• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR. Organization of Islamic Countries (OIC) di Ankara, Turkey pada bulan November 2014,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KATA PENGANTAR. Organization of Islamic Countries (OIC) di Ankara, Turkey pada bulan November 2014,"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN DEFINISI KEMISKINAN

Di

rekt

orat

Penanggul

angan

Kemi

ski

nan

Kedeputi

an

Bi

dang

Kemi

ski

nan,

Ket

enagakerj

aan

dan

UKM

(2)

KATA PENGANTAR 

 

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas selesainya rangkaian kegiatan Kajian Definisi Kemiskinan Tahun anggaran 2014. Kajian ini menjadi sangat penting karena tahun 2014 merupakan tahun transisi pemerintahan dari Kabinet Indonesia Bersatu era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah menjalankan roda pemerintahan selama 2 (dua) periode RPJMN ke era Presiden Joko Widodo yang mengusung Kabinet Kerja. Transisi pemerintahan tersebut memiliki konsekuensi pada perubahan strategi penanggulangan kemiskinan sekaligus arah kebijakan dan prioritas pembangunan yang ditujukan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat.

Jika upaya penanggulangan kemiskinan pada era RPJMN 2004-2009 dan RPJMN 2010-2014 menitikberatkan pada percepatan pertumbuhan ekonomi dan penanganan kantong-kantong kemiskinan (MP3EI dan MP3KI), periode RPJMN baru 2015-2019 menggarisbawahi 2 (dua) isu utama, percepatan pengurangan kemiskinan dan penurunan ketimpangan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh golongan masyarakat berpenghasilan rendah tidak mampu mengejar tingginya tingkat pertumuhan ekonomi yang dinikmati oleh masyarakat golongan menengah ke atas. Di samping itu, berbagai tantangan yang dihadapi selama periode tersebut mulai dari guncangan ekonomi global yang berdampak pada lesunya ekonomi nasional, berbagai bencana alam besar (tsunami, gempa bumi, gunung meletus), dan berkali-kali kenaikan harga BBM menyebabkan pencapaian target RPJMN di akhir tahun 2009 dan 2014 sedikit meleset.

Dari pengalaman tersebut, pengukuran kemiskinan memiliki peran yang penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan karena berbagai parameter yang diukur selama ini adalah indikator kemiskinan moneter, sementara persoalan kemiskinan adalah persoalan multidimensi. Hal inilah yang menyebabkan berbagai kalangan (DPR, pemerintah daerah, dunia akademis, dan LSM) mendesak pemerintah untuk memperbaiki metode pengukuran kemiskinan. Kajian Definisi Kemiskinan ini dimaksudkan untuk menyempurnakan metode perhitungan kemiskinan seiring dengan perubahan kondisi dan dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di Indonesia. Metode pengukuran kemiskinan yang tepat akan menggambarkan kondisi kemiskinan yang lebih riil yang dirasakan oleh masyarakat, sehingga kebijakan yang diambil untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan akan semakin tepat.

Sebagian dari data yang disajikan di dalam laporan kajian ini juga merupakan hasil dari Expert Group Meeting on Poverty Report 2014 yang diselenggarana oleh

(3)

Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014  3  dimana delegasi Pemerintah Indonesia diwakili oleh Bappenas dan BPS. Dari pertemuan tersebut, selain dipresentasikan berbagai metode pengukuran kemiskinan yang digunakan di berbagai negara, dan perkembangan tingkat kemiskinan, serta program-program yang dilakukan, disepakati juga kerjasama antar negara dalam hal pertukaran informasi, pengiriman misi perwakilan negara untuk saling belajar tentang best practices program-program penanggulangan kemiskinan, dan penyusunan poverty report tahunan sebagai acuan dan monitoring terhadap hasil-hasil pencapaian pemabangunan.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh tim kajian dan semua pihak, termasuk BPS dan K/L terkait, seluruh nara sumber dari Surveymeter Indonesia, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unpad, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unhas, pemerintah daerah (Bappeda) di 3 lokasi FGD, Tim Bank Dunia dalam membantu pengumpulan data dan memberikan masukan untuk penyempurnaan laporan kajian ini.

Akhir kata, dokumen laporan Kajian Definisi Kemiskinan ini diharapkan dapat menjadi panduan awal untuk pengembangan isu- isu lain terkait kemiskinan yang lebih komprehensif oleh seluruh pemangku kepentingan terkait. Laporan ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan dapat menjadi acuan awal dalam upaya memahami kemiskinan sekaligus perhitungannya yang akan diterapkan dalam berbagai kebijakan penaggulangan kemiskinan sejak tahun pertama pelaksanaan RPJMN 2015-2019. Seiring dengan perubahan dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi, laporan ini membutuhkan masukan, saran, dan kritik untuk perbaikan dan penyempurnaan perhitungan kemiskinan di Indonesia.

  Jakarta,      Desember 2014          Rudy S. Prawiradinata  Direktur Penanggulangan Kemiskinan  Kementerian PPN/BAPPENAS   

(4)

ABSTRAK

Dalam  melakukan  perhitungan  kemiskinan  di  Indonesia,  BPS  selama  ini  menggunakan  acuan  pendekatan kemiskinan dari sisi moneter yang juga telah banyak diterapkan di berbagai negara  dengan pertimbangan bahwa dari sisi ketersediaan data maupun keterbandingan antar wilayah  dan  antar  negara  dapat  dengan  mudah  dilakukan.  Meskipun  demikian,  banyak  negara  juga  menyadari  bahwa  terdapat  beberapa  kekurangan  dari  pendekatan  moneter  ini,  sehingga  membatasi kenyataan bahwa dalam persoalan kemiskinan terdapat banyak dimensi yang saling  mempengaruhi. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan dinamika yang terjadi, baik secara  lokal, nasional, maupun terkait dengan isu‐isu global, perlu dilakukan tinjauan ulang terhadap  definisi,  pendekatan,  dan  perhitungan  kemiskinan  yang  lebih  mengedepankan  konteks  multidimensi.  

Kajian  Definisi  Kemiskinan  ini  mencoba  menggali  berbagai  alternatif  pendekatan  kemiskinan  dan perhitungannya, termasuk berbagai tantangan yang dihadapi di tingkat daerah, misalnya di  3 (tiga) provinsi yang  menjadi wilayah fokus kajian, yaitu:  Daerah Istimewa  Yogyakarta, Jawa  Barat, dan Sulawesi Selatan. Dari sisi moneter, terdapat 3 (tiga)  exercise terkait penghitungan  tingkat  kemiskinan,  yaitu  metode  1998,  dengan  acuan  konsumsi  2.100  Kkal/Kapita/Hari,  metode  2014  dengan  dengan  acuan  konsumsi  2.150  Kkal/Kapita/Hari  dan  komoditas  pada  basket  pangan,  serta  metode  baru  (2014)  dengan  perhitungan  Adult  Equivalence  Scale  dan  acuan  konsumsi  2.500  Kkal/adult/Hari.  Selain  itu,  penyempurnaan  juga  dilakukan  dengan  pendekatan  multidimensi  yang  dihitung  dengan  konsep  deprivasi  untuk  mencapai  batas  minimum kemampuan atau kebutuhan dasar untuk dapat menggambarkan kemiskinan dengan  lebih riil di masyarakat. 

Meskipun  hasil  dari  kajian  ini  telah  disepakati  tidak  akan  langsung  diaplikasikan  pada  perhitungan  kemiskinan  di  tahun  2015  dengan  pertimbangan  menunggu  hasil  pemutakhiran  data PPLS 2015 dan penyempurnaan penataan kelembagaan struktur organisasi pemerintahan  kabinet  baru,  paling  tidak  langkah  penyempurnaan  perhitungan  kemiskinan  telah  dilakukan.  Penyempurnaan  ini  diharapkan  dapat  mendukung  implementasi  tiga  strategi  utama  penanggulangan kemiskinan yang telah dituangkan di dalam dokumen RPJMN 2015‐2019, yaitu  (1)  perlindungan  sosial  yang  komprehensif,  (2)  peningkatan  akses  dan  kualitas  pelayanan  dasar,  serta  (3)  pengembangan  penghidupan  berkelanjutan.  Kedepan,  dengan  target  pengurangan  kemiskinan  7‐8%  di  akhir  periode  RPJMN  2015‐2019  dan  mempertimbangkan  kecenderungan  pelambatan  penurunan  angka  kemiskinan  5  (lima)  tahun  terakahir,  penyempurnaan terhadap perhitungan kemiskinan harus terus dilakukan.  

     

(5)

Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014 

DAFTAR ISI 

 

KATA PENGANTAR ... 2  DAFTAR ISI ... 5  DAFTAR TABEL ... 7  DAFTAR GAMBAR ... 8  BAB I PENDAHULUAN ... 9  1.1  LATAR BELAKANG ... 9  1.2  IDENTIFIKASI DAN PERUMUSAN MASALAH ... 10  1.4  TUJUAN DAN SASARAN ... 12  1.5  FOKUS KAJIAN ... 13  BAB II KAJIAN TEORI DEFINISI KEMISKINAN ... 15  2.1  PENDEKATAN KEMISKINAN ... 15  2.2  PENGHITUNGAN KEMISKINAN ... 18  2.3  PENGHITUNGAN KEMISKINAN DI INDONESIA ... 21  2.4  BEBERAPA PERBANDINGAN DENGAN NEGARA LAIN ... 27  BAB III METODOLOGI KAJIAN ... 32  3.1  METODE PENGUMPULAN DATA ... 32  3.2  METODE ANALISIS DATA ... 36  BAB IV PENYEMPURNAAN METODE PENGHITUNGAN KEMISKINAN ... 38  4.1  PERBANDINGAN METODE LAMA DAN METODE BARU ... 38  4.2  ALTERNATIF PENGHITUNGAN KEMISKINAN DENGAN FAKTOR KOREKSI  KANDUNGAN KALORI ... 40  4.3  PENGHITUNGAN KEMISKINAN MULTIDIMENSI ... 41  BAB V MENGAKOMODASI KEPENTINGAN DAERAH ... 49  5.1  DAEAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ... 49  5.2  JAWA BARAT ... 52  5.3  SULAWESI SELATAN ... 53  BAB VI DAMPAK REDEFINISI KEMISKINAN TERHADAP KEBIJAKAN DAN STRATEGI  PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA ... 57  6.1  DAMPAK PENERAPAN REDEFINISI KEMISKINAN ... 57  6.1  PENYUSUNAN PETA JALAN DALAM IMPLEMENTASI PENGGUNAAN METODE  BARU ... 66 

