atau pertemanan, atau kesediaan untuk mendengarkan.

2. Dukungan informasi, yaitu pemberian saran atau informasi yang baik.

3. Dukungan praktik atau nyata yang mungkin bersifat finansial atau dapat berupa dukungan kenyamanan fisik.

Sebagian besar dukungan sosial diberikan oleh temam, keluarga, dan komunitas tetapi dukungan sosial oleh profesional kesehatan penting (Medforth, dkk., 2011).

Cobb & Jones (1984) dalam Niven 2002 mengatakan bahwa dukungan sosial dapat diukur dengan melihat tiga elemen :

1. Perilaku suportif aktual dari teman–teman dan sanak famili

2. Sifat kerangka sosial (apakah kelompok jaringan tertutup dari individu-individu atau lebih menyebar)

3. Cara dimana seseorang individu merasakan dukungan yang diberikan oleh teman- teman dan sanak familinya.

2.3.3. Fungsi Dukungan

Fungsi dukungan sosial menurut Medforth, dkk., 2011 yaitu :

1. Dukungan sosial berfungsi sebagai penawar terhadap stres dan ketakutan pemasangan AKDR.

4. Dukungan sosial dapat memfasilitasi penggunaan AKDR.

Ibu merupakan salah satu anggota keluarga yang sangat berpengaruh, sehingga perubahan apapun yang terjadi pada ibu akan mempengaruhi keluarga.

Penelitian menunjukkan bahwa dukungan emosi dari pasangan merupakan faktor penting dalam mencapai keberhasilan tugas perkembangan (Entwistle, Doering; Mercer, 1981 dalam Kusmiyati, dkk, 2008).

Bentuk partisipasi pria dalam KB secara tidak langsung adalah dengan cara mendukung istri dalam ber-KB, apabila disepakati istri yang akan ber-KB peran suami adalah mendukung dan memberikan kebebasan kepada istri untuk menggunakan kontrasepsi atau cara/metode KB. Dukungan yang dapat diberikan adalah memilih kontrasepsi yang cocok yaitu kontrasepsi yang sesuai dengan keinginan dan kondisi istrinya, membantu istrinya dalam menggunakan kontrasepsi secara benar, seperti mengingatkan saat minum pil KB, dan mengingatkan istri untuk kontrol, membantu mencari pertolongan bila terjadi efek samping maupun komplikasi dari pemakaian alat kontrasepsi, mengantarkan istri ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk kontrol atau rujukan, mencari alternatif lain bila kontrasepsi yang digunakan saat ini terbukti tidak memuaskan, membantu menghitung waktu subur, apabila menggunakan metode pantang berkala (Azwar, 2005 dalam Kaniaulfa, 2012).

Dalam Undang-Undang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Pasal 21 ayat 21b dinyatakan:

Kebijakan keluarga berencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: meningkatkan partisipasi dan kesertaan pria dalam praktek keluarga berencana (Fokusmedia, 2010).

Dari aspek perilaku, laki–laki diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap kesehatan reproduksi, misalnya dalam hal perilaku seksual. Peran dan tanggung jawab laki–laki dalam kesehatan reproduksi sangat berpengaruh terhadap kesehatan perempuan. Keputusan penting seperti siapa yang akan menolong istri melahirkan, memilih metode kontrasepsi yang dipakai istri masih banyak ditentukan oleh suami. Di lain pihak banyak laki–laki tidak mendapatkan pelayanan dan informasi yang memadai tentang kesehatan reproduksi misalnya dalam hal hubungan seksual sebelum nikah, berganti–ganti pasangan, kesetaraan ber-KB serta sikap dan perilaku kurang bertanggungjawab lainnya sehingga membahayakan perempuan pasangannya (Pinem, 2009).

