• Tidak ada hasil yang ditemukan

T U G A S A K H I R. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "T U G A S A K H I R. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

i

MENDALAMI DAN MENEMUKAN CARA EFEKTIF

UNTUK MENJADI KATEKIS HANDAL: BELAJAR

DARI BUKU “MENJADI KATEKIS HANDAL DI ZAMAN

SEKARANG” Editor: Ignatius L. Madya Utama, SJ

T U G A S A K H I R

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik

Oleh:

Claudia Helena Kristanti

NIM : 131124024

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2021

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

Tugas akhir ini kupersembahkan kepada semua katekis yang masih berkarya dan bersemangat untuk melayani Gereja, serta kepada yang terkasih kedua orang tuaku, Bapak Andrianus Bandono dan Ibu Fransisca Hana Tabiatin, kepada

Saudara-saudaraku tercinta adik Yosafat Handri Siwi dan adik Prosper Dian Alma Pacem, teman-teman PAK USD 2013, yang setia memberi doa, dukungan dan motivasi kepada penulis, serta teman-teman yang selalu membantu dan mendukung hingga

(5)

v MOTTO

“Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu, seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia”

(6)
(7)
(8)

viii ABSTRAK

Tugas akhir ini berjudul “MENDALAMI DAN MENEMUKAN CARA EFEKTIF UNTUK MENJADI KATEKIS HANDAL: BELAJAR DARI BUKU “MENJADI KATEKIS HANDAL DI ZAMAN SEKARANG” Editor: Ignatius L. Madya Utama, SJ. Penulis memilih judul ini berdasarkan keprihatinan terhadap

perubahan arus zaman yang menyebabkan tantangan pelayanan para katekis semakin rumit dan kompleks. Tantangan terbesar zaman inidiakibatkan oleh pesatnya teknologi digital yang menjadikan para katekis harus menanggapinya dengan efektif dan bijaksana. Persoalan pokok dalam tugas akhir ini adalah cara efektif macam apa yang dapat digali dan ditemukan dari buku “Menjadi Katekis Handal Di Zaman Sekarang Editor: Ignatius L. Madya Utama, SJ.”. Persoalan tersebut ditanggapi penulis menggunakan metode deskriptif analisis, dengan langkah-langkah yang digunakan adalah membaca buku dan memahaminya, mencari pokok-pokok isi buku dan pendalaman isi buku, mencari jawaban atas perumusan masalah, merefleksikan jawaban-jawaban tersebut kemudian memberi tanggapan yakni berupa simpulan dan saran, guna memperoleh cara efektif dalam menjadi katekis handal di zaman sekarang. Penulis menemukan bahwa menjadi katekis yang handal di zaman sekarang harus dilakukan sebagai panggilan yang memperhatikan setiap prosesnya sehingga umat menyadari tingkat kedewasaan imannya, setia mengikuti Kristus, serta terbuka pada perkembangan zaman. Katekis memiliki peran yang sangat vital bagi perkembangan Gereja. Katekis harus menjadi gembala yang baik bagi dombanya, gembala yang menghantarkan dombanya pada padang rumput yang subur dan hijau, yang mengantarkan pada kebenaran. Oleh karena itu penulis menawarkan tugas akhir ini untuk menjadi bahan renungan yang dapat membantu katekis dalam berkatekese dan dapat menjadi katekis handal di zaman sekarang ini.

(9)

ix ABSTRACT

This final project is entitled “DEEPENING AND FINDING AN EFFECTIVE WAY TO BECOME A RELIABLE CATECHIST: LEARNING FROM THE BOOK “BECOMING A RELIABLE CATECHIST IN TODAY’S ERA” (Editor: Ignatius L. Madya Utama). The writer chose this title based on her concern about the changing times that cause the challenges of catechists become more complex. Today's challenges ensued the rapid development of digital technology, which makes catechists should respond it as effectively and wisely as possible. The main problem in this final paper is what kinds of effective methods can be explored and founded from the book “BECOMING A RELIABLE CATECHIST IN TODAY’S ERA“Editored by: Ignatius L. Madya Utama, SJ.” The writer responds to this problem using the descriptive analysis method, with the steps used are reading the book and understanding it, looking for the main points of the book and deepening the book's contents, looking for answers to the formulation of the problem’s, reflecting on these answers then giving conclusions and recommend, in order to find an effective way to become a reliable catechist in today’s era. The author finds that being a reliable catechist today must be done as a calling that consider to every process so that people realize the maturity of their faith, faithfully follow Christ, and are open to the times. Catechists have a very vital role in the development of the Church. The catechist must be a good shepherd for his or her sheep, a shepherd who delivers his or her sheep to lush green pastures, who brings to the truth. Therefore, the writer offers this final paper to be a material for reflection that can help catechists in heredication and can become reliable catechists in this era.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Bapa karena kasihNya yang besar memampukan penulis untuk dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “MENDALAMI DAN

MENEMUKAN CARA EFEKTIF UNTUK MENJADI KATEKIS HANDAL: BELAJAR DARI BUKU “MENJADI KATEKIS HANDAL DI ZAMAN SEKARANG” Editor: Ignatius L. Madya Utama, SJ. Tugas akhir ini ditulis untuk

memahami dan menanggapi realitas perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sebagai medan perjumpaan dari pola komunikasi dan relasi pembina iman Katolik, khususnya para katekis. Pesatnya perubahan zaman turut mempengaruhi pola berpikir, cara bertindak dan perkembangan iman dalam menjalani kehidupannya sebagai pewarta iman atau katekis. Oleh sebab itu, penyusunan tugas akhir ini dimaksudkan untuk memberi sumbangan pemikiran untuk menjadi katekis handal di zaman sekarang untuk para katekis dan pembina iman dimanapun berada. Menjadi katekis yang handal adalah cara utama untuk berkatekese di zaman sekarang. Cara-cara efektif yang dapat digunakan para katekis yakni memahami karakter umat, melatih mental dan kepercayaan diri dengan bantuan modul-modul katekese, beserta media pendukung lainnya seperti video dan audio-visual. Untuk menjadi seorang katekis yang handal, diperlukan spiritualitas yang menjadikan Tuhan Yesus sebagai gurunya. Kita para katekis harus menjadi gembala yang baik bagi dombanya, gembala yang menghantarkan dombanya pada padang rumput yang subur dan hijau, yang mengantarkan pada kebenaran. Selain itu, tugas akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

(11)

xi

Tersusunnya tugas akhir ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis dengan hati penuh syukur mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Drs. Y. Ispuroyanto Iswarahadi, S.J., M. A. selaku dosen pembimbing utama yang selalu memberikan perhatian, meluangkan waktu dan dengan penuh kesabaran membimbing penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Dr. B. A Rukiyanto, S.J., selaku Kaprodi Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik dan sekaligus sebagai dosen peguji III yang telah bersedia membaca, memberikan kritik dan masukan serta dukungan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Petrus Banyu Dewa, Harya Sigit. S.Ag., M.Si sebagai dosen pembimbing akademik sekaligus dosen penguji II yang telah bersedia mendukung, membaca, menguji, memberikan kritik dan masukan kepada penulis dalam penyelesaian tugas akhir ini.

4. Seluruh staf dosen dan karyawan Program Studi PENDIKKAT-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang telah mendidik, dan membimbing penulis selama belajar sampai selesainya tugas akhir ini.

5. Kedua orang tua Bapak Andrianus Bandono dan Ibu Fransisca Hana Tabiatin, serta adik Yosafat Handri Siwi dan adik Prosper Dian Alma Pacem, yang telah menjadi sumber motivasi dan semangat untuk penulis dalam menempuh studi di Prodi PENDIKKAT, FKIP, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 6. Teman-teman mahasiswa Pendidikan Keagamaan Katolik terkhusus angkatan

2013 yang selalu memberi warna, semangat, motivasi, dorongan dan bantuan bagi penulis selama mengikuti proses perkuliahan hingga penyelesaian tugas akhir ini.

7. Seluruh warga kampus Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik yang telah menemani, memberi semangat serta dukungan doa dari awal perkuliahan hingga penyelesaian tugas akhir ini.

(12)
(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………. ii

HALAMAN PENGESAHAN ……… iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ………. iv

HALAMAN MOTTO ………. v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………. vi

PERSETUJUAN PUBLIKASI ………... vii

ABSTRAK ……….. viii

ABSTRACT ………. ix

KATA PENGANTAR ………. x

DAFTAR ISI ……… xiii

DAFTAR SINGKATAN ………. xvi

BAB I. PENDAHULUAN ……….. 1 A. Latar Belakang ………... 1 B. Rumusan Masalah ……….. 2 C. Batasan Masalah ………. 3 D. Tujuan Penulisan ………. 3 E. Manfaat Penulisan ……….. 4 F. Sistematika penulisan ………. 4

(14)

xiv

G. Metode Penulisan ………. 6

H. Fokus Penulisan ……… 6

BAB II. KAJIAN TEORI ………... 8

A. Katekese ……… 8

B. Berkatekese di Era Digital ……… 9

C. Pengertian Katekis ……… 10

D. Peran Katekis ………. 11

E.