(6)

BAB VII PENUTUP ... 69  7.1  SIMPULAN ... 69  7.2  REKOMENDASI ... 74  DAFTAR PUSTAKA ... 75  LAMPIRAN ... 76       

 

(7)

Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014 

DAFTAR TABEL 

  Tabel 1  Bobot Adult Equivalence Scale ... 22  Tabel 2  Angka Kecukupan Gizi menurut Kelompok Umur  ... 22  Tabel 3  Indikator dan Ukuran Kemiskinan Multidimensi ... 25  Tabel 4  Perbandingan Metode Kemiskinan Multidimensi dan Kemiskinan Moneter ... 26  Tabel 5  Acuan Garis Kemiskinan Berbagai Negara ... 30  Tabel 6  Perbandingan Penghitungan Garis Kemiskinan Metode Lama dan Metode Baru 39  Tabel 7  Indikator yang Diusulkan dalam Pertanyaan Susenas ... 40  Tabel 8   Perubahan Kalori dari Kelompok Komoditas Makanan  ... 42  Tabel 9   Indikator dalam Kemiskinan Multidimensi ... 42  Tabel 10  Tolak Ukur untuk Indikator Kemiskinan Multidimensi ... 43  Tabel 11  Perbandingan antara Indikator MPI OPHI dan IFLS ... 50  Tabel 12  Ringkasan Hasil Diskusi Kajian Definisi Kemiskinan di 3 (Tiga) Wilayah ... 55  Tabel 13  Jenis, Sasaran, dan Target Pelayanan Dasar yang  terkait dengan Kemiskinan ... 65                           

 

(8)

DAFTAR GAMBAR 

 

Gambar 1  Bobot dalam Adult Equivalence Scale ... 23 

Gambar 2  Jumlah  Komoditas  Makanan  (Food  Basket)  untuk  Penghitungan  Garis  Kemiskinan di Beberapa Negara ... 28 

Gambar 3  Rata‐Rata Jumlah Anggota Rumah Tangga Berbagai Negara Anggota OIC ... 29 

Gambar 4  Level  Kebutuhan  Kalori  untuk  Penetapan  Garis  Kemiskinan  Berbagai  Negara Anggota OIC ... 31  Gambar 5  Proses Penyusunan Metodologi Perhitungan Kemiskinan ... 35  Gambar 6  Persentase Masyarakat yang Terdeprivasi pada Dimensi Kependudukan ... 44  Gambar 7  Persentase Masyarakat yang Terdeprivasi menurut Dimensi Pendidikikan .... 45  Gambar 8  Persentase Masyarakat yang Terdeprivasi menurut Dimensi Kesehatan ... 46  Gambar 9  Persentase Masyarakat yang Terdeprivasi menurut Dimensi Perumahan ... 46 

Gambar 10  Persentase  Masyarakat  yang  Terdeprivasi  menurut  Dimensi  Sanitasi  dan  Air Bersih ... 47 

Gambar 11  Persentase Masyarakat yang Terdeprivasi menurut Dimensi Energi ... 47 

Gambar 12  Persentase  Masyarakat  yang  Terdeprivasi  menurut  Dimensi  Kepemilikan  Aset ... 48 

Gambar 13  Garis  Kemiskinan  per  September  2013  menurut  Berbagai  Metode  Perhitungan Berdasarkan Provinsi ... 58 

Gambar 14  Persentase Penduduk Miskin per September 2013 menurut Provini dalam  Berbagai Metode Perhitungan ... 59 

Gambar 15  Korelasi  antara  Perubahan  Jumlah  Penduduk  Miskin  dan  Perbandingan  Rata‐ Rata Jumlah Anggota Rumah Tangga ... 60 

Gambar 16  Trend  Persentase  Penduduk  Miskin  dalam  Berbagai  Metode  Tahun  2011‐  2013 ... 61 

Gambar 17  Trend Garis Kemiskinan dalam Berbagai Metode Tahun 2011‐ 2013 ... 61 

Gambar 18  Distribusi Pengeluaran Nasional dengan Berbagai Metode  ... 612 

Gambar 19  Exercise Asosiasi antara 40% RTM dan Air Bersih dan Sanitasi ... 633 

Gambar 20  Exercise  antara  Variabel  40%  RTM,  Kepemilikan  Identitas  Hukum,  dan  Tingkat Pendidikan  Menengah Atas ... 64 

Gambar 21  Peta  Jalan  Sederhana  Implementasi  Hasil  Kajian  Definisi  Kemiskinan...……… ... 638   

(9)

Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014 

BAB I 

PENDAHULUAN 

  1.1 LATAR BELAKANG   Dalam UU No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional  (RPJPN)  Tahun  2005‐2025  dinyatakan  bahwa  untuk  mewujudkan  pemerataan  pembangunan  dan  berkeadilan  maka  penanggulangan  kemiskinan  merupakan  hal  utama yang harus dilakukan. Selanjutnya, disebutkan pula bahwa masalah kemiskinan  bersifat multidimensi, yaitu bukan hanya menyangkut ukuran pendapatan, tetapi juga  menyangkut kerentanan dan kerawanan orang atau masyarakat untuk menjadi miskin.  Di  sisi  lain,  berbagai  literatur  menekankan  bahwa  kemiskinan  juga  menyangkut  kegagalan  dalam  pemenuhan  hak  dasar  dan  adanya  perbedaan  perlakuan  seseorang  atau kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. 

Landasan  hukum  yang  lain  dapat  dilihat  di  dalam  UU  No.  11  Tahun  2009  tentang  Kesejahteraan  Sosial  yang  menegaskan  bahwa  kesejahteraan  sosial  adalah  kondisi 

terpenuhinya  kebutuhan  material,  spiritual,  dan  sosial  warga  negara  agar  dapat  hidup  layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. 

Sejalan  dengan  itu,  di  dalam  UU  No.  13  Tahun  2011  tentang  Fakir  Miskin  juga  dinyatakan  bahwa  fakir  miskin  adalah  orang  yang  sama  sekali  tidak  mempunyai 

kemampuan  memenuhi  kebutuhan  dasar  yang  layak  bagi  kehidupan  dirinya  dan/atau  keluarganya.  Dari  definisi  dan  penjelasan  beberapa  konsep  terkait  kemiskinan  yang 

diatur di dalam dokumen legal formal sistem administrasi kenegaraan yang berlaku di  Indonesia  tersebut  dapat  ditarik  satu  benang  merah  bahwa  konsep  multidimensi  merupakan bagian utama dari konsep tentang kemiskinan. 

Selama  ini,  perhitungan  kemiskinan  di  Indonesia  lebih  banyak  mengacu  pada  perhitungan moneter dimana kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi  ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar (makanan dan non‐makanan) yang diukur  dari  sisi  pengeluaran.  Di  sisi  lain,  disadari  bahwa  terdapat  beberapa  kekurangan  dari  pendekatan  moneter  ini,  diantaranya  adalah  terlalu  fokus  pada  kebutuhan  fisik,  sehingga membatasi kenyataan bahwa dalam persoalan kemiskinan juga terkait dengan  aspek sosial dan kesejahteraan. Selain itu, pendekatan moneter juga tidak memberikan 

(10)

perhatian  khusus  pada  aspek  kerentanan  masyarakat  dalam  memenuhi  kebutuhan  dasar  atau  membiayai  pengeluaran  untuk  kelangsungan  hidup  mereka.  Dengan  beberapa pertimbangan itulah kajian definisi kemiskinan dalam konteks multidimensi  penting  dilakukan  untuk  mendapatkan  gambaran  kemiskinan  yang  lebih  menyeluruh  dalam rangka penyusunan strategi pengentasan kemiskinan yang lebih efektif. 

Di  dalam  konsep  kemiskinan  multidimensi,  kemiskinan  dilihat  dalam  struktur  yang  lebih  luas.  Dalam  halini,  kemiskinan  multidimensi  tidak  hanya  didefinisikan  dalam  konteks  pendapatan  atau  konsumsi,  tetapi  juga  dilihat  pada  keterbatasan  akses  terhadap pelayanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, serta kualitas hidup, sehingga  didapatkan  pemahaman  tentang  kemiskinan  yang  komprehensif.  Dalam  pengukurannya,  kemiskinan  multidimensi  menggunakan  konsep  deprivasi,  dengan  mengukur  berbagai  indikator  yang  menekankan  pada  kenyataan  pencapaian  berbagai  indikator  standar  hidup  yang  ditentukan.  Indikator  deprivasi  yang  digunakan  diantaranya adalah aspek legalitas kependudukan, pemenuhan pelayanan dasar (bidang  kesehatan  dan  pendidikan),  dan  kualitas  hidup.  Oleh  karena  itu,  jika  pengukuran  kemiskinan  mengkombinasikan  pendekatan  indikator  deprivasi  dan  garis  kemiskinan,  maka  akan  diperoleh  gambaran  kemiskinan  yang  lebih  lengkap,  termasuk  kondisi  sumberdaya dan pencapaian standar hidup rumah tangga.  