Kematian ibu berdampak negatif terhadap kesejahteraan keluarga dan masyarakat serta memiliki implikasi sosial yang bermakna terhadap kualitas kesehatan keluarga di kemudian hari. Hambatan sosial, budaya dan ekonomi yang dihadapi sepanjang hidup perempuan merupakan akar masalah buruknya kesehatan maternal (sepanjang daur kehidupan perempuan) saat ini. Dengan menggunakan pendekatan siklus hidup diketahui bahwa masalah mendasar kesehatan perempuan telah terjadi sebelum memasuki usia reproduksi. Status kesehatan perempuan semasa kanak-kanak dan remaja mempengaruhi kondisi kesehatannya saat hamil,

dan sikap yang dianut, sistem dan akses kesehatan, situasi ekonomi, serta kualitas hubungan seksualnya mempengaruhi perempuan dalam menjalankan masa produksi dan proses reproduksinya.

Jika menyimak lebih dalam, faktor utama penyebab tingginya angka kematian ibu melahirkan di Indonesia tidak hanya penyebab langsung saja seperti perdarahan, infeksi, atau pre eklamsi. Terdapat faktor penyebab tidak langsung lainnya yang berkontribusi besar dalam meningkatkan risiko kematian ibu. Fenomena di negara berkembang termasuk di Indonesia, perempuan masih belum memiliki otonomi yang memadai terhadap dirinya terutama dalam kesehatan reproduksinya. Fakta menunjukkan adanya keterbatasan perempuan dalam mengakses pelayanan kesehatan yang disebabkan berbagai faktor seperti; kemiskinan, kondisi struktur geografis, penyebaran penduduk yang tidak merata, sosial ekonomi yang rendah, praktik budaya yang menghambat dan ketidaksetaraan gender. Kemiskinan menyebabkan ibu-ibu hamil tidak mendapatkan asupan gizi yang mencukupi untuk menunjang kehamilannya. Faktor budaya, “kawin muda” dan aborsi akibat kehamilan yang tidak diinginkan, diskriminasi dan beban ganda yang harus dipikul perempuan juga turut menjadi faktor yang mempengaruhi status kesehatan para ibu dan perempuan di Indonesia.

Mc.Cartidan Maine (1992) dalam kerangka konsepnya mengemukakan peran determinan kematian ibu sebagai keadaan atau hal yang melatarbelakangi dan menjadi penyebab langsung serta tidak langsung dari kematian ibu. Determinan kematian ibu itu dikelompokkan dalam: determinan proksi atau dekat (proximate

determinant), determinan antara (intermediate determinants) dan determinan kontekstual (contekstual determinants).

2.4.Aborsi

2.4.1. Defenisi`Aborsi

Keguguran didefenisikan sebagai kehilangan produk konsepsi sebelum usia gestasi 24 minggu (Fraser dan Cooper, 2009).

Aborsi spontan (SAB), yang juga dikenal dengan istilah “keguguran”, terjadi alami, tanpa perlu diinduksi (Varney, dkk, 2007).

2.4.2. Klasifikasi Aborsi

Ada beberapa jenis keguguran: 1. Ancaman keguguran

Abortus ini baru mengancam dan masih ada harapan untuk mempertahankannya, ostium uteri tertutup, uterus sesuai umur kehamilan.

2. Keguguran yang tidak dapat dihindari

Abortus ini sedang berlangsung dan tidak dapat dicegah lagi, ostium terbuka, teraba ketuban, berlangsung hanya beberapa jam saja.

3. Keguguran inkomplet

Sebagian dari buah kehamilan telah dilahirkan, tetapi sebagian jaringan masih tertinggal di dalam rahim, ostium terbuka teraba jaringan.

4. Keguguran komplet

Seluruh buah kehamilan telah dilahirkan dengan lengkap, ostium tertutup uterus lebih kecil dari umur kehamilan atau ostium terbuka kavum uteri kosong.