Antara Tugas dan Panggilan ………... 12

F.

Pengertian Handal ……….. 13

G.

Pengertian Efektif ………... 14

H. Perubahan Zaman ……….. 14

1. Situasi Indonesia dan Tantangan Katekese ……… 14

2. Literasi Media secara Kritis ………... 15

I. Era Informasi Menantang Gereja ……….. 16

J. Berkatekese di Zaman Sekarang ………. 18

BAB III. ISI BUKU DAN TANGGAPAN KRITIS ……… 20

A. Isi Buku ………... 20

1. Situasi Indonesia Sebagai Tantangan Katakese ………..… 20

2. Membangun Identitas di Tengah Masyarakat Plural ……... 22

3. Areopagus Baru : Era Digital dan Generasi Digital ………… 23

4. Siapa Sumber Kebenaran ……… 24

5. Belajar dari Paulus ………. 25

6. Berkatekese Dalam Semangat Konsili Vatikan II …………. 27

7. Gereja Menurut Federasi Konferensi Waligereja-Konferensi Waligereja Asia………... 30

(15)

xv

1. Peranan Katekis dalam Mengedukasi Umat Katolik ……….…. 31

2. Aspek yang Perlu Diperhatikan dalam Dampak Berkatekese Menggunakan Media Sosial untuk Umat Gereja ……… 33

3. Katekis Mampu Memasuki Era Digital ……….. 36

4. Katekis dapat Menggunakan Media Sosial dengan Bijak …..… 37

C. Refleksi Kritis Kateketis ……… 38

D. Kelebihan dan Kekurangan Buku Utama “Menjadi Ketekis Handal Di Zaman Sekarang” ……… 40

1. Kelebihan Buku ……… 40

2. Kekurangan Buku ………. 42

BAB IV. PENUTUP ……… 42

A. Simpulan ……… 42

B. Saran ………. 43

(16)

xvi

DAFTAR SINGKATAN A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam tugas akhir ini mengikuti Alkitab Deuterokanika © LAI 1976. (Alkitab yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam terjemahan baru, yang diselenggarakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia, ditambah dengan Kitab-Kitab Deuterokanonika yang diselenggarakan oleh Lembaga Biblika Indonesia. Terjemahan diterima dan diakui oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia. Jakarta: LAI, 2009.

B. Singkatan Dokumen Gereja

CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II kepada para uskup, klerus dan segenap umat beriman tentang Katekese Masa Kini, 16 Oktober 1979.

DV : Dei Verbum, Konstitusi Dogmatis Tentang Wahyu Ilahi, 18 November 1965

EG : Evangelii Gaudium, Anjuran Apostolik Paus Fransiskus tentang Sukacita Injil, 24 November 2013

GS : Gaudium Et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, 7 Desember 1965.

KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), susunan atau kodifikasi peraturan kanonik dalam Gereja Katolik, 25 Januari 1983.

NA : Nostra Aetate, Pernyataan tentang Hubungan Gereja Dengan Agama-Agama Bukan Kristiani, 28 Oktober 1965

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang Gereja, 21 November 1964.

(17)

xvii C. Singkatan-singkatan Lain

GPS : Global Positioning System Kan : Kanon

Lih : Lihat

Komkat : Komisi Kateketik Komsos : Komunikasi Sosial

KWI : Konferensi Wali Gereja Indonesia GDC : General Directory for Cathechesis SAGKI : Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia dan budaya hidup saling memengaruhi, suatu budaya memengaruhi kehidupan manusia. Proses saling memengaruhi ini terjadi sejak zaman batu hingga zaman sekarang, yang telah melewati berbagai proses dinamika dan perkembangan zaman. Saat ini kita berada di era digital dimana kita menjalani dan menghayati hidup dalam konteks budaya digital.

Cara hidup di zaman ini mengalami perubahan sesuai dengan pengaruh teknologi digital, sangat berbeda dengan cara hidup di era sebelumnya. Hidup umat beriman tidak lepas dari pengaruh era digital, terutama sebagai katekis atau pewarta yang tindakannya diutus untuk mendampingi dan membina iman umat beriman. Era digital memiliki karakteristik.

Menurut PPKI X gambaran karakteristiknya antara lain, informasi yang berlimpah, relasi langsung namun bercorak sepintas dan dangkal, corak pengetahuan yang didapat: cepat namun tidak mendalam, memiliki bahasa baru dalam berkomunikasi, manusia yang cenderung semakin tidak manusiawi (KomKat KWI, 2015:10).

Dari kelima karakteristik itu dapat disimpulkan bahwa di era digital zaman sekarang, internet memberikan segudang informasi yang membuat manusia atau penggunanya seolah mendapat ilmu baru yang didapatkan dengan cepat dan mudah, namun belum pasti dapat menjalani atau menumbuhkannya. Karena

(19)

sebuah informasi baru hanyalah sebatas pengetahuan, belum menjadi ilmu jika belum dipraktikkan (KomKat KWI, 2015:11). Informasi-informasi yang didapat ini pasti belum mendalam dan sebagian besar hanya menjadi “bugs” bagi banyak orang, yang membuatnya semakin bingung untuk hidup di era digital. Kemajuan teknologi digital yang membuat semua orang bisa berkomunikasi secara real time dengan berbagai orang dibelahan dunia inilah yang membuat relasi dangkal dan tidak mendalam.

PPKI X menegaskan, bahwa karakterisktik di era digital menimbulkan pertanyaan sekaligus tantangan bagi cara orang berkomunikasi: apakah sungguh disertai dengan komitmen, ketulusan, keterlibatan dan kesetiaan? Karena komunikasi lewat media digital berlangsung tanpa perjumpaan fisik, mengandalkan apa yang didengar, ditulis atau ditampilkan secara digital. Selebihnya orang tidak tahu apa yang didengar, ditulis atau ditampilkan tersebut adalah sejujurnya merupakan kebenaran atau tidak; dan apakah partner komunikasi lewat sarana digital tersebut bisa diandalkan komitmen maupun keterlibatannya, apalagi kesetiaannya. (KomKat KWI, 2015:12). Itulah sebabnya penulis membaca dan mendalami buku “Menjadi Katekis Di Zaman Sekarang” untuk meningkatkan semangat pelayanan katekis di zaman sekarang yang sangat memerlukan katekis handal yang dapat dipercaya, dan sebagai sandaran oleh umat demi memperkembangkan iman.

B. Rumusan Masalah

Seorang katekis di zaman sekarang yang juga sebagai guru, memerlukan cara-cara efektif dalam mengajar supaya apa yang disampaikan dapat diterima oleh Umat dengan senang hati dan iman Umat dapat bertumbuh. Cara efektif dalam menjadi katekis handal belum dimiliki oleh semua katekis. Oleh karena itu

(20)

3

penulis mengidentifikasi masalah yang digali dari buku “Menjadi Katekis Handal Di Zaman Sekarang”sebagai berikut:

1. Apakah katekis di zaman sekarang mampu memasuki dunia dan era digital?

2. Cara apa yang bisa dilakukan untuk menjadi katekis yang mampu dan bersedia menggunakan media sosial dengan bijak di era digital?

3. Bagaimana peranan katekis dalam mengedukasi umat Katolik di zaman sekarang?

4. Aspek apa sajakah yang perlu diperhatikandalam dampak berkatekese menggunakan media sosial ini untuk umat Gereja?

C. Batasan Masalah

Setelah melihat permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan diatas penulis memilih satu aspek yang akan dikaji yaitu bagaimana menemukan cara yang efektif untuk berkatekese di era digital beserta apa pengaruhnya terhadap umat Gereja dalam penanaman nilai keimanan dalam ranah media.

D. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Mendapatkan cara efektif dalam menjadi katekis di zaman sekarang. 2. Memahami arti dan makna menjadi katekis handal di zaman sekarang. 3. Menjadi katekis yang handal dan dapat diandalkan pada zaman sekarang.

(21)

4. Untuk mengetahui kualitas khusus yang hanya dimiliki oleh Gereja Katolik Roma yang dapat digunakan sebagai katekis dalam menjadi katekis handal.

E. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi Katekis

Membantu meningkatkan kesadaran bagaimana menjadi katekis yang handal dan dapat diandalkan pada era digital di zaman sekarang ini.

2. Bagi Umat Gereja

Memberikan pengertian dan kesadaran pada umat bahwa dalam mengembangkan iman haruslah mau, mampu dan besedia menggunakan media sosial untuk dapat berdialog dengan para ketekis agar iman dapat berkembang.

3. Bagi Penulis

Penulis memperoleh wawasan dan informasi yang lebih dalam mengenai pengaruh media sosial terhadap peran katekis dan mengetahui cara dan terobosan yang dapat digunakan untuk berkatekese pada era digital di zaman sekarang.

4. Bagi Pembaca

Pembaca memperoleh informasi dan mengetahui seberapa penting peranan katekis yang handal dalam mengunakan media sosial untuk memperkembangkan iman umat dan pembaca.