1.2 IDENTIFIKASI DAN PERUMUSAN MASALAH 

Kemiskinan  merupakan  salah  satu  permasalahan  bangsa  yang  mendesak  dan  memerlukan  langkah‐langkah  penanganan  yang  lebih  sistemik,  terpadu  dan  menyeluruh.  Untuk  itu,  upaya  percepatan  penanggulangan  kemiskinan  di  Indonesia  masih menjadi prioritas program pemerintah. Sepanjang satu dekade terakhir, tingkat  kemiskinan  dan  jumlah  penduduk  miskin  secara  nasional  terus  menurun.  Penurunan  tersebut  tidak  lepas  dari  upaya  keras  pemerintah  untuk  menanggulangi  kemiskinan  melalui  berbagai  program  penanggulangan  kemiskinan  yang  terus  disempurnakan.  Namun, penurunan angka kemiskinan ini mengalami perlambatan. Hal ini menunjukan  bahwa  belum  efektif  dan  optimalnya  pelaksanaan  program/kegiatan  penanggulangan  kemiskinan yang menyangkut beberapa hal sebagai berikut:  

(11)

Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014  11  1. Ketidaktepatan  sasaran,  ketidakpaduan  lokasi  dan  waktu,  dan  koordinasi  antar  program/kegiatan  maupun  program/kegiatan  pemerintah  pusat  dan  daerah  yang belum selaras;  

2. Masih  adanya  social  exclusion  (marjinalisasi)  pada  penerima  program  penanggulangan kemiskinan;  

3. Penyediaan  pelayanan  dasar  di  daerah  tertinggal,  terisolir/terpencil,  daerah  perbatasan masih belum efektif;  

4. Peran  dan  kapasitas  (Tim  Koordinasi  Penanggulangan  Kemiskinan  Daerah  (TKPKD) di beberapa daerah belum optimal; dan  

5. Pemekaran  wilayah  yang  terus  menerus  menyulitkan  dalam  perencanaan  dan  penganggaran.  

Selain  itu,  salah  satu  hal  penting  yang  masih  harus  terus  menjadi  perhatian  khusus  adalah  belum  optimalnya  dukungan  dari  aspek  kebijakan  ekonomi  makro  dalam  mendukung upaya penanggulangan kemiskinan. Dari sisi masyarakat, masih rendahnya  kesadaran  serta  pemahaman  sebagian  masyarakat  dalam  mengakses  layanan  dasar,  terutama pendidikan dan kesehatan ibu dan anak juga menjadi tantangan serius. Oleh  karena itu, di dalam rancangan dokumen RPJMN 2015‐2019 disebutkan bahwa terdapat  empat  isu  strategis  dalam  percepatan  penurunan  kemiskinan  dan  peningkatan  pemerataan khususnya bagi masyarakat kurang mampu, yaitu : 

1. Pertumbuhan ekonomi yang inklusif 

2. Peningkatan penyelenggaraan perlindungan sosial yang komprehensif  3. Perluasan dan peningkatan pelayanan dasar 

4. Pengembangan penghidupan berkelanjutan. 

Dalam  konteks  kemiskinan  multidimensi,  dengan  terdefinisinya  beberapa  indikator‐ indikator  deprivasi  diharapkan  pelaksanaan  pemenuhan  pelayanan  dasar  bagi  masyarakat  kurang  mampu  dan  rentan  bisa  tepat  sasaran.  Untuk  dapat  memenuhi  sasaran  peningkatan  akses  pelayanan  dasar,  terdapat  tiga  arah  kebijakan  utama  yang  akan  dijalankan.  Tiga  arah  kebijakan  dalam  memenuhi  sasaran  peningkatan  akses  pelayanan dasar berfokus pada: 

1. Meningkatkan  ketersediaan  infrastruktur  dan  sarana  pelayanan  dasar  bagi  masyarakat kurang mampu dan rentan.  

(12)

2. Meningkatkan  penjangkauan  pelayanan  dasar  bagi  penduduk  kurang  mampu  dan rentan.  

3. Penyempurnaan  pengukuran  kemiskinan  yang  menyangkut  kriteria,  standardisasi, dan sistem pengelolaan terpadu. 

Oleh  karena  itu,  pengukuran  kemiskinan  merupakan  hal  yang  penting  dalam  upaya  pengurangan kemiskinan dan kesenjangan.   

Dari  uraian  di  atas,  dapat  dirumuskan  bahwa  ruang  lingkup  kegiatan  Kajian  Definisi  Kemiskinan ini mencakup: 

1. Kegiatan  pustaka  (literature  review)  perbandingan  atas  berbagai  konsep/pendekatan  definisi  kemiskinan  serta  berbagai  lesson  learned  dan  best 

practices secara internasional. 

2. Pemetaan definisi dan tantangan hingga lima tahun ke depan atas kemiskinan di  Indonesia.  

3. Analisis  atas  berbagai  kesempatan  ruang  untuk  perbaikan  definisi  kemiskinan  hingga tahap pengukuran kemiskinan di Indonesia.  

4. Simulasi  perhitungan  tingkat  kemiskinan  dengan  menggunakan  metode  pengukuran kemiskinan yang telah diperbaiki.  

5. Membuat  peta  jalan  dalam  implementasi  penggunaan  metode  baru  yang  diusulkan.  

1.4   TUJUAN DAN SASARAN 

Tujuan dari Kegiatan Kajian Definisi Kemiskinan ini adalah untuk : 

a. Mengidentifikasi  berbagai  pendekatan  dalam  mendefinisikan  kemiskinan,  dan  melakukan  komparasi  atas  berbagai  pendekatan  yang  ada  untuk  kemudian  mengetahui  kelemahan  dan  kelebihan  dari  masing‐  masing  pendekatan,  termasuk  di  dalamnya  ialah  best  practices  dari  berbagai  negara  yang  menggunakan salah satu pendekatan tersebut; 

b. Melakukan pemetaan atas definisi kemiskinan di Indonesia dan identifikasi atas  ruang untuk perbaikan dari definisi kemiskinan di Indonesia saat ini dan analisis  atas kesempatan atau tantangannya dalam lima tahun mendatang; 

c. Simulasi  penghitungan  angka  kemiskinan  dengan  menggunakan  metode  baru  yang diusulkan; 

(13)

Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014  13  d. Tahapan  atau  peta  jalan  dalam  implentasi  penggunaan  metode  baru  yang 

diusulkan.  

Sementara  itu,  sasaran  dari  kegiatan  Kajian  Definisi  Kemiskinan  ini  adalah  dihasilkannya:  

(1) Beberapa  alternatif  definisi  dan  metodologi  pengukuran  kemiskinan  di  Indonesia; 

(2) Rekomendasi  atas  perbaikan  definisi  dan  pengukuran  kemiskinan di  Indonesia  sebagai bahan untuk ditetapkan bersama dan simulasi angka kemiskinan dengan  metode baru. 

1.5 FOKUS KAJIAN 

Kegiatan  Kajian  Definisi  Kemiskinan  ini  difokuskan  pada  beberapa  hal  terkait  penyempurnaan terhadap standar penghitungan kemiskinan yang selama ini dilakukan  di Indonesia, diantaranya: 

1. Metode perhitungan kemiskinan yang  sesuai, sebagai bahan perumusan intervensi  kebijakan  yang  lebih  efektif  dalam  penanggulangan  kemiskinan  dan  peningkatan  kesejahteraan masyarakat dan sesuai dengan amanat Undang‐Undang yang berlaku;  2. Perubahan  metode  perhitungan  memperhatikan  intervensi  pada  kelompok  anak‐ anak  yang  menjadi  perhatian  utama  dalam  penanggulangan  intergenerational 

poverty.  Dalam  metode  baru,  adult  equivalence  scale  menjadi  salah  satu 

pertimbangan dalam perhitungan kemiskinan; 

3. Mengakomodasikan  perubahan  kebutuhan  kalori  minimum  2.150  Kkal  yang  telah  ditetapkan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2012; 

4. Mengakomodasikan  perbedaan  karakter  wilayah  (Indonesia  Bagian  Timur  dan  Barat), antara lain: 

a. Komposisi penduduk usia muda pada keluarga miskin dan hampir miskin.  b. Perbedaan jenis makanan utama. 

5.   Mengakomodasi kemiskinan multidimensi dengan menggunakan konsep deprivasi.  Fokus  kajian  tersebut  akan  mendukung  indikator  kinerja  unit  Direktorat  Penanggulangan Kemiskinan terhadap Rencana Strategis BAPPENAS, yaitu : 

(14)

a. Persentase (%) kesesuaian Rancangan Rencana Strategis K/L terkait Lingkup  Penanggulangan  Kemiskinan  dengan  Target/Sasaran  dalam  Rancangan  RPJMN sebesar 100%. 

b. Persentase  (%)  kesesuaian  Rencana  Kerja  K/L  terkait  Lingkup  Penanggulangan Kemiskinan dengan RKP dan Pagu Indikatif sebesar 100%.  c. Satu Laporan Hasil Koordinasi Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional  (termasuk Substansi Rencana dan Pembiayaannya/Rupiah Murni dan PHLN)  Terkait Lingkup Penanggulangan Kemiskinan.         

 

(15)

Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014  15 

BAB II 

KAJIAN TEORI DEFINISI KEMISKINAN 

  2.1  PENDEKATAN KEMISKINAN  Dari berbagai definisi kemiskinan yang diajukan oleh para ahli  maupun lembaga yang  memfokuskan  perhatian  pada  isu‐isu  kemiskinan,  salah  satu  konsep  dasar  yang  disepakati  adalah  bahwa  kemiskinan  merupakan  kondisi  dimana  seseorang  atau  kelompok  orang  tidak  memiliki  atau  jauh  dari  kesejahteraan  (well­being,  welfare).  Konsep welfare atau welfare economics merupakan istilah yang sering digunakan untuk  menggambarkan  standar  hidup  (standard  of  living)  yang  tidak  hanya  mencakup  pendapatan,  produk  domestik  bruto  (GDP),  laju  inflasi,  angka  harapan  hidup,  dan  indikator  lain  yang  dapat  dikuantifikasi,  tetapi  juga  mencakup  hal‐hal  yang  bersifat  kualitatif  seperti  freedom  (kebebasan,  kemerdekaan)  dan  happiness  (kebahagiaan).  Berdasarakan  pendekatan  kapabilitas  (capability  approach)  yang  dikemukakan  oleh  Amartya  Sen  (1976,  1990),  kemiskinan  diartikan  sebagai  deprivasi  dari  kemampuan  dasar  (deprivation  of  basic  capabilities)  seseorang  untuk  memilih  dan  berusaha  memenuhi tingkat kesejahteraannya.  

