• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. PENUTUP

A. Simpulan

tentang mendalami dan menemukan cara efektif untuk menjadi katekis handal: belajar dari buku “Menjadi Handal Di Zaman Sekarang”.

H. Fokus Penulisan

Penulis berfokus pada mencari jawaban akan cara-cara yang efektif yang dapat digunakan oleh katekis dalam berkatekese di zaman sekarang. Rumusan masalah yang sudah diidentifikasi akan penulis jawab dan terangkan atau presentasikan dalam bab IV.

BAB II KAJIAN TEORI

Pada Bab II ini penulis akan memaparkan katekese secara umum, berkatekese di era digital dan sosok katekis yang terdiri dari identitas katekis, peran katekis, antara tugas dan panggilan, pengertian handal, perubahan zaman yang terdiri dari situasi Indonesia dan tantangan katekese, literasi media secara kristis, era informasi menantang gereja, dan bagaimana berkatekese di situasi zaman sekarang.

A. Katekese

Secara etimologis kata katekese berasal dari kata Yunani “Catechein” dan “Catechesis”. Akar katanya adalah kat dan echo. Kat artinya keluar, ke arah luar dan echo artinya gema atau gaung. Berarti makna katekese adalah suatu gema yang diperdengarkan atau disampaikan ke arah luar atau keluar. (Budiyanto, 2011:21). Dalam Kitab Suci, pengertian dari kata “katakese” dapat ditemukan dalam (Luk. 1: 4) “mengajar”; (Kis. 18:25) “pengajaran dalam jalan Tuhan”; (Kis. 21:21) mengajar; (Rm. 2:18) “diajar”; (1 Kor. 14:19) “mengajar”; (Gal. 6:6) “pengajaran”. Berdasarkan konteks ini, katekese dimengerti sebagai tugas Gereja dalam mengusahakan pengajaran, pembinaan, dan pendalaman iman bagi umat kristiani, supaya iman umat beriman yang sudah dibaptis semakin di teguhkan, diterangi dan diperkembangkan, (KHK, Kan. 773-780). Dengan kata lain katakese adalah segala usaha Gereja untuk menolong umat beriman kristiani

9

semakin memahami, menghayati, dan mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari. Yang di dalamnya terdapat unsur pendidikan, pengajaran, pendidikan, pendalaman, pembinaan, pengukuhan dan pendewasaan (Telaumbanua, 1999:5).

Katekese merupakan komunikasi iman, yang mengandung unsur baik pengetahuan maupun pengalaman iman, untuk meneguhkan, menghayati dan mengembangkan iman umat sampai terbentuk perilaku beriman yang dewasa dan mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan (KomKat KWI, 2015:14).

B. Berkatekese di Era Digital

Di era digital ini, Tuhan menyapa umatnya melalui budaya digital. Pada zaman sekarang ini Tuhan menyampaikan sabda-sabdaNya kepada orang-orang yang hidup dalam pangkuan dan rangkulan budaya digital. Gereja menerima dengan gembira serta memandang budaya digital sebagai anugerah Allah yang dapat mengajak umat beriman untuk memanfaatkan sarana-sarana digital bagi pewartaan Kabar Gembira. Diperlukan pula integrasi antara warta gembira tersebut dengan budaya baru yang tercipta dari komunikasi modern. Tujuan katekese adalah untuk meneguhkan iman, menghayati iman dan mengembangkan iman tersebut sampai pada terbentuknya perilaku beriman yang dewasa dan mampu menghadapi berbagai tantangan di zaman ini (KomKat KWI, 2015:14).

Katekese dapat dilangsungkan melalui komunitas-komunitas, semakin banyak komunitas yang dimiliki semakin banyak pula kesempatan untuk berkatekese. Dalam berkomunitas terjadilah berbagi informasi bahkan saling

meneguhkan. Hal meneguhkan iman inilah yang dapat digunakan sebagai ajang berkatekese yang dapat digunakan sebagai pewartaan, para peserta diarahkan kepada pertobatan yang terwujud dalam perubahan sikap baik terhadap orang sekitar, keluarga atau masyarakat yang bermuara pada perubahan tindakan nyata.

