• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V DISKUSI HASIL

5.3 Simbol Budaya dalam Masyarakat Sonoageng

Ritual Nyadran yang dilakukan oleh masyarakat Sonoageng adalah hasil akulturasi berbagai budaya. Akulturasi tidak hanya dilihat dari segi kerpercayaan terkait Hindu, Islam dan Kejawen, namun juga ditunjukkan melalui artefak-artefak budaya di desa dan kesenian yang ada dalam Nyadran. Turner (1977) menjelaskan bahwa ritual memiliki makna simbolis, dan simbol ritual dipandang sebagai unit terkecil dari ritual yang masih mempertahankan sifat yang spesifik dari perilaku ritual. Simbol-simbol ritual tersebut berupa benda, kegiatan, kata-kata, hubungan, peristiwa, gerakan atau unit spasial (Turner dikutip di Panannond 2015). Ritual mengungkapkan simbol-simbol bermakna sebagai informasi yang mewujudkan dan mengekspresikan nilai-nilai masyarakat serta berhubungan terhadap cara yang kompleks untuk tatanan sosial masyarakat (Poranannond, 2015). Sesuai dengan keterangan Turner, berikut adalah simbol budaya dalam masyarakat Sonoageng:

5.3.1 Simbol Budaya Islam

Simbol budaya Islam dalam masyarakat Sonoageng ditunjukkan melalui budaya tahlilan, kentrung, tujuan Nyadran dan doa dalam kenduri, serta bentuk makam di desa Sonoageng.

1. Tahlilan

Tahlilan merupakan sarana berkumpul orang muslim untuk melakukan doa bagi orang yang sudah meninggal. Doa yang dilantunkan memiliki harapan agar orang yang sudah meninggal diterima amal ibadahnya oleh

Allah SWT (Sholikin, 2010). Di tahlilan ini masyarakat dipimpin oleh seorang yang dianggap paham dengan agama Islam.

2. Kesenian Kentrung

Selain sebagai kesenian kentrung juga merupakan media komunikasi untuk berdakwah. Alat-alat yang digunakanpun sederhana sehingga kentrung dipandang sebagai seni yang klasik dan unik. Kentrung merupakan kesenian warisan leluhur dengan konsep kisah para wali (Akhyar, 2015). Kentrung digunakan pada masa Wali Songo sebagai media penyebaran agama Islam melalui simbol-simbol dan penokohan yang digambarkan melalui penokohan dan kehidupan masyarakat. Pementasan kentrung pada masa Wali Songo pada awalnya berisi tentang babad tanah Jawa, sejarah masa lalu terutama kerajaan Islam di tanah Jawa serta kisah Nabi3.

3. Tujuan Nyadran dan Doa dalam Kenduri

Nyadran bertujuan sebagai ungkapan masyarakat Sonoaageng kepada Allah SWT atas berkah rizki, kesehatan dan agar terhindar dari segala musibah. Pembacaan doa saat kenduri selain dilakukan dengan bahasa Jawa, juru kunci juga melantunkan bacaan-bacaan dari ayat suci Al-Quran khususnya surat Al Fatihah.

4. Bentuk Makam

Adanya peradaban Islam di Sonoageng diperkirakan pada abad ke 17 (Informan, 10). Hal ini dibuktikan dengan situs kuno makam Syech Wahdzat yang berjumlah empat makam diidentifikasi sebagai makam

muslim karena menghadap Kiblat (barat laut). Budaya makam Islam dan juga ditunjukkan di makam umum Sonopraloyo Sonoageng yang saat ini mayoritas penduduk beragama Islam.

5.3.2 Simbol Budaya Hindu

Masuknya budaya Islam di Sonoageng tidak seketika menghilangkan budaya hindu di kalangan masyarakat (Informan 10, 2017). Namun terjadi akulturasi budaya dari Islam dan Hindu yang sampai saat ini masih terlihat di masyarakat. Berikut adalah simbol budaya Hindu yang ada di Sonoageng: 1. Pohon Beringin

Pohon beringin yang mempunyai diameter tiga meter terletak di makam Sonopraloyo. Beringin merupakan salah satu bentuk penghormatan umat Hindu kepada kekuatan alam yang tercermin dalam perilaku kepercayaan mereka. Dengan menjaga alam berarti menyelaraskan kehidupan untuk mencapai suatu keharmonisan. Sesuai dengan filosofi “Tri Hita Karana” yang dipegang teguh oleh umat Hindu.4 Pohon ini diyakini sebagai tumbuhan sorga, tempat anjangsana para pitara serta dewa-dewa.5

2. Tanah Pundung

Jarak seratus meter dari makam terdapat tanah dan menurut cerita dari Informan 8 (2017) terdapat tanah pundung yang mempunyai kontur lebih tinggi daripada sekitarnya dan dianggap sebagai tempat pendharmaan abu masyarakat Hindu silam. Saat ini pundungan tersebut sudah diratakan dengan tanah lainnya dan sisa-sisa batu diratakan untuk lapangan sepak bola desa. Informan 10 (2017) menyebutkan bahwa tanah

4 http://hindu.web.id/2017/04/11/mitos -pohon-beringin/

pundungan merupakan bekas candi yang digunakan sebagai pendharmaan abu jenazah pada masa Hindu silam.