(22)

5

F. Sistematika Penulisan

Judul tugas akhir yang dipilih penulis adalah “Mendalami dan Menemukan

Cara Efektif untuk Menjadi Katekis Handal: Belajar dari Buku“Menjadi Katekis Handal Di Zaman Sekarang”. Secara keseluruhan penulisan tugas akhir ini dibagi ke dalam empat bab. Adapun perinciannya sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II merupakan kajian teori sebagai landasan penulis membaca dan mengkritisi buku “Menjadi Katekis Handal Di Zaman Sekarang”, kemudian dilanjutkan dengan pemaparan mengenai katekese dan sosok katekis yang terdiri dari identitas katekis, peran katekis, antara tugas dan panggilan, pengertian handal, perubahan zaman yang terdiri dari situasi indonesia dan tantangan katekese, literasi media secara kristis, era informasi menantang Gereja, dan bagaimana berkatekese di situasi zaman sekarang.

Bab III menguraikan isi buku “Menjadi Katekis yang Handal di zaman Sekarang”serta pembahasan dan menjawab pertanyaan yakni: Apakah katekis di zaman sekarang mampu memasuki dunia dan era digital? Cara apa yang bisa dilakukan untuk menjadi katekis yang mampu dan bersedia menggunakan media sosial dengan bijak di era digital? Bagaimana peranan katekis dalam mengedukasi umat Katolik di zaman sekarang? Aspek apa sajakah yang perlu diperhatikan dalam dalam dampak berkatekese menggunakan media sosial ini untuk umat Gereja? Kemudian penulis akan melanjutkan bagian kedua dengan refleksi kritis

(23)

mengenai ketekis demi terwujudnya seorang katekis yang handal dan dapat diandalkan di era digital seperti zaman sekarang ini.

Bab IV merupakan penutup yang terdiri dari simpulan dan saran.

G. Metode Penulisan

Penulis menggunakan metode deskriptif analisis atau descriptive research. Melalui metode deskriptif analisis peneliti berusaha memaparkan secara jelas berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan. Peneliti berusaha merekan seluruh gejala atau peristiwa yang terjadi pada saat pelaksanaan metode kreatif di lapangan untuk kemudian dipaparkan sebagaimana adanya untuk menjawab semua pertanyaan. Data yang diperoleh (berupa kata-kata, gambar, perilaku) tidak dituangkan dalam bentuk bilangan atau angka statistik, melainkan tetap dalam bentuk kualitatif yang memiliki arti lebih kaya dari sekedar angka atau frekuensi.

Metode yang dimaksud bertujuan untuk membuat pencadaran (deskripsi) mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian. Penelitian deskriptif dengan menggunakan data akumulasi dasar adalam cara deskriptif, semata-mata tidak perlu mencari atau memerangkan saling hubungan, membuat ramalan atau mendapatkan makna dari implikasi. Metode ini berupaya menjabarkan penelitian yang telah dilakukan dan hasil yang diperoleh dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang dinyatakan dalam kata-kata atau simbol.

Langkah-langkah yang digunakan adalah membaca buku dan memahaminya, mencari pokok-pokok isi buku dan pendalaman isi buku, mencari jawaban atas perumusan masalah, merefleksikan jawaban-jawaban tersebut

(24)

7

kemudian memberi tanggapan yakni berupa simpulan dan saran. Penulis menggunakan studi pustaka yang bertujuan untuk memperoleh gambaran nyata tentang mendalami dan menemukan cara efektif untuk menjadi katekis handal: belajar dari buku “Menjadi Handal Di Zaman Sekarang”.

H. Fokus Penulisan

Penulis berfokus pada mencari jawaban akan cara-cara yang efektif yang dapat digunakan oleh katekis dalam berkatekese di zaman sekarang. Rumusan masalah yang sudah diidentifikasi akan penulis jawab dan terangkan atau presentasikan dalam bab IV.

(25)

BAB II KAJIAN TEORI

Pada Bab II ini penulis akan memaparkan katekese secara umum, berkatekese di era digital dan sosok katekis yang terdiri dari identitas katekis, peran katekis, antara tugas dan panggilan, pengertian handal, perubahan zaman yang terdiri dari situasi Indonesia dan tantangan katekese, literasi media secara kristis, era informasi menantang gereja, dan bagaimana berkatekese di situasi zaman sekarang.

A. Katekese

Secara etimologis kata katekese berasal dari kata Yunani “Catechein” dan “Catechesis”. Akar katanya adalah kat dan echo. Kat artinya keluar, ke arah luar dan echo artinya gema atau gaung. Berarti makna katekese adalah suatu gema yang diperdengarkan atau disampaikan ke arah luar atau keluar. (Budiyanto, 2011:21). Dalam Kitab Suci, pengertian dari kata “katakese” dapat ditemukan dalam (Luk. 1: 4) “mengajar”; (Kis. 18:25) “pengajaran dalam jalan Tuhan”; (Kis. 21:21) mengajar; (Rm. 2:18) “diajar”; (1 Kor. 14:19) “mengajar”; (Gal. 6:6) “pengajaran”. Berdasarkan konteks ini, katekese dimengerti sebagai tugas Gereja dalam mengusahakan pengajaran, pembinaan, dan pendalaman iman bagi umat kristiani, supaya iman umat beriman yang sudah dibaptis semakin di teguhkan, diterangi dan diperkembangkan, (KHK, Kan. 773-780). Dengan kata lain katakese adalah segala usaha Gereja untuk menolong umat beriman kristiani

(26)

9

semakin memahami, menghayati, dan mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari. Yang di dalamnya terdapat unsur pendidikan, pengajaran, pendidikan, pendalaman, pembinaan, pengukuhan dan pendewasaan (Telaumbanua, 1999:5).

Katekese merupakan komunikasi iman, yang mengandung unsur baik pengetahuan maupun pengalaman iman, untuk meneguhkan, menghayati dan mengembangkan iman umat sampai terbentuk perilaku beriman yang dewasa dan mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan (KomKat KWI, 2015:14).

B. Berkatekese di Era Digital

Di era digital ini, Tuhan menyapa umatnya melalui budaya digital. Pada zaman sekarang ini Tuhan menyampaikan sabda-sabdaNya kepada orang-orang yang hidup dalam pangkuan dan rangkulan budaya digital. Gereja menerima dengan gembira serta memandang budaya digital sebagai anugerah Allah yang dapat mengajak umat beriman untuk memanfaatkan sarana-sarana digital bagi pewartaan Kabar Gembira. Diperlukan pula integrasi antara warta gembira tersebut dengan budaya baru yang tercipta dari komunikasi modern. Tujuan katekese adalah untuk meneguhkan iman, menghayati iman dan mengembangkan iman tersebut sampai pada terbentuknya perilaku beriman yang dewasa dan mampu menghadapi berbagai tantangan di zaman ini (KomKat KWI, 2015:14).

Katekese dapat dilangsungkan melalui komunitas-komunitas, semakin banyak komunitas yang dimiliki semakin banyak pula kesempatan untuk berkatekese. Dalam berkomunitas terjadilah berbagi informasi bahkan saling

(27)

meneguhkan. Hal meneguhkan iman inilah yang dapat digunakan sebagai ajang berkatekese yang dapat digunakan sebagai pewartaan, para peserta diarahkan kepada pertobatan yang terwujud dalam perubahan sikap baik terhadap orang sekitar, keluarga atau masyarakat yang bermuara pada perubahan tindakan nyata.

C. Pengertian Katekis

Katekis berasal dari kata katechein yang mempunyai arti: mengkomunikasikan, membagikan informasi, mengajarkan hal-hal berkaitan dengan iman (Indra Sanjaya, 2011: 16). Katekis ialah kaum awam yang terlibat dalam kegiatan membagikan atau mewartakan Kabar Gembira, sebagai wujud partipasi mereka dalam tugas Gereja dengan membagikan dan mendampingi serta memperkembangkan atau mendewasakan iman umat baik di dalam lingkup sekolah maupun dalam lingkup paroki.

Seorang katekis seharusnya adalah umat beriman Kristiani awam yang dibina dengan semestinya dan unggul dalam kehidupan Kristiani, di bawah bimbingan seoarng misionaris yaitu pastor atau awam yang dianggap mampu mendampingi, mereka itu membaktikan diri untuk menyampaikan ajaran Injil serta mengatur pelaksanaan-pelaksanaan liturgi dan karya amal kasih (KHK. Kan 785).

Katekis adalah mereka yang berada di tengah-tengah umat beriman yang berhadapan langsung dengan problematika yang sedang dihadapi oleh umat beriman.

Merekalah yang mengajar dan mendengar keluh kesah umat. Katekis hadir sebagai perpanjangan diri Allah yang hadir dalam setiap pribadi yang merindukan hidup Ilahi. Umat membutuhkan pewarta agar setiap hati semakin tersapa oleh

(28)

11

bisikan Allah yang murah hati. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa mereka adalah ujung tombak atau di posisi terdepan dalam Gereja (Indra Sanjaya, 2011: 11).

Dari segi waktu untuk berkarya, dapat kita jumpai katekis full time, katekis part time, katekis kontrak, dan katekis sukarelawan (Kotan, 2005: 143). Dari segi pendidikan, katekis di Gereja Indonesia diketegorikan ke dalam dua bentuk yaitu akademis dan non akademis.