C. Pengertian Katekis

Katekis berasal dari kata katechein yang mempunyai arti: mengkomunikasikan, membagikan informasi, mengajarkan hal-hal berkaitan dengan iman (Indra Sanjaya, 2011: 16). Katekis ialah kaum awam yang terlibat dalam kegiatan membagikan atau mewartakan Kabar Gembira, sebagai wujud partipasi mereka dalam tugas Gereja dengan membagikan dan mendampingi serta memperkembangkan atau mendewasakan iman umat baik di dalam lingkup sekolah maupun dalam lingkup paroki.

Seorang katekis seharusnya adalah umat beriman Kristiani awam yang dibina dengan semestinya dan unggul dalam kehidupan Kristiani, di bawah bimbingan seoarng misionaris yaitu pastor atau awam yang dianggap mampu mendampingi, mereka itu membaktikan diri untuk menyampaikan ajaran Injil serta mengatur pelaksanaan-pelaksanaan liturgi dan karya amal kasih (KHK. Kan 785).

Katekis adalah mereka yang berada di tengah-tengah umat beriman yang berhadapan langsung dengan problematika yang sedang dihadapi oleh umat beriman.

Merekalah yang mengajar dan mendengar keluh kesah umat. Katekis hadir sebagai perpanjangan diri Allah yang hadir dalam setiap pribadi yang merindukan hidup Ilahi. Umat membutuhkan pewarta agar setiap hati semakin tersapa oleh

11

bisikan Allah yang murah hati. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa mereka adalah ujung tombak atau di posisi terdepan dalam Gereja (Indra Sanjaya, 2011: 11).

Dari segi waktu untuk berkarya, dapat kita jumpai katekis full time, katekis part time, katekis kontrak, dan katekis sukarelawan (Kotan, 2005: 143). Dari segi pendidikan, katekis di Gereja Indonesia diketegorikan ke dalam dua bentuk yaitu akademis dan non akademis.

D. Peran Katekis

Para katekis memiliki peran dan tanggung jawab yang sangat besar dalam kehidupan Gereja. Gereja, khususnya Gereja Indonesia, tidak mungkin hidup tanpa kehadiran dan peran para katekis. Para katekis memperkenalkan iman akan Allah dalam diri Yesus Kristus kepada orang-orang yang sudah beriman kepada Allah. Oleh para katekis, Umat dibantu untuk mengenal dan memperdalam pemahaman tentang iman mereka.

Salah satu tugas para katekis yakni mendampingi agar umat dapat menghayati iman mereka secara cerdas, tangguh, mendalam dan misioner. Katekese mengacu pada pengajaran lisan untuk menyampaikan semua yang telah diterima di dalam dan melalui Yesus Kristus, yakni keselamatan Allah. Katekese juga diartikan sebagai tindakan mengajarkan Jalan Tuhan, yakni Yesus Kristus (Kis. 18:25).

Katekese dilakukan untuk membantu terjadinya proses pendidikan iman. Yang diwahyukan bukan rumusan-rumusan dogma atau ajaran melainkan Allah sendiri yang selalu memberikan diriNya (bdk DV, 2 & 6) dalam cinta melalui Yesus, Allah yang hidup di tengah-tengah kita untuk kita (EG 128). Karenanya katekese bukanlah sekedar sebuah pengajaran, melainkan proses komunikasi iman antara katekis dengan para peserta katekese dan antar peserta ketekese itu sendiri.

Katekese mesti membantu peserta ketekese untuk menyadari bahwa tanggung jawab utamanya adalah meresapi dunia dengan semangat Kristiani dan menjadi saksi Kristus di tengah masyarakat manusia serta menyinari dan mengatur semua hal-hal fana, sehingga semua itu selalu terlaksana dan berkembang menurut kehendak Kristus, demi kemuliaan Sang Pencipta dan Penebus (LG 31).

E. Antara Tugas dan Panggilan

Menjadi seorang katekis adalah menjadi seorang pengajar atau guru. Apa syarat untuk bisa menjadi pengajar? Salah satu syaratnya adalah pengorbanan. Pengorbanan akan dilakukan jika seseorang memang mencintainya, mencintai pekerjaan itu dan menghidupinya.

Pengorbanan yang di dorong oleh rasa cinta pun melahirkan kebahagiaan sejati. Inilah paradoks pengorbanan: ada rasa sukacita dalam tindakan berkorban. Mengapa hal itu dapat terjadi? Omnia vincit amor (cinta mengalahkan segalanya) (da Santo, 2019:25).