Selanjutnya,  Bank  Dunia  (2000,  2013)  memberikan  definisi  sederhana  bahwa  kemiskinan merupakan deprivasi dari kesejahteraan (poverty is pronounced deprivation 

in  well­being).  Berdasarkan    konsep  tersebut,  salah  satu  benang  merah  yang  dapat 

ditarik  adalah  bahwa  kemiskinan  merupakan  persoalan  yang  kompleks  dan  multidimensi, yang tidak cukup hanya diukur menggunakan terminologi moneter, tetapi  juga  pendekatan  non‐moneter.  Hal  ini  dapat  dipahami  bahwa  peningkatan  maupun  penurunan  angka  kemiskinan  merupakan  hasil  dari  interaksi  ekonomi,  politik,  sosial,  dan  budaya  yang  dihadapi  oleh  masyarakat  miskin.  Oleh  karena itu,  beberapa  konsep  utama yang perlu dipahami dalam mendefinisikan kemiskinan, antara lain: 

     

(16)

2.1.1 Kemiskinan 

Secara  umum,  berdasarakan  literatur  sosial‐ekonomi  yang  berkembang  selama  ini,  terutama  yang  dipakai  oleh  berbagai  negara  dalam  konteks  pembangunan  ekonomi,  terdapat tiga pendekatan umum untuk mendefinisikan kemiskinan, yaitu antara lain:   a. Kemiskinan Absolut 

Kemiskinan absolut merujuk pada batas pendapatan yang biasa disebut dengan istilah  garis  kemiskinan,  yaitu  batas  minimal  dimana  individu  tidak  dapat  memenuhi  kebutuhan  dasar  untuk  kelangsungan  hidupnya.  Menurut  standar  internasional,  garis  kemiskinan  didefinisikan  sebagai  kondisi  dimana  keluarga  memperoleh  pendapaan  kurang  dari  US  $  1,25  Purchasing  Power  Parity  (PPP)  per  hari  per  orang.  Meskipun  demikian,  penentuan  garis  kemiskinan  berdasarkan  pendapatan  individu  terkadang  tidak  mudah  dilakukan,  sehingga  banyak  negara  menggunakan  metode  penghitungan  tingkat pengeluaran individu yang kemudian dikonversikan menjadi nilai batas minimal  untuk memenuhi kehidupan layak yang ditetapkan oleh masing‐masing negara. Dalam  hal  ini  Indonesia  menggunakan  pendekatan  garis  kemiskinan  nasional  yang  dihitung  berdasarkan  pengeluaran  minimal  untuk  memenuhi  kebutuhan  hidup  yang  dianggap  layak,  baik  dari  sisi  pengeluaran  makanan  maupun  non‐makanan.  Dalam  definisi  sederhana,  UNDP  (1997:  HDR)  menyebutkan  bahwa  absolut  poverty  measures  poverty  

in relation to the amount of money necessary to meet basic needs. 

b. Kemiskinan Relatif 

Jika kemiskinan absolut langsung dihitung menggunakan garis kemiskinan, kemiskinan  relatif  menitikberatkan  pada  fleksibilitas  konteks  sosial.  UNDP  (1997)  menyebutkan  bahwa  relative  poverty  defines  poverty  in  relation  to  the  economic  status  of  other 

members of the society: people are poor if they fall below prevailing standards of living in  a  given  societal  context.  Dengan  demikian,  kemiskinan  relatif  merefleksikan  kondisi 

finansial individu, rumah tangga, keluarga, maupun masyarakat yang kurang baik, jika  dibandingkan dengan rata‐rata standar hidup di masyarakat setempat. 

c. Ekslusi Sosial  

Dalam  pendekatan  ini,  kemiskinan  diukur  tidak  hanya  dari  kelangkaan  sumber  daya  untuk  memenuhi  kebutuhan  dasar,  namun  juga  kelangkaan  makanan  dan  tempat 

(17)

Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014  17  tinggal.  Silver  (1994)  mendefinisikan  eksklusi  sosial  (social  exclusion  or marginalization)  sebagai  social  disadvantage  and  relegation  to  the  fringe  of society. 

Selain  itu,  pendekatan  eksklusi  sosial  juga  memperhitungkan  faktor  kehilangan  nilai‐ nilai kemanusiaan seperti keamanan dan harga diri.  

2.1.2 Ketimpangan 

Meskipun  pendekatan  di  atas,  terutama  kemiskinan  absolut  dan  kemiskinan  relatif  sudah  umum  digunakan,  namun  kritik  terhadap  keduanya  sama,  yaitu  bahwa  kemiskinan  hanya  dipandang  dari  sisi  ekonomi,  yaitu  pendapatan  dan  konsumsi.  Padahal, sejak lebih dari 6 (enam) dekade lalu, definisi kemiskinan sudah lebih luas dari  sekedar  pengukuran  ekonomi,  yaitu  menyangkut  indikator  sosial  dan  budaya  yang  menjelaskan  kesejahteraan  masyarakat  (Cobbinah  et  al.  2013).  Selain  konsep  kemiskinan, istilah lain yang tidak bisa dipisahkandalam kontekspembangunan adalah  ketimpangan  (inequality).  Kuznets  (1955)  berpendapat  bahwa  tingginya  tingkat  ketimpangan ekonomi suatu negara merupakan dampak dari proses pembangunan.   Ketimpangan  merupakan  konsep  yang  lebih  luas  dibandingkan  kemiskinan,  karena  menggambarkan  seluruh  populasi,  baik  individu  atau  kelompok  masyarakat  yang  dianggap  hidup  sejahtera  atau  layak  maupun  mereka  yang  hidup  dibawah  garis  kemiskinan.  Secara  sederhana,  ketimpangan  merupakan  kondisi  di  mana  aset,  kesejahteraan, dan pendapatan terdistribusi secara tidak merata antara individu dalam  suatu  kelompok,  antara  kelompok  dalam  suatu  populasi,  atau  dalam  suatu  negara.  Bahkan  menurut  Stiglitz  (2013),  ketimpangan  akan  cenderung  mengakibatkan  perlambatan  pertumbuhan  dan  pembangunan  yang  tidak  efisien  (Inequality  leads  to 

lower growth and less efficiency). 

Satu hal yang menarik, menurut Kutnetz (1955), terdapat kecenderungan bahwa negara  dengan  tingkat  perekonomian  yang  rendah  relatif  memiliki  distribusi  kesejahteraan  yang merata. Dengan asumsi tersebut, peningkatan ketimpangan cenderung akan terus  terjadi terutama pada negara‐negara yang sedang berkembang secara ekonomi, karena  distribusi  pendapatan  yang  tidak  merata.  Di  dalam  kurva  Kuznets,  terlihat  bahwa  hubungan  antara  tingkat  pendapatan  dan  ketimpangan  dalam  suatu  proses  pembangunan, yaitu ketimpangan akan naik dan kemudian turun.  

(18)

2.2   P 2.2.1  Metode mengu diangga dalam  metode popula a. Pov Metode individ inform pendap untuk  program rangka Namun kedalam ketimp menyu sebaga Dimana konsum poverty benar,    PENGHITU Model Pen e  Headcou kur  propor ap  sebagai mengukur e ini yaitu  si yang diu verty Gap In e  Poverty  du  yang  be asi  seberap patan orang melihat  s m‐program  menaikka n  demikian man  kemis pangan  dia sun    Pove i berikut:  a,  poverty  msi  dari  m y  gap  0).  I dan bernila UNGAN KE nghitungan unt  Index  rsi  pendud i  metode  y r  perkiraan tidak bisa  ukur.   ndex  Gap  Index  rada  dalam pa  besar  g g yang ber seberapa  b m  penangg an pendapa n,  metode  p skinan  anta antara  ses erty  Gap  In gap  (Gn)  a ereka  yang I  adalah  fu ai 0 jika seb EMISKINA n Kemiski adalah  m duk  yang  t yang  paling n  tingkat  melihat tin secara  sp m  rata‐rata ap  antara  ada di baw besar  kebu gulangan  k atan pendu poverty  gap ara  sesama ama  pend ndex,  kaita adalah  pem g  tergolong ungsi  indik baliknya. N AN  nan Tradi metode  pe ergolong  m g  sederhan kemiskina ngkat keda pesifik  digu a  di  bawah tingkat pen wah garis ke utuhan  bi emiskinan  uduk miskin p  tidak  me a  pendudu duduk  mis annya  deng   mbeda  ana g  miskin  (o kator  sama N adalah tot isonal (Hea engitungan  miskin  dala a,  metode  n  (poverty laman dan unakan  un h  garis  kem ndapatan  s emiskinan. aya  yang  dengan  m n sampai p enunjukkan uk  miskin,  kin.  Sebag gan  headc atara  pover orang  yang a  dengan  1 tal populas adcount In kemiskin am  sebuah ini  paling  y  incident). n keparahan ntuk  menge mikinan,  se seseorang  . Metode in dibutuhka metode  cas pada batas  n  perbedaa sehingga  t gai  ilustra ount  index rty  line  (z) g  tidak  mis 1  jika  brac i.  ndex)  nan  denga h  populasi.  sering  dig .  Kelemah n kemiskin etahui  per ehingga  di terhadap  m ni biasa dig an  untuk  sh  transfer garis kem an  keparah idak  dapat si,  UNDP  x  dengan  f   dan  incom skin  memil cketed  exp an  cara  Karena  gunakan  an  dari  nan dari  rsentase  peroleh  minimal  gunakan  alokasi  r  dalam  iskinan.  han  dan  t  dilihat  (2008)  formula  me  atau  iki  nilai  pression 

(19)

Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014  19 

b. Squared Poverty Gap (Poverty Severity) Index 

Poverty  Severity  Index  umumnya  digunakan  sebagai  pelengkap  penghitungan  poverty  gap index karena memperhitungkan faktor inequality diantara sesama penduduk miskin 

dalam suatu populasi yang dihitung. Dengan kata lain, penghitungan dalam metode ini  menitikberatkan  pada  observasi  terhadap  populasi  yang  berada  di  bawah  garis  kemiskinan.  Oleh  karena  itu,  meskipun  interpretasi  terhadap  index  tidak  mudah  dilakukan, penurunan atau kenaikan nilai index dapat dipengaruhi oleh adanya transfer  dari rumah tangga miskin kepada rumah tangga yang lebih miskin atau sebaliknya. 

c. Gini Coefficient 

Indeks  Gini  diperkenalkan  sosiolog  asal  Italia  Corrado  Gini  (1997)  dan  merupakan  indeks yang paling umum digunakan dalam pengukuran tingkat ketimpangan distribusi  pendapatan  penduduk  dalam  suatu  negara.  Berdasarkan  kurva  Lorenz,  Indeks  Gini  menggambarkan  kurva  frekuensi  kumulatif  yang  membandingkan  distribusi  dari  variabel  tertentu  (umumnya  pendapatan).  Nilai  Gini  Coefficient  berkisar  antara  0‐1,  dimana nilai 0 menunjukkan distribusi yang sangat merata yaitu setiap orang memiliki  jumlah  penghasilan  atau  kekayaan  yang  sama  persis.  Sementara  itu,  nilai  1  menunjukkan distribusi yang timpang sempurna, yaitu suatu kondisi dimana satu orang  memiliki segalanya dan semua orang lain tidak memiliki apa‐apa. 

d. Growth Incidence Curve 

Metode penghitungan menggunakan Growth Incidence Curve (GIC) dimaksudkan untuk  mengetahui  dampak  yang  dihasilkan  dari  pertumbuhan  terhadap  tingkat  kemiskinan.  Dengan menggunakan GIC, tingkat pertumbuhan pada masing‐masing kuantil per kapita  pendapatan  dapat  diketahui  untuk  membandingkan  tingkat  pertumbuhan  pada  kelompok  masyarakat  termiskin  dan  yang  lebih  sejahtera,  serta  melihat  di  quantil  berapa yang paling besar menyumbang  pertumbuhan.  

e. Sen Index 

Amartya  Sen  (1976)  mengembangkan  sebuah  indeks  yang  kemudian  dikenal  dengan 

Sen  Index  untuk  melihat  secara  bersamaan  efek  dari  jumlah  orang  miskin,  tingkat 

(20)

yang  diobservasi.  Ciri  khas  dari  metode  ini  adalah  bahwa  Sen  Index  sensitif  terhadap  distribusi kemiskinan diantara kelompok penduduk miskin. 

