• Tidak ada hasil yang ditemukan

Simpulan

Besar keluarga contoh tergolong kategori sedang (65,5%) dan paling banyak di SD P2 mencapai 72.7% dengan jumlah anggota keluarga lima sampai tujuh orang. Pendidikan ayah dan ibu umumnya berada di sebaran tidak/belum tamat SD sampai SMA/setara dan hanya 1.3% (bapak) dan 2.5% (ibu) berada pada perguruan tinggi. Sebagian besar pendapatan orang tua berada pada kategori sedang (48.8%) dan paling banyak di SD P1 dan SD P2 mencapai 53.1% dan 50.0%. Karakteristik keluarga contoh tidak berbeda secara signifikan (p>0.05)

Contoh yang menjadi sampel paling banyak di SD P1 mencapai 32 siswa. Uang jajan contoh berkisar Rp1,000 dan lebih besar atau sama dengan Rp4,000 dan lebih banyak berada pada kategori rendah berkisar Rp1,000 dan lebih kecil dari Rp2,000 dengan total mencapai 38.8% (88.5% di SD C1). Rentang usia contoh sebagian besar berada pada rentang 10 tahun dan lebih kecil dari 11 tahun mencapai 36.3%. Pengetahuan gizi contoh umumnya berada pada kategori sedang (47.5%) dengan hasil rata-rata tingkat pengetahuan gizi di SD P2 (71.13) tergolong kategori sedang dan lebih tinggi dibandingkan dengan SD P1 dan SD C1. SD C1 tergolong tingkat pengetahuan gizi buruk (53.26). Karakteristik contoh tidak berbeda secara signifikan (p>0.05) kecuali pada uang jajan (p=0.000) dan pengetahuan gizi (p=0.001).

Makanan jajanan bisa diperoleh dengan harga Rp500 per porsi dengan bentuk yang divariasikan sedemikan rupa, seperti: berbentuk “love”, berbentuk

tabung, berbentuk bulat, berbentuk pipih, berbentuk segi empat, dan berbentuk menyerupai kue kroket. Tekstur, warna, suhu, dan rasa tidak diperhatikan oleh penjual dengan baik sehingga berdampak pada tekstur yang kasar, warna yang kecoklatan dan kehitaman, suhu yang dingin, dan rasa asin meskipun dari segi preferensi pasti berbeda antar individu. Hal ini harus diperhatikan mengingat pengolahan sangat mempengaruhi kualitas gizi dari makanan.

Tingkat kesukaan (suka dan sangat suka) contoh terhadap semua makanan jajanan sangat tinggi mencapai di atas 50.0%, jika dibedakan perkategori tidak suka (tidak suka dan sangat tidak suka) cireng isi abon dan bakwan adalah jenis makanan jajanan dengan persentase paling tinggi tidak disukai contoh. Persentase total contoh paling tinggi menyukai (sangat suka dan suka) bakso goreng mencapai 86.3% dan chicken nugget mencapai 77.6%,

sedangkan cireng isi abon mencapai 15.1% dan bakwan mencapai 8.8% merupakan jenis makanan jajanan yang paling tinggi persentase total contoh tidak suka (tidak suka dan sangat tidak suka). Faktor harga dan rasa merupakan dua dari sekian banyak faktor yang paling dominan menjadi alasan contoh menyukai maupun sebaliknya pada setiap jenis makanan jajanan. Tekstur, zat gizi, dan bentuk pada makanan jajanan dan adanya karena kebiasaan contoh terhadap jenis makanan jajanan yang bisa disebabkan karena budaya merupakan beberapa faktor yang diyakini mempengaruhi tinggi atau rendahnya tingkat kesukaan contoh.

Setiap makanan jajanan memiliki karakteristik tersendiri untuk menarik konsumen. Maksudnya setiap karaktersitik pada makanan jajanan ada yang berpengaruh dan sebaliknya, intinya makanan jajanan harus disajikan dalam bentuk standar. Untuk bisa menilai karakteristik standar pada makanan setiap individu dipengaruhi oleh situasi sebelumnya. Sehingga bisa saja antar individu memiliki penilaian yang berbeda terhadap jenis makanan jajanan yang sama. Akibatnya pada kasus makanan tertentu ada contoh yang suka dan tidak suka pada makanan yang sama. Berdasarkan uji beda sebagian besar jenis makanan jajanan yang disukai contoh di setiap sekolah tidak berbeda nyata kecuali pada bakwan (p=0.027) dan risoles (p=0.007) yang mana SD P1 paling tinggi persentase suka terhadap kedua jenis makanan jajanan ini dibandingkan dengan SD P2 dan SD C1.