5. Keguguran tertunda atau silent

Keadaan di mana janin telah mati sebelum minggu ke-20, tetapi tertahan di dalam rahim selama beberapa minggu setelah janin mati (Fraser dan Cooper, 2009). 2.4.3. Etiologi

Faktor–faktor yang dapat menyebabkan terjadinya abortus, yaitu : 1. Faktor janin

Kelainan yang paling sering dijumpai pada abortus adalah gangguan pertumbuhan zigot, embrio, janin atau plasenta. Kelainan tersebut biasanya menyebabkan abortus pada trimester pertama, yakni :

a. Kelainan telur, telur kosong (blighted ovum), kerusakan embrio, atau kelainan kromosom (monosomi, trisomi, atau poliploidi)

b. Embrio dengan kelainan lokal

c. Abnormalitas pembentukan plasenta (hipoplasi trofoblas);

Alasan utama terjadinya keguguran pada awal kehamilan ini adalah : kelainan genetik, yang mencapai 75 hingga 90 % total keguguran (Varney, dkk, 2007).

Berkaitan dengan janin, Jika penyebabnya sudah ditentukan, 50% keguguran berkaitan dengan abnormalitas kromosom pada konseptus. Abnormalitas struktural dan genetik juga dikatakan sebagai penyebab keguguran kehamilan (Fraser dan Cooper, 2009).

2. Faktor maternal a. Infeksi

Infeksi maternal dapat membawa resiko bagi janin yang sedang berkembang, terutama pada akhir trimester pertama atau awal trimester kedua.

b. Penyakit vasukular c. Kelainan endokrin

Abortus spontan dapat terjadi bila produksi progesteron tidak mencukupi atau pada penyakit disfungsi tiroid; defisiensi insulin.

d. Faktor imunologis e. Trauma

f. Kelainan uterus

g. Faktor psikosomatik–masih dipertimbangkan (Martaadisoebrata, dkk, 2005). Sedangkan alasan lain terjadinya SAB adalah : kadar progesteron yang tidak normal, kelainan pada kelenjar tiroid, diabetes yang tidak terkontrol, kelainan pada rahim, infeksi, dan penyakit autoimun lain (Varney, dkk, 2007).

Menurut Fraser dan Cooper, 2009, Keguguran di awal kehamilan dapat disebabkan oleh beberapa faktor maternal berikut :

a. Usia maternal

Risiko meningkat sejalan dengan bertambahnya usia ibu b. Abnormalitas struktur saluran genital

d. Penyakit Maternal

Penatalaksanaan dan kontrol terhadap penyakit, seperti diabetes, penyakit ginjal, dan disfungsi tiroid dapat mengurangi risiko keguguran pada ibu yang menderita penyakit tersebut. Jika penyakit ini tidak dikontrol dengan baik, risiko keguguran akan tetap tinggi

e. Faktor lingkungan

f. Komsumsi kopi dan alkohol yang berlebihan disertai merokok, termasuk perokok pasif, telah terbukti dapat meningkatkan risiko keguguran. Pajanan terhadap pelarut organik meningkatkan kecenderungan terjadinya malformasi janin dan keguguran.

Riwayat obstetrik sebelumnya merupakan prediktor terjadinya keguguran spontan. Multigravida secara signifikan berisiko lebih besar dibandingkan dengan primigravida, dan keguguran yang terjadi pada kehamilan sebelumnya merupakan indikator risiko yang utama.

3. Faktor eksternal a. Radiasi

Dosis 1–10 rad bagi janin pada kehamilan 9 minggu pertama dapat merusak janin dan dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan keguguran.

b. Obat–obatan

Sebaiknya tidak menggunakan obat–obatan sebelum kehamilan 16 minggu, kecuali telah dibuktikan bahwa obat tersebut tidak membahayakan janin, atau untuk pengobatan penyakit ibu yang parah.

c. Bahan–bahan kimia lainnya, seperti bahan yang mengandung arsen dan benzen (Martaadisoebrata, dkk, 2005).