Pengorbanan sebagai seorang guru, katekis atau pengajar tidaklah berbeda dengan pengorbanan seorang ibu yang rela berkorban demi anaknya. Akan berbeda jika

13

yang mendasari perbuatan pengorbanan itu bukanlah atas dasar cinta. Kendati demikian, syarat untuk mendalami perutusan atau pengorbanan adalah melakukannya dengan cinta. Jika cinta mengalahkan segalanya, tidak ada penderitaan dalam sebuah tugas atau pekerjaan (da Santo. 2019:25). Di zaman sekarang ini jika seorang guru, katekis atau pengajar merasa menderita karena tugas dan pekerjaannya menyita banyak waktu hingga tidak dapat kumpul dengan keluarga, tidak dapat liburan ke tempat-tempat mewah, tidak mendapat upah yang dirasa cukup, orang yang semacam ini tidak dapat bersyukur yang merasa tugas dan pekerjaannya hanya untuk bertahan hidup.

Menjadikan pekerjaan sebagai sebuah keterpaksaan disebabkan karena tidak mencintai profesi tersebut. Kesadaran diri untuk memahami dan menghayati perasaan, antara tugas dan panggilan tentu memuat konsekuensi bahwa mengajar bukan lagi sekadar mencari upah. Kesadaran itu memengaruhi ikatan guru dengan pekerjaannya, dalam hal memotivasi, disiplin meningkatkan kuantitas dan kualitas kerja serta meningkatkan kepribadian sebagai seorang guru (da Santo, 2019:29).

F. Pengertian Handal

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud 2003: 15), kata handal berasal dari kata andal, yang memiliki arti dapat dipercaya, memberikan hasil yang sama pada ujian atau percobaan yang berulang. Dalam bahasa Inggris, handal adalah reliable yang secara etimologis menurut A Concise Etymological Dictionary Of The English Language (Skate 2013: 441) berasal dari kata rely, jika dalam sebuah kalimat to repose on trustfully. Yang memiliki arti: (1)

mempercayakan, (2) menyandarkan diri, (3) mengandalkan. Sebagai contoh: He relies on me: ia menyandarkan nasipnya padaku. Rely terdiri dari 4 karakter dengan karakter r dan diakhiri dengan karakter y dengan 1 huruf vokal.

G. Pengertian Efektif

Efektivitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata efektif yang diartikan dengan: a) ada efeknya (ada akibatnya, pengaruh, ada kesannya), b) manjur atau mujarab, c) dapat membawa hasil, berhasil guna (usaha, tindakan). Menurut Siagian (2001: 24), efektif adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Menurut Abdurahmat (2003:92), efektif adalah pemanpaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada waktunya. Selain itu, kata ini juga bisa bermakna bisa membawa hasil terkait suatu usaha atau tindakan. Efektif adalah sebuah usaha untuk mendapatkan tujuan, hasil atau target yang diharapkan dengan waktu yang telah ditetapkan terlebih dahulu tanpa memperdulikan biaya yang harus atau sudah dikeluarkan.

H. Perubahan Zaman

1. Situasi Indonesia dan Tantangan Katekese

Sidang Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) pada 2011 merefleksikan perkembangan katekese di Indonesia yang dituangkan di dalam Pesan Pastoral.

15

Ada keprihatinan besar yang terjadi di dalam perkembangan katekese di tengah umat: isi katekese seringkali dirasa kurang memadai. Di satu pihak, katekese yang memberi tekanan pada tanggapan iman atas hidup sehari-hari seringkali kurang memberi tempat pada aspek doktrinal, sehingga umat sering kali canggung dan takut ketika berhadapan dengan orang-orang yang mempertanyakan iman mereka.

Memang benar kemajuan teknologi makin tak terbendung. Begitu pesat. Dalam hitungan menit bahkan detik sudah ada perubahan. Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat dapat mengubah perilaku manusia. Perubahan teknologi itu juga berdampak pada perubahan budaya dari generasi ke generasi (Iswarahadi, 2017: 114).

Kenyataaan ini menantang kita untuk lebih bersungguh-sungguh menciptakan dan mengembangkan model katekese yang bermutu dan menanggapi harapan. Di lain pihak, ketika katekese lebih memberi perhatian pada unsur-unsur doktriner, katekese dirasakan menjadi terlalu sulit bagi umat dan kurang bersentuhan dengan kenyataan hidup sehari-hari.

Katekese yang kurang menyentuh hati dan memenuhi harapan ini rupanya merupakan salah satu alasan yang mendorong sejumlah orang katolik, khususnya anak-anak dan orang muda yang pindah dan lebih tertarik kepada cara doa dan pembinaan Gereja-gereja lain yang dirasakan lebih menarik.