Total persentase tingkat frekuensi (sering dan sangat sering) jajan contoh terhadap semua jenis makanan jajanan rendah jika dibandingkan dengan tingkat preferensi hanya mencapai mencapai 20.1% paling tinggi. Bakwan (17.5%) dan bakso goreng (20.1%) merupakan beberapa jenis makanan jajanan camilan yang sering (sering dan sangat sering) dibeli. Batagor dan cireng isi sapi merupakan beberapa jenis makanan jajanan dengan total persentase tertinggi jarang dibeli (sangat jarang dan tidak pernah sama sekali) mencapai 72.5% dan 67.5%. Uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar tingkat frekuensi jajan contoh pada bakwan (p=0.002) dan onde-onde (p=0.021) yang mana SD P2 paling tinggi persentase frekuensi jajan terhadap kedua jenis makanan jajanan ini dibandingkan dengan SD P1 dan SD C1.

Kontribusi energi dan zat gizi terhadap kecukupan dari gizi makanan jajanan di SD P2 lebih tinggi persentasenya dibandingkan dengan sekolah di SD P1 dan SD C1 mencapai 49% untuk energi, 73.2% untuk protein, 14.5% untuk

kalsium, 41.3% untuk zat besi, dan 6.7% untuk vitamin C. Tingginya kontribusi energi dan zat gizi di SD P2 diduga akibat tingginya frekuensi jajan contoh yang sangat tinggi yang mana berdasarkan tingkat frekuensi terdapat perbedaan yang nyata antara frekuensi jajan contoh pada ke tiga sekolah yang menunjukkan SD P2 Lebih tinggi persentase jajannya. Sedangkan total rata-rata kontribusi energi dan zat gizi di sekolah secara keseluruhan mencapai 44% untuk energi, 68.9% untuk protein, 13.1% untuk kalsium, 37.2% untuk zat besi, dan 5.6% untuk vitamin C.

Hasil uji Correlations-Spearman’s terdapat hubungan nyata antara makanan jajanan dengan karakteristik individu, seperti: usia dan pengetahuan gizi. Korelasi antara usia dengan preferensi jajan pada pada batagor (p=0.037, r=0.252) dan risoles (p=0.014, r=0.274) adalah bermakna. Hasil penelitian diperoleh nilai signifikan (p<0.05) pada tingkat pengetahuan gizi yang menunjukkan korelasi antara preferensi dengan makanan jajanan bakso goreng (p=0.039, r=-0.231) dan cireng isi ayam (p=0.003, r=0.314) adalah bermakna. Nilai r=-0.231 (bakso goreng) dan nilai r=0.0314 (cireng isi ayam) dengan preferensi menunjukkan bahwa arah korelasi negatif dan positif. Artinya, semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi pada seseorang akan mempengaruhi tingginya tingkat kesukaan terhdap cireng isi ayam dibandingkan dengan bakso goreng. Sementara ada hubungan yang signifikan antara tingkat preferensi contoh dengan frekuensi terhadap makanan jajanan seperti batagor (p=0.002, r=0.344), chicken nugget (p=0.045, r=0.225), cireng isi abon (p=0.016, r=0.270), dan risoles (p=0.000, r=0.397) yang menunjukkan bahwa korelasi antara preferensi jajan dengan frekuensi jajan adalah bermakna dengan arah korelasi yang positif.

Saran

Preferensi makanan jajanan anak sebaiknya diarahkan untuk mengonsumsi makanan jajanan yang aman dan bergizi. Hal ini terlihat pada rendahnya kontribusi vitamin C dibandingkan dengan kontribusi zat gizi lainnya seperti zat besi. Padahal ada hubungan antara vitamin C dengan zat besi terutama dalam proses absorbsi yang mana proses absorbsi zat besi akan baik jika ada vitamin C dan sebaliknya. Peran orang tua dan guru sangat diperlukan untuk mencapai situasi di atas tidak terkecuali penjaja jajanan yang berperan sebagai penyedia makanan jajanan.

Dokumen terkait