3. Penggunaan Sesaji

Sesaji yang digunakan oleh sebagian masyarakat Sonoageng dalam melakukan Nyadran meliputi aneka bunga, buah-buahan dan wewangian. Sesaji ini diletakkan di tempat-tempat yang dianggap keramat seperti pohon beringin besar di tengah makam Sonopraloyo dan situs yang dianggap sebagai makam leluhur.

5.3.3 Simbol Budaya Jawa

Simbol-simbol budaya Jawa yang terlihat dalam ritual Nyadran adalah sebagai berikut:

1. Kesenian Tradisional

Banyak jenis tontonan yang digelar, antara lain wayang krucil, wayang kulit, reog Ponorogo dan jaranan (kuda lumping). Selain wayang krucil dan kentrung, aneka ragam kesenian ditampilkan dalam pagelaran budaya yang diadakan setelah prosesi Nyadran.

2. Danyang

Peninggalan masyarakat Jawa silam lain yang ada di kalangan masyarakat dan sampai sekarang masih dilakukan adalah kepercayaan masyarakat tentang adanya danyang (bahasa sansekerta yang berarti sesepuh). Danyang dalam hal ini dianggap sebagai mahluk mistis yang dipercaya oleh masyarakat Jawa sebagai leluhur yang menguasai dan menjaga suatu daerah (Informan 10, 2018).

3. Penanggalan dan Penentuan Hari Nyadran

Sistem pengambilan hari untuk pelaksanaan Nyadran menggunakan perhitungan Jawa yaitu Kamis Legi malam Jumat Pahing. Hari ini diyakini oleh sebagian masyarakat Sonoageng sebagai hari meninggalnya Mbah Sahid. Namun Informan 10 (2017) menjelaskan bahwa hari tersebut merupakan hari yang umumnya digunakan untuk masyarakat Jawa sebagai hari untuk mengadakan pesta. Penggunaan penanggalan Jawa juga digunakan pada situs Syech Wahdzat. Syech Wahdzat lahir pada Senin Legi dan wafat pada Sabtu Kliwon. Salah satu pejuang perempuan yang mendampingi Syech Wahdzat bernama Eyang Dewi Roro Sri Kemuning yang lahir pada Selasa Pahing dan wafat pada Kamis Kliwon. Hari kelahiran Eyang Dewi Sri Kemuning dipercaya oleh sebagaian masyarakat sebagai hari baik untuk perhitungan perjodohan (Informan 11, 2017).

5.3.4 Simbol Masa Pangeran Diponegoro

Peninggalan masa Pangeran Diponegoro ditunjukkan melalui artefak berupa benda dan kesenian. Berikut adalah peninggalan Pageran Diponegoro yang ada di Sonoageng.

1. Benda dan Tumbuhan

Usai kekalahan Diponegoro (1825-1930), pasukan Diponegoro menyebar dan untuk mengenali satu sama lain mereka membuat kode khusus dengan menanam pohon sawo kecik di samping rumah. Selain sawo kecik juga ada tanaman lain yaitu kemuning (Informan 10, 2017). Bukti fisik yang terdapat di sekitar makam Syech Wahdzat menunjukkan

bahwa makam tersebut dibangun pada masa pergolakan perang perang Diponegoro. Peninggalan tersebut antara lain pohon sawo (kecik) yang diperkirakan berusia 180 tahun, lima meter kearah selatan makam terdapan tumbuhan kemuning, dan seratus meter ke arah timur menurut penuturan dari Informan 11 pada zaman dahulu terdapat angkringan (mushola tua).

2. Kesenian Mungdhe

Saat ini mungdhe menjadi ikon kesenian khas Nganjuk. Sejarah mungdhe berkaitan dengan pergolakan Pangeran Diponegoro (1923-1930). Kekalahan Pangeran Diponegoro menjadikan prajuritnya menyebar, salah satunya tempat persebarannya di daerah Baron, Nganjuk. Sisa prajurit yang ada berusaha untuk mengumpulkan rekan seperjuangannya melalui penyamaran sebagai pengamen agar tidak diketahui oleh Belanda (informan 10, 2017).

Dokumen terkait