2.2.2  Metode Alternatif Penghitungan Kemiskinan 

Dalam rangka melengkapi metode penghitungan kemiskinan yang sudah ada, para ahli  kemudian  mengembangkan  beberapa  alternatif  yang  tidak  hanya  didasarkan  pada  pendekatan moneter, tetapi dengan membandingkan beberapa indikator yang relevan  dengan kondisi kemiskinan. Beberapa pendekatan tersebut antara lain:   

a. Human Development Index (HDI) 

HDI  atau  dikenal  juga  dengan  Indeks  Pembangunan  Manusia  (IPM)  adalah  metode  pengukuran  kualitas  pembangunan  manusia  dengan  cara  membandingkan  berbagai  indikator, seperti angka harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan pendapatan yang  diolah menjadi sebuah indeks. IPM pertama kali dikembangkan oleh Amartya Sen dan  Mahbub  ul  Haq  pada  tahun  1990,  dan  kemudian  dipakai  sebagai  laporan  IPM  setiap  tahun  oleh  PBB  sebagai  dasar  evaluasi  pembangunan  dan  klasifikasi  negara  berdasarakan tingkat kemajuan pembangunan yang dicapai. 

Di  dalam  pengukuran  HDI,  pada  tahun  1972,  Raja  Bhutan  Jigme  Singye  Wangchuck  menciptakan  Indeks  Kebahagiaan  yang  pada  awalnya  digunakan  dlm  upaya  membangun  perekonomian  negaranya  berdasarkan  budaya  dan  kepercayaan  agama  Buddha.  Komponen  yang  dipertimbangkan  untuk  Indeks  Kebahagiaan  adalah  (a)  kepuasan atas hubungan pribadi; (b) pekerjaan; (c) makna dalam tujuan hidup; dan (d)  sejauh mana teknologi meningkatkan standar hidup. 

b. Multidimensional Poverty Index (MPI) 

The Multidimensional Poverty Index (MPI), pertama kali dikembangkanpada tahun 2010 

(dimuat dalam HDR) oleh UNDP dan Oxford Poverty and Human Development Initiative  (OPHI)  untuk  melengkapi  pengukuran  aspek  moneter  dari  penghitungan  kemiskinan  dengan  memasukkan  beberapa  indikator  deprivasi.  Indikator  yang  digunakan  dalam  penghitungan  MPI  sama  dengan  tiga  indikator  HDI  dan  secara  khusus  menunjukkan  jumlah  penduduk  yang  berada  dalam  kondisi  kemiskinan  multidimensi.  Model  Indeks  Kemiskinan  Multidimensi  (MPI)  dapat  dibuat  untuk  mengukur  kemiskinan  per  kawasan, etnis atau kelompok lainnya. 

(21)

Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014  21 

c. Inequality of Economic Opportunity (IEO) 

Metode ini biasa digunakan untuk meambandingkan kondisi ketimpangan antar negara.  Paolo  Brunori,  Francisco  Ferreira  dan  Vito  Peragine  (2013)  menyebutkan  bahwa  (a)   ketidaksetaraan  pendapatan  tidak  dapat  dikaitkan  dengan  perbedaan  usaha  atau  tanggung  jawab  masing‐masing  individu,  namun  bisa  berasal  dari  faktor  luar  seperti  latar  belakang  keluarga,  jenis  kelamin,  ras  dan  tempat  lahir;  (b)  ketidaksetaraan   kesempatan  ekonomi  berkorelasi  positif  dengan  ketimpangan  pendapatan;  dan  (c)  ketidaksetaraan  kesempatan  ekonomi  berkorelasi  negatif  dengan  tindakan  perubahan  status sosial antargenerasi, baik dalam pendapatan dan jenjang pendidikan. 

d. Chronic Poverty 

Hulme  dan  Shepherd  (2003)  mendefinisikan  chronic  poverty  (kemiskinan  kronis)  sebagai suatu kondisi dimana seorang individu berada pada kondisi yang tidak pernah  keluar  dari  kemiskinan  selama  lima  tahun  berturut‐turut.  Metode  ini  biasa  digunakan  untuk melihat jumlah sebaran keluarga yang berada dalam kondisi kemiskinan kronis  dalam satu wilayah. 

2.3   PENGHITUNGAN KEMISKINAN DI INDONESIA 

Selain  penjelasan  tentang  konsep  kemiskinan  yang  secara  internasional  dipakai  oleh  berbagai negara seperti telah diuraikan di atas, berikut ini adalah beberapa pendekatan  penghitungan kemiskinan yang diterapkan di Indonesia: 

2.3.1 Kemiskinan Berdasarkan Perhitungan Moneter 

Secara sederhana, penghitungan kemiskinan dari sisi moneter yang dilakukan oleh BPS  secara  berkala  adalah  untuk  melihat  ketidakmampuan  penduduk  dari  sisi  ekonomi  dalam  rangka  memenuhi  kebutuhan  dasar  makanan  dan  non‐makanan.  Dalam  hal  ini,  seseorang  dianggap  miskin  jika  pengeluaran  konsumsi  rumah  tangga  (per  kapita  per  bulan)  mereka  lebih  rendah  atau  berada  di  bawah  garis  kemiskinan  (GK).  Hal  ini  dihitung dengan: 

(22)

Dimana GK=Garis Kemiskinan yang, GKM=Garis Kemiskinan Makanan, dan GKNM=Garis  Kemiskinan Non Makanan.  

Berdasarkan pendekatan ekonomi, individu secara rasional bertindak untuk mencapai  tujuan  ekonomis,  kemudian  mengambil  keputusan  yang  konsisten  dengan  tujuan  tersebut. Kebutuhan manusia secara individu secara ekonomis dikelompokkan menjdi  kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Secara sederhan, jika kebutuhan primer tidak  dapat  terpenuhi  maka  dapat  dikatakan  bahwa  individu  tersebut  hidup  dibawah  garis  kemiskinan. Dalam teori Engel, Bray (2008) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat  pendapatan rumah tangga, maka akan semakin rendah presentase pengeluaran untuk  konsumsi makanan. Berdasarkan teori klasik ini, maka rumah tangga dapat dikatakan  lebih  sejahtera  jika  proporsi  pengeluaran  untuk  makanan  sudah  mencapai  proporsi  lebih kecil dari pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan non‐makanan. Hal inilah yang  melandasi  bahwa  kemiskinan  di  Indonesia  tidak  hanya  diukur  melalui  pengeluaran  untuk makanan tetapi juga non‐makanan. 

2.3.2 Kemiskinan dengan Adult Equivalence Scale 

Penghitungan  skala  Adult  Equivalence  pada  dasarnya  digunakan  untuk  menghitung  konsumsi masing‐masing individu dalam rumah tangga untuk membantu pengalokasian  anggaran yang sesuai standar kebutuhan hidup masyarakat. Pertimbangan utama dari  penggunaan  skala  ini  adalah  untuk  mangakomodasi  kenyataan  bahwa  berbagai  tingkatan  usia  memiliki  kebutuhan  kalori  yang  berbeda‐beda,  termasuk  perbedaan  kebutuhan kalori untuk pria dan wanita. Berdasarkan National Transfers Account Manual  (2013),  kriteria  pembobotan  berdasarkan  perbedaan  usia  untuk  kebutuhan    kalori  adalah sebagai berikut:  Tabel 1.  Bobot Adult Equivalence Scale  Usia  Bobot  < 5 tahun  0,4  5 – 19 tahun  0,4 – 1  > 19 tahun  1        Sumber : National Transfers Account Manual, United Nations, 2013  Untuk memberikan ilustrasi yang lebih detail, pembobotan tersebut dapat digambarkan  dalam grafik dibawah ini.  