D. Peran Katekis

Para katekis memiliki peran dan tanggung jawab yang sangat besar dalam kehidupan Gereja. Gereja, khususnya Gereja Indonesia, tidak mungkin hidup tanpa kehadiran dan peran para katekis. Para katekis memperkenalkan iman akan Allah dalam diri Yesus Kristus kepada orang-orang yang sudah beriman kepada Allah. Oleh para katekis, Umat dibantu untuk mengenal dan memperdalam pemahaman tentang iman mereka.

Salah satu tugas para katekis yakni mendampingi agar umat dapat menghayati iman mereka secara cerdas, tangguh, mendalam dan misioner. Katekese mengacu pada pengajaran lisan untuk menyampaikan semua yang telah diterima di dalam dan melalui Yesus Kristus, yakni keselamatan Allah. Katekese juga diartikan sebagai tindakan mengajarkan Jalan Tuhan, yakni Yesus Kristus (Kis. 18:25).

(29)

Katekese dilakukan untuk membantu terjadinya proses pendidikan iman. Yang diwahyukan bukan rumusan-rumusan dogma atau ajaran melainkan Allah sendiri yang selalu memberikan diriNya (bdk DV, 2 & 6) dalam cinta melalui Yesus, Allah yang hidup di tengah-tengah kita untuk kita (EG 128). Karenanya katekese bukanlah sekedar sebuah pengajaran, melainkan proses komunikasi iman antara katekis dengan para peserta katekese dan antar peserta ketekese itu sendiri.

Katekese mesti membantu peserta ketekese untuk menyadari bahwa tanggung jawab utamanya adalah meresapi dunia dengan semangat Kristiani dan menjadi saksi Kristus di tengah masyarakat manusia serta menyinari dan mengatur semua hal-hal fana, sehingga semua itu selalu terlaksana dan berkembang menurut kehendak Kristus, demi kemuliaan Sang Pencipta dan Penebus (LG 31).

E. Antara Tugas dan Panggilan

Menjadi seorang katekis adalah menjadi seorang pengajar atau guru. Apa syarat untuk bisa menjadi pengajar? Salah satu syaratnya adalah pengorbanan. Pengorbanan akan dilakukan jika seseorang memang mencintainya, mencintai pekerjaan itu dan menghidupinya.

Pengorbanan yang di dorong oleh rasa cinta pun melahirkan kebahagiaan sejati. Inilah paradoks pengorbanan: ada rasa sukacita dalam tindakan berkorban. Mengapa hal itu dapat terjadi? Omnia vincit amor (cinta mengalahkan segalanya) (da Santo, 2019:25).

Pengorbanan sebagai seorang guru, katekis atau pengajar tidaklah berbeda dengan pengorbanan seorang ibu yang rela berkorban demi anaknya. Akan berbeda jika

(30)

13

yang mendasari perbuatan pengorbanan itu bukanlah atas dasar cinta. Kendati demikian, syarat untuk mendalami perutusan atau pengorbanan adalah melakukannya dengan cinta. Jika cinta mengalahkan segalanya, tidak ada penderitaan dalam sebuah tugas atau pekerjaan (da Santo. 2019:25). Di zaman sekarang ini jika seorang guru, katekis atau pengajar merasa menderita karena tugas dan pekerjaannya menyita banyak waktu hingga tidak dapat kumpul dengan keluarga, tidak dapat liburan ke tempat-tempat mewah, tidak mendapat upah yang dirasa cukup, orang yang semacam ini tidak dapat bersyukur yang merasa tugas dan pekerjaannya hanya untuk bertahan hidup.

Menjadikan pekerjaan sebagai sebuah keterpaksaan disebabkan karena tidak mencintai profesi tersebut. Kesadaran diri untuk memahami dan menghayati perasaan, antara tugas dan panggilan tentu memuat konsekuensi bahwa mengajar bukan lagi sekadar mencari upah. Kesadaran itu memengaruhi ikatan guru dengan pekerjaannya, dalam hal memotivasi, disiplin meningkatkan kuantitas dan kualitas kerja serta meningkatkan kepribadian sebagai seorang guru (da Santo, 2019:29).

F. Pengertian Handal

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud 2003: 15), kata handal berasal dari kata andal, yang memiliki arti dapat dipercaya, memberikan hasil yang sama pada ujian atau percobaan yang berulang. Dalam bahasa Inggris, handal adalah reliable yang secara etimologis menurut A Concise Etymological Dictionary Of The English Language (Skate 2013: 441) berasal dari kata rely, jika dalam sebuah kalimat to repose on trustfully. Yang memiliki arti: (1)

(31)

mempercayakan, (2) menyandarkan diri, (3) mengandalkan. Sebagai contoh: He relies on me: ia menyandarkan nasipnya padaku. Rely terdiri dari 4 karakter dengan karakter r dan diakhiri dengan karakter y dengan 1 huruf vokal.

G. Pengertian Efektif

Efektivitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata efektif yang diartikan dengan: a) ada efeknya (ada akibatnya, pengaruh, ada kesannya), b) manjur atau mujarab, c) dapat membawa hasil, berhasil guna (usaha, tindakan). Menurut Siagian (2001: 24), efektif adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Menurut Abdurahmat (2003:92), efektif adalah pemanpaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada waktunya. Selain itu, kata ini juga bisa bermakna bisa membawa hasil terkait suatu usaha atau tindakan. Efektif adalah sebuah usaha untuk mendapatkan tujuan, hasil atau target yang diharapkan dengan waktu yang telah ditetapkan terlebih dahulu tanpa memperdulikan biaya yang harus atau sudah dikeluarkan.

H. Perubahan Zaman

1. Situasi Indonesia dan Tantangan Katekese

Sidang Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) pada 2011 merefleksikan perkembangan katekese di Indonesia yang dituangkan di dalam Pesan Pastoral.

(32)

15

Ada keprihatinan besar yang terjadi di dalam perkembangan katekese di tengah umat: isi katekese seringkali dirasa kurang memadai. Di satu pihak, katekese yang memberi tekanan pada tanggapan iman atas hidup sehari-hari seringkali kurang memberi tempat pada aspek doktrinal, sehingga umat sering kali canggung dan takut ketika berhadapan dengan orang-orang yang mempertanyakan iman mereka.

Memang benar kemajuan teknologi makin tak terbendung. Begitu pesat. Dalam hitungan menit bahkan detik sudah ada perubahan. Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat dapat mengubah perilaku manusia. Perubahan teknologi itu juga berdampak pada perubahan budaya dari generasi ke generasi (Iswarahadi, 2017: 114).

Kenyataaan ini menantang kita untuk lebih bersungguh-sungguh menciptakan dan mengembangkan model katekese yang bermutu dan menanggapi harapan. Di lain pihak, ketika katekese lebih memberi perhatian pada unsur-unsur doktriner, katekese dirasakan menjadi terlalu sulit bagi umat dan kurang bersentuhan dengan kenyataan hidup sehari-hari.

Katekese yang kurang menyentuh hati dan memenuhi harapan ini rupanya merupakan salah satu alasan yang mendorong sejumlah orang katolik, khususnya anak-anak dan orang muda yang pindah dan lebih tertarik kepada cara doa dan pembinaan Gereja-gereja lain yang dirasakan lebih menarik.

2. Literasi Media secara Kritis

Manusia tidak lagi dapat dipisahkan dari teknologi komunikasi seperti handphone dan internet. Dua teknologi komunikasi ini bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, kedua teknologi informasi ini mempercepat komunikasi antar

(33)

manusia di berbagai belahan dunia, disisi lain sangat banyak dampak negatifnya termasuk penyalahgunaan informasi, menyebarluaskan informasi yang tidak benar atau akurat, menjadi arena debat yang berujung pada fitnah dan pembulian dan banyak lagi lainnya. Kita sebagai manusia di era sekarang harus memiliki sikap kritis terhadap media apapun yang menghampiri. Sikap-sikap kritis seperti apa yang wajib kita miliki di era sekarang ini? Sikap-sikap kritis ini antara lain: a. Mengenali masalah. Pengenalan terhadap masalah merupakan langkah

pertama dalam membaca secara kritis. Jangan pernah menganggapi sesuatu, kalau kita tidak pernah tahu masalah utamanya.

b. Mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan untuk menguji kebenaran informasi.

c. Mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan oleh orang lain.

d. Menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah. Setelah berhasil mengidentifikasi masalah, langkah selanjutnya adalah mencari cara memecahkan masalah tersebut.

e. Mencermati hubungan logis antara masalah-masalah dengan jawaban-jawaban yang diberikan.

f. Mengambil keputusan untuk bertindak berdasarkan perbandingan sisi positif dan kelemahannya atau untung rugi dari tindakan yang kita lakukan, tentang sisi negatif informasi (Sihotang, 2019:205).

