BAB VII PENUTUP
7.1 SIMPULAN
7.1 SIMPULAN Sesuai dengan amanat perundangan dan desakan beberapa fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), perubahan metodologi perhitungan kemiskinan dilakukan agar data penduduk miskin dapat menjawab kondisi riil kemiskinan di masyarakat. Dalam perjalanan pembangunan di Indoensia, terutama terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan, terdapat tiga metode perhitungan kemiskinan moneter yang dapat digunakan dalam menghitung tingkat kemiskinan.
Pertama, metode 1998, dimana penghitungan garis kemiskinan hanya menggunakan 52 (lima puluh dua) komoditas makanan yang dihitung dengan acuan nilai konsumsi 2.100 Kkal/Kapita/Hari. Kedua, metode baru yang sudah dilakukan penambahan terhadap jumlah basket pangan menjadi sebanyak 74 (tujuh puluh empat) komoditas makanan, yang kemudian dihitung dengan acuan nilai konsumsi 2.150 Kkal/Kapita/Hari. Terakhir, metode baru dengan penyempurnaan perhitungan Adult Equivalence Scale, yaitu disamping sudah dilakukan update terhadap jumlah basket pangan menjadi sebanyak 74 (tujuh puluh empat) komoditas, acuan nilai konsumsi yang digunakan adalah 2.500 Kkal/Adult/Hari, sehingga distribusi usia penduduk akan menjadi faktor penting yang menentukan tingkat kemiskinan.
Kemiskinan merupakan persoalan multidimensi. Oleh karena itu, pendekatan moneter tidak cukup menggambarkan kondisi kemiskinan yang sesungguhnya. Dari hasil Kajian Definisi Kemiskinan, kemiskinan dengan pendekatan multidimensi yang dilakukan dengan konsep deprivasi akan mempertajam perhitungan kemiskinan sekaligus mempertajam strategi penanganannya. Perlu dicatat bahwa dalam konsep deprivasi, kemiskinan didefinisikan sebagai kegagalan untuk mencapai batas minimum kemampuan atau kebutuhan dasar, tidak sekedar diukur berdasarakan kebutuhan konsumsi. Maka, dalam kemiskinan multidimensi dilakukan perhitungan yang lebih komprehensif, yaitu banyaknya masyarakat yang terdeprivasi berdasarkan kategori miskin, hampir miskin, dan tidak miskin, yang mancakup paling tidak 9 (sembilan)
dimensi kebutuhan dasar yang diukur berdasarkan indikator yang telah ditentukan. Berdasarkan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pemerintah daerah bertanggungjawab terhadap pencapaian standar pelayanan minimal terkait pelayan dasar yang mencakup 6 (enam) urusan, yaitu pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat, serta urusan sosial. Hal ini sejalan dengan penghitungan berbagai dimensi kemiskinan multidimensi yang dihitung oleh BPS.
Selain karena adanya desakan dari beberapa fraksi di DPR yang menghendaki adanya pembaharuan metodologi penghitungan kemiskinan, Kajian Definisi Kemiskinan ini dilakukan pada tahun anggaran 2014 yang merupakan tahun transisi pemerintahan dari Kabinet Indonesia Bersatu II era Presiden Soesilo Bambang Yodhoyono ke Kabinet Kerja era Presiden Joko Widodo. Oleh karena itu, beberapa catatan penting yang perlu digarisbawahi antara lain:
1. Penentuan target sasaran tingkat kemiskinan di dalam dokumen RPJMN 20152019.
Pemerintah berhasil menurunkan angka kemiskinan pada dua periode RPJMN secara signifikan. Namun demikian, target sasaran tingkat kemiskinan tidak tercapai, yaitu 8,2% pada RPJMN 2004‐2009 (realisasi 14, 5%) dan 9‐10,5 % pada RPJMN 2010‐2014 (realisasi 11,25 %). Tantangan penurunan angka kemiskinan menjadi lebih berat ketika Presiden Joko Widodo menetapkan bahwa target penurunan tingkat kemiskinan Kabinet Kerja di akhir periode RPJMN 2015‐2019 adalah 5‐6%.
Oleh karena itu, selain berupaya melakukan penyempurnaan terhadap metodologi perhitungan kemsikinan, melalui Kajian Definisi Kemiskinan ini juga berhasil dilakukan berbagai pertemuan, FGD, dan rapat terbatas dengan BPS, para ahli kemiskinan, serta mempertimbangkan perhitungan proyeksi kemiskinan berdasarkan berbagai faktor yang mempengaruhi. Hasilnya disepakati bahwa penetapan target sasaran tingkat kemiskinan yang ditetapkan Presiden Joko Widodo sebesar 5‐6% dianggap terlalu optimis dan akan susah untuk dicapai, sehingga pada akhirnya dikoreksi menjadi 7‐8% yang dicantumkan di dalam dokumen Rancangan Teknokratik RPJMN 2015‐2019.
Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014 71
2. Strategi Baru Penanggulangan Kemiskinan
Pendekatan “klastering” yang membagi program‐program penanggulangan menjadi 4 klaster (perlindungan sosial, pemberdayaan masyarakat, pengembangan UMKM, dan pelaksanaan program‐program pro‐rakyat), dan kemudian disempurnakan dengan adanya pendekatan Quick Wins, yaitu “keroyokan” secara lintas sektor pada daerah‐ daerah yang merupakan lokasi kantong kemiskinan selama dua periode RPJMN dari tahun 2004‐2014 tidak serta merta dapat diadopsi, apalagi dilanjutkan pada periode RPJMN 2015‐2019. Hal ini dikarenakan dinamika politik, ekonomi, dan sosial masyarakat serta tantangan yang dihadapi terus berubah dan semakin kompleks. Oleh karena itu, telah dilakukan upaya transformasi berbagai program penanggulangan kemiskinan menjadi 3 (tiga) strategi utama, yaitu: perlindungan sosial yang komprehensif, peningkatan akses dan kualitas pelayanan dasar, dan pengembangan penghidupan berkelanjutan. Keberhasilan pencapaian target sasaran kemiskinan sebagaimana disebutkan di atas sangat bergantung pada efektivitas pelaksanaan berbagai program yang dilaksanakan, serta keterlibatan berbagai pihak. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Banerjee dan Duflo (2011), bahwa “We are all part of the
solution”.
Metodologi perhitungan garis kemiskinan yang digunakan sebenarnya tidak secara langsung berkorelasi dengan 3 (tiga) strategi utama penanggulangan kemiskinan yang telah ditetapkan karena sifatnya yang umum. Meskipun demikian, metodologi baru menggunakan AES sebenarnya dapat membantu dalam hal pemetaan struktur kelompok usia produktif rumah tangga miskin di masing‐masing provinsi. Misalnya, pelaksanaan program Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan (P2B) yang difokuskan untuk peningkatan kapasitas ekonomi rumah tangga miskin, dan identifikasi berbagai kebutuhan terkait pelayanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan. Selain itu, diadopsinya beberapa komoditas makanan baru dan tambahan dari wilayah timur Indonesia juga akan memperkaya data untuk kepentingan agenda Presiden Joko Widodo terkait ketahanan pangan, dalam arti jenis komoditas makanan apa saja yang benar‐benar dibutuhkan masyarakat dan tercatat secara berkala di dalam survey‐ survey yang dilakukan BPS.
3. Penerapan Metodologi Baru Perhitungan Garis Kemiskinan Berdasarakan AES
Jika dilihat dari tingkat akurasi perhitungan batas kecukupan nilai kalori yang dibutuhkan, perhitungan metodologi baru dengan menggunakan Adult Equivalence
Scale akan sangat bermanfaat dalam hal treatment atau pendekatan program
penanggulangan kemiskinan berdasarkan karakteristik masing‐masing provinsi. Sebagai contoh, daerah dengan struktur penduduk usia tua lebih banyak, misalnya Daerah Istimewa Yogyakarta, akan lebih efekif jika yang dioptimalkan adalah program‐ program yang berkaitan dengan upaya perlindungan sosial, sementara daerah lain yang didominasi oleh penduduk usia muda akan lebih efektif jika yang dioptimalkan adalah program‐program terkait pendidikan dan pemberdayaan amsyarakat. Namun, dengan adanya pertimbangan politis, kesiapan struktur pemerintahan di masa transisi, dan kesiapan daerah yang mengalami peningkatan garis kemiskinan yang signifikan, penggunaan metodologi baru disepakati untuk tidak diterapkan terlebih dahulu sambil menunggu momentum yang paling tepat, termasuk rencana updating (pemutakhiran) basis data terpadu PPLS 2011 yang akan dilakukan pada tahun 2015.
4. Kemiskinan Multidimensi
Kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks dan menyangkut berbagai aspek, tidak hanya ekonomi, tetapi juga non‐ekonomi. Oleh karena itu, dalam pengukurannya, kemiskinan juga akan dihitung lebih dari sekedar melalui pendekatan moneter. Saat ini, dengan menggunakan pendekatan deprivasi, mulai dikembangkan pengukuran kemiskinan multidimensi. Meskipun demikian, masih banyak hal yang perlu dikaji misalnya mengenai kriteria dan indikator yang tepat digunakan dan metode perhitungan atau pembobotan menjadi indkes tertentu yang akan dipakai. Dengan perkembangan kemiskinan multidimensi ini, diharapkan kebijakan penanggulangan kemiskinan pun akan menjadi lebih tepat dan menyasar pada akar permasalahan kemiskinan, bukan symptoms atau gejala‐gejalanya saja.