(23)

Laporan  2.3.3 Angka  sebaga (WNPG konsum perhitu metode Scale  d tersebu   Akhir Kajian  Sum Kemiskina kecukupan i  PI)  diteta G) 2012, ya msi  (per  ungan  meto e moneter  dimana  pe ut adalah se Definisi Kemi Gambar mber: Nation an dengan n  gizi  pada apkan  berd aitu bahwa kapita/ha ode  monet ketiga (kit mbobotan  ebagai beri iskinan 2014 r 1.  Bobot d nal Transfers n Pemiliha a  alternatif dasarkan  h  kecukupa ri)  adalah ter  kedua  ta sebut seb tingkat  k ikut:      dalam Adul s Account M an Angka K f  perhitung hasil  dari  W n kebutuha h  sebesar  (disebut  se bagai PIII)  konsumsi  d lt Equivalen Manual, Unite Kecukupan gan  metode Widya  Kary an energi s 2.150  K ebagai  PII) mengguna dari  data  W nce Scale  ed Nations, 2 n Gizi   e  moneter  ya  Nasiona secara nasi KKal.  Seda )  dan  alter akan skala  WNPG  201   2013  pertama  ( al  Pangan  d ional pada  angkan  al rnatif  perh Adult Equi 12  per  adu 23  (disebut  dan  Gizi  tingkat  lternatif  itungan  ivalence  ult/hari 

(24)

Tabel 2.  Angka Kecukupan Gizi menurut Kelompok Umur  KELOMPOK UMUR  ENERGI (KKAL)  (WNPG 2012)  ANAK  0‐6 bln 550 7‐11 bln 725 1‐3 thn 1125 4‐6 thn 1600 7‐9 thn 1850 PRIA  10‐12 thn 2100 13‐15 thn 2475 16‐18 thn 2675 19‐29 thn 2725 30‐49 thn 2625 50‐64 thn 2325 65+ thn (65‐80 thn) 1900 (80+ thn) 1525       Sumber: Hasil Kajian BPS dan Bappenas, 2014    2.3.4 Kemiskinan Multidimensi 

Perhitungan  kemiskinan  multidimensi  melihat  kemiskinan  dalam  struktur  yang  lebih  luas, yaitu yang didefinisikan secara lintas aspek, seperti keterbatasan akses terhadap  pendidikan, kesehatan, dan kualitas hidup. Dalam perhitungannya, BPS menggabungkan  berbagai  indikator  untuk  menjelaskan  kompleksitas  kemiskinan,  dengan  rumus  perhitungan sebagai berikut: 

MPI = H * A 

MPI =  Indeks Kemiskinan Multidimensi  H  =  Jumlah Orang Miskin 

A  =  Intensitas (Keparahan) Kemiskinan 

Dalam  metode  penghitungan  kemiskinan  multidimensi,  dilakukan  penghitungan  deprivasi  dengan  beberapa  indikator  yang  terpilih  untuk  menunjukkan  adanya  perbedaan  persentase  antara  penduduk  miskin,  hampir  miskin,  dan  tidak  miskin. 

PIII 2500

PII 2220

(25)

Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014  25  Berikut  adalah  perbandingan  dimensi  dan  indikator  dari  kemiskinan  multidimensi  menurut beberapa literatur. 

Tabel 3. 

Indikator dan Ukuran Kemiskinan Multidimensi 

Oxford Poverty and Human 

Development Initiative  UNDP  World Summit on Social Development  Kesehatan  • Gizi  • Angka Kematian Bayi  Panjang Usia  Ekonomi • Pendapatan  • Pengeluaran   • Pekerjaan    Pendidikan  • Lama Sekolah  • Partisipasi Sekolah  Pengetahuan  Pelayanan Dasar  • Pendidikan   • Kesehatan  • Gizi    Kualitas Hidup  • Bahan Bakar untuk Memasak  • Sanitasi  • Air Bersih  • Sumber Penerangan  • Lantai  • Aset    Kualitas Hidup Infrastruktur  • Perumahan   • Sanitasi  • Lingkungan        Sosial Sumber: Oxford Poverty and Human Development Initiative, UNDP, dan World Summit on Social  Development, 2014   

Tabel  4  berikut  secara  lebih  jelas  menggambarkan  perbandingan  antara  perhitungan  kemiskinan  multidimensi  dan  kemiskinan  moneter  yang  dapat  dilihat  dari  berbagai  indikator.                  

(26)

Tabel 4.  Perbandingan Metode Kemiskinan Multidimensi dan Kemiskinan Moneter     Indeks Kemiskinan Multidimensi  Kemiskinan Moneter  Sektor yang  Diukur  Multidimensi:  Kemiskinan dilihat dalam aspek ekonomi,  sosial, politik, dsb.  Ekonomi:  Kemampuan memenuhi kebutuhan  dasar makanan dan bukan  makanan.  Cara  Pengukuran  MPI = H*A  GK = GKM + GKNM  Kelebihan   Menjelaskan penyebab kemiskinan  dengan lebih holistik.  Memiliki standar yang dapat  dibandingkan antar negara.  Menjelaskan intensitas (keparahan)  kemiskinan  Menjelaskan asosiasi antara faktor  moneter dan non‐ moneter dalam  kemiskinan serta asosiasi antara  variabel deprivasi.  Kekurangan  Sulit untuk dibandingkan karena setiap  Negara, bahkan antar wilayah dalam  satu negara memiliki indikator yang  berbeda.  Terlalu Fisik  Adanya Perubahan Harga Relatif Tidak Memperhatikan Aspek  Kerentanan  Unit Analisis Individu   2.3.5 Indeks Kebahagiaan  Pada pertengahan April 2014, dalam berita dan siaran pers Bappenas, BPS, dan Forum  Masyarakat  Statistik  (FMS)  membahas  mengenai  perilisan  Indeks  Kebahagiaan  Indonesia  Tahun 2013.  Dengan  melakukan  survey  pada  sekitar  9.720  sampel  dari  seluruh  Indonesia  menghasilkan  indeks  di  level  65,11  dan  berada  di  zona  "bahagia".  Dalam  melakukan  survey,  BPS  menggunakan  metode probabilty  sampling: PPS 

Systematic  with  Replecement.  Responden  yang  disurvey  adalah  kepala  rumah  tangga 

atau pasangan yang dipilih menggunakan kish table yang ditetapkan oleh BPS. Adapun  pengumpulan  data  dilakukan  melaui  wawancara  langsung  dengan  responden.  Wawancara dilakukan secara semi‐private dan tidak terburu‐buru sehingga responden  berada dalam keadaan rileks dan dapat secara jujur memberikan jawaban. 

(27)

Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014  27  Indikator yang digunakan BPS dalam survey ini adalah indikator objektif dan subjektif  terkait  10  domain  kehidupan  esesnsial,  yaitu: kesehatan,  pendidikan, pekerjaan,  pendapatan  rumah  tangga,  kondisi  lingkungan,  kondisi  keamanan,  hubungan  sosial, keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, dan  kondisi rumah dan aset.  Tingkat  kebahagiaan  di  suatu  tempat  berbeda  dengan  tempat  yang  lain.  Tingkat  kebahagiaan di daerah perkotaaan lebih besar (65,92 dari 0‐100) dibandingkan dengan  daerah  pedesaan  (64,32  dari  0‐100).  Hal  ini  didasari  pada  persoalan  pendapatan,  daerah  perkotaan  memang  lebih  baik.  Namun,  untuk  persoalan  keharmonisan  rumah  tangga dan kondisi lingkungan daerah pedesaan jauh lebih baik. 

Beberapa  hal  penting  untuk  perbaikan  perhitungan  Indeks  Kebahagiaan  yang  akan  dilakukan adalah sebagai berikut:  

(i) spiritualitas akan dimasukan ke dalam indikator kebahagiaan dalam survey Indeks  Kebahagiaan  Masyarakat  Indonesia  tahun‐tahun  berikutnya  dimana  sampai  sekarang  masih berada dalam tahap pengkajian;  

(ii)  akan  memperluas  cakupan  responden  yang  lebih  beragam  untuk  survey  Indeks  Kebahagiaan Masyarakat Indonesia berikutnya. 

 

2.4   BEBERAPA PERBANDINGAN DENGAN NEGARA LAIN 

Dalam perkembangannya terdapat setidaknya empat pendekatan yang biasa digunakan  dalam perhitungan kemiskinan, diantaranya pendekatan moneter (monetary approach),  pendekatan  kapabilitas  (capability  approach),  eksklusi  sosial  (social  exclusion)  dan  pendekatan  partisipatif  (participatory  approach).  Penentuan  metode  dalam  menggambarkan  kondisi  kemiskinan  tidak  mudah  untuk  dilakukan.  Masing‐masing  metode memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga tidak mudah untuk menentukan  metode  apa  yang  paling  tepat  untuk  menghitung  kemiskinan  di  suatu  Negara.  Hal  ini  disebabkan  oleh  banyaknya  faktor  yang  menjadi  pertimbangan,  terutama  terkait  dengan  kategori  negara,  termasuk  negara  maju  atau  berkembang,  serta  model  sosial  masyarakat,  sehingga  model  penghitungan  yang  dipilih  benar‐benar  dapat  menggambarkan tingkat kemiskinan yang akurat di suatu negara. 

Definisi  kemiskinan  dapat  dibatasi  oleh  aspek  material,  sosial,  budaya,  dan  aspek  politik. Selain itu, definisi kemiskinan dapat pula terkait dengan daya guna atau sumber 

(28)

daya  a penggu bebera dengan negara  mengu Oleh  ka perlu b akan di Dalam  menda garis  k dapat  merefle penghit diguna makana wilayah dengan Indone pada ga atau  tingk unaannya.  D pa peneliti n  seseoran maju  pen kur tingkat arena  itu,  bersifat spe iterapkan d mendefini sar untuk h kemiskinan secara  re eksikan  sta tungan  ya kan  di  Ind an  (diwak h  perkotaa n  negara‐n esia sebena ambar beri un kat  keterse Disamping  ian disebut g  termasu dekatan  m t kemiskin sampai  pa esifik sesua di lokasi ya isikan  kem hal ini adal n.  Selain  itu elatif  mem andar  yan ang  sudah donesia  me kili  52  jeni an  dan  47  negara  lain arnya terma ikut:  Gambar 2.  ntuk Penghi S ediaan  su itu,    indik tkan bahwa k  kategori moneter  dan nan karena  ada  batas  t i dengan ko ang berbeda miskinan,  s lah mengen u,  penting  mbedakan  g  absolut  h  dilakuka erupakan  a is  komodit jenis  komo n,  komodit asuk yang    Jumlah Ko itungan Gar Sumber: Ses atu  sumb kator  kemis a konteks l i  miskin  at n  social  ex ukuran ek tertentu,  m onteks loka a.  eringkali  d nai justifik untuk  me pendudu untuk  kon an  sejak  t agregat  da tas)  dan  n oditas  di  w tas  makan berada di t omoditas M ris Kemiski sric Poverty R er  daya  skinan  dap lokal memp tau  tidak  m clusion  leb konomi me metode  dala asi dan mem digunakan  kasi dalam p ngetahui  b k  miskin  ndisi  depri tahun  199 ari  penghit non‐makan wilayah  pe an  (food  titik tengah Makanan (Fo inan di Beb Report, 2014 atau  samp pat  bersifat pengaruhi  miskin,  mi bih  banyak  enjadi perh am  perhitu mbutuhkan garis  kem pemilihan  bagaimana  dan  tida ivasi.  Berd 98,  garis  ungan  keb nan  (51  je rdesaan).  J basket)  ya h, sebagaim ood Basket) berapa Nega pai  pada  t  universal pengertian isalnya  di  digunakan hatian yang ungan  kem n penyesua miskinan.  Is kriteria pe garis  kem ak  miskin dasarakan  kemiskina butuhan  ko enis  komod Jika  diband ang  diguna mana dapat   )   ara  tingkat  .  Dalam  n terkait  banyak  n  dalam  g utama.  miskinan  aian jika  su  yang  enyusun  miskinan  n  serta  metode  n  yang  onsumsi  ditas  di  dingkan  akan  di  t dilihat 