(34)

17

I. Era Informasi Menantang Gereja

Teknologi memberikan banyak perubahan di era sekarang. Saat sebelum ada pesawat telepon jika ingin memberi kabar kepada orang atau pihak lain harus menuliskan surat. Dapat memakan waktu lima hingga tujuh hari tergantung jarak tempuhnya. Saat ini banyak media yang dapat menghubungkan antar Negara, antar satelit pun sudah bisa. Banyak persahabatan dimulai hanya melalui email, telegram dan facebook yang hingga sekarang masih tetap menjadi sahabat.

Banyak pula yang menyalahgunakan kecanggihan teknologi tersebut, misalnya dengan maraknya kasus penipuan, pemerkosaan hingga pembunuhan. Semua orang dapat menjadi pembunuh atau penolong dalam media sosial tergantung niat dan motivasinya. Seorang pembunuh dapat berpura-pura menjadi seorang pacar yang pengertian, yang kemudian meminta untuk bertemu dan berakhir dengan membunuhnya. Kejadian penipuan atau hal negatif lainnya pun demikian, jika tidak mendapat persetujuan dari kedua pihak, pihak lain akan mencari lokasi tersebut karena di tiap ponsel atau media sosial ada GPSnya. Kesadaran Gereja akan berkembangnya komunikasi telah dituang dalam berbagai dokumen Gereja.

Inter mirifica (1963), misalnya, menegaskan segi positif dari media dan mendorong umat untuk memanfaatkannya dalam kerasulan. Di dalam Communio es Progressio (1971) ditegaskan pentingnya keterlibatan warga gereja dalam hal memanfaatkan media komunikasi untuk mewartakan Injil (Iswarahadi, 2003: 109).

Di dalam dokumen-dokumen itu ditegaskan tentang pentingnya pembelaan kebudayaan manusia yang terancam oleh mass media. Sayangnya dokumen-dokumen ini tidak dikenal oleh umat, maka memerlukan banyak sosialisasi dan

(35)

bimbingan untuk umat khususnya melalui para katekis, guru dan pimbina iman umat. Banyak umat yang merasa berat atas dokumen-dokumen tersebut, maka haruslah dibuat sebuah komunitas atau media khusus untuk menyampaikan pada umat pokok-pokok yang perlu diketahui umat atas dokumen-dokumen tersebut. Kini setiap keuskupan telah memiliki Komisi Komsos (komunikasi sosial) yang tugasnya adalah mengkoordinir berbagai kegiatan yang berhubungan dengan komunikasi sosial. Apakah Komsos ini sudah berfungsi atau belum?

Sejauh sebagai karya tersebut di ats bertujuan untuk memperjuangkan tumbuhnya Kerajaan Allah baik secara eksplisit meupun implisit, baik secara eksklusif maupun inklusif, karya-karya itu dapat disebut sebagai kerasulan komunikasi sosial. (Iswarahadi, 2003: 112).

Kemajuan teknologi ini pasti memiliki dampak negatif dan positif. Semua pihak mengeluh terhadap dampak negatifnya. Lantas apa yang akan kita perbuat sebagai para katekis dan pengajar? Salah satunya adalah tidak meneruskan berita bohong (hoax) kepada orang lain maupun khalayak ramai.

Pastikan kebenarannya dan mencari artikel ataupun informasi yang menguatkan beserta data-data dan fakta jika sudah ada. Jika masih ragu akan kebenaran informasi itu, hendaklah kita menahan diri untuk tidak meneruskannya, setidaknya kita lakukan untuk kebaikan diri kita sendiri karena jika tidak kita akan merugikan pihak lain dan terkena sanksi atas penyebaran berita bohong (hoax) yang telah di atur dalam UU ITE pasal 45A ayat (1).

J. Berkatekese Di Zaman Sekarang

Di era digital ini, Tuhan menyapa umatnya melalui budaya digital. Pada zaman sekarang ini Tuhan menyampaikan sabda-sabdaNya kepada orang-orang

(36)

19

yang hidup dalam pangkuan dan rangkulan budaya digital. Gereja menerima dengan gembira serta memandang budaya digital sebagai anugerah Allah mengajak umat beriman untuk memanfaatkan sarana-sarana digital bagi pewartaan Kabar Gembira.

Gereja memandang era digital bukan hanya dari segi peluang dalam hal cara berkomunikasi, melainkan juga tantangan bagi perilaku dan cara pandang yang memengaruhi hidup beriman. Fokus dan perhatian Gereja adalah bagaimana menyelamatkan perjumpaan antarpribadi, baik perjumpaan antarmanusia maupun perjumpaan manusia dengan Allah (Iswarahadi, 2017: 119).

Di dalam perjumpaan itu akan terjadi perjumpaan iman, harapan dan kasih, di dalam perjumpaan itu jalan menuju keselamatan dimulai. Oleh sebab itu, dunia katekese atau pewartaan mesti memerhatikan dan memerhitungkan situasi kateketis dari zaman digital ini (Iswarahadi, 2017: 119).

Katekese merupakan komunikasi iman, yang mengandung unsur pengetahuan maupun pengalaman iman yang bertujuan untuk meneguhkan iman, menghayati iman dan mengembangkan iman tersebut sampai pada terbentuknya perilaku beriman yang dewasa dan mampu menghadapi berbagai tantangan di zaman ini. Katekese dapat dilangsungkan melalui komunitas-komunitas. Dalam berkomunitas terjadilah berbagi informasi bahkan saling meneguhkan dalam hal meneguhkan iman, inilah yang dapat digunakan sebagai ajang berkatekese. Para peserta diarahkan kepada pertobatan yang terwujud dalam perubahan sikap baik terhadap orang sekitar, keluarga atau masyarakat yang bermuara pada perubahan tindakan nyata.

(37)

BAB III

ISI BUKU DAN TANGGAPAN KRITIS

Pada bab III ini penulis menyampaikan isi buku “Menjadi Katekis Handal Di Zaman Sekarang” serta menjawab perumusan masalah dan refleksi kateketis. Pada buku “Menjadi Katekis Handal Di Zaman Sekarang” penulis menemukan 5 bagian besar yakni (1) Situasi Indonesia Sebagai Tantangan Katekese, (2) Membangun Identitas di Tengah Masyarakat Plural, (3) Areopagus Baru: Era Digital dan Generasi Digital, (4) Siapa Sumber Kebenaran, (5) Belajar dari Paulus, (6) Berkatekese dalam Semangat Konsili Vatikan II, dan (7) .

A. Isi Buku

1. Situasi Indonesia Sebagai Tantangan Katakese

Bagian pertama buku ini membahas “konteks situasi Indonesia Sebagai Tantangan Katekese” karya Martinus Ariya Seta pada halaman 3-9. Dikatakan bahwa katekese merupakan bagian dari usaha Gereja untuk mewartakan sabda Tuhan di tengah situasi konkret yang melingkupi umat Katolik. Katekese dirasakan sangat bernuansa pastoral karena katekese tidak berkutat pada spekulasi pemikiran teologis tentang tradisi Gereja. Katekese diharapkan bergerak maju untuk menolong sesama dalam proses bangkit serta berkembangnya penghayatan iman. Penghayatan iman harus diwujudkan dalam kenyataan konkret sehari-hari yang disesuaikan dengan kondisi kehidupan umat. Katekese dewasa ini cenderung menitikberatkan sisi doktriner yang dapat menghilangkan daya tarik

(38)

21

katekese, inilah tantangan ketekese dalam situasi Indonesia. Ajaran Gereja yang memuat rumusan bahasa teologis dirasa rumit oleh umat, namun jika dihilangkan akan menjadikan kebutaan iman, kebodohan keagamaan dan buta huruf di bidang agama dan iman. Oleh karena itu tidak mengherankan jika banyak umat katolik yang tidak tahu dan tidak memahami ajaran agamanya.

Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) pada 2011 merefleksikan perkembangan katekese di Indonesia yang dituangkan di dalam Pesan Pastoral. Ada keprihatinan besar yang terjadi di dalam perkembangan katekese di tengah umat: isi katekese seringkali dirasa kurang memadai. Di satu pihak, katekese yang memberi tekanan pada tanggapan iman atas hidup sehari-hari seringkali kurang memberi tempat pada aspek doktrinal, sehingga umat sering kali canggung dan takut ketika berhadapan dengan orang-orang yang mempertanyakan iman mereka.

Di lain pihak, ketika katekese lebih memberi perhatian pada unsur-unsur doktriner, katekese dirasakan menjadi terlalu sulit bagi umat dan kurang dekat dengan kenyataan hidup sehari-hari. Katekese yang kurang dekat dan kurang menyentuh hati untuk memenuhi harapan ini merupakan salah satu alasan yang mendorong sejumlah orang katolik, khususnya anak-anak, orang muda, terutama kaum muda yang akan membangun keluarga. Mereka pindah dan lebih tertarik kepada cara doa dan pembinaan Gereja-gereja lain yang dirasakan lebih menarik. Kenyataaan ini menantang kita untuk lebih bersungguh-sungguh menciptakan dan mengembangkan model katekese yang bermutu dan menanggapi harapan umat serta semakin menonjolkan kualitas-kualitas khusus yang hanya dimiliki oleh Gereja Katolik Roma.