2. Literasi Media secara Kritis

Manusia tidak lagi dapat dipisahkan dari teknologi komunikasi seperti handphone dan internet. Dua teknologi komunikasi ini bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, kedua teknologi informasi ini mempercepat komunikasi antar

manusia di berbagai belahan dunia, disisi lain sangat banyak dampak negatifnya termasuk penyalahgunaan informasi, menyebarluaskan informasi yang tidak benar atau akurat, menjadi arena debat yang berujung pada fitnah dan pembulian dan banyak lagi lainnya. Kita sebagai manusia di era sekarang harus memiliki sikap kritis terhadap media apapun yang menghampiri. Sikap-sikap kritis seperti apa yang wajib kita miliki di era sekarang ini? Sikap-sikap kritis ini antara lain: a. Mengenali masalah. Pengenalan terhadap masalah merupakan langkah

pertama dalam membaca secara kritis. Jangan pernah menganggapi sesuatu, kalau kita tidak pernah tahu masalah utamanya.

b. Mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan untuk menguji kebenaran informasi.

c. Mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan oleh orang lain.

d. Menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah. Setelah berhasil mengidentifikasi masalah, langkah selanjutnya adalah mencari cara memecahkan masalah tersebut.

e. Mencermati hubungan logis antara masalah-masalah dengan jawaban-jawaban yang diberikan.

f. Mengambil keputusan untuk bertindak berdasarkan perbandingan sisi positif dan kelemahannya atau untung rugi dari tindakan yang kita lakukan, tentang sisi negatif informasi (Sihotang, 2019:205).

17

I. Era Informasi Menantang Gereja

Teknologi memberikan banyak perubahan di era sekarang. Saat sebelum ada pesawat telepon jika ingin memberi kabar kepada orang atau pihak lain harus menuliskan surat. Dapat memakan waktu lima hingga tujuh hari tergantung jarak tempuhnya. Saat ini banyak media yang dapat menghubungkan antar Negara, antar satelit pun sudah bisa. Banyak persahabatan dimulai hanya melalui email, telegram dan facebook yang hingga sekarang masih tetap menjadi sahabat.

Banyak pula yang menyalahgunakan kecanggihan teknologi tersebut, misalnya dengan maraknya kasus penipuan, pemerkosaan hingga pembunuhan. Semua orang dapat menjadi pembunuh atau penolong dalam media sosial tergantung niat dan motivasinya. Seorang pembunuh dapat berpura-pura menjadi seorang pacar yang pengertian, yang kemudian meminta untuk bertemu dan berakhir dengan membunuhnya. Kejadian penipuan atau hal negatif lainnya pun demikian, jika tidak mendapat persetujuan dari kedua pihak, pihak lain akan mencari lokasi tersebut karena di tiap ponsel atau media sosial ada GPSnya. Kesadaran Gereja akan berkembangnya komunikasi telah dituang dalam berbagai dokumen Gereja.

Inter mirifica (1963), misalnya, menegaskan segi positif dari media dan mendorong umat untuk memanfaatkannya dalam kerasulan. Di dalam Communio es Progressio (1971) ditegaskan pentingnya keterlibatan warga gereja dalam hal memanfaatkan media komunikasi untuk mewartakan Injil (Iswarahadi, 2003: 109).

Di dalam dokumen-dokumen itu ditegaskan tentang pentingnya pembelaan kebudayaan manusia yang terancam oleh mass media. Sayangnya dokumen-dokumen ini tidak dikenal oleh umat, maka memerlukan banyak sosialisasi dan

bimbingan untuk umat khususnya melalui para katekis, guru dan pimbina iman umat. Banyak umat yang merasa berat atas dokumen-dokumen tersebut, maka haruslah dibuat sebuah komunitas atau media khusus untuk menyampaikan pada umat pokok-pokok yang perlu diketahui umat atas dokumen-dokumen tersebut. Kini setiap keuskupan telah memiliki Komisi Komsos (komunikasi sosial) yang tugasnya adalah mengkoordinir berbagai kegiatan yang berhubungan dengan komunikasi sosial. Apakah Komsos ini sudah berfungsi atau belum?

Sejauh sebagai karya tersebut di ats bertujuan untuk memperjuangkan tumbuhnya Kerajaan Allah baik secara eksplisit meupun implisit, baik secara eksklusif maupun inklusif, karya-karya itu dapat disebut sebagai kerasulan komunikasi sosial. (Iswarahadi, 2003: 112).