(29)

Laporan  Unit  p kemisk bahkan pada le tangga. Islamic 2014,  penting beraga Gam   Kemud multidi monete multidi terus  m seorang sebalik penguk menjad Terdap perhitu kelema Akhir Kajian  enghitunga kinan. Kem n  unit  geog evel individ .  Berdasar c  Cooperati unit  ruma g  karena  s m, sebagai mbar 3. Rat dian, jika di imensi, ma er  saja.  Pe imensi yan menjadi  pe g  individu knya  dalam kuran  kem di perdebat pat  banyak ungan kem ahan  dan  Definisi Kemi an  kemisk iskinan da grafis.  Hal  du, seperti  rkan  hasil  ion)  yang  ah  tangga  setiap  nega mana ditam ta­Rata Jum   lihat dari s aka perhitu ersoalannya ng tepat, ap erdebatan.  u  dapat  be m  rentang ikskinan,  a tan.   k  hal  yang iskinan. Ma kelebihan iskinan 2014 kinan  juga  apat dipand ini  karena  sanitasi, ai konferens diselengga dalam  me ara  memili mpilkan pa mlah Anggot Sumber: Ses sudut pand ungan kemi a  adalah  b pakah dalam Faktanya, ergerak  da g  waktu  y apakah  dal g  harus  m asing‐masi n  tersendir menjadi  h dang dari  s terdapat  b ir bersih, y si  negara‐n arakan  di  etode  peng ki  rata‐rat da gambar ta Rumah T sric Poverty  ang bahwa iskinan tid bahwa  hin m bentuk i ,  secara  al ari  kondis yang  sang lam  hitung menjadi  pe ng pendek ri.  Oleh  k hal  yang  p sudut pand beberapa  i yang biasan negara  ang Ankara,  T ghitungan  ta  jumlah  a r berikut:  Tangga Berb Report, 201 a kemiskina ak dapat d gga  saat  i ndeks agre lamiah  tida si  miskin  gat  beraga gan  hari,  bu erhatian  d katan perhit karena  itu penting  da dang indivi ndikator  y nya diukur  ggota  OIC  urki  pada  kemiskinan anggota  ru bagai Nega an merupak dilihat hany ni,  perhitu egat atau m ak  dapat  d menjadi  ti am.  Maka, ulan,  atau  dalam  men tungan kem u,  pendeka alam  pemb du, keluarg yang  sulit  d pada level (Organiza bulan  No n  menjadi  umah  tangg ra Anggota kan perma ya dengan  ungan  kem metode lain dipungkiri  idak  misk ,  rentang  tahun  juga nentukan  miskinan m atan  perh 29  bahasan  ga, atau  dihitung  l rumah  ation  of  vember  sangat  ga  yang  a OIC  asalahan  metode  miskinan  n, masih  bahwa  in  atau  waktu  a  masih  metode  memiliki  itungan 

(30)

kemiskinan  harus  dapat  menyesuaikan  kebutuhan  dari  pengambil  kebijakan  di  lokasi  yang  spesifik  untuk  menjadi  dasar  pengembangan  program  penanggulangan  kemiskinan  serta  program‐program  pembangunan  yang  lain.  Beberapa  negara  juga  mengukur  garis  kemiskinan  berdasarkan  kebutuhan  konsumsi  kalori  per  hari  atau  pengeluaran per hari dari individu. Berikut beberapa contoh acuan garis kemiskinan di  beberapa negara: 

Tabel 5. 

Acuan Garis Kemiskinan Berbagai Negara 

No.  Negara  Poverty Line  MPI 

1  Bangladesh   2,122 KCal/Day  0.292  2  Sri Langka  2,122 KCal/Day    3  China  6.3 Yuan/Day = USD 1.83   0.056  4  Malaysia  2,406 KCal; 579 grams of Proteins    5   India   2,400 KCal (Rural) / 2,100 (Urban)  0.283  6   Vietnam   2,100 KCal   0.084  7   Filiphina     0.064  8   Thailand   922 Baht/Person/Month‐ 1163 Baht/Person/Month   0.006  9   Kamboja  USD 1.115/Day/Capita or 2200 Kcal/Day  0.251  10  Pakistan    0.264    Sumber : UNDP, Bank Dunia, 2014 

Sementara  itu,  jika  dibandingkan  dengan  negara‐negara  anggota  OIC,  penetapan  kebutuhan  kalori  minimal  (2.150  KKal)  berdasarkan  WNPG  2012  sebenarnya  cukup  rendah  (Gambar  4).  Oleh  karena  itu,  dengan  mempertimbangkan  pertumbuhan  ekonomi  dan  tingkat  pendapatan  masyarakat  secara  umum,  acuan  kebutuhan  kalori  minimal (calorie thresholds) perlu dikaji dan dihitung kembali.  

(31)

Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014  31   

Gambar 4. Level Kebutuhan Kalori untuk Penetapan Garis Kemiskinan   di Berbagai Negara Anggota OIC 

(32)

BAB III 

METODOLOGI KAJIAN 

 

3.1 METODE PENGUMPULAN DATA 

Mitra  kerja  utama  dalam  Kajian  Definisi  Kemiskinan  ini  adalah  BPS.  Dalam  hal  ini,  sesuai dengan amanat Undang‐Undang bahwa BPS berperan dalam seluruh mekanisme  penghitungan  secara  statistik  terhadap  penetapan  garis  kemiskinan  berdasarkan  nilai  konsumsi calory trehshold dari sisi moneter dan standar deprivasi dari sisi kemiskinan  multidimensi.  

Sementara itu, Bappenas lebih berperan pada sisi perencanaan, yaitu mulai dari desain  awal  kajian  yang  ditujukan  untuk  mengakomodasi  berbagai  masukan  dari  berbagai  pihak  untuk  segera  dilakukan  tinjauan  ulang  terhadap  standar  penghitungan  kemiskinan  yang  selama  ini  berlaku.  Selanjutnya,  berdasarkan  pertimbangan  pencapaian  target  dan  efektivitas  pelaksanaan  program‐program  penanggulangan  kemiskinan,  Bappenas  juga  berperan  penting  dalam  hal  menilai  sejauh  mana  definisi  dan  metode  perhitungan  kemiskinan  yang  digunakan  dapat  menjawab  persoalan‐ persoalan  kemiskinan  yang  berkembang.  Dalam  hal  ini,  penetapan  target  penurunan  kemiskinan, baik dalam konteks perencanaan pembangunan jangka menengah (RPJMN)  maupun jangka pendek (RKP) sangat terkait erat dengan stabilitas ekonomi global dan  nasional,  kondisi  politik  nasional,  dinamika  perubahan  di  daerah,  serta  metode  pengukuran  kemiskinan  yang  sesuai  dengan  kondisi  sosial  budaya  masyarakat  Indonesia  yang  beragam.  Oleh  karena  itu,  dalam  rangka  mendapatkan  data  dan  informasi  yang  komprehensif  untuk  memenuhi  kebutuhan  di  atas,  metode  pengumpulan data yang dilakukan dalam kajian ini antara lain:       

3.1.1 Kajian Pustaka 

Meliputi  segala  aktivitas  yang  terkait  dengan  desk  study  (tinjauan  pustaka),  analisis  terhadap  dokumen‐dokumen  penunjang  dan  hasil‐hasil  riset,  data  BPS,  dan  data  institusi lain yang mengkaji definisi dan pengukuran kemiskinan. Kajian pustaka ini juga  dimaksudkan  untuk  meperdalam  pemahaman  terhadap  teori,  konsep,  lessons  learned,  dan  best  practices  penerapan  definisi  dan  metode  pengukuran  kemiskinan  yang  ada. 

(33)

Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014  33  Kajian  pustaka  ini  dilakukan  sebagai  basis  data  awal  untuk  menilai  sekaligus  membandingkan  sejauh  man  definisi  dan  metode  penghitungan  kemiskinan  yang  diterapkan  di  Indonesia  mampu  menjawab  permasalahan  kemiskinan  jika  dibandingkan dengan negara‐negara lain. 

3.1.2 Seminar dan Diskusi Terbatas 

Seminar  dan  diskusi  terbatas  ini  dilakukan  bersama‐sam  dengan  BPS  melibatkan  kementerian/lembaga,  para  ahli  dari  universitas  dan  lembaga  penelitian  yang  secara  aktif  terlibat  dalam  berbagai  upaya  terkait  isu‐isu  kemiskinan,  serta  unit‐unit  kerja  pemerintah  terkait  di  tingkat  pusat  yang  secara  langsung  menangani  isu‐isu  kemiskinan.  Seminar  dan  diskusi  terbatas  difokuskan  pada  eksplorasi  dan  identifikasi  beberapa hal, antara lain: 

a. Komparasi  antara  definisi  dan  pengukuran  kemiskinan  yang  selama  ini  dilakukan dengan penerapan metode baru;  b. Kerangka konseptual mengenai alternatif metode pengukuran kemiskinan yang  baru;   c. Metode perhitungan kemiskinan multidimensi;   d. Hasil kajian dan dampak dari penerapan metode perhitungan kemiskinan baru  terhadap kondisi kemiskinan di berbagai provinsi di Indonesia.  

Selain  itu,  dalam  rangka  diseminasi  hasil  kegiatan,  di  akhir  periode  kajian  dilakukan  lokakarya terbatas untuk membahas:  

a. Hasil  evaluasi  terhadap  berbagai  alternatif  pendekatan  definisi/pengukuran  kemiskinan;  

b. Alternatif  metode  pengukuran  kemiskinan,  baik  di  daerah  yang  mewakili  Kawasan Barat Indonesia maupun Kawasan Timur Indonesia; dan 

c. Keterkaitan  dan  manfaat  kajian  terhadap  penentuan  target  penurunan  kemiskinan  dan  strategi  penanggulangan  kemiskinan  yang  kemudian  dituangkan kedalam dokumen RPJMN 2015‐2019. 