(39)

2. Membangun Identitas di Tengah Masyarakat Plural

Bagian sub judul kedua dari “konteks situasi Indonesia dan tantangan katekese” dalam buku ini membahas tentang bagaimana membangun identitas di tengah masyarakat plural karya Martinus Ariya Seta pada halaman 9-12. Masyarakat plural memiliki pengertian sebagai masyarakat yang memiliki keberagaman dari segi budaya, suku, dan etnis. Pluralitas di dalam katekese menurut General Directory for Cathecjhesis (GDC) sangat menekankan peran katekese sebagai pembentuk identitas di tengah masyarakat yang Plural.

Secara khusus GDC juga memberikan arah katekese ditengah pluralitas agama-agama dengan memperdalam dan memperteguh identitas sebagai umat Katolik dengan memanfaaatkan perjumpaan dengan umat beragama lain. Umat diharapkan untuk dapat belajar dan mandalami ajaran agama lain hingga dapat memilah unsur-unsur kebenarannya dan tidak mencampur adukkan kedalam iman Katolik supaya umat tidak mengalami kedangkalan iman ditengah gencarnya gerakan dialog dan toleransi.

Pengakuan dan penghormatan terhadap agama lain tidak menghilangkan panggilan kesaksian Gereja Katolik. Sebuah dialog akan memiliki kualitas kesaksian jika ada keseriusan dalam memandang imannya masing-masing. Dialog menjadi jalan untuk menegaskan identitas iman Kristiani di dalam sebuah relasi dengan yang lain. Di dalam perjumpaan dengan agama lain, katekese harus menangkap peluang ini sebagai salah satu usaha untuk menumbuhkan penghayatan terhadap iman katolik.

(40)

23

Seseorang tidak harus menanggalkan imannya untuk dapat berdialog, dikarenakan sebuah dialog hanya akan terjadi jika seseorang itu menghayati dengan sungguh-sungguh imannya tanpa harus merisaukan perbedaan dengan agama lain. Dalam pernyataan Nostra Aetate (NA) dengan hubungan Gereja dengan agama-agama bukan Kristen ditegaskan bahwa prinsip koeksistensi harus dibangun dalam sebuah “dialog” dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sembil memberi kesaksian tentang iman serta perihal hidup Kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosial budaya, yang terdapat pada mereka.

Gereja sungguh menyadari bahwa pertobatan merupakan langkah mendasar di dalam usaha memperjuangkan keadaban di dunia ini. Gerakan pertobatan di tandai dengan kehendak kuat untuk meninggalkan habitus lama demi membangun habitus baru. Di dalam habitus lama, Gereja masih dikuasai oleh sifat onferioritas sebagai kaum minoritas, sikap mencari aman dan mentalitas instan. Habitus baru yang akan diperjuangkan oleh Gereja antara lain adalah keterlibatan di dalam kegiatan kemasyarakatan yang membawa dampak positif, kesetiaan terhadap proses, dan memperjuangkan kesalehan sosial.

3. Areopagus Baru: Era Digital dan Generasi Digital

Bagian kedua buku ini membahas tentang bagaimana areopagus baru muncul di era digital dan generasi digital, karya Andreas Setyawan, pada halaman 35-39. Apa yang disebut dengan areopagus baru? Paus Yohanes Paulus II

(41)

menyebut areopagus sebagai representasi pusat kultural kaum terpelajar di Athena, representasi itu sekarang dapat diambil sebagai simbol bagi ranah baru tempat evangelisasi. Reprresentasi memiliki arti sebagai bentuk interpretasi pemikiran terhadap suatu masalah, yang digunakan sebagai alat bantu untuk menemukan solusi dari masalah tersebut.

Areopagus modern dapat mengambil berbagai macam rupa (komitmen pada perdamaian, perkembangan dan kebebasan manusia, hak individu), tetapi yang pertama disebutnya adalah komunikasi. Apakah kata kunci globalisasi, yaitu saling keterhubungan atau interconnectivity. Apakah baru muncul setelah mulai digitalisasi? Tentu saja tidak. Jika di pahami sebagai interconnectivity, globalisasi sudah terjadi dalam sejarah Romawi Kuno maupun India dan Cina misalnya. Bangsa-bangsa itu memiliki jalinan relasi dan kekuasaan begitu luas, hanya saja intensitas, kecepatan dan dampaknya memang belum sedemikian mencolok sebagaimana globalisasi mencapai tingkat tertinggi di tiap aspeknya. Kaidah ini sering kali di gambarkan secara satire bahwa dunia komunikasi real-time itu mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.

4. Siapa Sumber Kebenaran

Sub bab kedua dari bagian kedua buku ini membahas tentang siapa sumber kebenaran karya Andreas Setyawan pada halaman 39-41. Konon Mohammad Hatta pernah menyatakan bahwa pangkal segala pendidikan karakter ialah cinta akan kebenaran; cinta akan kebenaran ini tidak akan lepas dari problem estimologis: bagaimana orang tahu bahwa ia memang mencintai kebenaran.

(42)

25

Sejarah panjang Filsafat Pengetahuan menunjukkan bahwa manusia tidak akan mampu menggapai kebenaran mutlak, yang universal, permanen dan bebas kritis seperti yang diyakini oleh Plato.

Secara filosofis dapat dikatakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengggapai kebenaran universal tanpa komunikasi atau relasi dengan orang lain. Apa yang telah terjadi dalam konteks berkatekese di Indonesia dalam menanggapi kebenaran ini? Apakah dicukupkan dengan bisa berkomunikasi dan berelasi. Dalam dunia komunikasi, tidak dibenarkan melakukan komunikasi hanya dengan satu arah. Salah satunya hanya “ngekor” di belakangnya dan menerima apa saja yang diajarkan dan diperitah; engkau benar, saya salah. Namun tradisi berkomunikasi seperti ini sudah berjalan bertahun-tahun.

Lantas bagaimana dengan klaim “Akulah Jalan, Kebenaran dan Hidup?” tentu saja ini adalah klaim teologis yang ranahnya berbeda dari penafsiran filosofis. Secara teologis Kristiani dapat dikatakan bahwa kebenaran itu adalah Yesus Kristus, bukan teolog, bukan katekis, bukan imam, bukan uskup, kardinal dan paus. Dimana letak katekis, pembina iman dalam hal ini? Katekis memiliki posisi untuk membuka relasi dan komunikasi dua arah dengan umat, yang dapat menghantar umat pada penemuan kebenaran. Umat akan sampai pada kebenaran, tergantung bagaimana ia berelasi dengan Imam, katekis dan berbagai pihak itu.

5. Belajar dari Paulus

Sub bab ketiga dari bagian kedua buku ini membahas bagaimana kita belajar dari Paulus untuk dapat berkatekese di zaman sekarang, karya Andreas

(43)

Setyawan pada halaman 41-43. Paulus merupakan tokoh yang inspiratif dan mengagumkan, tidak ada tokoh perjanjian baru yang lebih transformatif daripada Paulus, baik dalam pengalaman pribadinya sebagai murid Kristus maupun pelayanannya sebagai katekis bangsa-bangsa di luar Yahudi. Pertobatan Paulus (Kis: 9: 1-19a) menjadi semangat untuk kita bagaimana membunuh ego demi melapangkan hati dan pikiran untuk penerimaan Roh Kudus.

Karya Roh Kudus nampak dan nyata dalam perjumpaan Paulus dengan Kristus yang bangkit. Dari Pauluslah digital immigrants dapat belajar sesuatu karena pewartaannya di Areopagus merupakan model kepekaan dan kreativitas kultural terhadap bahkan mereka yang tidak mengimani Kristus. Peristiwa di Areopagus adalah momen kontekstualisasi Injil bagi penganut agama lain dan Paulus pantas diteladan karena sikap, pendekatan dan tanggapannya. Mengenai sikapnya, meskipun begitu prihatin terhadap penyembahan berhalaorang-orang Athena, Paulus menolak untuk mengecam kaum kafir dan sistem pemikiran filsafat dan religius mereka. Ia menyimpan kepercayaan bahwa orang-orang itu pun disentuh oleh rahmat Allah. Mengenai pendekatannya, Paulus sungguh hati-hati dalam menyiapkan pewartaannya. Ia tidak berangkat dari perbedaan tetapi unsur-unsur universal yang diterima dalam pengalaman kemanusiaan: penciptaan dan wahyu secara umum.

Keunikan Yesus Kristus, yang kiranya jauh lebih sulit dipahami, disampaikan belakangan. Mengenai tanggapannya, tidak dikatakan bahwa orang-orang Athena akhirnya sampai kepada Allah yang benar, tetapi sekurang-kurangnya Paulus tidak menolak bahwa dirinya ditolak. Dari ketiga hal itu

(44)

27

ditunjukkan bahwa Paulus tidak hendak menonjolkan diri sebagai katekis pemegang kebenaran, apalagi jika ditilik dari perkembangan Paulus di kemudian hari. Paulus tidak semata-mata mengandalkan kekuatan pengetahuannya sendiri sebagai pemikir yang akrab dengan filsafat Yunani, tetapi menyerahkan seluruh proses pewartaannya pada kekuatan Roh Kudus sendiri.