Kemajuan teknologi ini pasti memiliki dampak negatif dan positif. Semua pihak mengeluh terhadap dampak negatifnya. Lantas apa yang akan kita perbuat sebagai para katekis dan pengajar? Salah satunya adalah tidak meneruskan berita bohong (hoax) kepada orang lain maupun khalayak ramai.

Pastikan kebenarannya dan mencari artikel ataupun informasi yang menguatkan beserta data-data dan fakta jika sudah ada. Jika masih ragu akan kebenaran informasi itu, hendaklah kita menahan diri untuk tidak meneruskannya, setidaknya kita lakukan untuk kebaikan diri kita sendiri karena jika tidak kita akan merugikan pihak lain dan terkena sanksi atas penyebaran berita bohong (hoax) yang telah di atur dalam UU ITE pasal 45A ayat (1).

J. Berkatekese Di Zaman Sekarang

Di era digital ini, Tuhan menyapa umatnya melalui budaya digital. Pada zaman sekarang ini Tuhan menyampaikan sabda-sabdaNya kepada orang-orang

19

yang hidup dalam pangkuan dan rangkulan budaya digital. Gereja menerima dengan gembira serta memandang budaya digital sebagai anugerah Allah mengajak umat beriman untuk memanfaatkan sarana-sarana digital bagi pewartaan Kabar Gembira.

Gereja memandang era digital bukan hanya dari segi peluang dalam hal cara berkomunikasi, melainkan juga tantangan bagi perilaku dan cara pandang yang memengaruhi hidup beriman. Fokus dan perhatian Gereja adalah bagaimana menyelamatkan perjumpaan antarpribadi, baik perjumpaan antarmanusia maupun perjumpaan manusia dengan Allah (Iswarahadi, 2017: 119).

Di dalam perjumpaan itu akan terjadi perjumpaan iman, harapan dan kasih, di dalam perjumpaan itu jalan menuju keselamatan dimulai. Oleh sebab itu, dunia katekese atau pewartaan mesti memerhatikan dan memerhitungkan situasi kateketis dari zaman digital ini (Iswarahadi, 2017: 119).

Katekese merupakan komunikasi iman, yang mengandung unsur pengetahuan maupun pengalaman iman yang bertujuan untuk meneguhkan iman, menghayati iman dan mengembangkan iman tersebut sampai pada terbentuknya perilaku beriman yang dewasa dan mampu menghadapi berbagai tantangan di zaman ini. Katekese dapat dilangsungkan melalui komunitas-komunitas. Dalam berkomunitas terjadilah berbagi informasi bahkan saling meneguhkan dalam hal meneguhkan iman, inilah yang dapat digunakan sebagai ajang berkatekese. Para peserta diarahkan kepada pertobatan yang terwujud dalam perubahan sikap baik terhadap orang sekitar, keluarga atau masyarakat yang bermuara pada perubahan tindakan nyata.

BAB III

ISI BUKU DAN TANGGAPAN KRITIS

Pada bab III ini penulis menyampaikan isi buku “Menjadi Katekis Handal Di Zaman Sekarang” serta menjawab perumusan masalah dan refleksi kateketis. Pada buku “Menjadi Katekis Handal Di Zaman Sekarang” penulis menemukan 5 bagian besar yakni (1) Situasi Indonesia Sebagai Tantangan Katekese, (2) Membangun Identitas di Tengah Masyarakat Plural, (3) Areopagus Baru: Era Digital dan Generasi Digital, (4) Siapa Sumber Kebenaran, (5) Belajar dari Paulus, (6) Berkatekese dalam Semangat Konsili Vatikan II, dan (7) .

A. Isi Buku

1. Situasi Indonesia Sebagai Tantangan Katakese

Bagian pertama buku ini membahas “konteks situasi Indonesia Sebagai Tantangan Katekese” karya Martinus Ariya Seta pada halaman 3-9. Dikatakan bahwa katekese merupakan bagian dari usaha Gereja untuk mewartakan sabda Tuhan di tengah situasi konkret yang melingkupi umat Katolik. Katekese dirasakan sangat bernuansa pastoral karena katekese tidak berkutat pada spekulasi pemikiran teologis tentang tradisi Gereja. Katekese diharapkan bergerak maju untuk menolong sesama dalam proses bangkit serta berkembangnya penghayatan iman. Penghayatan iman harus diwujudkan dalam kenyataan konkret sehari-hari yang disesuaikan dengan kondisi kehidupan umat. Katekese dewasa ini cenderung menitikberatkan sisi doktriner yang dapat menghilangkan daya tarik