   

(34)

3.1.3 Serial Focused Group Discussion (FGD) 

Bersama  dengan  BPS,  serial  diskusi  terfokus  (FGD)  dilakukan  di  beberapa  daerah  dengan  mengundang  para  pakar  atau  ahli  kemiskinan,  praktisi  di  bidang  statistik,  ekonomi  pembangunan,  dan  pemberdayaan  masyarakat  dari  universitas,  lembaga  penelitian,  dan  LSM,  serta  dengan  para  pelaku  dan  pelaksana  program‐program  penanggulangan kemiskinan di daerah.  

Serial  FGD  ini  secara  umum  dimaksudkan  untuk  membahas  substansi  sesuai  dengan  kebutuhan kajian secara lebih mendalam. Peserta FGD diambil secara purposive, dengan  pertimbangan  bahwa  calon  peserta  FGD  adalah  mereka  yang  memiliki  kompetensi  khusus,  sesuai  dengan  isu  yang  didiskusikan.  Selain  ahli  kemiskinan  dari  universitas  atau lembaga penelitian, nara sumber lain yang selalu dihadirkan di semua lokasi FGD  adalah  pihak  pemerintah  daerah  yang  secara  langsung  menangani  program‐program  penanggulangan  kemiksinan.  Ketiga  daerah  yang  menjadi  lokasi  FGD  tersebut  antara  lain: Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Sulawesi  Selatan. 

3.1.4 Serial Konsinyering 

Kegiatan  ini  bertujuan  untuk  membahas  perkembangan  pelaksanaan  kegiatan  secara  internal,  yaitu  meliputi  persiapan  awal  proses  pengumpulan  data,  analisis  data,  serta  penyusunan, baik laporan awal, laporan pertengahan, dan laporan akhir kajian. Selain  itu, kegiatan ini juga dilakukan dalam rangka melakukan sinkronisasi dengan kegiatan  lain, seperti kegiatan koordinasi, kegiatan evaluasi pemanfaatan lahan pertanian untuk  optimalisasi  penanggulangan  kemiskinan,  dan  kegiatan  pemantauan  kesiapan  PNPM  Mandiri untuk pelaksanaan program Sustainable Livelihood yang kesemuanya bermuara  pada  penyusunan  dan  penyempurnaan  dokumen  RPJMN  2015‐2019  bidang  penanggulangan kemiskinan.  

3.1.5 Kunjungan Daerah untuk Observasi Lapangan 

Kunjungan  lapangan  ke  beberapa  daerah  dilakukan  untuk  observasi  lapangan  dan  berdialog  dengan  pelaku  kebijakan  di  daerah  untuk  mengetahui  sejauh  mana  perhitungan  kemiskinan  dengan  konteks  lokal  dilakukan.  Lokasi  kunjungan  lapangan  yang  menjadi  pusat  kajian  disesuaikan  dengan  lokasi  FGD  antara  lain;  (i)  Kota 

(35)

Laporan Akhir Kajian Definisi Kemiskinan 2014  35  Yogyakarta,  Provinsi  Daerah  Istimewa  Yogyakarta;  (ii)  Kota  Bandung,  Provinsi  Jawa  Barat; dan (iii) Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Ketiga daerah tersebut dipilih  berdasarakan pertimbangan keterwakilan wilayah Indonesia bagian barat, tengah, dan  timur  serta  mempertimbangkan  telah  adanya  berbagai  upaya  dan  langkah  kebijakan  penurunan kemiskinan oleh pemerintah daerah. Selain ketiga daerah tersebut, daerah  lain  yang  dijadikan  lokasi  kunjungan  lapangan  dalam  rangka  memperkaya  informasi  terkait  upaya  pemerintah  daerah  dalam  hal  perbaikan  penghitungan  kemiskinan  di  daerah antara lain dilakukan di: Provinsi Kalimantan Timur, Bali, dan Jawa Tengah.   Untuk  memberikan  gambaran  lebih  rinci  tentang  metode  pengumpulan  data  yang  dilakukan  dalam  Kajian  Definisi  Kemiskinan  ini,  gambar  5  berikut  mengilustrasikan  proses  kajian  yang  telah  dilakukan,  terutama  serial  FGD  dan  workshop,  seminar  atau  rapat terbatas, pihak‐pihak yang dilibatkan, serta output yang dihasilkan.                               Gambar 5. Proses Penyusunan Metodologi Perhitungan Kemiskinan          Serial FGD   Evaluasi data  kemiskinan yang ada  BPS, Bappenas, LIPI, SMERU, WB, Akademisi   Pihak yang terlibat  • Evaluasi data kemiskinan moneter • Usulan  untuk  menghitung  variabel 

Output  Workshop Terbatas  Exercise alternatif  konsep moneter dan  deprivasi  BPS, Bappenas, dan SMERU  Pihak yang terlibat 

Rekomendasi  alternatif  perhitungan  moneter dan variabel deprivasi. 

Output 

Workshop Interdep  terbatas 

Pembahasan dengan 

K/L dan pihak terkait  K/L terkait, Bappenas, BPS, pihak lainnya  Pihak yang terlibat 

Rencana  perbaikan  perhitungan  kemiskinan. 

Output 

 

(36)

3.2 METODE ANALISIS DATA  3.2.1 Analisis Data Sekunder  

Data sekunder dapat digunakan dalam sebuah penelitian sebagai sumber data, karena  dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data sekunder dapat dimanfaatkan untuk  menguji,  menafsirkan,  bahkan  meramalkan.  Langkah‐langkah  yang  dilakukan  dalam  penelitian  analisis  data  sekunder  ini  dimulai  dari  pengumpulan  data  sekunder,  hasil  wawancara,  focused  group  discussion,  hingga analisis  dari  perhitungan  yang  dilakukan  oleh  BPS  yang  kemudian  disempurnakan  dengan  metode  analitical  hierarchy  process  (AHP)  untuk  menggali  dan  menawarkan  alternatif  baru  metode  penghitungan  kemiskinan beserta kelebihan dan kelemahannya.  

Teknik  analisis  AHP  dipergunakan  karena  merupakan  suatu  model  yang  luwes  yang  dapat  dijadikan  acuan  untuk  membangun  gagasan‐gagasan  dan  mendefinisikan  persoalan  dengan  cara  membuat  asumsi  baru  pada  masing‐masing  alternatif  pendekatan untuk memperoleh pendekatan yang paling “layak” dilakukan. Dalam kajian  ini, untuk mendapatkan hasil analisis yang logis, ada tiga prinsip yang menjadi acuan,  yaitu  menyusun  hierarki,  menetapkan  prioritas  dan  konsistensi  logis  dari  setiap  perubahan metode penghitungan kemiskinan yang dipakai.  

3.2.2 Analisis Statistik Deskriptif  

Analisis statistik deskriptif dilakukan untuk dapat menyajikan data‐data statistik, yaitu  data  hasil  perhitungan  yang  dilakukan  BPS  sebagai  informasi  awal  yang  kemudian  dideskripsikan  berdasarkan  kebutuhan  kajian.  Analisis  statistik  deskriptif  juga  memudahkan data dan informasi yang tersedia untuk dianalisis lebih lanjut. Dalam hal  ini,  penyempurnaan  penghitungan  garis  kemiskinan  dan  pengembangan  metode  penghitungan  kemiskinan  multidimensi  tidak  hanya  dideskripsikan  sebagai  sesuatu  yang  secara  langsung  dapat  diimplementasikan,  tetapi  harus  disesuaikan  dengan  berbagai  isu  (politik,  sosial,  ekonomi,  dan  budaya  masyarakat)  yang  berkembang  di  Indonesia.  

     

Gambar

Tabel 2.  Angka Kecukupan Gizi menurut Kelompok Umur  KELOMPOK UMUR  ENERGI (KKAL)  (WNPG 2012)  ANAK  0‐6 bln 550 7‐11 bln 725 1‐3 thn 1125 4‐6 thn 1600 7‐9 thn 1850 PRIA  10‐12 thn 2100 13‐15 thn 2475 16‐18 thn 2675 19‐29 thn 2725 30‐49 thn 2625 50‐64 th
Tabel 4.  Perbandingan Metode Kemiskinan Multidimensi dan Kemiskinan Moneter      Indeks Kemiskinan Multidimensi   Kemiskinan Moneter   Sektor yang  Diukur   Multidimensi:  Kemiskinan dilihat dalam aspek ekonomi,  sosial, politik, dsb
Gambar 8. Persentase Masyarakat yang Terdeprivasi menurut Dimensi Kesehatan    Sumber : Hasil Simulasi BPS, 2014 
Gambar 1 nurut Berba atas,  rata‐r sing‐masin runan garis eh, Riau, Su n  Barat,  Su Hal  ini  m pengaruh  ivalance sca  provinsi P oleh distrib
+3

Referensi

Dokumen terkait

Artinya tidak ada hubungan antara kedua variabel yang berarti tidak ada hubungan antara ketidakpuasan konsumen dengan brandswitching behaviour pada mahasiswa UINSA yang

Inkubator bayi sistem tertutup adalah inkubator bayi yang selalu tertutup, hanya dibuka dalam keadaan darurat untuk keperluan pernafasan. Perawatan dan  pengobatan pada bayi

masyarakat yang tagihan listriknya tidak terlalu besar, bisa membayar tagihan listrik dengan sampah mereka. Sebelumnya, untuk menjadi anggota Bank Sampah JWProject

Puji dan syukur panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, kelimpahan rahmat dan karunia Nya sehingga dapat menyelesaukan tesis tentang “ Pengaruh Kompensasi dan

Tahapan selanjutnya adalah melakukan koordinasi dengan dinas dan institusi terkait yang berhubungan dengan sumber–sumber teknologi (Balitjestro, BPSB) dan stakeholders di

Penelitian klinis mengenai teknik re- susitasi hipotensi dihindari pada populasi yang diperkirakan lebih berisiko untuk tim- bul komplikasi akibat iskemia, yaitu pasien

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peran kegiatan ekstrakurikuler dalam menumbuhkan kedisiplinan peserta didik di SMP Negeri Se Kabupaten Karawang, dengan melihat

Metode demonstrasi baik digunakan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang hal-hal yang berhubungan dengan proses mengatur sesuatu, proses membuat