Dalam kesenjangan generasi ini, para katekis diharapkan memiliki kemampuan untuk reading between in the lines (membaca apa yang tersirat) dan lebih optimal lagi kiranya jika senantiasa belajar menemukan interpretasi, tentu dengan panduan secukupnya, supaya dalam pewartaan tidak justru mengedepankan asumsi-asumsi atau kebiasaan lama yang sudah di perolehnya di waktu lampau. Katekis yang kreatif tidak akan mengembalikan kejayaan masa lampau tetapi turut terlibat dalam era baru berdasar Kitab Suci, dokumen-dokumen Gereja dan berkolaborasi dengan generasi Digital Natives.

6. Berkatekese dalam Semangat Konsili Vatikan II

Bagian ketiga dalam buku ini membahas mengenai berkatekese yang disertai semangat Konsili Vatikan II karya C Putranto. Konsili Vatikan II merupakan suatu “berita” yang kejadiannya sudah berlangsung jauh di masa lalu, dan yang sebagai suatu tema pewartaan banyak dirasakan sebagai suatu beban yang memberatkan kegiatannya. Konsili Vatikan II berlangsung pada 1962-1965.

Posisi katekis serba canggung, karena dari satu pihak peristiwa itu merupakan suatu yang lampau, dari lain pihak masih sering didengungkan dan dijadikan sebagai acuan dalam wacana maupun dokumen gerejani.

(45)

Permasalahannya adalah bagaimana seorang katekis zaman sekarang harus bersikap dan mengambil langkah dalam rangka tugasnya sebagai pewarta sehubungan dengan Konsili ini?

Konsili Vatikan II menghasilkan 16 dokumen yang meliputi pelbagai kehidupan Gereja. Untuk memahami arti dari berbagai dokumen itu diperlukan langkah-langkah metodis yakni mengerti akan proses akan suau pengetahuan akan konteks proses lahirnya dokumen-dokumen tersebut, mengenal bahasa-bahasa aslinya, juga struktur dan susunan suatu dokumen untuk mengetahui perspektif gagasannya. Pengenalan yang akrab oleh katekis pada dokumen-dokumen ini dapat membantu katekis untuk berkatekese dan menjadikan Konsili Vatikan II sebagai acuan. Di belakang sebuah rumusan dokumen pasti terkandung rumusan kisah pergumulan teologis yang menyentuh penghayatan iman.

Konsili Vatikan II dapat diartikan sebagai suatu gerakan atau dinamika Gereja yang aktual yang telah berdampak dari peristiwa Konsili 50 tahun yang alu itu. istilah teknisnya yakni receptio, sebuah proses yang sering memakan waktu puluhan tahun di mana sebuah Konsili di terima oleh seluruh Gereja dan masyarakat luas. Sebagai seorang katekis, penting untuk mengenali faham akan Konsili tentang Gereja. Di lain pihak fungsi katekis adalah fungsi gerejani yang sudah selayaknya katekis memiliki pemahaman cukup mengenai Konsili Vatikan II tentang jati diri Gereja. Visi dasar Konsili Vatikan II tertuang dalam dua dokumen pokok yakni Lumen Gentium tantang Gereja dan Gaudium et Spes tentang Gereja dalam dunia modern.

(46)

29

Konsili Vatikan II tidak hanya suatu konsili “tentang” Gereja namun merupakan suatu pengalaman menggereja yang unik. Orang mengalami pergumulan untuk mempertemukan dan mempersatukan pengalaman dan pandangan yang berbeda di bawah bimbingan Roh Kudus. Orang diajak untuk mengubah diri dalam terang sabda Allah serta diajak untuk mendengarkan suara zaman. Perubahan dasariah yang terjadi dalam proses konstitusi Lumen Gentium adalah peralihan dari pola berpikir institusional tentang gereja ke pola berpikir sakremental tentang Gereja.

Lumen Gentium membawa pemahaman baru yakni meletakkan Gereja dalam bingkai yang lebih besar, yakni karya keselamatan ilahi yang merupakan prakarsa Bapa surgawi (LG 2), dilaksanakan oleh Putera (LG 3) dan diselesaikan oleh Roh Kudus (LG 3). Dalam hakikat ketekese, ada pergeseran dari katekese sebagai pengajaran instruksional. Komunikasi iaman yang berlangsung dalam katekese diharapkan berasal dari pelbagai arah yang melibatkan seluruh peserta katekese. Kedua, isi Warta Gembira harus ditampilkan secara baru dengan memperhitungkan visi antropologis dan teologis yang menandai zaman ini. Ketiga, tersiratlah pentingnya pengolahan pengalaman. Pendekatan ini memanfaatkan secara ekstensif kekayaan antropologi teologis Kristiani untuk mengindentifikasi tempat dan peranan insan Kristiani dalam dunia.

(47)

7. Gereja Menurut Federasi Konferensi Waligereja-Konferensi Waligereja Asia

Bagian keempat dalam buku ini membahas tentang “federasi konferensi waligereja-waligereja asia” karya B.A. Rukiyanto. Konsili Vatikan II memberi dasar bagi pembaharuan Gereja di Asia. Gereja merupakan persekutuan umat beriman. Gereja diundang untuk merangkul semua umat beriman terlebih kaum miskin, lemah dan tersingkir. Gereja didorong untuk dapat membuka diri terhadap dunia, terhadapt segala permasalahannya (Gaudium et Spes) dan berdialog dengan berbagai macam budaya dan umat beragama lain (Orientalium Ecclesiarum, Unitatis Redintegratio, Nostra Aetate).

Gereja di Asia semula dirasakan sebagai Gereja yang asing karena dibawa oleh kaum penjajah dari Eropa. Agar Gereja tidak lagi idkatakan asing oleh masyarakat Asia, FABC menggunakan pendekatan tripel dialog: dialog dengan budaya, dialog dengan agama, dialog dengan kaum miskin 1974). Berhadapan dengan realitas ini dalam karya Evangelisasi Gereja di Asia perlu menyadari citranya diantara penganut agama-agama lain dan mereka yang tidak beriman.

Membahas realitas diatas, para Uskup menemukan bahwa ada beberapa hal pokok yang mendasari mengapa Gereja di Asia terkesan seperti kurang diminati, terutama faktor dialog dan inkulturasi. Karena proses Evangelisasi dan pengembangan iman umat di Asia belum maksimal, di sebabkan karena sulitnya Gereja di Asia memahami budaya barat, seiring bersama proses pewartaan yang dibawa oleh misionaris. Apalagi pola pikir umat Gereja di Asia masih didominasi

(48)

31

oleh acuan-acuan ajaran-ajaran kuno warisan leluhur yang tak mudah disesuaikan dengan ajaran Kristiani begitu saja. Mereka menemukan bahwa inkulturasi menyerukan kepada umat Kristiani supaya mengakarkan nilai-nilai Injil dalam tiap kebudayaan manusiawi. Dialog adalah sikap dasar dengan penuh hormat mendengarkan orang lain, dan keterbukaan untuk mengkomunikasikan diri kepada orang lain.

B. Jawaban Atas Perumusan Masalah

1. Peranan Katekis dalam Mengedukasi Umat Katolik

Dalam identifikasi masalah yang ada penulis mempertanyakan bagaimana peranan katekis dalam mengedukasi umat Katolik di zaman sekarang? Melalui buku utama yang berjudul “Menjadi Katekis Handal di Zaman Sekarang”, dijelaskan dalam halaman 181-199 oleh Petrus Banyu Dewa Harya Sigit melalui katekese sosial para Katekis dapat menjadi handal dalam memberi edukasi kepada umat. Mengapa? Karena dalam katekese sosial yang mengacu pada analisis sosial, disebutkan bahwa menjadi umat Kristiani sebagai pengikut Kristus tidak terbatas pada hal ibadat, sakramen dan segi adikodrati melainkan cara memandang dan cara bersikap dapat menjangkau semua segi kehidupan terutama dalam masyarakat dalam segala penderitaan beserta struktur dan marta sosialnya.

Katekese sosial harus terbuka dan bersikap kritis terhadap ketidakadilan yang ada di sekeliling kita. Misalnya jika kita akan melakukan Katekese Umat tentang masalah kekurangan air, kita tidak hanya melihat gejala-gejala dan

(49)

faktanya, namun harus menggali sampai ke akar masalahnya yang paling dalam. Katekese sosial memiliki ciri utama yakni berciri sosial yang merupakan proses penegakan keadilan yang dapat dibuktikan dengan proses berkatekese itu sendiri yakni dapatkah katekese itu berujung pada perwujudan kesadaran yang mengawali niat menuju perubahan.

Di dalam analisis sosial, katekese membantu umat untuk dapat melihat Kitab Suci dari perspektif Kerajaan Allah yang bertujuan membantu Umat untuk memenuhi kebutuhannya dalam mewujudkan tindakan konkret dalam kehidupan sehari-hari. Untuk dapat mewujudkan tindakan konkret itu, tentu Umat membutuhkan bimbingan yang rutin dan terarah melalui berbagai kegiatan katekese yang mengacu pada Kitab Suci.