21

katekese, inilah tantangan ketekese dalam situasi Indonesia. Ajaran Gereja yang memuat rumusan bahasa teologis dirasa rumit oleh umat, namun jika dihilangkan akan menjadikan kebutaan iman, kebodohan keagamaan dan buta huruf di bidang agama dan iman. Oleh karena itu tidak mengherankan jika banyak umat katolik yang tidak tahu dan tidak memahami ajaran agamanya.

Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) pada 2011 merefleksikan perkembangan katekese di Indonesia yang dituangkan di dalam Pesan Pastoral. Ada keprihatinan besar yang terjadi di dalam perkembangan katekese di tengah umat: isi katekese seringkali dirasa kurang memadai. Di satu pihak, katekese yang memberi tekanan pada tanggapan iman atas hidup sehari-hari seringkali kurang memberi tempat pada aspek doktrinal, sehingga umat sering kali canggung dan takut ketika berhadapan dengan orang-orang yang mempertanyakan iman mereka.

Di lain pihak, ketika katekese lebih memberi perhatian pada unsur-unsur doktriner, katekese dirasakan menjadi terlalu sulit bagi umat dan kurang dekat dengan kenyataan hidup sehari-hari. Katekese yang kurang dekat dan kurang menyentuh hati untuk memenuhi harapan ini merupakan salah satu alasan yang mendorong sejumlah orang katolik, khususnya anak-anak, orang muda, terutama kaum muda yang akan membangun keluarga. Mereka pindah dan lebih tertarik kepada cara doa dan pembinaan Gereja-gereja lain yang dirasakan lebih menarik. Kenyataaan ini menantang kita untuk lebih bersungguh-sungguh menciptakan dan mengembangkan model katekese yang bermutu dan menanggapi harapan umat serta semakin menonjolkan kualitas-kualitas khusus yang hanya dimiliki oleh Gereja Katolik Roma.

2. Membangun Identitas di Tengah Masyarakat Plural

Bagian sub judul kedua dari “konteks situasi Indonesia dan tantangan katekese” dalam buku ini membahas tentang bagaimana membangun identitas di tengah masyarakat plural karya Martinus Ariya Seta pada halaman 9-12. Masyarakat plural memiliki pengertian sebagai masyarakat yang memiliki keberagaman dari segi budaya, suku, dan etnis. Pluralitas di dalam katekese menurut General Directory for Cathecjhesis (GDC) sangat menekankan peran katekese sebagai pembentuk identitas di tengah masyarakat yang Plural.

Secara khusus GDC juga memberikan arah katekese ditengah pluralitas agama-agama dengan memperdalam dan memperteguh identitas sebagai umat Katolik dengan memanfaaatkan perjumpaan dengan umat beragama lain. Umat diharapkan untuk dapat belajar dan mandalami ajaran agama lain hingga dapat memilah unsur-unsur kebenarannya dan tidak mencampur adukkan kedalam iman Katolik supaya umat tidak mengalami kedangkalan iman ditengah gencarnya gerakan dialog dan toleransi.

Pengakuan dan penghormatan terhadap agama lain tidak menghilangkan panggilan kesaksian Gereja Katolik. Sebuah dialog akan memiliki kualitas kesaksian jika ada keseriusan dalam memandang imannya masing-masing. Dialog menjadi jalan untuk menegaskan identitas iman Kristiani di dalam sebuah relasi dengan yang lain. Di dalam perjumpaan dengan agama lain, katekese harus menangkap peluang ini sebagai salah satu usaha untuk menumbuhkan penghayatan terhadap iman katolik.

23

Seseorang tidak harus menanggalkan imannya untuk dapat berdialog, dikarenakan sebuah dialog hanya akan terjadi jika seseorang itu menghayati dengan sungguh-sungguh imannya tanpa harus merisaukan perbedaan dengan agama lain. Dalam pernyataan Nostra Aetate (NA) dengan hubungan Gereja dengan agama-agama bukan Kristen ditegaskan bahwa prinsip koeksistensi harus dibangun dalam sebuah “dialog” dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sembil memberi kesaksian tentang iman serta perihal hidup Kristiani,

Dokumen terkait