2.4.4. Gambaran Klinis

Tanda dan gejala dari abortus adalah : 1. Ancaman keguguran (Abortus iminen)

Pada ancaman keguguran, kehilangan darah mungkin hanya sedikit , dengan atau tanpa nyeri punggung bagian bawah dan nyeri, sedikit kram. Nyeri tersebut dapat menyerupai dismenore atau nyeri menstruasi. Serviks tetap tertutup dan uterus lunak, tidak ada nyeri tekan ketika dipalpasi. Gejala dapat berlanjut sampai jangka waktu tertentu. Adanya denyut jantung janin yang disertai penutupan tulang serviks sering kali menjadi tanda–tanda yang baik; 70–80% dari semua ibu yang didiagnosis menderita ancaman keguguran pada trimester pertama dapat melanjutkan kehamilannya hingga cukup bulan.

2. Keguguran yang tidak dapat diindari (Abortus insipien)

Perdarahan vaginal dapat terjadi sangat banyak dengan bekuan darah atau kantong gestasi berisi janin atau embrio. Uterus, jika teraba ukurannya mungkin lebih kecil dari yang diharapkan. Membran dapat ruptur pada waktu ini, dan cairan amniotik akan terlihat. Serviks mengalami dilatasi, dan jaringan atau bekuan dapat terlihat di vagina, atau dapat menonjol hingga tulang.

3. Abortus inkomplet

4. Abortus komplet

Pada jenis keguguran ini, plasenta dan membran dikeluarkan seutuhnya dari uterus. Nyeri berhenti dan tanda–tanda kehamilan juga berhenti. Uterus berkontraksi dengan kuat pada saat dipalpasi, dan rongga kosong dapat terlihat pada pemeriksaan ultrasound.

5. Keguguran tertunda (Missed abortion)

Kematian embrio biasanya terjadi sebelum usia gestasi 8 minggu tetapi tubuh ibu tidak mengetahui kematiannya. Darah yang berwarna cokelat yang berasal degenerasi jaringan plasenta dapat keluar, dan dicurigai terjadi ancaman keguguran. Ibu melaporkan berkurangnya gejala kehamilan yang kemudian berhenti sama sekali. Pertumbuhan uterus terhenti dan diagnosis dikonfirmasikan dengan pemeriksaan ultrsound (Fraser dan Cooper, 2009) .

2.4.5. Pengelolaan 1. Abortus iminens

a. Bila kehamilan utuh, ada tanda kehidupan janin, yaitu : bed rest selama 3 x 24 jam dan pemberian preparat progesteron bila ada indikasi (bila kadar < 5–10 nanogram).

b. Bila hasil USG meragukan, ulangi pemeriksaan USG 1–2 minggu, kemudian bila hasil USG tidak baik, evakuasi.

2. Abortus insipiens a. Evakuasi

c. Antibiotik selama 3 hari. 3. Abortus inkomplet

a. Perbaiki keadaan umum : bila ada syok, atasi syok; bila Hb < 8 gr %, transfusi b. Evakuasi : digital, kuretasi

c. Uterotonika

d. Antibiotika selama 3 hari. 4. Abortus kompletus

Pada keadaan ini kuretasi tidak perlu dilakukan. Pada abortus kompletus, perdarahan segera berkurang setelah isi rahim dikeluarkan dan selambat– lambatnya dalam 10 hari perdarahan berhenti sama sekali karena dalam masa ini luka rahim telah sembuh dan epitelisasi telah selesai. Serviks juga dengan segera menutup kembali.

5. Abortus tertunda (Missed abortion) a. Perbaikan keadaan umum b. Darah segar

c. Fibrinogen

d. Evakuasi dengan kuret, bila umur kehamilan > 12 minggu didahului dengan pemasangan dilator (laminaria stift).

6. Abortus habitualis

Pengelolaan abortus habitualis bergantung pada etiologinya (Martaadiasoebrata, dkk, 2005).

Dokumen terkait