Kisah-kisah yang digunakan hendaknya yang bersifat dekat dengan kehidupan umat, konkret dengan situasi yang dialami umat. Salah satu contoh yang dapat digunakan adalah kisah Kain dan Habel, yang di dalam Alkitab Kejadian 4:1-17, Kain rela membunuh Habel adiknya hanya karena iri dan dengki, yang tentu sifat Kain ini dikutuk Allah. Perikop ini dapat dijadikan contoh bahwa di zaman sekarang bahwa Umat tidak perlu iri, dengki, marah atas penilaian Tuhan atau manusia lainnya karena perbedaan persembahan yang diberikan. Karena yang dibutuhkan oleh Allah adalah persembahan yang hidup.

Umat harus diajak memahami bahwa persembahan yang hidup adalah persembahan dari hati tulus ikhlas, yang tanpa disertai rasa iri, dengki, rasa ingin terlihat baik dimata Tuhan dan sesamanya namun dengan cara membunuh

(50)

33

sesamanya. Di zaman sekarang ini tentu membunuh sesama tidak hanya dengan cara membunuh yang real dengan menghabisi nyawa, namun dengan cara membunuh karakter dan menghakimi sesama adalah perbuatan yang membunuh dan keji, dan secara tidak sadar sering dilakukan manusia ketika berada di alam virtual (dunia maya).

Contoh konkretnya adalah saat memberi komentar di sosial media atau saat bertemu langsung dengan kawan lama yang berkomentar mengenai body shaming, “kamu kok gendutan sekarang?”. Alih-alih ingin memberikan pujian, namun itu sangatlah menyakitkan hati, terlebih jika kita tidak mendalami atau menganalisis dirinya. Kita sebagai manusia secara tidak sadar menghakimi dan membunuh karakter orang itu yang disebabkan karena kurangnya analisis sosial. Kita tidak tahu seberapa kuat dia telah berusaha untu diet atau mengatur pola makannya, kita tidak tahu apa saja liku-liku hidup yang telah dia lalui dalam kehidupannya yang membuatnya tidak dapat mengontrol makanan, sehingga dia semakin terlihat gemuk seperti itu.

2. Aspek yang Perlu Diperhatikan dalam Dampak Berkatekese

Menggunakan Media Sosial untuk Umat Gereja

Penulis memiliki keresahan pada saat melalui proses katekese umat dan memiliki pertanyaan mengenai aspek apa sajakah yang perlu diperhatikan dalam dampak berkatekese menggunakan media sosial ini untuk Umat Gereja? Penulis mendapat jawaban melalui buku utama “Menjadi Katekis Handal Di Zaman Sekarang” pada halaman 201-219 oleh Y. I. Iswarahadi dan Cecilia P. Sianipar

(51)

dan pada halaman 166-169 oleh Y. H. Bintang Nusantara yang menjelaskan bahwa katekese adalah kegiatan umat beriman untuk mengkomunikasikan (mengelola) pengalaman akan Allah yag menyelamatkan (pesan) dengan tujuan menciptakan makna (iman bahwa Allah menyelamatkan manusia dengan memberikan Diri-Nya). Fokus perhatiannya ialah komunikasi antar manusia untuk menciptakan situasi dan suasana hidup beriman sedemikian rupa, sehingga membantu pertumbuhan iman umat.

PKKI I (Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia) menyimpulkan bahwa umat adalah suatu “katekese dari umat, oleh umat dan untuk umat”. Katekese Umat adalah: (a) katekese yang mengumat; (b) katekese yang melibatkan seluruh umat; (c) katekese itu terjadi dengan berkomunikasi iman dalam suatu kelompok umat; dan (d) katekese yang memperlihatkan hakekat dari Gereja sendiri. Katekese umat hendaknya dilakukan secara intensif dan memiliki relasi yang mendalam antara fasilitator dan Umat itu sendiri. Keberhasilannya bukan terletak pada fasilitatornya namun terletak pada relasi itu. Saat berproses katekese hendaknya menyentuh dalam segi kehidupan Umat, aspek-aspek yang perlu di perhatikan dalam berkatekese menggunakan media sosial ini untuk Umat Gereja adalah karakter umat, melimpahnya informasi digital, belajar sesuatu sambil dihibur, tidak mau digurui, mengambangnya keterlibatan, ketulusan, komitmen dan kesetiaan, haus akan makna dan haus akan relasi, serta lebih banyak bertanya.

Menurut Mgr. I. Suharjo, kalau Injil diwartakan secara biasa, Injilnya tidak berbunyi. Oleh karena itu, harus kita cari cara yang bisa menyentuh

(52)

35

sensibilitas masyarakat modern (Iswarahadi & Cecilia P. Sianipar 2018:214).

Katekese yang bisa diterapkan untuk generasi digital yakni tiga macam/model katekese: (1) Katekese menggunakan media audiovisual/digital, bentuk-bentuk katekesenya bisa bervariasi, misalnya pertemuan periodik setiap minggu, rekoleksi audio visual, retret audio visual, pewartaan lewat radio/TV/film dan pewartaan di media sosial; (2) Katekese tentang era digital, metodenya sama dengan model pertama, tetapi tema utama yang diangkat adalah kekayaan maupun resiko dari era digital.

Paus Paulus II pada tahun 2004 pernah menerbitkan surat gembala Hari Komsos dengan Judul “Manfaatkanlah Kekayaannya dan Hindarilah Resikonya”. Katekese tentang era digital mengajak umat untuk menyadari berbagai perkembangan media dan bagaimana menggunakannya; dan (3) Katekese berbasis media digital, katekese model ini mewajibkan katekis untuk menggunakan cara baru baik dalam kemasan, penyajian, interaksi dan penuturannya dengan menggunakan media digital khususnya internet. Sistem yang digunakan adalah e-learning (pendidikan melalui sarana internet).

Ada 4 model cara belajar yaitu: (1) belajar mendalami informasi dari bahan yang ada di internet; (2) belajar mendalami informasi secara interaktif dari bahan yang ada di internet; (3) belajar mendalami informasi secara interaktif dari bahan secara bersama dengan orang lain melalui on-line, baik email, chatroom,

(53)

videophone, dll; dan (4) mendalami informasi secara bersama dengan tatap muka langsung mengenai belajar melalui internet.

3. Katekis Mampu Memasuki Era Digital

Apakah katekis di zaman sekarang mampu memasuki dunia dan era digital? Ya mampu, karena katekis di zaman sekarang telah dibekali pengetahuan yang diolah menjadi ilmu, spiritualitas khusus, materi-materi yang berhubungan dengan era digital, mendalami kualitas-kualitas khusus yang hanya dimiliki oleh Gereja Katolik Roma. Pertanyaan ini terjawab dalam buku utama “Menjadi Katekis Handal Di Zaman Sekarang” di halaman 223-249, menjelaskan sosok katekis di zaman sekarang, FX. Heryatno Wono Wulung.

Sesungguhnya para katekis dan para pembina iman merupakan pihak yang merasa prihatin terhadap perkembangan iman umat, terlebih di masa sekarang para katekis mendapat tantangan besar yang bersifat eksternal yang berasal dari arus-arus besar seperti sekularisme, hedonisme, rasisme, seksisme dan isme-isme lainnya. Katekis zaman sekarang harus belajar dari Yesus, Sang Guru Sejati. Meningkat dan berkembangnya iman umat akan terlihat dari perilakunya, salah satunya adalah pertobatan. Pertobatan merupakan penggabungan dari pemahaman dan kesadaran akan bagaimana menjalani sebuah kehidupan.

Sejak kecil kita umat Kristiani diajak untuk dekat dengan Yesus, diajak untuk melaksanakan hukum utama dan pertama, menjalankan 10 perintah Allah dan 5 perintah Gereja. Meningkatnya jumlah kegiatan yang

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pemaparan penelitian yang sudah pernah dilakukan, maka peneliti membuat penelitian yang berjudul “PENGEMBANGAN LKPD MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI

Guru dan siswa membaca nyaring cerita bergambar yang Guru menjelaskan materi tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pembelajaran membaca nyaring dengan

BAB II : Landasan teori, berisi tinjauan pustaka yang berkaitan dengan pengaruh bentuk penampang saluran pengalir ( runner ) terhadap cacat porositas dan nilai

Melalui kegiatan pembelajaran dengan pendekatan saintifik, model pembelajaran kooperatif, metode kajian literatur, diskusi kelompok, praktikum, dan presentasi, peserta

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) kebiasaan membaca teks ilmu pengetahuan di media online dan buku pelajaran siswa kelas X SMA N 1 Turi Sleman berkategori tinggi

Attizka, Ghita, 2015, A study of Teacher Talk used by a Lecturer of English Department Muhammadyah University of Surabaya in Speaking Class of Second Semester Students,

Media Bola Kecil Berwarna Pada Anak Kelompok A Tk Aisyiyah 26 Surabaya ” ini disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana Pendidikan Program Studi

Skripsi ini telah diuji dan dinyatakan sah oleh Panitia Ujian Tingkat Sarjana (S-1) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya sebagai salah